PAHAM FILSAFAT DALAM ARSITEKTUR RASIONALISME Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut: Humanisme Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme humanisme yang antroposentrik. antroposentrik.
Atheisme Atheisme Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis rasionalis adalah atheis. Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, misalnya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer. Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual. Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang ditentang rasionalisme kontinental sama sama sekali.
EMPIRISISME Empirisisme adalah suatu aliran falsafah yang menyatakan bahawa semua pengetahuan diperolehi atau berdasarkan pengalaman. Dengan itu, ia juga menyatakan bahawa semua
kenyataan berkenaan pengetahuan terhadap dunia hanya boleh dijustifikasikan oleh pengalaman. Epicurus adalah tokoh Yunani yang menyebarkan aliran rasionalisme berpendapat bahawa pancaindera adalah asas kepada ilmu yang benar. Pendirian yang sama juga didukung oleh golongan stoisisme, yang mendakwa bahawa sejak manusia dilahirkan jiwanya ibarat kain kosong (empty tablets) tetapi akan menerima corak yang mewarnainya. Corak ini akan membentuk imej-imej yang seterusnya melahirkan fikiran-fikiran teretentu. Baik Epicurus mahupun stoicisme meyakini bahwa ilmu berpunca dari pancaindera, atau dari luar, bukannya dari akal fikiran. Tokoh-tokoh Barat moden yang mengembangkan aliran empirisisme ialah John Locke (16321714), yang menganggap manusia dilahirkan dengan akal yang kosong, yang baru dicorakkan oleh pengalamaan indera kemudiannya. Aliran ini turut didokong oleh David Hume (1711-1776) dan Auguste Comte. Kemuncak aliran emperisisme ialah kemunculan aliran positivisme oleh Auguste Comte menerusi tiga teori tiga proses sejarah manusia, yang bermula dengan tahap teologi, diikuti tahap metafisik dan akhirnya tahap positif. Pada tahap positif inilah manusia dikatakan tidak lagi memerlukan agama dan spekulasi falsafah, sebaliknya lebih memerlukan dan meyakini ilmu pengetahuan yang berasaskan pengalaman positif, iaitu melalui pancaindera. Selepas itu timbul aliran neo-positivisme yang menyambung tradisi empirisisme Comte, yang dikembangkan oleh kelompok Vienna Circle yang menamakan aliran mereka positivisme logik atau empirisisme logik. Perkembangan aliran positivisme dalam bentuk ekstrem telah melahirkan aliran sensasionalisme yang hanya mengandalkan pada pengalaman indera sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang sah dan benar. Antara tokoh-tokoh aliran sensasioanlisme ialah dari Perancis seperti Condillac (1715-1780), Helvitius (1715-1771). Dalam menghadapi pertentangan di antara aliran rasionalisme dan aliran empirisisme, maka muncul pula aliran falsafah idealisme Immanuel Kant yang cuba untuk menggabungkan kedua-dua unsur rasionalisme dan empirisisme sebagai dua sumber yang saling melengkapi di antara satu sama lain. Bagi Kant, kedua-dua sumber adalah benar dari sudutnya masing-masing. Justeru, idealisme Kant dianggap aliran epistemologi yang bersifat sederhana, yang cuba membentuk sintesis antara rasionalisme dan empirisisme. Kant menegaskan dalam bukunya, Critique of Pure Reason,
FENOMENOLOGI Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764). ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata. Dalam pendekatan sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. G.W.F. Hegel dan Edmund Husserl adalah dua tokoh penting dalam pengembangan pendekatan filosofis ini.
STRUKTURALISME Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa semua masyarakat dan kebudyaan memiliki suatu struktur yang sama dan tetap.[1] Strukturalisme juga adalah sebuah pembedaan secara tajam mengenai masyarakt dan ilmu kemanusiaan dari tahun 1950 hingga 1970, khususnya terjadi di Perancis. Strukturalisme berasal dari bahasa Inggris, structuralism; latin struere (membangung), structura berarti bentuk bangunan. Trend metodologis yang menyetapkan riset sebagai tugas menyingkapkan struktur objek-objek ini dikembangkan olerh para ahli humaniora. Struktualisme berkembang pada abad 20, muncul sebagai reaksi terhadap evolusionisme positivis dengan menggunakan metode-metode riset struktural yang dihasilkan oleh matematika, fisika dan ilmu-ilmu lain.
Tujuan dari Strukturalisme Tujuan Strukturalisme adalah mencari struktur terdalam dari realitas yang tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan secara ilmiah (obyektif, ketat dan berjarak). Ciri-ciri itu dapat dilihat strukturnya: Bahwa yang tidak beraturan hanya dipermukaan, namun sesungguhnya di balik itu terdapat sebuah mekanisme generatif yang kurang lebih konstan. Mekanisme itu selain bersifat konstan, juga terpola dan terpola dan terorganisasi, terdapat blok blok unsur yang dikombinasikan dan dipakai untuk menjelaskan yang dipermukaan. Para peneliti menganggap obyektif, yaitu bisa menjaga jarak terhadap yang sebenarnya dalam penelitian mereka. Pendekatan dengan memakai sifat bahasa, yaitu mengidentifikasi unsur-unsur yang bersesuaian untuk menyampaikan pesan. Seperti bahasa yang selalu terdapat unsur-unsur mikro untuk menandainya, salah satunya adalah bunyi atau cara pengucapan.
Strukturalisme dianggap melampaui humanisme, karena cenderung mengurangi, mengabaikan bahkan menegasi peran subjek.
Masa Strukturalisme Tahun 1966 digambarkan oleh Francois Dosse dalam bukunya Histoire du Structuralism sebagai tahun memancarnya strukturalisme di Eropa, khususnya di Prancis. Perkembangan strukturalisme pada tahun 1967-1978 digambarkan sebagai masa penyebaran gagasan strukturalisme dan penerangan tentang konsep strukturalisme serta perannya dalam ilmu pengetahuan. Ciri-ciri Strukturalisme Ciri-ciri strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui penyelidikan, penyingkapan tabiat, sifat-sifat yang terkait dengan suatu hal melalui pendidikan. Ciri-ciri itu bisa dilihat dari beberapa hal; hirarki, komponen atau unsur-unsur, terdapat metode, model teoritis yang jelas dan distingsi yang jelas. Para ahli strukturalisme menentang eksistensialisme dan fenomenologi yang mereka anggap terlalu individualistis dan kurang ilmiah. Salah satu yang terkenal adalah pandangan Maurice Meleau-Ponty yang menentang fenomenologi dan eksistensialisme tubuh manusia. Pounty menekankan bahwa hal yang fundamental dalam identitas manusia adalah bahwa kita adalah objek-objek fisik yang masing-masing memiliki kedudukan yang berbeda-beda dan unik dalam ruang dan waktu.[4] Tokoh-tokoh Paham Strukturalis Ferdinand De Saussure dalam linguistik. Sebagai penemu stuktur bahasa, Saussure berargumen dengan melawan para sejarawan yang menang yang pendekatan filologi. Dia mengajukan pendekatan ilmiah, yang didekati dari sistem terdiri dari elemen dan peraturannya dalam pembuatannya yang bertujuan menolong komnunikasi dalam masyarakat. Dipengaruhi oleh Emile Durkheim dalam sebuah social fact , yang berdasar pada objektivitas di mana psikologi dan tatanan sosial dipertimbangkan. Saussure memandang bahasa sebagai gudang (lumbung) dari tanda tanda diskusif yand dibagikan oleh sebuah komunitas. Bahasa bagi Saussure adalah modal interpretasi utama dunia, dan menuntut suatu ilmu yang disebut semiologi.
Levi-Strauss dalam masyarakat. Metode Strauss adalah anthropologi dan linguistik secara serempak. Unsur-unsur yang digelutinya adalah mengenai mitos, adat-istiadat, dan masyarakatnya sendiri. Dalam proses analisisnya, manusia kemudian dipandang sebagai suatu porsi dari struktur, yang tidak dikonstitusikan oleh analisis itu, melainkan dilarutkan dengan analisis. Perubahan penekanan dari manusia ke struktur merupakan ciri umum pemikiran strukturalis.
L.S Vygostsky, Jacques Lacan dan Jean Piaget dalam psikologi. Jacques Lacan (Freudian) dalam psikologi menggambarkan pekerjaan Saussure dan LeviStrauss untuk menekankan pendapat Sigmund Freud dengan bahasa dan argumen yang, sebagai sebuah tatanan kode, bahasa dapat mengungkapkan ketidaksadaran orang itu. Hal ini masalah, bahwa bahasa selalu bergerak dan dinamis, termasuk metafora, metonomi, kondensasi serta pergeserannya. Jean Piaget sendiri menggambarkan Strukturalismenya sebagai sebuah struktur yang terpadu, yaitu yang unsur-unsurnya adalah anggota dari sistem di luar struktur itu sendiri. Sistem itu ditangkap melalui kognisi anggota masyarakat sebagai kesadaran kolektif.
Frege, Hillbert dalam meta-logika meta-matematika. Roland Berthes menerapkan analis strukturalis pada kritik sastra dengan menganggap berbagai macam ekspresi atau analisis bahasa sebagai bahasa yang berbeda-beda. Tugas kritik sastra adalah terjemahan, yaitu mengekspresikan sistem formal yang telah dibentangkan penulisnya dengan suatu bahasa. Hal ini terkait dengan kondisi zamannya. Michel Foucault dalam filsafat. Strukturalisme modern atau poststrukturalisme dalam bidang filsafat adalah dengan mendekati subjektivitas
dari
generasi
dalam
berbagai
wacana
epistemik
dari
tiruan
maupun
pengungkapannya. Sebagaimana peran isntitusional dari pengetahuan dan kekausaan dalam produksi dan pelestarian disiplin tertentu dalam lingkungan dan ranah sosial juga berlaku pendekatan itu. Dalam disiplin ini, Focault menyarankan, di dalam perubahan teori dan praktek dari kegilaan, kriminalitas, hukuman, seksualitas, kumpulan catatan itu dapat menormalisasi setiap individu dalam pengertian mereka.
DEKONSTRUKSI
Seiring pergerakan waktu, pergerakan pendulum dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan mengalami berbagai bentuk evolusi. Sebagaimana yang telah ditelaah secara menyeluruh, ilmu pengetahuan sendiri merupakan sebuah akumulasi fakta, teori dan metode yang dihimpun oleh para tokoh tertentu sebagai pencetus ilmu tersebut dalam suatu metode tertentu (NorbergSchulz, 1984). Demikian pula dalam bidang arsitektur, Lloyd & Scott (1997) menyebutkan bahwa perkembangan arsitektur sejalan dengan kebudayaan manusia baik pola pikir maupun pola hidupnya. Dalam perkembangan arsitektur pada era post-modern, terdapat beberapa kelompok pemikiran. Seperti yang disebutkan oleh Sugiharto (1996), ada satu kelompok yang lebih memfokuskan pada pemikiran yang terkait erat dengan dunia sastra dan persoalan linguistik. Pemikiran dari kelompok ini cenderung hendak mengatasi sebuah gambaran dunia modern melalui gagasan yang sama sekali anti gambaran dunia. Kata kunci yang populer untuk kelompok ini adalah ‟‟dekonstruksi‟‟.
Dekonstruksi dalam Arsitektur Dekonstruksi sendiri adalah sebuah konsep filosofi Perancis yang diturunkan oleh Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis, yang dalam aplikasi terapannya tidak mudah disampaikan sebagaimana pemahaman yang baku mengenai konstruksi, destruksi, dan rekonstruksi. Derrida mengajak semua orang termasuk arsitek untuk merenungkan kembali hakekat sesuatu karya agar berbicara menurut pesona dan kapasitasnya masing –masing. Keseluruhan ini berangkat dari suatu metoda komposisi. Derrida menyebutkannya dalam merajut rangkaian hubungan – hubungan keterkaitan. Dalam tekniknya terdapat beberapa teknik dan terminologi yang perlu klarifikasi di sini. Usaha demikian diharapkan dapat memperjelas korelasi antara dekonstruksi dengan
arsitektur.
Diskontinuitas serta putusnya linearitas menghadirkan permainan dalam setiap komposisi karena apa yang digagas dan dibangun tidaklah berdiri sendiri (Adorno, 1997). Gagasan yang dituangkan dalam komponen komposisi yang sebenarnya dikutip dari rujukan di tempat lain. Bentuk atau rupa material – konstruksi - lokasi. Jadi tidak pernah komponen komposisi berdiri sendiri yang lahir dan tercipta dari ruang hampa. Differance mengangkat permasalahan komposisi yang terdiri atas “citatioans” atau kutipan – kutipan ke dalam suatu komposisi. Dengan komposisi sebenarnya orang melihat dan merasakan suatu representsi pentunjuk yang hadir dengan rujukan yang tidak hadir (entah di mana). Komposisi ini memberikan suatu gambaran fragmen – fragmen dari sumbernya yang “meng-ada” di suatu lokasi dan tampil seolah – olah utuh dan stabil sebagai sosok mandiri. Rujukan gagasan bentuk atau rupa
misalnya, tidak pernah lepas dari keinginan untuk memenuhi “kebutuhan” manusia. Atas dasar merujuk pada sumber – sumber tidak hadir itulah sebuah komposisi “meng-ada”. Dengan itu pula apa yang hadir sebenarnya memberikan “jejak” kepada sumber – sembernya. Interpretasi komposisi menurut prinsip differance tidak mungkin dilakukan tanpa membaca atau menelusuri jejak – jejak yang hadir ke dalam sumber mereka. Hasil dari komposisi yang lahir dengan hadirnya jejak – jejak tersebut oleh Derrida dalam Adorno (1997) disebut dissemination. Dalam aspek kajian fenomenologi, dekonstruksi dipandang sebagai upaya atau metoda kritis, tidak hanya berupaya merombak dan menstrukturkan kembali berbagai bangunan teori atau karya - karya lewat elemen, struktur, infrastruktur maupun konteksnya. Lebih dari itu, kekuatan – kekuatan yang berperan pada konsep yang bersangkutan akan: dilucuti segala macam atributnya, dikupas habis, dilacak asal usul dan perkembangannya, dicari keterkaitannya dengan konsep – konsep lain, digelar kemungkinan – kemungkinan posisi maupun kontribusinya terhadap segala hal. Semua proses tersebut dimaksudkan untuk membangun kembali karakteristik fenomenalnya. Dalam pembangunan kembali tersebut, ekspose dari „interplay‟ kekuatan – kekuatan melalui kontradiksi – kontradiksi, kesenjangan – kesenjangan, decomposition,
disjunction,
discontinuity,
dan
deformation,
merupakan
cara
untuk
memperlihatkan kemungkinan – kemungkinan “ada” dan “mengada”. Arsitektur dekonstruksi merupakan pengembangan dari arsitektur modern. Munculnya arsitektur dekonstruksi sekitar tahun 1988 dalam sebuah diskusi Academy Forum di Tate Gallery, London. Kemudian disusul oleh pameran di Museum of Art, New York dengan tema “Deconstructivist Archiecture” yang diorganisir oleh Philip Johnson dan terdapat tujuh arsitek yang menampilkan karya-karyanya, yaitu; Peter Esienman, Bernard Tschumi, Daneil Libeskind, Frank Gerhy, Zaha Hadid, Rem Koolhaas, dan Coop Himmelblau. Gejala “Dekon” dalam arsitektur telah menjadi tema perdebatan yang hangat dengan karya-karyanya yang mendobrak aturan-aturan yang berlaku. Pada 8 April 1988 dalam “international Symposium on Deconstruction” yang diselenggarakan oleh Academy Group di Tate Gallery, dikukuhkan bahwa dekonstruksi bukanlah gerakan yang tunggal atau koheren, meski banyak diwarnai oleh kemiripan – kemiripan formal di antara karya arsitek yang satu dengan yang lainnya. Dekonstruksi tidak memiliki ideologi ataupun tujuan
formal,
kecuali
semangat
untuk
membongkar
kemapaman
dan
kebakuan.
Aliran dekonstruksi mulanya berkembang di kalangan arsitek Perancis dan Inggris, kemudian oleh Philip Johnson dan Mark Wigley melalui sebuah pameran yang bertema deconstructivist Architecture” yang di selenggarakan di Museum of Art, New York, tanggal 23 Juni – 30 Agustus 1988 mencetuskan „dekonstruktivisme‟ yang lebih berkonotasi pragmatis dan formal serta
berkembang di Amerika. Telaah dan pemahaman dekonstruksi memerlukan suatu kesiapan untuk belajar menerima beberapa kemungkinan phenomena. Syarat dari semua ini berdiri di atas keterbukaan dan kesabaran. Keterbukaan membiarkan phenomena berbicara langsung tanpa prekonseosi. Kesabaran memberikan ruang kepada orang untuk mendengar lebih cermat dan
seksama.
Deconstruction sebuah konsep Perancis yang diturunkan oleh Jacques Derrida (lahir 1921) tidak mudah disampaikan sebagaimana pemahaman orang tentang konstruksi, destruksi, dan rekonstruksi. Derrida mengajak semua orang termasuk arsitek untuk merenungkan kembali hakekat sesuatu karya agar berbicara menurut pesona dan kapasitasnya masing –masing. Keseluruhan ini berangkat dari suatu metoda komposisi. Derrida menyebutkannya dalam merajut rangkaian hubungan – hubungan. Dalam tekniknya terdapat beberapa teknik dan terminologi yang perlu klarifikasi di sini. Usaha demikian diharapkan dapat memperjelas hubungan
Deconstruction
dan
Rancang
bangunan.
Konsep utama memproduksi atau mengadakan karya bertolak dari konsep yang oleh Derrida pada kasus literatur disebut differance. Dalam rancang bangun konsep ini tidak dapat dipahami sebagai suatu pendekatan yang membuka pemikiran bahwa karya bukanlah semata – mata representasi yang direduksi sebagai alat menyampaikan gagasan atau pesan. Merancang karya diharapkan memberi peluang agar kemungkinannya berbicara bisa merdeka dari prinsip dominasi. Differance memahami setiap komponen bahkan elemen dari komposisi sebagai suatu potensi yang tidak terpisahkan keberadaan, peran dan fungsinya dalam kesemestaan. Artinya mereka tidak hanya sebagai suatu alat untuk menunjuk pada sesuatu gagasan atau ingatan atau nilai tertentu. Diferance memberikan pemahaman baru bagaimana melihat elemen rancangan rancang bangun dalam sebagai batas – batas wilayah yang mengkaitkan : manusia-materialkonstruksi-rupa/bentuk dan tempat. Rancang bangunan sebagai suatu keutuhan dan aspek – aspeknya adalah jejak – jejak dari suatu kesemestaan yang mampu berbicara sendiri sebagai pembangun pemahaman dunia. Seperti halnya suatu „text‟ rancang bangunan marupakan suatu komposisi yang berosilasi di antara hadir dan absen. Dengan osilasi tersebut terjalin suatu yang terputus
–
putus
sebagaimana
pemahaman
kita
sebenarnya
akan
dunia
ini.
Diskontinuitas dan putusnya linearitas menghadirkan permainan dalam setiap komposisi karena apa yang digagas dan dibangun tidaklah berdiri sendiri. Gagasan yang dituangkan dalam komponen komposisi yang sebenarnya dikutip dari rujukan di tempat lain. Bentuk/rupa material-konstruksi-lokasi. Jadi tidak pernah komponen komposisi berdiri sendiri yang lahir dan tercipta dari ruang hampa. Differance mengangkat permasalahan komposisi yang terdiri atas “ citatioans” atau kutipan – kutipan ke dalam suatu komposisi. Dengan komposisi sebenarnya orang melihat dan merasakan suatu representsi petunjuk yang hadir dengan rujukan
yang tidak hadir ( entah di mana ). Komposisi ini memberikan suatu gambaran fragmen – fragmen dari sumbernya yang “mengada” di suatu lokasi dan tampil seolah – olah utuh dan stabil sebagai sosok mandiri. Rujukan gagasan bentuk/rupa misalnya, tidak pernah lepas dari keinginan untuk melayani “kebutuhan” manusia. Atas dasar merujuk pada sumber – sumber tidak hadir itulah sebuah komposisi “meng-ada”. Dengan itu pula apa yang hadir sebenarnya memberikan “jejak” kepada sumber – sembernya. Interprestasi komposisi menurut prinsip differance tidak mungkin dilakukan tanpa membaca atau menelusuru jejak – jejak yang hadir ke sumber – sumber mereka. Hasil dari komposisi yang lahir dengan hadirnya jejak – jejak tersebut
oleh
Derrida
disebut
Dissemination.
Deconstruction sebagai upaya atau metoda kritis, tidak hanya berupaya membongkar bangun – bangun teori atau karya lewat elemen, struktur, infrastruktur maupun contextnya. Lebih dari itu, kekuatan – kekuatan yang berperan pada konsep yang bersangkutan akan: dilucuti atribut – atributnya, dikupas habis hingga telanjang bulat, dilacak asal usul dan perkembangannya, dicari kaitan – kaitannya dengan konsep – konsep lain, digelar kemungkinan – kemungkinan posisi maupun kontribusinya terhadap apa saja. Semua proses pembongkaran tersebut dimaksudkan untuk membangun kembali karakteristik phenomenalnya. Dalam pembangunan kembali tersebut, ekspose dari „interplay‟ kekuatan – kekuatan melalui : kontradiksi – kontradiksi, kesenjangan – kesenjangan, decomposition, disjunction, discontinuity, dan deformation, merupakan cara untuk memperlihatkan kemungkinan – kemungkinan “ada” dan “mengada”. Daya tarik deconstruction bagi dunia rancang bangun terletak di dalam cara melihatnya bahwa ruang dan bentuk adalah tempat kejadian yang selayaknya terbuka bagi yang mungkin dan yang tidakmungkin. Derrida secara jelas menolak gagasan bahwa penerapan deconstruction akan menjadi semacam “aliran” atau “langgam” baru pada seni bangunan. Tetapi pada keny ataannya adalah tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang disebut arsitektur dekonstruksi akan memberikan dan membawa arsitek kepada arah dan gerakan yang baru Tokoh Arsitek : 1.
Jacques Derrida
Post structuralism dianalogikan dengan suatu teks atau bahasa. Sebuah kata terstruktur menjadi sebuah bahasa yang dapat membentuk sebuah interpretasi/penafsiran. Pada pengertian ini, Jacques terpengaruh oleh tokoh pendapat Ferdinand de Saussure,“that meaning was to be found within the structure of a whole language rather than in the analysis of
individual
words.”
Jacques juga berpendapat bahwa kita tidak bisa mendapatkan akhir dari penafsiran sebuah
kalimat-sebuah kebenaran, karena semua kalimat memiliki banyak arti dan berbeda-beda. Tetapi ada sebuah kemugkinan tentang penafsiran yang berlawanan dan tidak ada suatu jalan yang tidak tertafsirkan untuk menjelaskan keberadaan penafsiran yang berlawanan ini. Jacques mengembangkan paham dekonstruksi untuk uncovering interpretasi/penafsiran teks yang beragam. Semua kalimat memiliki ambiguitas sehingga untuk mendapatkan final interpretation adalah sesuatu yang mustahil. • Post structuralism : Deconstruction • Filosofis panutan : Plato, FreudRousseau, Saussure Sebagai sebuah konsep, Dekonstruksi adalah semangat. Gagasan Derrida adalah ide untuk melakukan perlawanan untuk selamanya. Ia bersifat anti-kemapanan. Itu artinya, ia juga tidak mencari sebuah kemapanan baru. Sebagai sebuah energi, Dekonstruksi berkehendak melenting bebas tidak beraturan. Ia bukan logos, jadi jangan jadikan sebuah konstruksi. Benar bahwa Dekonstruksi Derrida telah diadopsi dalam arts. Dalam seni instalasi, dalam politik, juga dalam arsitektur. Namun demikian, Dekonstruksi bukanlah sebuah logos, ia bukanlah sebuah pakem. Melainkan, sebuah
dorongan
untuk
memberontak.
Aku ingin menggunakan analogi bangunan rumah: Dalam rangka bangunan pasti ada beberapa sambungan, misalnya saja di atap. Nah, dekonstruksi adalah upaya untuk mengupas plester-plester atau plafonnya, kemudian kita mengamati dengan teliti setiap sambungan rangka bangunan hingga kita menemukan kesalahan-kesalahan di setiap sambungan. Itulah dekonstruksi; menunjukkan kesalahan. Dengan terus-menerus. Mencari sebuah kesadaran, kritis, dan wataknya ; membangunkan! Tetapi tidak akan pernah mencapai konstruksi baru, dan tidak akan pernah selesai. 2. Bernard Tschumi • Dekonstruksi merupakan Analisis (dari tanpa menjadi apa) • Architecture of events : tak ada arsitektur tanpa events, tanpa action, tanpa activity, tanpa function; arsitektur harus terlihat sebagai kombinasi ruang, events dan pergerakan, tanpa hirarki atau preseden apapun diantara ketiganya • Arsitektur menggabungkannya dalam kombinasi preseden programatik 1. Crossprogramming : penerapan suatu program pada suatu konfigurasi ruang yang tidak semestinya, misal : kafe untuk sinema. 2. Transprogramming : mengkombinasikan 2 program kegiatan tanpa memperdulikan ketidaksesuaian, misal : perpustakaan dan sinema
3. Disprogramming : mengkombinasikan 2 program sehingga konfigurasi spasial program A mengkontaminasi program dan konfigurasi spasial program B; misal : program sinema untuk fasilitas komersial. 3. Coop Himelb(l)au • Prosedur kerja : menerpkan teori “generative power of language” (pemahahaman yang diambil dari Jacques) • Penerapannya : Kedua memulai proses rancangan dengan „obrolan yang berkepanjangan‟ yang disertai dengan coretan terus menerus sampai tindakan komunikatif tertentu mereka berhenti dan sketsa (coretan) dihasilkan. 4. Eisenman • Gianni Vattimo was talking about, with weak forms, la forma debole, which means that image is not so important but ideas are. • What I'm trying to do is to express ideas in my work, so that when people experience the work
they
say
'why
is
it
like
this?'
(Pendapat eisenmen) • contoh : Dianalogikan seperti sebuah film. Pada umumnya orang film menonjolkan sisi
1.
visual tetapi eisenmen berpendapat bahwa menikmati sebuah film tidak hanya menggunakan visual saja. Sehingga einsmen menganalisis bahwa sebuah film seharusnya juga dinikmati melalui indra lainnya dengan porsi yang lebih besar daripada indra visual 2.
Analogi seperti sebuah ruang. Eismen ingin membuat sebuah ruang dengan pemikiran ”dari tanpa menjadi ada”.
KONTEKSTUALISME Latar Belakang Kontekstualisme muncul dari penolakan dan perlawanan terhadap arsitektur modern yang antihistoris, monoton, bersifat industrialisasi, dan kurang memperhatikan kondisi bangunan lama di sekitarnya. Kontekstualisme selalu berhubungan dengan kegiatan konservasi dan preservasi karena berusaha mempertahankan bangunan lama khususnya yang bernilai historis dan membuat koneksi dengan bangunan baru atau menciptakan hubungan yang simpatik, sehingga menghasilkan sebuah kontinuitas visual.
Definisi Kontekstualisme Brent C Brolin dalam bukunya Architecture in Context (1980) menjelaskan, kontekstualisme adalah kemungkinan perluasan bangunan dan keinginan mengaitkan bangunan baru dengan lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, kontekstualisme merupakan sebuah ide tentang perlunya tanggapan terhadap lingkungannya serta bagaimana menjaga dan menghormati jiwa dan karakter suatu tempat.
Kontekstualisme bukan meniru bangunan lama !
Bagaimana penerapan kontekstualisme dalam sebuah bentuk desain arsitektur?
Karakteristik Desain Kontekstual
Bangunan kontekstual tidak berdiri sendiri dan berteriak “Lihatlah Aku!” tetapi bahkan cenderung menjadi suatu bangunan yang bersifat latar belakang.
Teknik mendisain dengan faham Kontekstualisme dapat dikembangkan untuk dapat memberikan jawaban khususnya untuk kondisi-kondisi yang bersifat morfologis, tipologis, dan pragmatis menjadi bersifat pluralistik dan fleksibel.
Selain itu juga bukan dogmatis rasional atau terlalu berorientasi pada kaidah-kaidah yang terlalu universal.
Kriteria Kontekstualisme
Fit (pas) pada lingkungannya
Merespons lingkungannya
Menjadi perantara bagi lingkungannya
Mungkin melengkapi pola implisit dari lay-out jalan atau memperkenalkan sesuatu yang baru
Beberapa Variasi Pendekatan Desain Kontekstual
Mengambil motif-motif desain setempat : bentuk massa, pola atau irama bukaan, dan ornamen desain.
Menggunakan bentuk-bentuk dasar yang sama, tetapi mengaturnya kembali sehingga tampak berbeda.
Melakukan pencarian bentuk-bentuk baru yang memiliki efek visual sama atau mendekati yang lama.
Mengabstraksi bentuk-bentuk asli (kontras).
Arsitek yang Menerapkan Kontekstualisme dalam Karyanya
The Museum of Fine Arts in Boston : Foster & Spencer de Grey
Lowell's Beaux Arts, Pyramid de Louvre :I M Pei
Manhattan's Morgan Library : Renzo Piano
Steven Holl
Hardy Holzman Pfeiffer
Tod Williams Billie Tsien
Justus Dahinden
Kegagalan Arsitektur Menurut Penganut Paham Kontekstualism
Kurangnya pengertian tentang urban context
Penekanan yang berlebihan pada obyek dan bukannya pada jaringan (tissue) antar mereka
Mendisain dari dalam ke luar dan bukannya dari ruang luar (eksterior) ke dalam.
PHENOMENOLOGY A. The phenomenon of place 1.
Phenomena :hal yang terdapat di dunia setiap harinya.
2.
Place : bentuk concrete dari sekitar, Segala sesuatu yang ada dapat menentukan karakter sekitar. Tidak hanya terdiri dari sesuatu yang dapat dilihat tetapi juga terdiri dari sesuatu yang dapat dirasakan.
3.
Phenomena yangada dapat menjelaskan space dan karakter yang ada.
4.
Phenomenologi memilki pokok- pokok yang mengenai ontologi, psycologi, ethics, dan estetika.
5.
Space Space artian tiga dimensi yang biasa disebut concrete space yaitu penglaman sehari hari
6.
Karakter Karakter ditentukan oleh faktor material dan peraturan formal pada suatu wilayah. Suatu wilayah yang berbeda akan menciptakan karakter yang berbeda pula.
7.
Georg Trakl menjelaskan suatu phenomena dalam kehidupan sebagai sesuatu yang berisi suatu karakter dan space. Melakukan pendekatan terhadap fenomena yang terjadi sesuai kejadian yang kongkret.
B. Spirit of place 1.
Meliputi keunikan, kekhususan maupun semacam penghargaan terhadap sebuah
tempat
2.
Spirit of place mampu memberikan identitas bagi suatu wilayah „place‟
3.
Spirit of place dari sebuah wilayah mampu terbentuk apabila manusia yang merasakan
spirit of place „to be dwel‟ di tempat tersebut. 4.
Faktor
yang
mempengaruhi
spirit
of
place
1. Orientation = to know where he is 2. Identification= to know how he is in a certain place 3. Orientation dan identification menjadi aspek yang dari sebuah hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Tanpa sebuah identification yang benar maka tidaklah mungkin manusia mengetahui orentasinya. 4. Dalam masyarakat modern orientation lebih diutamankan dan tidak berjalan seimbang dibanding identification, akibatnya „psychologycal sense‟ berubah menjadi „alienation‟ (pengasingan) Dwell/mendiami/bertempat tinggal 1. Dwell berasal dari kata dvelja yang artinya masih melekat atau mengingatkan 2. Dwell berarti menjadi nyaman di tempat yang aman 3. Ketika manusia mendiami sebuat tempat maka secara serempak dia berada di tempat itu dan mampu melihat karakter dari lingkungannya.