BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Nyeri merupakan keluhan yang sering dikeluhkan oleh pasien baik sebagai
alasan utama pasien berobat atau sebagai keluhan tambahan. Terapi utama
dari nyeri idealnya adalah menyingkirkan penyebab nyeri.1,2 Tetapi,
seringkali hilangnya penyebab tersebut tidak menyebabkan nyeri serta merta
hilang dan terkadang pada kasus-kasus tertentu, nyeri yang dirasakan sangat
hebat sehingga bantuan terapi penghilang rasa nyeri menjadi penting.1
Dari segi waktu berjalannya pernyakit, nyeri dapat tergolong menjadi dua
yaitu nyeri akut dan nyeri kronik.1 Keduanya memiliki karakteristik yang
berbeda yang juga membuat modalitas terapi untuk ekdua macam nyeri tersebut
dibedakan. Khusus untuk bahasan kali ini akan ditekankan terutama pada
nyeri kronik.
Tatalaksana pada nyeri kronik sering kali menyulitkan baik bagi dokter
maupun bagi pasien.1 Penyebab nyeri seringkali sulit untuk ditemukan dan
memakan banyak waktu bagi dokter dan secara emosional terasa sangat
membebani. Biasanya, pendekatan medis secara biasa untuk mencari proses
patologi utama tidak berhasil dan seringkali diperlukan penanganan secara
multidisiplin termasuk penatalaksanaan dari aspek psikososial.1,2 Masuknya
modalitas psikososial ini karena kasus nyeri kronik memiliki gangguan dasar
psikologis dan/atau gangguan psikologis tersebut muncul sekunder akibat
frustasi pasien menghadapi penyakitnya dan turut berperan dalam eksaserbasi
penyakitnya.1-4
Salah satu penyebab nyeri kronik yang cukup sering adalah kelaian pada TMJ
(temporomandibular junction).1,3 Kira-kira 60-70% populasi umum mempunyai
setidaknya satu keluhan gangguan TMJ, namun hanya seperempat saja menyadari
akan keluhannya itu.3 Lebih jauh lagi, hanya 5% dari kelompok orang dengan
sedikitnya satu gangguan tersebut yang mencari pertolongan pengobatan ke
dokter.3 Salah satu keluhan dari gangguan TMJ ini adalah nyeri yang
sifatnya kronik.3
Gangguan TMJ ini merupakan gangguan yang kompleks dengan banyak sekali
faktor yang saling terkait yang dimodulasi oleh faktor psikologis terutama
stres, ansietas, dan depresi.3 Seperti disebutkan di atas, penanganan nyeri
kronik seringkali menyulitkan baik bagi dokter maupun pasien. Terapi yang
tidak tepat akan menyebabkan gangguan yang lama dan menyita banyak sekali
waktu dan perhatian. Untuk pasien dengan TMJ, hal ini tentu sangat
menganggu dan akan memperparah keadaan penyakitnya. Oleh sebab itu, bagi
seorang dokter dalam penanganan nyeri kronik, gangguan TMJ harus masuk
dalam kemungkinan diagnosis pasien tersebut. Dengan demikian, diharapkan
penanganan pada pasien tersebut dapat lebih cepat dan dapat mengurangi
beban pasien baik secara waktu, material, maupun emosional.
2. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
a. Memahami kelainan TMJ
b. Mengetahui sifat nyeri kronik pada gangguan TMJ sehingga dapat
mendiagnosis gangguan nyeri kronik pada TMJ
c. Mengetahui terapi yang efektif untuk gangguan TMJ
d. Mengetahui tatalaksana secara terpadu dan menyeluruh dalam penanganan
kasus gangguan TMJ
e. Mengetahui peranan dokter umum dalam tatalaksana penyakit TMJ
BAB 2
TEMPOROMANDIBULAR DISORDER
1. Anatomi Sendi Temporomandibular
TMJ atau sendi rahang adalah sendi yang menghubungkan temporal dan
mandibula yang terdiri dari:
1. Tulang mandibula dengan kondilusnya (ujung membulat)
2. Diskus yaitu jaringan penyambung antara kondilus dengan soketnya pada
tulang temporal
3. Sistem neurovaskuler
Persendian ini di lapisi oleh lapisan tipis dari kartilago dan dipisahkan
oleh diskus. Persendian ini secara konstan terpakai saat makan, berbicara
dan menelan.
Gambar 2.1: Potongan sagital sendi temporomandibuler. Ruang sendi atas dan
bawah dalam kondisi normal terkompresi. Pada gambar ini ruangan tersebut
dilebarkan untuk memperlihatkan aspek anteroposterior. Daerah posterior
bilaminae mengandung fleksus vena.
2. Definisi dan Epidemiologi Gangguan Sendi Temporomandibular
Gangguan temporomandibular adalah istilah yang dipakai untuk sekelompok
gangguan yang mengganggu sendi temporomandibular, otot pengunyah, dan
struktur terkait yang mengakibatkan gejala umum berupa nyeri dan
keterbatasan membuka mulut.2 Biasanya pada praktek umum (general
practitioner) pasien dengan gangguan ini mengeluhkan gejala yang eprsisten
atau nyeri wajah yang kronik. Biasanya nyeri pada gangguan
temporomandibular disertai suara click pada sendi rahang dan keterbatasan
membuka mulut.2
Sekitar 60-70% populasi umum mempunyai setidaknya satu gejala gangguan
temporomadibualr.2 Tetapi, hanya seperempatnya yang menyadari adanya
gangguan tersebut.2 Lebih jauh lagi, hanya 5% dari kelompok orang dengan
satu atau dua gejala gangguan temporomandibular yang pergi ke dokter.2
Kelainan ini paling banyak dialami perempuan (1:4), dan sering terjadi pada
awal masa dewasa.2
3. Etiologi Gangguan Temporomandibular 5,6
Nyeri yang dirasakan pada persendian ini dapat dikarenakan oleh beberapa
faktor seperti, penggunaan yang berlebihan pada daerah yang bersangkutan,
contohnya adalah pada individu yang mempunyai kebiasaan buruk mengerat gigi
(bruxism), sering menguap, mengunyah cenderung pada satu sisi. Hal ini
menyebabkan pemberian beban yang terus menerus pada daerah persendian.
Faktor lain yang terlibat adalah faktor maloklusi gigi terutama pertumbuhan
gigi geraham belakang yang tidak normal dapat menyebabkan desakan yang
terus menerus serta adanya kelainan anatomi rahang dapat berakibat
menimbulkan rasa nyeri pada TMJ.
Penggunaan berlebih pada diskus dan ligament-ligamen yang berhubungan
dengan TMJ dapat menyebabkan fleksibilitas pada discus dan ligament
tersebut menurun, dan bila tidak ditanggulangi dan terus berlanjut akan
menyebabkan inflamasi yang berakhir pada rupture discus dan ligament yang
akan menimbulkan sensasi nyeri pada individu. Selain terjadinya inflamasi
pada discus, dapat pula terjadi inflamasi dari otot akibat hiperfungsi dari
system musculoskeletal yang akan menimbulkan nyeri juga.
Sensasi nyeri juga dapat timbul oleh karena adanya iskemi lokal yang
disebabkan karena hiperfungsi dari kontraksi otot yang mengakibatkan
mikrosirkulasi tidak adekuat. Hal ini akan menyebabkan nutrisi pada
jaringan akan berkurang sehingga menyebabkan iskemik pada jaringan tersebut
yang akan menimbulkan sensasi nyeri.
Persendian pada temperomandibular ini sama seperti persendian di daerah
tubuh lainnya, dimana dapat juga terjadi hal-hal seperti osteoarthritis,
rheumatoid arthritis dan jenis-jenis inflamasi lainnya didaerah persendian
ini yang akan menimbulkan sensasi nyeri juga. Osteoartritis adalah kondisi
dimana sendi terasa nyeri akibat inflamasi yang diakibatkan gesekan ujung-
ujung tulang penyusun sendi. Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi
degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Sedangkan
rheumatoid arthritis (RA) merupakan suatu penyakit autoimun dengan
karakteristik sinovitis erosif simetris sebagian besar pasien menunjukkan
gejala penyakit kronik hilang timbul dan apabila tidak diobati dapat
menyebabkan kerusakan persendian dan deformitas sendi progresif yang
berakhir pada disabilitas.
4. Faktor Risiko Gangguan Temporomandibular7
Kelainan TMJ paling sering pada wanita dengan usia berkisar 30-50 tahun.
Faktor resiko lain:
Jaw clenching
Teeth grinding (bruxism)
Rheumatoid arthritis
Fibromialgia
Trauma wajah dan rahang
Kelainan congenital pada tulang wajah
5. Jenis dan Gejala Gangguan Temporomandibular
Ada tiga gangguan tempotomandibular yang tesering, yaitu nyeri miofasial,
internal2 dearrangement, dan osteoartrosis. 2 Nyeri miofasial adalah
gangguan yang tersering ditemukan.2 Adapun gejala lain yang dapat terjadi
adalah sebagai berikut:5,6
Nyeri pada telinga
Kekakuan atau nyeri pada otot rahang
Nyeri pada daerah pipi
Bunyi pada rahang
Keterbatasan pergerakan pada rahang
Lock jaw
Nyeri kepala yang sering
Kekakuan pada otot wajah dan leher, daerah preaurikuler
Asimetris dari wajah
Maloklusi
Kronik postural head tilting
Gambar 2.2: Terdapat kasus dimana pasien ini mengalami kelainan TMJ. Pada
titik A dan C pasien mengalami kekakuan otot. Pada point B dan D pasien
mengalami kelemahan otot dan stretched out. 7
6. Diagnosis TMJ
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang seperti foto roentgen atau MRI
BAB 3
NYERI KRONIK PADA GANGGUAN TEMPOROMANDIBULAR
1. Nyeri Kronik
Nyeri merupakan salah satu gejala penting karena nyeri adalah gejala
universal akan adanya penyakit. Memahami gejala ini penting dalam
mempertahankan fungsi tubuh dan mengurangi penderitaan pasien. Terapi utama
untuk nyeri adalah menghilangkan sumber penyakit yang menyebabkannya.
Tetapi untuk mencari penyebab ini seringkali su;it dilakukan terutama untuk
nyeri kronik. Oleh karena itu, terkadang diperlukan pendekatan lain yang
sifatnya mengurangi gejala nyeri tersebut.
Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan terhadap suatu stimulus. Ketika
nyeri dirasakan, sensasi ini akan mencapai level serebrum melalui interaksi
yang kompleks dan dinamik. Mekanisme dimana stimulus dinilai sebagai nyeri
ditentukan oleh berbagai macam faktor. Pusat-pusat saraf level tinggi dapat
menghambat atau menambah pesan stimulus secara keseluruhan melalui
aktivitas prilaku, kognitif, psikologis, biologis (misalnya hormon), atau
farmakologis.
Saat stimulus dinilai sebagai suatu nyeri, respon pertama kali adalah
mencari asal sensasi nyeri untuk menghindar dari stimulus tersebut. Respon
dari sensasi nyeri tersebut dapat berbagai macam. Hal ini terjadi akibat
adanya modulasi stimulus pada berbagai macam tingkat aktivitas neuron dari
perifer ke pusat. Oleh karenanya, persepsi terhadap suatu stimulus dapat
berbeda.
Banyak sekali faktor yang mempengaruhi peresepsi seseorang terhadap nyeri.
Bukan hanya faktor organik saja, faktor emosional dan lingkungan juga
berpengaruh. Hal ini terkait modulasi persepsi nyeri di tingkat serebrum.
Stimulus yang muncul akan dimodulasi dan diproses melalui berbagai
tingkatan yang melibatkan berbagai level memori.
Teori gate-control, yang diperkenalkan oleh Melzak dan Wall pada tahun
1965, menyebutkan bahwa pengalaman nyeri merupakan proses multidimensional
dengan berbagai macam pengaruh. Penjelasan yang diajukan akan adanya nyeri
yang menetap setelah penyembuhan berkaitan dengan perubahan
(neuraoplastisitas) pada sistem saraf pusat. Sel saraf dikatakan mampu
mengubah struktur dan fungsi mereka terhadap respon terhadap rangsangan,
yang akan berakibat pada hubungan baru antara rangsangan dan respon.
Sensitisasi ini tidak memerlukan masukan perifer tetapi merupakan
konsekuensi akan adanya perubahan dan sensitivitas dari neuron di sumsum
tulang belakang. Perubahan-perubahan tersebut meliputi:
1. Berkurangnya batas ambang stimulus, dengan akibat bahwa neuron tidak
lagi memerlukan stimulus hebat untuk diaktifkan.
2. Adanya perubahan pada pola sementara dari respon, maka akan jika ada
stimulus yang transien akan membangkitkan aktivitas yang hebat.
3. Adanya peningkatan secara umum dari daya respon neuron motorik, akan
membuat stimulus yang hebat akan menghasilkan efek lebih besar lagi.
4. Adanya ekspansi lapang reseptor, akan berakibat pada respon akan terjadi
pada area yang lebih luas.
Manifestasi klinis akan adanya perubahan-perubahan ini meliputi
hiperalgesia (peningkatan respon pada stimulus yang secara normal
menyakitkan); allodynia (nyeri terhadap stimulus yang secara normal tidak
menimbulkan nyeri); dan nyeri spontan, menjalar, dan merujuk.
Interaksi antara sistem saraf somatis dan simpatis memiliki peran dalam
nyeri kronik dan diduga menjadi penyebab dari banyak namun bukan semua
kasus gejala nyeri kompleks regional. Kaitannya mungkin berada pada
coupling yang diperantarai neurotransmitter noradrenaline, yang dilepaskan
dari ujung akhir saraf bebas, sehingga mengakibatkan depolarisasi.
Mekanisme ini dipikirkan lebih ke arah sensitvitas terhadap sistem
somatosensoris daripada hiperaktivitas sistem simpatis eferen.
Pada nyeri kronik, interaksi antara faktor biologis dan lingkungan sangat
perlu untuk dipahami. Nyeri kronik sering kali menyebabkan gangguan emosi
berupa depresi atau ansietas pada pasien. Sayangnya, faktor emosi ini dapat
memperparah gejala nyeri yang ditimbulkan. Akibatnya, jika penatalaksanaan
nyeri tidak adekuat, akan menambah penderitaan pasien.
Gambar 3.1: Faktor biopsikososial yang berinteraksi dan memerantarai
persepsi nyeri.
Dengan demikian, tatalaksana yang cepat dan tepat sangat penting dalam
menangani nyeri kronik. Anamnesis yang baik tetap menjadi kunci bagi
penentuan diagnosis untuk mencari terapi yang paling tepat untuk pasien.
2. Rasionalitas Terapi Nyeri pada Gangguan Temporomandibular
Sementara sebagian besar pasien dengan kelainan temporomandibular
memberikan respon terhadap terapi nonbedah yang diberikan, sebagian kecil
pasien akan mengalami nyeri kronik dan disabilitas.5 Akibatnya, kelompok
pasien ini seringkali mengalami distres psikologis yang besar dan gangguan
berat dalam aktivitas sehari-hari.3,5 Memperkirakan apakah suatu kasus akan
berkembang menjadi kronis merupakan bagian dari tata laksana kelainan
temporomandibular yang sangat penting karena hal ini perlu diintervensi
lebih lanjut.
Faktor-faktor yang dapat digunakan untuk memperkirakan kemunculan nyeri
kronik pada kasus kelainan temporomandibular antara lain: faktor psikologis
pasien, nyeri intensitas tinggi, diagnosis nyeri miofasial, komorbiditas
dengan nyeri muskuloskeletal yang luas dan trauma.8
3. Patofisiologi Nyer Kronik pada Gangguan Temporomandibular
Hiperaktivitas otot pengunyah yang berkembang menjadi "lingkaran setan"
diajukan sebagai penyebab nyeri miofasial. Isitalh diagnostik yang dipakai
untuk menjelaskan kondisi ini adalah miospasme, spasme otot, dan reflex
splinting. Kaitan antara hiperaktivitas otot dan kelainan nyeri belum
didemonstrasikan. Perbedaan antara aktivitas istirahat elektromiografi pada
otot penutup rahang yang nyeri dengan yang tidak nyeri belum ditemukan.
Atrisi gigi yang menunjukkan lapuknya gigi sebagai akibat bruxism tidak
berkaitan dengan click pada TMJ atau nyeri atau dengan nyeri pada otot
pengunyah.
Hasil dari studi eksperimental terhadap nyeri miofasial menunjukkan
konsistensi pada hipotesis yaitu nyeri disebabkan oleh perubahan proses
sistem saraf pusat, namun penemuan ini juga dapat diinterpretasikan sebagai
konsekuensi dari nyeri bukan sebagai penyebab nyeri itu sendiri.
Hipotesis psikologis menunjukkan bahwa kelainan diakibatkan stress
psikologis yang biasa muncul pada individu dengan lingkungan stres; stres
psikologis berakibat pada kebiasaan buruk yang berakibat nyeri otot.
Tantangan yang dihadapi pada kelainan nyeri kronis adalah dalam menentukan
berapa banyak stres psikologis yang menjadi penyebab atau yang akan terjadi
akibat nyeri kronis. Melihat bukti yang ada, sters emosi lebih menjadi
akibat dibandingkan sebab dari nyeri.
Kurangnya bukti dari satu penyebab jelas nyeri mengarahkan bahwa etiologi
nyeri adalah multifaktorial. Faktor ini berkontribusi pada inisiasi,
aggravasi, dan atau perpetuasi nyeri.
Beberapa faktor disebutkan di bawah ini:
1. Kebiasaan buruk (misalnya bruxism malam, mengencangkan gigi, bibir, atau
pipi)
2. Stres emosional
3. Trauma akut dari tumbukan
4. Trauma dari hiperekstensi (misalnya prosedur dental, intubasi oral,
menguap, trauma servikal)
5. Ketidakstabilan maksilomandibular
6. Kerusakan sendi
7. Komorbid lain misalnya reumatik atau kelainan ototdan tulang
8. Kesehatan secara umum yang kurang baik dan gaya hidup yang tidak sehat
Frekuensi dan kepentingan faktor-faktor ini sebagai penyebab masih belum
diketahui.
Nyeri Myofascial
Nyeri myofascial merupakan nyeri myogenous regional yang ditandai dengan
jaringan otot yang hipersensitif dan area lokal keras yang disebut trigger
point. Kondisi ini terkadang dikenal sebagai myofascial trigger point
paint. Hal ini merupakan kelainan yang belum sepenuhnya dimengerti, tetapi
biasa terjadi pada pasien dengan keluahan myalgia.
Nyeri myofascial muncul dari otot yang hipersensitif yang disebut trigger
points. Jaringan otot pada area ini, perlekatan tendon, atau keduanya
seringkali dirasakan sebagai pita taut yang ketika dipalpasi, akan
menghasilkan nyeri. Asal dari trigger points tidak diketahui. Tetapi,
diperkirakan karena adanya ujung saraf di otot tersensitisasi oleh
substansi algogenik yang menghasilkan zona hipersensitif. Mungkin terjadi
peningkatan suhu lokal di situs trigger point, menunjukkan adanya
peningkatan permintaan metabolic, reduksi aliran darah, atau keduanya.
Trigger point merupakan region yang terbatas di mana hanya ada sedikit
motor unit yang berkontraksi. Jika semua motor unit berkontraksi, akan
terjadi pemendekan otot. Kondisi ini disebut myospasme. Karena trigger
point hanya terdapat beberapa motor unit yang berkontraksi, tidak terjadi
pemendekan otot.
Karakteristik yang unik adalah trigger point merupakan sumber nyeri yang
konstan dan oleh sebab itu dapat menghasilkan efek eksitatori sentral. Jika
trigger point mengeksitasi grup interneuron aferen, referred pain akan
terjadi, biasanya terjadi pada pola yang dapat diprediksi sesuai dengan
lokasi trigger point yang terlibat. Pasien seringkali mengeluhkan nyeri
kepala.
Penyebab nyeri myofasial sangat kompleks. Travell dan Simons menggambarkan
faktor lokal dan sistemik yang diperkirakan berhubungan dengan nyeri
seperti trauma, hipovitamiosis, kondisi umum yang buruk, kelelahan, infeksi
viral. Faktor lain yang penting anatara lain stress emosional dan nyeri.
Gejala klinis yang paling umum dari nyeri myosfascial adalah keberadaan
jaringan otot yang keras dan hipersensitif. Meskipun palpasi dari trigger
points menghasilkan nyeri, sensitivitas otot lokal bukan keluhan umum
pasien. Keluhan yang paling umum biasanya berhubungan dengan efek eksitasi
sentral yang dihasilkan oleh trigger points.
Pada banyak keadaan, pasien hanya menyadari referred pain dan bahkan tidak
menyadari trigger points. Contohnya adalah pasien yang mengalami nyeri
myofascial trigger point pada otot trapezius menghasilkan referred pain ke
regio temple. Keluhan utamanya adalah nyeri temporal, dengan kesadaran
sedikit pada trigger point di bahu. Presentasi klinis dapat mengalihkan
perhatian dokter dari sumber masalah. Pasien akan mengarahkan perhatian
dokter ke daerah nyerinya yaitu temporal dan bukan sumbernya. Dokter harus
selalu ingat bahwa pengobatan akan efektif jika langsung diarahkan pada
sumbernya. Maka, dokter harus selalu mencari sumber nyerinya.
Karena trigger poitns dapat nenyebabkan efek eksitatori sentral, sangat
penting untuk menyadari semua kemungkinan manifestasi klinisnya. Efek
eksitatori sentral dapat muncul sebagai referred pain, hiperalgesia
sekunder, protektif ko-kontraksi, atau respon anatomik. Kondisi ini harus
diperhatikan saat mengevaluasi pasien.
Gejala klinis yang penting dari trigger point adalah keadaannya dapat aktif
atau laten. Pada keadaan aktif, trigger point menghasilkan efek eksitatori
sentral, sehingga seringkali dirasakan nyeri kepala. Karena referred pain
tergantung pada sumbernya, palpasi dari trigger point yang aktif seringkali
meningkatkan rasa nyeri. Meskipun tidak selalu ada, karakteristik ini
sangat membantu dalam diagnosis. Pada keadaan laten, trigger point tidak
lagi sensitif terhadap palpasi, maka tidak menghasilkan referred pain.
Ketika trigger point berada dalam keadaan laten, sumber ini tidak dapat
ditemukan dengan palpasi dan pasoen tidak mengeluhkan nyeri kepala. Pada
beberapa keadaan, dokter perlu meminta pasien untuk kembali jika nyeri
kepalanya muncul sehingga konfirmasi mengenai nyeri kepalanya dapat
diverifikasi dan dapat ditegakkan diagnosis.
Diperkirakan trigger point tidak berkurang dengan pengobatan. Bahkan
trigger point dapat menjadi laten dan dorman dan keluhan referred pain
dapat hilang sementara. Trigger point dapat diaktivasi oleh beberapa
faktor, misalnya penggunaan otot, strain dari otot, stress emosional, dan
infeksi saluran pernafasan. Ketika trigger point teraktivasi, nyeri kepala
akan muncul kembali. Hal ini biasa ditemukan pada pasien dengan keluhan
nyeri kepala siang hari setelah hari yang melelahkan.
Sejalan dengan referred pain, efek eksitatori sentral dapat dirasakan oleh
pasien. Ketika hiperalgesia sekunder muncul, biasanya akan terjadi
peningkatan sensitivitas ketika kulit kepala disentuh. Beberapa pasien akan
mengatakan rambutnya terasa nyeri atau terasa sakit saat menyisir
rambutnya. Ko-kontraksi merupakan kondisi lain yang berhubungan dengan
nyeri myofascial. Trigger point pada bahu atau otot servikal dapat
menghasilkan ko-kontraksi pada otot mastikasi. Jika hal ini berlanjut,
soreness pada otot mastikatori dapat muncul. Penatalaksanaan pada otot
mastikatori tidak akan menghilangkan keluhan karena trigger point
cervicospinal dan otot bahu. Tetapi, penatalaksanaan trigger points pada
otot bahu akan menghilangkan kelainan otot mastikatori. Penatalaksanaan
akan menjadi sulit ketika soreness otot sudah terjadi pada waktu yang lama,
karena hal ini dapat menginisiasi nyeri otot cyclic. Pada kasus ini,
penatalaksanaan terhadap otot mastikasi dan trigger point cervicospinal dan
otot bahu akan menyelesaikan masalah.
Efek autonomik diproduksi oleh nyeri dalam oleh trigger point. Hal ini
dapat menyebabkan gejala klinis seperti mata kering atau perubahan
vaskular. Terkadang konjungtiva dapat menjadi merah. Bahkan mungkin terjadi
perubahan mukosa yang memproduksi sekret nasal yang mirip dengan alergi.
Kunci untuk menentukan apakah efek autonomik berhubungan dengan efek
eksitatori sentral atau reaksi lokal adalah unilateral atau bilateral. Efek
eksitatori sentral pada area trigeminal jarang menyebrang midline. Maka
nyeri dalamnya akan bersifat unilateral, efek autonomik akan berada pada
sisi yang sama dengan nyeri. Dengan kata lain, satu mata akan merah dan
yang lain normal, satu hidung akan mengeluarkan sekret, dan yang lainnya
normal. Sedangkan jika alergi, kedua mata dan hidung akan terlibat.
Dapat disimpulkan, gejala klinis nyeri myofascial umumnya berhubungan
dengan efek eksitatori sentral yang dihasilkan dari trigger point dan bukan
hanya trigger point saja. Dokter harus menyadari hal ini dan menemukan
trigger point. Ketika teraba, trigger point merupakan area hipersensitif,
sering terasa sebagai pita taut dalam otot. Tidak ada nyeri lokal ketika
otot dalam keadaan beristirahat, tetapi nyeri dapat dirasakan saat otot
digunakan. Seringkali disfungsi struktural terluhat pada otot yang terdapat
trigger point. Hal ini sering dilaporkan sebagai "stiff neck".
Nyeri Otot Kronik
Kelainan otot yang digambarkan sebelumnya seringkali ditemukan pada praktik
dokter gigi dan berdurasi singkat. Dengan sifatnya yang kronis, nyeri
myogenous menjadi lebih dipengaruhi ooleh CNS, menghasilkan kondisi nyeri
yang regional atau global. Seringkali nyeri otot cyclic menjadi hal yang
penting pada kondisi ini.
Nyeri kronik merupakan nyeri yang muncul selama 6 bulan atau lebih. Durasi
nyeri merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan kronisitasnya.
Beberapa nyeri dirasakan bertahun-tahun, tetapi tidak pernah menjadi
kondisi nyeri kronik. Tetapi beberapa nyeri dapat menjadi kronik dalam
beberapa bulan. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah kontinuitas
dari nyeri. Ketika nyeri dirasakan konstan dengan tidak ada periode di mana
nyeri hilang, manifestasi klinis kronik berkembang dengan cepat. Pada sisi
yang lain, jika nyeri diinterupsi dengan periode remisi, kondisi dapaat
menjadi nyeri kronik. Sebagai contoh, nyeri kepala cluster merupakan nyeri
neurovaskular yang bertahan bertahun-tahun dan tidak menjadi nyeri kronik.
Hal ini dikarenakan adanya periode remisi di antara nyeri. Nyeri konstan
yang berhubungan dengan centrally mediated myalgia, jika tidak ditangani,
dapat menyebabkan kronisitas dalam beberapa bulan.
Dokter harus menyadari keluhan myalgia berkembang dari akut menjadi kronik,
maka efektivitas penatalaksanaan lokal akan berkurang. Kelainan nyeri
kronik harus ditangani secara multidisiplin. Pada beberapa keadaan, dokter
gigi saja tidak diperlengkapi untuk menangani kelainan ini. Maka penting
untuk mengenali gejala kelainan nyeri kronik dan merujuk pasien ke terapis
yang tepat yang mampu menangani kondisi nyerinya.
Faktor Perpetuasi
Ada beberapa keadaan yang memperpanjang nyeri oot. Faktor ini dikenal
sebagai faktor perepetuasi dan dapat dibagi menjadi sumber lokal dan
sistemik.
Faktor perpetuasi lokal
Kondisi yang mempresentasikan faktor lokal yang bertanggung jawab terhadap
kelanjutan kelainan otot lokal menjadi kondisi nyeri kronik:
1. Protracted cause
Jika dokter gagal mengeliminasi penyebab kelainan otot akut, kondisi
kronik akan muncul.
2. Reccurent cause
Jika pasien mengalami episode rekuren dari penyebab kelainan otot akut
yang sama, mungkin kelainan akan menjadi kondisi yang kronik.
3. Therapeutic mismanagement
Ketika pasien ditatalaksana tidak dengan optimal, gejala tidak akan
berkurang. Hal ini dapat menyebabkan kondisi yang lebih kronik
Faktor perpetuasi sistemik
1. Stress emosional yang berkepanjangan
Karena stres emosional yang meningkat dapat menyebabkan kelainan otot
akut, stres emosional dapat memperparah keadaan menjadi kelainan otot
kronik.
2. Down regulation of the descending inhibitory system
Descending inhibitory system merupakan struktur brainstem yang mengarur
aktivitas neural ascending. Descending inhibitory system yang efektif
meminimalisasi input nociceptive ketika naik ke korteks. Jika system ini
tidak efektif, meningkatnya nociceptive dapat menghasilkan rasa sakit
yang lebih parah. Tidak jelas apa yang menyebabkan down regulation system
ini, tetapi konsep ini menjelaskan perbedaan respon individual terhadap
kejadian yang berbeda-beda. Defisiensi nutrisi dan kebugaran fisik
memainkan peran. Meskipun penurunan fungsi pada descending inhibitory
system menunjukkan permasalahan nyeri, faktor ini belum didokumentasikan
dengan baik.
3. Gangguan tidur
Gangguan tidaur secara umum berhubungan dengan kelainan nyeri myalgia
kronik. Belum diketahui apakah kelainan tidur merupakan faktor signifikan
dalam inisiasi kondisi nyeri kronik.
4. Tingkah laku yang dipelajari
Pasien dapat "belajar" menjadi sakit. Pasien seperti ini harus menerima
terapi untuk memperbaiki kelakuan kesehatan sebelum recovery optimal
dapat tercapai.
5. Secondary gain
Ketika pasien belajar nyeri kronik dapat digunakan untuk mengubah
kehidupan normal, pasien dapat mengalami kesulitan melepaskan nyerinya
dan kembali ke tanggung jawabnya sehari-hari.
6. Depresi
Depresi fisiologis merupakan hal yang biasa terjadi pada pasien dengan
nyeri kronik. Depresi dapat menghasilkan masalah fisiologis independen,
maka hal ini harus ditatalaksana dengan tuntas. Eliminasi rasa nyeri
belum tentu mengeliminasi depresinya.
4. Terapi Nyeri Kronik pada Gangguan Temporomandibular
Nyeri yang ditimbulkan oleh kelainan temporomandibular umumnya berupa nyeri
miofasial.5 Karena patogenesis dan patofisiologi nyeri miofasial masih
perlu diteliti lebih lanjut, tata laksana nyeri yang mengarah pada penyebab
tunggal tidak dapat diberikan.8 Dengan demikian, terapi multimodal
merupakan modalitas terapi yang lebih efektif dalam menangani nyeri kronik
yang ditimbulkan oleh nyeri miofasial.8 Prinsip terapi multimodal nyeri
kronik sampai saat ini hanya didasarkan pada prognosis pasien secara umum
dan pengertian bahwa belum ada studi yang berhasil membandingkan kelebihan
dan keamanan masing-masing modalitas terapi yang direkomendasikan saat
ini.8 Oleh karena itu, terapi yang lebih mudah diperoleh, tidak terhalang
oleh biaya, keamanan dan bersifat reversibel akan diutamakan dalam terapi
nyeri kronik. Terapi yang memiliki karakteristik seperti itu antara lain
edukasi, self-care, terapi fisik, terapi intraoral, farmakoterapi jangka
pendek, terapi perilaku, dan teknik relaksasi.8
1. Edukasi dan informasi
Ansietas pada pasien turut berperan dalam progresifitas penyakit yang
akan mengarah kepada nyeri yang hebat dan kehilangan fungsi.1-5
Menjelaskan darimana rasa sakit berasal dan karakteristik dari gejala
yang dirasakan pasien akan mengurangi ansietas pada pasien. Edukasi
menjadi dasar dari aktivitas perawatan diri yang pasien dapat lakukan
untuk mengontrol gejala.5 Edukasi dan informasi ini harus dilakukan
secara bertahap dan tidak terburu-buru. Edukasi dan informasi ini juga
akan membantu pasien untuk mengetahui penggunaan rahangnya secara tepat
dan benar. Pasien harus turut ikut berperan dalam melawan stress dan
penyakit yang dideritanya.
2. Self-care dan perubahan kebiasaan pasien
Pasien harus mulai menghentikan kebiasaan penggunaan rahangnya yang tidak
berguna dalam kehidupan sehari-hari (seperti menggertakkan gigi, posisi
rahang, ketegangan otot rahang, berpangku tangan pada rahang, dan lain-
lain). Kebiasaan-kebiasaan tersebut akan memberikan beban pada rahang
sehingga memperberat penyakit. Perubahan pada kebiasaan tersebut akan
mengurangi nyeri yang diderita pasien dan progresifitas penyakit. Pasien
disarankan untuk mengalihkan perhatiannya ke kebiasaan-kebiasaan yang
lebih baik (tidak memberi beban pada rahang). Pasien juga dianjurkan
untuk mengistirahatkan rahangnya bila sakit, mengompres dingin rahang
pasien selama 10 menit setiap 2 jam pada serangan akut.5
3. Fisioterapi
Berdasarkan penilitian, fisioterapi terbukti lebih baik daripada placebo
walaupun tidak ditemukan perbedaan dari berbagai fisioterapi yang
dilakukan.5 Baik terapi pasif maupun aktif umumnya terdapat pada
fisioterapi. Terapi postur direkomendasikan untuk menghindari posisi yang
dapat mempengaruhi posisi mandibula dan otot mastikasi (seperti kepala
maju ke depan).5 Modalitas pasif seperti ultrasound, laser dan
transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) biasa digunakan untuk
memulai fisioterapi dengan tujuan mengurangi nyeri dan membantu
penyembuhan pasien.5 TENS menggunakan tegangan listrik rendah bifasik
dalam berbagai frekuensi yang mempunyai efek counterstimulation dari
saraf sensorik untuk mengontrol nyeri.5 Terapi ultrasound dapat
menghasilkan panas yang ditransmisikan ke dalam jaringan sehingga lebih
efektif daripada penghangatan dari luar. Latihan gerak dilakukan adalah
latihan gerak peningkatan jangkauan gerak rahang, penarikan pasif untuk
meningkatkan gerakan mandibula dan pelatihan isotonik dan isotmetrik.
Latihan membuka dan menutup mulut dalam satu garis lurus di depan kaca
atau lidah menempel pada palatum merupakan latihan membuka mulut yang
umum dilakukan pada fisioterapi. Pilihan dari terapi ini bersifat
individual dan ilmu fisioterapi ini masih belum begitu berkembang.5
4. Penggunaan alat-alat intraoral
Penggunaan alat intraoral seperti splints, orthotics, orthopedic
appliances, bite guards, nightguards atau bruxing guards biasa digunakan
dalam terapi kelainan temporomandibular.5 Alat-alat ini biasa digunakan
dokter gigi untuk melakukan terapi pada pasien mereka. Alat-alat ini
memiliki banyak desain dan terbuat dari berbagai material, namun yang
paling sering digunakan adalah splint yang berbentuk flat-plane yang
terbuat dari acrylic keras. Splint ini digunakan untuk meningkatkan
stabilitas sendi, melindungi gigi, meratakan tekanan, merelaksasi otot
elevator dan mengurangi bruxism.5 Splint ini juga didesain untuk
menghindari perubahan posisi rahang. Penggunaan alat-alat medis ini harus
dievaluasi seiring dengan kemungkinan terjadinya perubahan postur
mandibula. Pada awal terapi, alat ini harus digunakan saat tidur dan saat
bekerja, hal ini harus dimonitor untuk menentukan saat-saat paling
efektif dari penggunaan alat ini. Untuk menghindari perubahan oklusi,
alat ini tidak boleh digunakan terus menerus.
5. Farmakoterapi
Analgesik ringan, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs),
antiansietas, antidepresan trisiklik dan pelemas otot adalah obat-obat
yang biasa digunakan untuk mengobati kelainan temporomandibular.3,5 Di
dalam penelitian, penggunaan benzodiazepine kerja panjang seperti
klonazepam akan mengurangi nyeri pada kelainan temporomandibular.5 Opiod
dicadangkan untuk nyeri kronik yang kompleks. Terapi medikasi pada
kelainan kelainan temporomandibular mengikuti prinsip umum terapi
analgesik untuk nyeri dan diberikan dengan metode fixed-dose.5
AINS (antiinflamasi nonsteroid) lazim digunakan untuk mengendalikan nyeri
pada terapi kelainan temporomandibular. Golongan AINS yang dapat
digunakan antara lain penghambat enzim siklooksigenase-2 seperti
celecoxib dan rofecoxib (efek analgesic sama dengan golongan penghambat
COX nonspesifik, tetapi efek samping gastrointestinal berkurang);
ibuprofen (400 mg 4 kali sehari); naproxen; diklofenak dan nabumetone.
Penghambat COX-2 harus diberikan selama 2 minggu dengan metode fixed-dose
untuk menilai efektivitas terapi. Selain itu, dapat juga digunakan secara
topical, seperti diklofenak yang telah dikemas dalam bentuk jel atau krim
capsaicin (0.025%-0.075%) yang digunakan empat kali sehari. Namun,
capsaicin memiliki efek samping rasa terbakar sehingga membatasi
kegunaannya.
Anti ansietas berguna terutama saat eksaserbasi akut nyeri otot, obat ini
digunakan pada malam hari untuk menghindari efek sedasinya dan potensi
ketergantungan menghambat penggunaan obat ini dalam jangka panjang.
Penggunaan obat pelemas otot seperti carisoprodol, methocarbamol, derivat
trisiklik cyclobenzaprine terbukti efektif mengurangi nyeri dengan cara
menginhibisi interneuron dan kerja sistem saraf pusat. Karena efek
sedasinya, pelemas otot juga digunakan pada malam hari.
Antidepresan trisiklik, terutama amitriptilin, telah terbukti efektif
dalam mengatasi nyeri orofasial kronik. Pada dosis rendah, amitriptilin
memiliki efek analgesik, efek sedasi dan merangsang tidur nyenyak; semua
efek ini dapat berguna bagi pasien. Namun, efek antikolinergik yang
dimiliki obat ini (mulut kering, peningkatan berat badan, sedasi dan
euphoria) menyebabkan obat ini tidak disukai. Dosis dapat dimulai dari 10
mg pada malam hari dan dapat ditingkatkan sampai 75-100 mg, tergantung
dari toleransi pasien.
6. Terapi perilaku dan teknik relaksasi5
Mengabungkan terapi perilaku dan teknik relaksasi telah terbukti efektif
dalam mengatasi nyeri kronik. Teknik-teknik yang telah digunakan pada
pasien dengan kelainan temporomandibular antara lain teknik relaksasi,
biofeedback, hipnosis dan terapi perilaku-kognitif.
Teknik relaksasi secara umum menurunkan aktivitas simpatis dan (mungkin)
kesadaran. Metode relaksasi dalam meliputi autogenic training, meditasi
dan relaksasi otot progresif. Teknik-teknik ini ditujukan untuk
menghasilkan sensasi menyamankan tubuh, menenangkan pikiran dan
menurunakan tonus otot. Metode singkat untuk relaksasi menggunakan
relaksasi swa-kontrol, teknik pengendalian frekuensi pernafasan (paced
breathing), dan pernafasan dalam. Hipnosis menghasilkan keadaan fokus
pikiran yang terseleksi atau difus sehingga dapat memicu relaksasi.
Hipnosis sangat tergantung dari pasien dan tidak berkaitan dengan
peningkatan produksi endorfin, sementara pengaruhnya terhadap produksi
katekolamin belum diketahui.
Terapi perilaku-kognitif, yang seringkali meliputi teknik relaksasi,
mengubah pola pikir yang negatif. Hipnosis dan terapi perilaku-kognitif
diperkirakan bekerja dengan menghambat nyeri untuk memasuki alam sadar
dengan mengaktifkan sistem atensi limbic frontal yang menghambat
transmisi impul listrik dari thalamus ke korteks serebri. Biofeedback
adalah metode terapi yang menyediakan umpan balik secara bersinambung,
umumnya dengan memantau aktivitas listrik otot dengan elektroda permukaan
atau memantau suhu perifer. Alat pemantau ini memberikan informasi
fisiologis kepada pasien, sehingga pasien dapat mengubah fungsi
fisiologis untuk menghasilkan respons yang serupa dengan terapi
relaksasi. Dengan kata lain, pasien melakukan terapi relaksasi yang
ditujukan untuk menurunkan aktivitas listrik otot atau meningkatkan suhu
perifer.
Hambatan yang seringkali ditemui dalam pelaksanaan modalitas ini adalah
protokol standar pelayanan medis yang seringkali mengabaikan isu
psikososial dan hal-hal yang dialami pasien selama sakit. Selain itu,
terapi ini seringkali time-intensive dan tidak dicakup dalam asuransi
kesehatan.
7. Trigger point therapy5
Trigger point therapy menggunakan dua modalitas, yaitu mendinginkan kulit
di atas otot yang terlibat dan kemudian merentangkannya; dan suntikan
anestesi lokal langsung ke dalam otot.
Terapi semprot dan regang (spray and stretch) dilakukan dengan
mendinginkan kulit dengan fluoromethane (spray pendingin) dan dengan
lembut meregangkan otot yang sakit. Tindakan pendinginan ini dilakukan
dengan tujuan memungkinkan peregangan dil;akukan tanpa rasa sakit, yang
akan memicu reaksi kontraksi atau strain. Pasien yang merespons modalitas
ini dapat menggunakan variasi lain seperti menghangatkan otot tersebut,
kemudian dengan cepat medinginkannya dan setelah itu dengan lembut
meregangkan otot yang sakit.
Injeksi titik picu (trigger point) intramuskular dilakukan dengan
menyuntikkan zat anestesi lokal, cairan fisiologis, atau air steril atau
dry needling tanpa memasukkan cairan atau obat. Metode yang dianjurkan
untuk injeksi titik picu intramuskular adalah prokain yang diencerkan
sampai 0.5% dengan cairan fisiologis karena toksisitas terhadap otot
rendah. Selain itu, dapat pula digunakan lidokain 2% (tanpa
vasokonstriktor). Sampai saat ini belum ada protokol yang mengatur
pemberian injeksi titik picu ini, tetapi umumnya suntikan diberikan pada
sekelompok otot setiap minggu selama 3-5 minggu. Jika respons terhadap
terapi tidak adekuat, terapi ini harus segera dihentikan.
5. Tatalaksana pada Nyeri Kronik Lanjut
Pada pasien yang tidak merespon terapi inisial dan yang tetap mengalami
nyeri dan disabilitas yang signifikan, diperlukan terapi tambahan selain
terapi yang telah disebutkan sebelumnya. Pasien-pasien seperti ini
didiagnosis memiliki gangguan nyeri kronik, bukan gangguan anatomi yang
terbatas pada sistem mastikatori. Umumnya pasien seperti ini membutuhkan
penanganan klinik nyeri multidisiplin. Penggunaan pengobatan nyeri kronik,
seperti opioid dan obat-obat yang diberikan sebagai analgesik penunjang
(adjuvant) seperti antidepresan trisiklik, antikejang, stabilisator membran
dan simpatolitik) mungkin digunakan sebagai bagian dari rencana tata
laksana jangka panjang. Gangguan nyeri kronik menyebabkan perubahan
psikososial yang memerlukan tata laksana untuk mengurangi diasbilitas
pasien. Penitikberatan pada terapi perilaku dan strategi pemecahan masalah
(coping strategy) dapat menambah efektivitas terapi. Gangguan pola tidur
dapat diatasi dengan obat-obat hipnotik-sedatif. Perlu diingat bahwa
depresi seringkali menyertai nyeri kronik. Tindakan pembedahan pada nyeri
otot kronik tidak memiliki nilai terapi.
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Nyeri merupakan gejala yang akan ditemui dalam praktek sehari-hari dokter
umum. Untuk menanganinya, perlu dicari faktor dasar yang menyebabkannyeri
tersebut. Gangguan temporomandibular ternyata sering terjadi pada populasi
umum. Gejala yang sering terjadi pada gangguan ini adalah nyeri. Oleh sebab
itu, penting sekali seorang dokter umum memasukan gangguan
temporomandibular untuk dipertimbangkan sebagai diagnosis kerja.
Agar dapat mengenali gangguan temporomandibular ini, tentu seorang dokter
harus memahami sifat dari penyakit ini. Faktor emosi ternyata penting dalam
presipitasi gejala nyeri pada gangguan temporomandibular. Karena itu,
jangan sungkan-sungkan bagi dokter untuk memberikan terapi nonmedikamentosa
dalam mengani gangguan temporomandibular
Gangguan temporomandibular merupakan gangguan yang kompleks. Diperlukan
tinjauan dari berbagai multidisiplin. Dalam menangani kasus gangguan
temporomandibular, diperlukan kerjasama tim yang baik. Salah satu faktor
yang penting dalam gangguan temporomandibular adalah kelainan pada gigi.
Kerjasama yang baik antara dokter dan dokter gigi dapat membantu pasien
dengan kelainan temporomandibular dalam proses penyembuhan penyakitnya
4.2. Saran
Adapun saran dari makalah ini adalah
1. Dokter umum perlu mengetahui kelainan temporomandibular
2. Medikamentosa bukan pilihan satu-satunya dalam menangani gejala nyeri
khususnya nyeri kronik sehingga disarankan agar pendekatan terapi pada
nyeri kronik dilakukan dari berbagai macam modalitas terapi
3. Terapi yang tepat bagi gangguan nyeri kronik dapat membantu pasien baik
secara emosional, waktu, maupun materi
4. Pertimbangkan gangguan teporomandibular dalam menghadapi kasus nyeri
kronik
5. Perlu kerjasama yang baik antara berbagai bidang keilmuan dalam
tatalaksana nyeri kronik
DAFTAR PUSTAKA
1. Fields HL, Martin JB. Pain: pathophysiology and management. In: Kasper
DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors.
Harrison's principle of internal medicine; 16th edition. McGraw-
Hill:Philladelphia;2005:71-6
2. Holdcroft A, Power I. Management of pain. BMJ 2003;326:635-9
3. Dimitroulis G. Temporomandibilar disorders: a clinical update. BMJ
1998;317:190-4
4. Dersh J, Polatin PB, Gatchel RJ. Chronic pain and psychopathology:
research findings and theoretical consideration. Psychosomatic Medicine
2002;64:773-86
5.
http://www.healthscout.com/ency/1/130/main.html#TreatmentofTemperomandibul
arJoint(TMJ)Disorder
6. http://www.stronghealth.com/services/surgical/ENT/tmj.cfm3.
http://www.ctds.info/tmj.html
7.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/temporomandibularjointdysfunction.html
8. Blasberg B, Greenberg MS. Temporomandibular disorders. In: Greenberg
MS, Glick M, editors. Burket's oral medicine: diagnosis and treatment.
10th ed. Ontario: BC Decker Inc. 2003.p.271-306.