PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun – pemikiran yang norma kenegaraan lainnya. Terkandungn didalamnya suatu pemikiran – pemikiran bersifat kritis, mendasar, rasional dan komprehensif ( menyeluruh ) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. – dasar yang bersifat fundamental dan Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar – dasar universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai – nilai tersebut kemudian di jabarkan dalam suatu norma n orma – – norma norma yang jelas sehingga mereupakan suatu pedoman. Norma – Norma – norma norma tersebut meliputi : a) Norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. b) Norma hukum yaitu suatu sistem peraturan perundang- undangan yang berlaku di indonesia. Dalam pengertian inilah maka pancasila berkedudukan sebagai sebagai sumber dari segala sumber hukum di negar Indonesia. A. Pengertian Etika Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan dengan pelbagai ajaran moral. Etika merupakan m erupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran – ajaran – ajaran ajaran dan pandangan – pandangan – pandanga pandangan n moral. Etika temasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. a) Etika Umum mempertanyakan prinsip – prinsip – prinsip prinsip yang berlaku bagi setiap tindakkan manusia b) Etika khusus membahas prinsip – prinsip – prinsip prinsip itu dalam hbugannya dengan pelbagai aspek kehidupan manusia. Etika khusus dibagi dua yaitu : (a) Etika Individual membahas tentang kewajibn manusia terhadap diri sendiri. (b) Etika Sosial membahs tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus. B. Pengertian Nilai, Norma dan Moral 1. Pengertian Nilai Di dalam Dictionary of sosiology and Related Sciences dikemukakan dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok, ( the believed capacity of any object to statistfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri. Misalnya : bunga itu indah, perbuatan itu susila. Indah, susila adalah sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Dengan demikian maka nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang “ tersembunyi” di balik kenyataan – kenyataan – kenyataan lainnya. Ada nilai itu karena adanya kenyataan – kenyataan – kenyataan kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wartrager). Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita – cita – cita, cita, harapan – harapan – harapan, harapan, dambaan – dambaan – dambaan dambaan dan keharusan. keharusan. Berbicara tentang nilai berarti b erarti berbicara tentang das Sollen, bukan das Sein, kita kit a masuk kerokhanian bidang makna normatif, bukan kognotif, kita msuk ke dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun demikian, diatara keduannya saling berhubungan atau saling berkait secara erat, artinya bahwa das Sollen itu i tu harus menjelma menjadi das Sein, yng ideal – hari yang harus menjadi real, yang normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari – hari merupakan fakta.
2. Hierarki Nilai Max Sceler mengemukakan bahwa nilai – nilai – nilai nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Menurut tinggi rendahya, rendahya, nilai – nilai – nilai nilai dapat dikelompokkan dalam tingkatan sebagai berikut: a) Nilai – Nilai – nilai nilai kenikmatan : dalam tingkatn ini terdapat deretan nilai – nilai – nilai nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan b) Nilai – Nilai – nilai nilai kehidupan : dalam tingkat ini terdapatlah nilai – nilai – nilai nilai yang penting bagi kehidupan c) Nilai – Nilai – nilai nilai kejiwan : dalam tingkat ini trdapat nilai – nilai – nilai nilai kejiwaan yang sama sekali s ekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan li ngkungan d) Nilai – Nilai – nilai nilai kerohanian : dalam tingkat ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci dn tak suci. Walter G . everet menggolongkan nilai – nilai – nilai nilai manusiawi kedalam delapan kelompok yaitu: a) Nilai – Nilai – nilai nilai ekonomis b) Nilai – Nilai – nilai nilai kejasmanian c) Nilai – Nilai – nilai nilai hiburan d) Nilai – Nilai – nilai nilai sosial e) Nilai – Nilai – nilai nilai watak f) Nilai – Nilai – nilai nilai estetis g) Nilai – Nilai – nilai nilai intelektual h) Nilai – Nilai – nilai nilai keagamaan Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu: a) Nilai Material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan kehidupan jasmani manusia atau kebutuhan material ragawi manusia b) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan mengadakan kegiatan atau aktivitas. c) Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerokhanian ni dapat dibagi menjadi empat macam: (a) Nilai kebenaran, bersumber dari pada akal manusia (b) Nilai keindahan, bersumber pada unsur perasaan (c) Nilai kebaikan, bersumber pada unsur kehendak (d) Nilai religius, bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia Dari uraian mengenai macam – macam – macam macam nilai diatas, dapat dikemukakan pula bahwa yang mengandung nilai itu bukn hanya sesuatu yang bewujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non material atau immatrial. Notonagoro berpendapat bahwa nilai – nilai pancasila tergolong nilai – nilai – nilai nilai kerokhanian, tetapi nilai – nilai – nilai nilai kerohanian yang – nilai lain secara lengkap mengakui adanya nilai material dan vital. Dengan demikian nilai – nilai dan harmonis, baik nilai matrial, nilai vital, nilai kebenaran, kebenaran, nilai keindahan, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nili kesucian yang sistematika-hierarkis, sistematika-hierarkis, yang dimulai dari sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai „dasar‟ sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai „tujuan‟
2. Hierarki Nilai Max Sceler mengemukakan bahwa nilai – nilai – nilai nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Menurut tinggi rendahya, rendahya, nilai – nilai – nilai nilai dapat dikelompokkan dalam tingkatan sebagai berikut: a) Nilai – Nilai – nilai nilai kenikmatan : dalam tingkatn ini terdapat deretan nilai – nilai – nilai nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan b) Nilai – Nilai – nilai nilai kehidupan : dalam tingkat ini terdapatlah nilai – nilai – nilai nilai yang penting bagi kehidupan c) Nilai – Nilai – nilai nilai kejiwan : dalam tingkat ini trdapat nilai – nilai – nilai nilai kejiwaan yang sama sekali s ekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan li ngkungan d) Nilai – Nilai – nilai nilai kerohanian : dalam tingkat ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci dn tak suci. Walter G . everet menggolongkan nilai – nilai – nilai nilai manusiawi kedalam delapan kelompok yaitu: a) Nilai – Nilai – nilai nilai ekonomis b) Nilai – Nilai – nilai nilai kejasmanian c) Nilai – Nilai – nilai nilai hiburan d) Nilai – Nilai – nilai nilai sosial e) Nilai – Nilai – nilai nilai watak f) Nilai – Nilai – nilai nilai estetis g) Nilai – Nilai – nilai nilai intelektual h) Nilai – Nilai – nilai nilai keagamaan Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu: a) Nilai Material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan kehidupan jasmani manusia atau kebutuhan material ragawi manusia b) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan mengadakan kegiatan atau aktivitas. c) Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerokhanian ni dapat dibagi menjadi empat macam: (a) Nilai kebenaran, bersumber dari pada akal manusia (b) Nilai keindahan, bersumber pada unsur perasaan (c) Nilai kebaikan, bersumber pada unsur kehendak (d) Nilai religius, bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia Dari uraian mengenai macam – macam – macam macam nilai diatas, dapat dikemukakan pula bahwa yang mengandung nilai itu bukn hanya sesuatu yang bewujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non material atau immatrial. Notonagoro berpendapat bahwa nilai – nilai pancasila tergolong nilai – nilai – nilai nilai kerokhanian, tetapi nilai – nilai – nilai nilai kerohanian yang – nilai lain secara lengkap mengakui adanya nilai material dan vital. Dengan demikian nilai – nilai dan harmonis, baik nilai matrial, nilai vital, nilai kebenaran, kebenaran, nilai keindahan, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nili kesucian yang sistematika-hierarkis, sistematika-hierarkis, yang dimulai dari sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai „dasar‟ sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai „tujuan‟
Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis a) Nilai Dasar Setiap nilai memiliki nilai dasar( dalam bahasa ilmiahnya disebut dsar onotologis), yaitu – nilai tersebut. Nilai merupakan hakikat, esensi, intisari, atau makna yang terdalam dari nilai – nilai dasar ini bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu Misalnya: hakikat Tuhan, Tuhan, manusia atau segala sesuatu lainnya. Jikalau nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan, Tuhan, maka nilai tersebut bersifat mutlak karena hakikat Tuhan adalah causa prima ( sebab pertama), sehingga segala sesuatu di ciptakan ( berasal) dari Tuhan. Demikian juga jiklau nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia, maka nilai – nilai – nilai nilai tersebut bersumber pada hakikat kodrat manusia, sehingga jikalau nilai – nilai – nilai nilai dasar kemanusiaan itu dijbarkan dalam norma hukum maka di istilahkan sebagai hak dasar ( hak asasi). Nilai Ni lai dasar dapt juga disebut sebagai sumber norma yang pada gilirannya dijabarkn atau direalisasikan dalam suatu kehidupan yang bersifat praksis. b) Nilai Instrumental Nilai Instrumental merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan. Bilaman nilai instrumental tersebut berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari – sehari – hari, hari, maka hal itu akan merupakan suatu norma moral. Namun jikalu nilai – nilai instrumental instrumental itu berkitan dengan suatu orgnisasi atau negara maka nilai – nilai itu merupakan suatu arahan, kebijaksanan atau strategi str ategi yang bersumber pada nilai dasar. dasar. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar. c) Nilai Praksis Nilai praksis pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam suatu kehidupan yang nyata. 3. Hubungan Nilai, Norma dan Moral Nilai adalah kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, manusia, bail lahir l ahir maupun batin. Dalam kehidupan manusia nilai di jadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik di sadari maupun tidak. t idak. Nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif. Sedangkan norma adalah wujud yang lebih konkrit dan lebih objektif. Dari berbagai macam banyak norma, norma hukumlah yang paling kuat keberlakuannya. Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan denga moral dan etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagi penuntun sikap dan tingkah laku manusia. Hubungan antara moral dn etika memang sangat erat sekali dan kadaangkala kadaangkala kedua hal tersebut disamakn begitu saja. Namun sebenarnya kedua hal tersebut memiliki perbedaan. perbedaan. Moral yaitu ajaran – ajaran – ajaran ajaran ataupun nasihat – nasihat – nasihat, nasihat, patokkan, kumpulan peraturan, baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Adapun Adapun di pihak etika adalah suatu cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran – ajaran – ajaran ajaran dan pandangan moral tersebut atau juga bagaimana yang di kemukakan de vos tahaun 1987, bahwa etika dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan pengetahuan tentang kesusilaan. Adapun Adapun yang dimaksud kesusilaan adalah identik dengan pengertian moral, sehingga etika pada hakikatnya adalah sebgai ilmu pengetahuan yang membahas tenntang prinsip – prinsip – prisip prisip moralitas. Hal ini dapat dianalogikan bahwa ajaran moral; sebagai buku petunjuk tentang bagaiman kita memperlakukan sebuah mobil dengan baik, sedangkan etika memberikan pengertian pada kita tentang struktur dn teknologi mobil
itu sendiri. C. Etika Politik Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Walopun dalam hubungannya denga masyarakat bngsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dsar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan agar etika politik bahwa kebaikan senantiasa di dasarkan pada hakikat manusia sebagai mahkluk yang beradab dan berbudaya. 1. Pengertian Politik Pengertian „politik‟ berasal dari kosakata „politics‟, yang memiliki mkna bermacam – macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau „ negara‟, yang menyangkut proses penentuan tujuan – tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan itu. Berdasarkan pengertian – pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep – konsep pokok yang berkaitan dengan negara ( state), kekuasaan ( power), pengambilan keputusan ( decision making), kebijaksanaan ( policy), pembagian ( distribution), serta alokasi ( allocation). Pengertian politik secara sempit, yaitu bidang politik lebih banyak berkaitan dengan para pelaksana pemerintahan negara, lembaga – lembaga tinggi negara, kalangan aktivis politik serta para pejabat serta birokrat dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara. Pengertian politik yang lebih luas, yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara. 2. Dimensi Politis Manusia a) Manusia sebagai Makhluk Individu – Sosial Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandan manusia sebagai makhluk individu yang bebas. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Kalangan kolektivisme merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja. Manusia di pandang sebagai sekedar srana bagi masyarakat. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filosofi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebgai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala aktivitas dan kreativitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini di karenakan manusia sebagai warga masyrakat atau sebagai makhluk sosial. Manusia di dalam hidupnya mampu ber-eksistensi karena orang lain dan ia hanya dapt hidup dan berkembang karena dalam hubungannya dengan orang lain. Segala keterampilan yang dibutuhkannya agar berhasil dalam segal kehidupannya serta berpartisipasi dalam kebudayaan diperolehnya dari masyarkat. Dasar filosofis sebagai mana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdpt dalm budaya bangsa, senantiasa mendasarkan ha kikat sifat kodrat manusia adalah bersifat „monodualis‟. Maka sifat serta ciri khas kebangsan dan kenegaraan indonesia, bukanlah totalitas individualistis ataupun sosialistis melainkan monodualistis b) Dimensi Politis Kehidupan Manusia Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagan hukum dan negara, sistem – sitem nilai serta ideologi yang memberikan legitmimasi kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagi makhluk individu dan sosial, dimensi politis manusia senntiasa berkaitan dengan kehidupan
negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitn dengan kehidupan masyrakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis mnakala diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadarn manusia akan dirin ya sendiri sebagai anggota masyarakat sebagai sutu keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan di tentukan kembali oleh kerangka kehidupanny serta ditentukan kembali oleh tindakan – tindakannya. Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundmental, yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakkan moral mnusia. 3. Nilai – Nilai Pancasila sebagai Sumber Etika Politik Sila pertama „Ketuhanan yang Maha Esa‟ serta sila kedua „ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab‟ adalah merupakan sumber nilai – nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negeri di jalankan sesuai dengan: a) Asas legalitas ( legitimasi hukum) b) Di sahkan dan dijalankan secara demokratis ( legitimasi demokratis) c) Dilaksanakan berdasarkan prinsip – prinsip moral / tidak bertentangan dengannya ( legitimasi moral). Pancasial sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasan, kenijaksanan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarka legitimasi moral religius ( sila 1 ) serta moral kemanusiaan ( sila 2). Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh krena itu „ keadilan‟ dalam hidup bersama ( keadilan sosial ) sebgai mana terkandung dalam sila 5, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan pnyelenggraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat ( sila 4). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena itu pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung pokok negara.
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA POLITIK 1. Pengertian etika sebagai salah satu cabang filsafat praktis.
Filsafat praktis. Cabang ini mencakup: " ilmu etika. yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup perseorang " ilmu ekonomi, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran di dalam negara. Etika merupakan kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada ) dan dibagi mejadi kelompok. Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Eika juga ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita harus belajar tentang etika dan mengikuti ajaran moral. Pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negara ini. Disetiap saat dan dimana saja kita berada kita diwajibkan untuk beretika disetiap tingkah laku kita. Seperti tercantum di sila ke dua “ kemanusian yang adil dan beadab” tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat berandil besar, Setiap sila pada dasarnya merupakan azas dan fungsi sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan. Maka bisa dikatakan bahwa fungsi pancasila sebagai etika itu sangatlah penting agar masyarakat harus bisa memilih dan menentukan calon yang akan menjabat dan menjadi pimpinan mayarakat dalam demokrasi liberal memberikan hak kepada rakyat untuk secara langsung memilih pejabat dan pemimpin tinggi (nasional, provinsi, kabupaten/kota) untuk mewujudkan harapan rakyat … ! dengan biaya tinggi serta adanya konflik horizontal. Sesungguhnya, dalam era reformasi yang memuja kebebasan atas nama demokrasi dan HAM, ternyata ekonomi rakyat makin terancam oleh kekuasaan neoimperialisme melalui ekonomi liberal. Analisis ini dapat dihayati melalui bagaimana politik pendidikan nasional (konsep : RUU BHP sebagai kelanjutan PP No. 61 / 1999) yang membuat rakyat miskin makin tidak mampu menjangkau.Bidang sosial ekonomi, silahkan dicermati dan dihayati Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 tentang PMDN dan PMA yang tertutup dan terbuka, yang mengancam hak-hak sosial ekonomi bangsa ! 2. Pemahaman konsep dan teori etika.
Menurut Kamus Besar Bhs. Indonesia (1995) Etika adalah Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Sepertinya pengertian Etika diatas kurang lengkap, karena nilai-nilai itu harus sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan. Etika adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral. * Menurut Maryani & Ludigdo (2001) “Etika adalah Seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi”. * Dari asal usul kata, Etika berasal dari bahasa Yunani „ethos‟ yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang baik. Perkembangan etika yaitu Studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. * Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Dalam mengkaji masalah etika diketahui terdapat 2 teori, yaitu : a. Teori konsekuensialis Kelompok teori yang konsekuensialis menilai baik-buruknya perilaku manusia atau benarsalah tindakannya sebagai manusia berdasarkan konsekuensi atau akibatnya. Yakni dilihat apakah perbuatan atau tindakan itu secara keseluruhan membawa akibat baik lebih banyak daripada akibat buruknya atau sebaliknya. Teori-teori etika konsekuensialis, karena dalam menilai perbuatan atau tindakan juga merujuk pada tujuan (dalam bahasa Yunani = telos) , juga disebut teori-teori etika teleologis. Teori-teori ini mendasarkan diri atas suatu keyakinan bahwa hidup manusia secara kodrati mengarah pada suatu tujuan. Baik-buruknya perilaku orang dinilai dari apakah perilaku itu menunjang proses pencapaian tujuan akhir hidupnya sebagai manusia dan merupakan bentuk perwujudan nilai-nilai yang dicita-citakan dalam hidupnya sebagai manusia, atau sebaliknya menghambat dan merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita tersebut. Termasuk dalam kelompok teori konsekuensialis dan teleologis adalah teori etika egoisme, eudaimonisme, dan utilarisme. Sesuai dengan arti dari kata konsekuen, yaitu etika tersebut sesuai dengan apa yang di katakan dan diperbuatnya. b. Teori non konsekuensialis Sedangkan yang non-konsekuensialis menilai baik buruknya perbuatan atau benar-salahnya tindakan tanpa memperhatikan kesekuenasi atau akibatnya, melainkan berdasarkan sesuai tidaknya dengan hukum atau standar moral. Sedangkan yang non-konsekuensialis kadang juga disebut teori etika deontologis, karena menekankan konsep kewajiban (dalam bahasa Yunani = deon) moral yang wajib ditaati oleh manusia sebagai makhluk rasional Sedangkan teori etika non-konsekuensialis yang akan dibahas dalam kursus ini adalah teori etika deontologis I. Kant dan etika nilai Max Scheler. 3. Pengertian Etika Politik berdasarkan nilai-nilai etika yang terkandung dalam Pancasila.
Etika politik sebagai cabang dari etika sosial dengan demikian membahas kewajiban dan norma-norma dalam kehidupan politik, yaitu bagaimana seseorang dalam suatu masyarakat kenegaraan ( yang menganut sistem politik tertentu) berhubungan secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat lain. Dalam melaksanakan hubungan politik itu seseorang harus mengetahui dan memahami norma-norma dan kewajiban-kewajiban yang harus di patuhi. Dan pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negara ini. Disetiap saat dan dimana saja kita berada kita diwajibkan untuk beretika disetiap tingkah laku kita. Seperti tercantum di sila ke dua “ kemanusian yang adil dan beadab” tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat berandilbesar.
Setiap sila pada dasarnya merupakan azas dan fungsi sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang sistematik. Pancasila adalah suatu kesatuan yang majemuk tunggal, setiap sila tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari sila lainnya, diantara sila satu dan lainnya tidak saling bertentangan. Secara etimologi, politik adalah strategi. Ia dapat dimaknai sebagai sebuah penggalian kemampuan manusia untuk menggunakan kemampuan daya pikirnya dalam upaya proses perubahan. Secara terminologi, politik berarti memerdekakan manusia dari segala bentuk ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, dan kebodohan. Maka, pada tataran substansi, politik tentu tidak kejam, ia juga tidak berisi permusuhan, apalagi penghancuran manusia. Politik mengenal etika, justru peduli terhadap kaum minoritas, kaum tertindas, dan berbicara atas kepentingan kolektif (masyarakat) secara jujur dan sungguh-sungguh. Politik tak beretika, salah satunya adalah karena makna politik t idak lagi dipahami sebagai sebuah distribusi kekuasaan yang salah satu agendanya adalah kesejahteraan rakyat. Berbicara politik lebih berorientasi untuk mengejar materi yang jembatannya adalah kekuasaan itu sendiri. Politik pun akhirnya bicara soal mata pencaharian yang instant. Kekuasaan politik dikejar tak lebih untuk memperoleh pekerjaan dan jabatan. Budaya politik yang cendrung antagonis itu, pada akhirnya sering membenarkan kekerasan sebagai panglima digjaya. Ketamakan dan kehausannya berwujud dalam sikap korupsi, pengabaian kemiskinan, kesenjangan sosial, keberagaman, impunity dan feodalisme kekuasaan yang mengangkangi hukum, dan pengabaian pada sejarah kekerasan di masa lalu dengan mengubur ingatan sosial. Mengingat tantangan etika politik ke depan adalah, soal kemiskinan, ketidakpedulian, korupsi, kekerasan sosial, terutama terhadap perempuan, maka banyak strategi yang harus dilakukan. Pertama, meretas etika politik itu sedini mungkin melalui lingkungan keluarga: membiasakan pola relasi yang seimbang antara dua jenis manusia, menghargai keberagaman, dan perbedaan pendapat, terutama sejak anak-anak masih kecil. Kedua, memperkuat lembaga-lembaga strategis seperti pemerintahan daerah hingga gampong, lembaga adat dan lembaga agama dengan mengintegrasikan etika politik di dalamnya, juga terhadap peraturan-peraturan internal partai baik AD/ART, program dan peraturan-peraturan partai lainnya. Ketiga, memperkuat komunitas di tingkat akar rumput, terutama perempuan agar melek politik, serta adanya peraturan yang tegas dan dijamin dalam hukum (berupa sangsi) yang ketat terhadap proses-proses pengambilan kebijakan yang tidak menyertakan perempuan di setiap institusi. Keempat, perlu memotivasi perempuan untuk bersedia mengambil peran dalam kancah politik melalui sosialisasi, advokasi dan fasilitasi bagi kader politik perempuan, pematangan konsensus bersama untuk mewujudkan keadilan bersama, perempuan dan laki-laki. Kelima, yang lebih signifikan adalah, membangun proses penyadaran akan pentingnya etika politik dalam setiap lapisan masyarakat. 4. Penerapan Nilai, Norma, dan Moral dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pembentukan sistem etika dikenal namanya nilai, norma dan moral. Penulis akan coba membahas pengertian tiap-tiapnya, dan hubungan antaranya. a. Pengertian
Nilai : Sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek, bukan obyek itu sendiri Norma : Aturan tingkah laku yang ideal Moral : Integritas dan martabat pribadi manusia Sedangkan etika sendiri memiliki makna suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. b. Hubungan nilai, norma dan moral Nilai, norma dan moral langsung maupun tidak langsung memiliki hubungan yang cukup erat, karena masing-masing akan menentukan etika bangsa ini. Hubungan antarnya dapat diringkas sebagai berikut : 1. Nilai: kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia (lahir dan batin). - Nilai bersifat abstrak hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dihayatiolehmanusia; - Nilai berkaitan dengan harapan, cita-cita, keinginan, dan segala sesuatu pertimbangan batiniah manusia - Nilai dapat bersifat subyektif bila diberikan olehs ubyek, dan bersifat obyektif bila melekat pada sesuatu yang terlepasd arti penilaian manusia 2. Norma: wujud konkrit dari nilai, yang menuntun sikap dan tingkah laku manusia. Norma hokum merupakan norma yang paling kuat keberlakuannya karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal, misalnya penguasa atau penegak hukum 3.Nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika 4.Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang akan tercermin pada sikap dan tingkah lakunya. Norma menjadi penuntun sikap dan tingkah laku manusia. 5.Moral dan etika sangat erat hubungannya. Etika adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas. Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak usaha untuk menggolong-golongkan nilai tersebut dan penggolongan tersebut amat beranekaragam, tergantung pada sudut pandang dalam rangka penggolongan tersebut. Notonagoro membagi nilai menjadi tiga maacam, yaitu: 1) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia, atau kebutuhan material ragawi manusia. 2) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas. 3) Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi r ohanimanusia nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas empat macam yaitu : a) Nilai kebenaran b) Nilai keindahan c) Nilai kebaikan d) Nilai religious
Ideologi Pancasila Sebagai Etika Politik
1. Tujuan Ideologi Pancasila Sebagai Etika Politik o Menampilkan sikap positif terhadap Pancasila sebagai etika politik Kompetensi Dasar: Mendeskripsikan Pancasila sebagai etika politik Menganalisis Pancasila sebagai sumber nilai dan etika politik Menampilkan sikap positif terhadap Pancasila sebagai etika politi k 2. PANCASILA o Ketuhanan Yang Maha Esa o Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab o Persatuan Indonesia o Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan o Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia 3. Pengertian o Pancasila sebagai suatu kristalisasi dari nilai-nilai Budaya bangsa dituangkan dan diterapkan melalui peraturan perundang-undangan o Pancasila dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditafsirkan oleh pasal-pasal batang tubuh UUD 1945. 4. Pengertian Ideologi (1) o Ideologi = idein (Yunani) = melihat, dan Logia = kata / ajaran o Antoine Destut de Tracy (+1836), ideologi = science des idees = ilmu yang mendasari ilmu-ilmu lain seperti pendagogik, etika dan politik. o Ideologi=ilmu tentang terjadinya cita-cita atau gagasan, atau juga i lmu mengenai gagasan atau buah pikir 5. Pengertian Ideologi (2) o Pengertian ideologi jarang dipahami sebagai ilmu mengenai gagasan atau idea sebagaimana pernha dikatakn de Tracy o Tetapi ideologi sebagai gagasan atau udea yang tujuannya bersifat politik. o Daniel Bell menyatakan dewasa ini ideologi sebagai an action-oriented system of beliefs = sistem keyakinan yang memotivasi orang atau kelompok masyarakat untuk bertindak dengan cara tertentu sebagaimana diajarkan oleh ideologi tersebut. 6. Pancasila Sebagai Ideologi Negara o Pengertian ideologi oleh Daniel Bell dapat dipakai untuk memaknai Pancasila sebagai ideologi. o Pancaila sebagai sistem keyakinan yang memotivasi orang, kelompok masyarakat, atau seluruh WNI untuk bertindak atau berperilaku dengan cara terteny sebagaimana diajarkan oleh Pancasila 7. Formulasi Pancasila o BPUPKI bersidang tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 bertugas merumuskan rancangan dasar negara sebagai arah kehiduoan bangsa yang akan merdeka. o Tiga tokoh yang mengeluarkan formulasi pemikiran dasar negara adalah Mr. Supomo Mr. M Yamin Soekarno 8. Pidato 29 Mei 1945 (Moh Yamin) o Peri Kebangsaan o Peri Kemanusiaan
o Peri Ketuhanan o Peri Kerakyatan o Kesejahteraan rakyat atau keadilan sosial 9. Pidato 31 Mei 1945 (Mr. Supomo) o Paham negara persatuan o Budi pekerti kemanusiaan yang luhur o Moral yang luhur yang dianjurkan agama o Badan permusyawaratan o Sosialisme negara 10. Pidato 1 Juni 1945 (Soekarno) o Kebangsaan o Internasionalisme o Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan o Prinsip kesejahteraan o Prinsip ketuhanan o Pidato akhir Soekarno ditutup dengan kelima prinsip dasar ini disebut Pancasila 11. Posisi Pancasila sebagai Ideologi o Ideologi dalam arti penuh o Ideologi terbuka o Ideologi implisit 12. Ideologi dalam Arti Penuh o Ideologi tertentu sudah memiliki pengertian yang lengkap pada dirinya sehingga pengertian lain tidak bisa danj tidak mungkin ditambahkan padanya o Ideologi ini diciptakan oleh penguasa dan dipaksakan keberlakuannya kepada masyarakat o Contoh: marxisme, fasisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme, konsevatisme,dsb . Etika Politik dan Penerapannya Sri Sultan Hamengku Buwono Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Filosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik: merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Celakanya, yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitas watak poltisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”1. Politik “Kebun Binatang” Memang, pada sejak zaman dahulu, para budayawan dan filosof kerap menggunakan kisahkisah perumpamaan “dunia binatang”. Sastrawan Inggris George Orwell mengarang fabel yang diterjemahkan almarhum Mahbub Djunaidi berjudul “Binatangisme”. Bahkan suatu ketika, Mahbub sendiri menulis kolom “Politik Kebun Binatang” untuk mengkritik tingkah laku politisi kita masa itu. Tentu saja politisi kita bukan binatang, walaupun ada istilah homo hopini lupus. Politisi kita diharapkan lebih berwatak hanif, cinta dan konsisten pada kebenaran, bukan melakukan “pembenaran”. Jika kita sempat mengunjungi Museum Purbakala Sangiran, dan sempat menyaksikan film dokumenter yang diputar untuk pengunjung, betapa kita kaya sekali akan fosil, yang terkenalnya adalah fosil manusia purba Pitecanthropus Errectus yang mirip “manusia kera”.
Uang adalah Panglima Etika, atau filsafat moral (Telchman, 1998) mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik dengan demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Tidak! Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri ini. Di sisi lain nasionalisme kita berubah menjadi “kebangsaan uang”. Tidak terlalu digubris bahwa nasionalisme kita hanya akan berkembang dengan subur di alam demokrasi ini, bila Pancasila dijadikan acuan dalam etika politik. Etika politik bisa berjalan kalau ada penghormatan terhadap kemanusiaan dan keadilan. Ini merupakan prasyarat dasar yang perlu dijadikan acuan bersama dalam merumuskan poltik demokratis yang berbasis etika dan moralitas. Ketidakjelasan secara etis berbagai tindakan politik di negeri ini membuat keadaban publik saat ini mengalami kehancuran. Fungsi pelindung rakyat tidak berjalan sesuai komitmen. Keadaban publik yang hancur inilah yang seringkali merusak wajah hukum, budaya, pendidikan, dan agama. Rusaknya sendi-sendi ini membuat wajah masa depan bangsa ini kabur. Sebuah kekaburan yang disebabkan kerena etika tidak dijadikan acuan dalam kehidupan politik. Publik hanya disuguhi hal yang menyenangkan dan bersifat indrawi belaka. Artinya hanya diberi harapan tanpa realisasi. Inilah yang membuat publik terajari agar menerapkan orientasi hidup untuk mencari gampangnya saja. Keadaban kita sungguh-sungguh kehilangan daya untuk memperbarui dirinya. Etika politik yang berpijak pada Pancasila hancur karena politik identik dengan uang. Uang menjadi penentu segala-galanya dalam ruang publik. Hal ini sangat ironis karena mengakibatkan hilangnya iman dalam kehidupan manusia. Iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi batin bagi kehidupan nyata. Iman hanya sekedar simbol lahiriah yang menjelma dalam ritus dan upacara. Iman tidak terkait dengan tata kehidupan dan akibatnya dia tidak menjiwai kehidupan publik. Politik tidak tersentuh oleh etika iman, seperti yang diajarkan oleh sila pertama dari Pancasila, KeTuhanan Yang Maha Esa. Di masa reformasi yang serba boleh ini, kemunduran etika politik para elite dalam setiap jejak perjalanannya membuat kita menjadi “miris”. Kemunduran etika politik para elite ini salah satunya ditandai dengan menonjolnya sikap pragmatisme dalam perilaku politik yang hanya mementingkan kelompoknya saja. Kepentingan bangsa, menurut mereka bisa dibangun hanya melalui kelompoknya. Dan masing-masing kelompok berpikir demikian. Jadi jika kita tarik logika yang ada di kepala masing-masing kelompok, (nyaris) tidak ada yang namanya kepentingan bersama untuk bangsa. Yang ada hanyalah kebersaman fatamorgana. Seolah-olah kepentingan bersama, padahal itu hanyalah kepentingankepentingan kelompok yang terkoleksi. Hampir tidak ada kesepakatan di mata para politisi kita tentang akan dibawa ke mana bangsa ini, karena semua merasa benar sendiri, dan tidak pernah mau menyadari di balik pendapat yang ia nyatakan, mengandung kekurangan yang bisa ditutup oleh pendapat kelompok lain. Prinsip menerima kebenaran pendapat lain sudah mati, dan tertimbun oleh arogansi untuk menguasai kelompok lain.
Memang benar alam raya ini penuh dengan perbedaan. Demikian pula politik, penuh dengan perbedaan pendapat. Tapi di Indonesia perbedaan pendapat justru menjadi penghalang untuk mencapai visi bersama bangsa. Betapa sedih melihat ketika demokrasi yang kita rasakan dibangun oleh para elite dengan cara manipulatif dan penuh rekayasa untuk menjatuhkan lawan. Ke arah manakah etika politik akan dikembangkan oleh para politisi produk reformasi ini? Dalam praktik keseharian, politik seringkali bermakna kekuasaan yang serba elitis, daripada kekuasaan yang berwajah populis dan untuk kesejahteraan masyarakat. Politik identik dengan cara bagaimana kekuasaan diraih, dan dengan cara apa pun, meski bertentangan dengan pandangan umum. Karena itulah, di samping aturan legal formal berupa konstitusi, politik berikut praktiknya perlu pula dibatasi dengan etika. Etika politik digunakan membatasi, meregulasi, melarang dan memerintahkan tindakan mana yang diperlukan dan mana yang dijauhi. Etika politik yang bersifat umum dan dibangun melalui karakteristik masyarakat bersangkutan amat diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam aturan secara legal formal. Jadi etika politik lebih bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan moral. Akibat luasnya cakupan etika politik itulah maka seringkali keberadaannya bersifat sangat longgar, dan mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah. Ditunjang dengan alam kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa malu dan merasa bersalah bisa dengan mudah diabaikan. Akibatnya ada dua hal: pudarnya nilai-nilai etis yang sudah ada, dan tidak berkembangnya nilai-nilai tersebut sesuai dengan moralitas publik. Untuk memaafkan fenomena tersebut lalu berkembang menjadi budaya permisif, semua serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa atau belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh, karena untuk membuka seluasluasnya upaya mencapai kekuasaan (dan uang) dengan mudah. Tanpa kita sadari, nilai etis politik kita cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya, semua harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si pejabat. Itulah mengapa para pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika dalam bidang politik (dan bidang lainnya) sedang berlarian tunggang-langgang (meminjam Giddens, “run away”) menuju ke arah “jual- beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang2. Budaya Demokratis Tidak dapat dimungkiri, sebagai bangsa, Indonesia begitu majemuk. Aneka kelompok, baik yang mengikat diri secara kultural, ideologis maupun agamis, berkejaran dalam jagat keIndonesiaan. Sehubungan dengan itu, persoalan krusial yang belum terpecahkan sejak akta pendirian bangsa ini adalah mewujudkan tatanan hidup bersama secara rasional. Sebuah rajutan koeksistensi di tengah kemajemukan tanpa dicemari fakta-fakta irrasional, seperti kekerasan, manipulasi, kebohongan, hegemoni, dan sebagainya. Bersamaan dengan menggelindingnya demokratisasi, ke-berbagai-an (kebhinekaan) dan keberbagi-an (resource sharing) yang sempat dibungkam secara ideologis semasa Orde Baru kembali bernapas. Ke-berbagai-an dan ke-berbagi-an yang sayang sejak berdirinya bangsa ini tidak pernah diberi kesempatan belajar bagaimana hidup bersama dan berbagi secara rasional.
Yang ada hanya kuliah-kuliah kering tanpa persatuan-kesatuan, toleransi, dan kebersamaan. Ide-ide yang gegap-gempita di ruang-ruang penataran, namun miskin secara praksis. Hasilnya, etika sosial pecah berantakan. Demokrasi diajukan ke meja hijau. Demokrasi dituduh meriuh-rendahkan kehidupan politik yang dulu senyap-sejuk. Disintegrasi! Itulah retorika magis yang membuka pintu bagi aparatur koersif untuk turun tangan. Pertikaian sosial hanya bisa diredam dengan tangan besi. Tidak ada jalan lain. Demokrasi hanya retorika indah di seminar-seminar, ruang kuliah, dan media massa. Masyarakat membutuhkan kedamaian bukan demokrasi. Demokrasi dituding sebagai tidak i ndah. Wajahnya centangperentang dan sukar disusun rapi. Damai lebih indah. Meski harus menjatuhkan diri kembali ke pelukan rezim tangan besi. Sebuah tatanan hidup bersama secara rasional membutuhkan lebih dari sekadar reformasi demokratis-prosedural. Reformasi yang semata meluruskan prosedur-prosedur politik yang melenceng dari garis demokrasi. Pemilu multipartai dilangsungkan secara fair lima tahun sekali. Presiden dipilih langsung. Masa jabatannya dibatasi dua kali. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif berfungsi proporsional dan maksimal, dan sebagainya. Demokrasi prosedural seperti itu belum tentu menghasilkan etika sosial. Demokrasi semata menetapkan prosedur-prosedur guna menjamin apa yang disebut democratic liberites. Sebagian democratic liberities yang umumnya dijamin adalah kebebasan berekspresi, berserikat, dan menjalankan syariat agama. Namun, kebebasan berekspresi bisa dijadikan jalan untuk mengobarkan sentimen anti-etnis atau agama tertentu. Kebebasan berserikat bisa dijadikan alasan untuk menghukum para bidah. Dan, kebebasan beragama tidak mengatur koeksistensi antarumat beragama. Bagaimana demokrasi bisa seiring dengan etika sosial. Satu-satunya jalan adalah terwujudnya apa yang disebut budaya demokratis (democratic culture). Demokrasi tanpa dibarengi budaya demokratis ibarat pelita tanpa minyak. Nyala rezim demokratis di berbagai belahan dunia meredup karena gagal mewujudkan budaya demokratis dalam masyarakatnya. Demokrasi sendiri menuntut terpatrinya tiga dimensi kultural. Dimensi pertama adalah kedaulatan populis. Dimensi ini menuntut rakyat dan bukan pejabat publik yang berdaulat. Kewenangan pejabat-pejabat publik harus senantiasa dijadikan obyek strukturisasi publik. Kesetaraan politik adalah kata kuncinya. Musuh besar dimensi pertama demokrasi ini adalah segala bentuk previlese sosial. Dimensi kedua adalah kesetaraan warga negara. Dimensi ini menuntut setiap warga negara dipandang sebagai subyek hukum yang setara dalam melibatkan diri secara politis. Melibatkan diri dalam hal ini bukan saja sebagai pengadil proses-proses politik, tetapi juga sebagai partisipan aktif. Untuk itu, peluang warga negara untuk mempengaruhi proses-proses politik harus dijamin setara. Demokrasi cacat bila satu atau beberapa kelompok masyarakat memiliki defisit peluang dalam mengartikulasi keyakinan-keyakinannya dalam proses politik. Distribusi ekonomi yang timpang bisa jadi salah satu pemicunya. Artikulasi gagasan didominasi donor-donor kaya. Dimensi ketiga adalah diskursus demokrasi. Jika tiap-tiap warga negara dipandang sebagai rekanan dalam urusan politik, mereka lebih dulu memposisikan diri sebagai individu yang bebas. Deliberasi individu harus berkonsentrasi pada argumen untuk menolak atau menerima sebuah aksi kolektif sehingga warga negara yang agendanya ditolak, paling tidak puas bahwa mereka berpeluang meyakinkan yang lain, bukan sekedar kalah suara.
Sensor, kebohongan, dan manipulasi adalah musuh-musuh utama dimensi ketiga demokrasi ini. Tiga dimensi demokrasi-kontrol populis terhadap pejabat-pejabat publik, kesetaraan politik warga negara, diskursus politik yang fair dan setara, menuntut tegaknya budaya demokratis. Budaya yang mengandung dua komponen pokok. Pertama, kemandirian dan kedua, nalar publik. Budaya adalah struktur. Kebiasaan yang berulang dan menghasilkan pola yang dihayati bersama. Pola kultural yang belum sepenuhnya lepas dari masyarakat kita adalah pola-pola feodalisme. Stuktur kultural feodalisme amat berseberangan dengan kultur kemandirian. Feodalisme adalah ketergantungfan in optima forma. Kultur yang menggantungkan segalanya pada kekuasaan dan melemahkan inisiatif publik. Rezim Orde Baru dengan jeli memanfaatkan kondisi kultural ini. Potensi apatisme politik dalam masyarakat dikeraskan lewat perangkat koersif maupun ideologis. Kultur feodalisme juga mengerem pertumbuhan civil society. Karena kekuasaan diagungkan, maka kekuatan non-pemerintah diremehkan. Politik ditafsirkan sebagai ajang cari makan dan status. Karier yang bagus berarti kantung tebal dan status sosial yang kian membumbung. Logikanya pun menjadi politik praktis: perebutan dan aksentuasi kekuasaan. Padahal civil society berpijak pada logika politik yang berbeda. Logika politik civil society bukan bukan politik praktis, tetapi politik emansipatoris. Artinya, politik guna membela hak dan membebaskan warga negara dari ketergantungan politis lewat konsistensi dan advokasi. Sasarannya adalah naiknya posisi tawar masyarakat dan menciptakan budaya kemandirian yang proaktif. Demokrasi yang beretika sosial menuntut enyahnya irasionalitas dari tatanan hidup bersama. Untuk itu, nalar publik mesti dijadikan sarana epistemik tiap perjumpaan ideologis. Prinsip nalar publik sederhana saja. Setiap klaim apakah itu moral, filosofis, agamis, maupun ideologis, harus didasarkan pada satu argumentasi yang dapat diterima semua pihak yang berkepentingan. Kata kuncinya adalah understandability dan communicability. Ini harus dihayati betul oleh tiap individu atau kelompok dalam sebuah rezim demokratis. Membudayakan nalar publik bukan tugas ringan. Dalam masyarakat yang sebagian besar masih dikungkung kubah-kubah primordial, nalar yang dipakai masih bersifat privat. Nalar yang cenderung tertutup, sektarian, dan tidak bisa menerima perbedaan. Sasarannya bukan mencari irisan kepentingan, tetapi efektifitas dan kesuksesan. Kelompok atau individu lain dipandang sekadar sebagai sarana, bukan sebagai subyek diskursif yang setara. Bagaimana membangun sebuah kultur demokratis? Tidak ada jalan lain kecuali menggelar strategi kebudayaan. Konkretnya, membangun sistem pendidikan yang menjadikan prinsip kemandirian dan nalar publik sebagai pijakan konseptual. Sistem yang berfokus pada penciptaan individu-individu yang otonom dan kritis dalam daya pertimbangan. Otonom bukan berarti egosentris. Karena itu, pelajaran budi pekerti harus menekankan perjumpaan, pengenalan, dan pemahaman “yang lain” (the others). Strategi pedagogis ini tentu membidik target jangka panjang. Strategi yang amat menentukan cerah-tidaknya masa depan demokrasi di negeri ini3. Kesimpulan Power tends to corrupt dan Ethics has no place in politics adalah dua adagium klasik dalam textbook ilmu politik yang ingin menunjukkan betapa mudahnya kita terperangkap pada kecenderungan berpolitik tanpa etika. Sebaliknya, adagium ini pulalah yang membuat kita untuk selalu tidak jenuh dan letih meneriakkan perlunya etika politik dalam mengemban
tugas dan tanggung jawab bermasyarakat dan bernegara. Dalam teori politik, etika politik bukanlah sekadar gagasan himbauan moral yang naif bila dikaitkan dengan kehidupan politik praktis seperti sinyalemen adagium di atas. Minimum ada tiga prinsip yang secara metodologis dapat dijadikan untuk mengukur muatan etika politik dari sebuah politik atau pun kebijakan publik4. Prasyarat pertama adalah prinsip kehati-hatian (principle of prudence), sebuah prinsip yang “mempertanyakan” secara kritis tentang latar belakang berikut “pemihakan” dari sebuah tindakan ataupun kebijakan dari para pemegang kunci kekuasaan politik. Dalam prinsip ini, sebuah tindakan yang memiliki motif untuk “memihak” kepentingan lebih luas dibanding dengan kepentingan sempit partai atau diri sendiri akan memiliki nilai etika yang jauh lebih tinggi dan terpuji. Prinsip kedua adalah prinsip tatakelola (principle of governance) yang berhubungan dengan masalah etika di dalam “proses” pengambilan keputusan ataupun penetuan tindakan. Prinsip ini menyangkut pengukuran terhadap standar-standar yang digunakan di dalam menentukan sebuah tindakan ataupun kebijakan. Kesadaran akan pentingnya akuntabilitas, transparansi dan soladiritas, secara otomatis, akan melahirkan perilaku dan keputusan yang jauh lebih etis. Prinsip yang ketiga adalah prinsip pilihan rasional (principle of rational choice) yang secara metodologis menimbang secara seksama atas manfaat dan biaya (costs and benefits) dari sebuah tindakan ataupun kebijakan dalam rangka kepentingan umum. Sebuah ti ndakan atau keputusan yang memiliki manfaat yang sangat tinggi dan signifikan bagi kepentingan umum jauh lebih etis dibanding tindakan yang hanya melayani kepentingan pribadi ataupun kepentingan manuver partai politik yang sesaat. Dalam kehidupan politik sehari-hari, baik biaya (costs) maupun manfaat (benefits) tidak selalu hadir dalam bentuk fisik-material. Namun juga kedua aspek tersebut dapat diurai dalam bentuk nilai-nilai simbolik seperti trust, stabilitas, soladiritas, ataupun loyalitas. Dari uraian tersebut, kita perlu mengingatkan pentingnya muatan etika politik sebagai acuan bersama bagi jagat perpolitikan kita. Kritik dan Saran Setidaknya ada tiga muatan etika politik yang saya usulkan. Pertama, watak baru yang berakar budaya, berwatak progresif dan memihak bangsa. Kedua, kebhinnekaan, kebersamaan, kerukunan, dan kebangsaan Indonesia perlu dirajut ulang serta Pancasila ditegakkan kembali. Ketiga, membela rasa keadilan rakyat, mengabdi Ibu Pertiwi demi kesejahteraan rakyat dan kemuliaan negara. Daftar Pustaka __________ Pidato Dies yang disampaikan dalam Temu Akbar Alumni Dies Natalis Ke-40 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, Semarang, 3 Agustus 2008. 1 M Alfan Alfian, “Dari Perbendaharaan Etika Politik”, The Akbar Tandjung Institute, Jakarta, 8 Juli 2008. 2 Benny Susetyo Pr. “Etika Politik & Politisi Reformasi”, Sinar Harapan, Tajuk Rencana, 23 Mei 2005. 3 Donny Gahral Adian, “Menyoal Dimensi Kultural Demokrasi“, Kompas, Opini, 22 Juli
2002. 4 Kastorius Sinaga, “Tentang Etika Politik“, Kompas, 9 April 2008.
Pancasila sebagai Etika Politik:Ironi Pedoman hidup bangsa yang Diagungkan
A. Pendahuluan Adakah terdengar lagi gaung Pancasila dalam kancah kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini? Agaknya untuk melihat hal itu, perlu penelaahan yang cukup luas sudut pandangnya. Atau dapat dikatakan bahwa jika Pancasila dilihat sebagai sebuah fenomena, maka perlu juga dilihat noumena atau esensi dari fenomena itu, dengan begitu sudut pandangnya tidak hanya dibatasi pada tataran luaran yang nampak, tetapi juga berupaya melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Dan sebagai generasi yang hadir hidup di tengah pergumulan “hidup-mati‟ Pancasila, sepertinya hal itu dapat dilakukan. Melihat apa yang sebenarnya terjadi pada Pancasila. Akhir-akhir ini kita tahu bahwa, Pancasila sedang mengalami satu fase delegitimasi keberadaan, di mana sebagai sebuah pandangan hidup sebuah bangsa ia tak lagi “diakui” sebagai pedoman hidup bersama. Pancasila sekarang sudah tidak sakti lagi, meski kita masih sering mendengar tiap tahunnya pada akhir bulan September dan awal Oktober selalu ada peringatan hari Kesaktian Pancasila. Reformasi 1998-1999 telah mencabik-cabiknya, dan melabelinya sebagai kaki tangan sebuah rezim kekuasaan, pada masa-masa Orba (orde baru). Pancasila menjadi korban. Korban yang diperalat, dan korban untuk dijadikan kambing hitam. Begitulah nasib Pancasila. Ada satu hal yang selama ini menghantui penulis, terkait dengan Pancasila ini. Apakah Pancasila benar-benar ada dalam diri bangsa ini, sejak awal dirumuskan hingga sekarang ini, menjadi pedoman dan cara pandang bersama sebagai sebuah bangsa yang beraneka ragam? Atau ia hanyalah sebuah slogan yang didengungkan sebagai sebuah pilihan-pilihan politis para founding father kita untuk melegitimasi atau mengukuhkan keberadaan bangsa
Indonesia. Dengan Pancasila adalah produk ide-ide yang sebenarnya tidak pernah diperlukan. Hanya sebagai legitimator yang sekali-kali digunakan kala dibutuhkan. Tak pernah benarbenar menjadi pedoman hidup bangsa ini. Dengan cara lain kita dapat melihat hal itu. Pertama, Pancasila ada sebagai pedoman bangsa setelah dirumuskan dan ditetapkan sebagai pedoman hidup bangsa ini. Kedua, Pancasila sebenarnya telah hadir dalam kelokalan-kelokalan bangsa ini yang kemudian disintesiskan dan dinyatakan sebagai sebuah pedoman hidup bersama oleh kelompok-kelompok lokal yang telah menyatu. Jiwa dulu atau badannya yang ada? A. Pintu Masuk Pembahasan Dalam pembagian cabang-cabang ilmu pengetahuan, etika adalah anak cabang dari filsafat. Masuk dalam kategori filsafat praktis. Pembahasannya langsung mengarah pada tindakan dan bagaimana manusia harus berbuat. Filsafat praktis ini diupayakan untuk memberi pemahaman pada manusia dalam mengarahkan tindakannya. Begitulah etika sebagai bagian dari filsafat praktis bekerja. Kemudian pun etika masih dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Mengingat manusia memang memiliki kedua dimensi itu. Sebagai individu dan makhluk sosial. Sebagai individu manusia memiliki kewajiban-kewajiban terhadap dirinya sendiri, terhadap Tuhan, dan wilayah-wilayah hidup mereka yang berkenaan dengan sisi individual. Sedangkan sebagai makhluk sosial, manusia diarahkan untuk mengatur hidup sesuai dengan garis kodrat mereka sebagai makhluk sosial, berkenaan dengan nilai-nilai moral yang menentukan sikap dan tindakan antarmanusia. Sedangkan dimensi politik dalam etika politik di sini adalah dimaksudkan ada dalam pengertiannya yang lebih luas. Bukan hanya berkenaan dengan sistem kenegaraan atau hubungan antar negara misal, yang mencangkup kehidupan kenegaraan, pemerintahan, penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara tentang berbagai hal menyangkut kepentingan publik, serta kegiatan-kegiatan lain dari berbagai lembaga sosial, partai politik dan organisasi keagamaan yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan dan negara yang dibatasi oleh konsep-konsep negara ( state), kekuasaan ( power ), pengambilan keputusan (decission making), pembagian ( distribution), dan alokasi (alocation), tetapi di sini pengertian itu diperluas lagi ke dalam tataran manusia sebagai makhluk yang berpolitik. Secara kasar dapat disebutkan bahwa segala tindakan manusia atau bahkan manusia itu sendiri tidak akan lepas dari orientasi dan moda-moda politik. Manusia hidup karena
berpolitik. Secara kodrati sebagai makhluk individual atau sosial manusia akan memerlukan aturan-aturan atau norma-norma untuk dapat menjalani hidupnya. Kata kunci dari dimensi politik ini adalah kaitannya dengan hak dan kewajiban manusia. Sebagai warga dunia, sebagai warga negara, sebagi anggota masyarakat, sebagai individu, dan sebagai makhluk Tuhan. Dengan melihat dua dimensi ini, etika dan politik, dalam Pancasila sebagai Etika Politik, maka kita dapat memberi kesimpulan awal bahwa Pancasila adalah pedoman hidup bersama kita, yang mengatur bagaimana kita bersikap dan bertindak antar satu dengan lain, yang disertai hak dan kewajibannya. Dengan kata lain Pancasila adalah moral identity kita. Baik sebagai warga dunia, sebagai warga negara, sebagai anggota masyarakat. Kita dikenali karena kita memiliki Pancasila dalam diri kita sebagai pedoman hidup bersama. A. Melihat Ulang Kesejarahan Pancasila Awal bulan ketiga tahun 1945, adalah tonggak baru sejarah bangsa Indonesia dalam upaya menjadi diri sebagai bangsa yang merdeka. Pada masa itu, secara resmi diumumkanlah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritzu Zyundai Tjosakai oleh Panglima Tentara XVI Letjen Kumaici Harada. Badan ini memiliki tugas untuk menyelidiki dan merumuskan dasar dan rancangan undang-undang dasar Indonesia. Pancasila lahir dari sidang BPUPKI yang pertama, yang diselenggarakan tanggal 29 Mei-1 Juni 1945. Dalam tiga hari inilah, para founding father kita “bersitegang” mempersoalkan dasar atau falsafah negara yang akan digunakan. Di antara beberapa orang yang mengusulkan draft dasar negara adalah Prof. Mohammad Yamin, Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Tiga orang ini dalam tiga hari berurutan berargumen di hadapan anggota sidang. Tanggal 29 Mei, Prof. Moh. Yamin, terlebih dahulu membacakan dan menyerahkan usulannya. Versi lisan yang diusulkan beliau adalah; peri kebangsaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan versi tulisannya; ketuhanan yang Maha Esa, kebangsaan persatuan Indonesia, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang dipimpin oleh hidmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sidang hari berikutnya, Dr. Soepomo menyampaikan usulannya. Yang meliputi; negara yang kita bentuk harus berdasarkan aliran pikiran kenegaraan kesatuan yang bersifat
integralistis atau negara nasional yang bersifat totaliter, setiap warga dianjurkan untuk hidup berketuhanan tetapi urusan agama terpisah dari urusan negara, dibentuk Badan Musyawarah agar pemimpin negara bersatu jiwa dengan wakil rakyat, sistem ekonomi diatur berdasarkan azas kekeluargaan, tolong menolong dan sistem kooperasi, negara Indonesia yang besar atas semangat kebudayaan Indonesia asli. Kemudian juga mengusulkan dasar negara yang meliputi; persatuan, kewargaan, kesinambungan lahir batin, musyawarah dan keadilan sosial. Hari berikutnya, Ir. Soekarno menyampaikan pidato filsafat dasar negaranya dengan rumusan; kebangsaan Indonesia-nasionalisme, perikemanusiaan-Internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Kita tidak hendak melihat pergumulan ide antara ketiga orang ini atau alotnya sidang perumusan dasar negara ini. Konsep siapa yang digunakan dan siapa yang menang. Karena kita langsung dapat menganalisanya sendiri dengan membandingkan tiga usulan di atas dengan Pancasila yang ada sampai sekarang ini. Dan kemudian pada tanggal 22 Juni, usulan-usulan ini disintesiskan oleh Panitia 9 yang dibentuk oleh BPUPKI, dan menghasilkan sebuah dokumen dengan nama Piagam Jakarta. Yang isinya adalah rumusan Pancasila berikut ini; 1. 2. 3. 4.
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya Kemanusiaan yang adil dan beradab Persatuan Indonesia Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia Setelah Indonesia diprokamirkan merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, timbul polemik yang sangat tajam antara para elit tokoh Indonesia terkait dengan tujuh kata pada sila pertama. Penduduk Indonesia yang mayoritas umat Islam tentu merasa senang hati dengan adanya tujuh kata ini. Namun, karena kesadaran bahwa Indonesia merdeka dan terbentuk bukan hanya karena umat Islam, dan demi menangkal perpecahan pada negeri yang baru lahir, atas usul Bung Hatta, tujuh kata itu dihapus, menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. A. Mencermati Lima Sila Abdul Hadi W.M. dalam makalahnya[1] menyatakan bahwa Pancasila adalah landasan ideologis berdirinya NKRI merupakan sekumpulan sistem nilai. Sebagai sistem nilai yang
dijadikan pedoman hidup sebuah bangsa Pancasila adalah jiwa yang menghidupi kehidupan bangsa ini. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa ada pada puncak pedoman hidup bangsa Indonesia. Dan seperti apa yang dikatakan Abdul Hadi W.M. sila ini menjadi pengayom bagi sila yang lain dalam prakteknya. Semangat kemanusiaan, semangat persatuan, semangat kerakyatan, dan dan semangat keadilan berjalan dengan berlandaskan pada Ketuhanan. Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara sempit atau ke dalam, sila ini dapat diartikan bahwa setiap warga negara Indonesia memperoleh perlakuan yang adil dan beradab. Dan secara luas, bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa harus dibeda-bedakan. Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ini paling tidak menggambarkan bahwa bangsa ini adalah satu keluarga besar yang di dalamnya didasari adanya kesadaran perbedaan satu sama lain. Dari perbedaan inilah sebenarnya bangsa ini ada. Bangsa ini adalah mozaik yang terdiri dari fragmen-fragmen yang membentuknya. Sila
keempat,
Kerakyatan
yang
Dipimpin
oleh
Hikmat
Kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/Perwakilan. Satu nilai yang menjadi ciri bangsa ini adalah kebersamaan dan suka bermusyawarah dalam menentukan satu kebijakan demi kepentingan bersama. Di dasari oleh tiga sila sebelumnya. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan di sini seperti yang dikatakan Abdul Hadi W.M., adalah Keadilan yang mencakup tiga bentuk keadilan: (1) Keadilan distributif : menyangkut hubungan negara terhadap warganegara, berarti bahwa
negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam membagi kemakmuran, kesejahteraaan penghasilan negara, yang terakhir ini dalam bentuk bantuan, subsidi dan kesempatan untuk hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban yang setara dan seimbang; (2) Keadilan legal, yaitu keadilan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban warganegara
terhadap negara, tercermin dalam bentuk ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara; (3) Keadilan komutatif: yaitu suatu hubungan keadilan antara warga dengan warga lainnya secara timbal balik .[2] A. Penutup, Titik Awal Menghidupkan Kembali Pancasila Sebagai Etika Politik Bangsa
Dari pencermatan pada lima sila ini, kembali pada pertanyaan di atas bahwa apakah Pancasila hadir sebagai jiwa dahulu ataukah badannya terlebih dahulu? Jika Pancasila hadir dalam diri bangsa ini sebelum badan Pancasila itu dirumuskan, berarti bangsa Indonesia secara khas memang memiliki nilai-nilai atau pedoman yang berkesuaian dengan Pancasila setelah dirumuskan. Tetapi jika badannya terlebih dahulu yang hadir, kemudian bangsa ini menghayati nilai-nilainya, berarti ada kesepakat berikutnya tentang nilai-nilai baru yang terbentuk yang harus dipatuhi dan jadikan pedoman besama. Pertanyaan ini muncul karena terkait dengan fenomena sekarang ini, fenomena akan ketidakpercayaan bangsa Indonesia pada Pancasila. Atau pe- marginal-an Pancasila dari kehidupan bangsa ini. Sebenarnya tidaklah begitu penting apakah Pancasila hadir menjiwai terlebih dahulu sebelum badannya dirumuskan, atau sebaliknya. Hanya saja ada implikasi yang dapat digunakan untuk menganalisa masalah delegitimasi Pancasila akhir-akhir ini dengan melihat itu mana yang hadir terlebih dahulu. Ketika melihat Pancasila sebagai jiwa yang hadir terlebih dahulu, dengan melihat kondisi saat ini, berarti bukan Pancasilanya yang bermasalah. Bahwa Pancasila tidak lagi relevan adalah omong kosong belaka. Pancasila adalah tetap Pancasila yang tetap terbuka bagi semua golongan dan nilai-nilainya akan terus t ermutakhirkan sesuai dengan perkembangan zaman, seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. Nurcholish Madjid, “Pancasila adalah sebuah ideologi, maka itu berarti terbuka lebar adanya kesempatan untuk semua kelompok sosial guna mengambil bagian secara positif dalam pengisian dan pelaksanaannya. Maka para pemuka Islam pun harus tangga p kepada masalah ini.” [3] Jadi
manusia-manusianya yang kepribadiannya tergerus. Dan jika kemudian, jika yang hadir terlebih dahulu adalah badannya, maka kita memang perlu melihat kembali sila-sila Pancasila. Sudahkan hal itu sesuai dengan watak dan pribadi bangsa ini. Atau paling tidak sudah cukup dapat menampung watak dan kepribadian itu. Terakhir, yang bermasalah apakah Pancasila ataukah manusia-manusianya, masih menjadi pekerjaan rumah, yang bukan hanya diteliti dalam tataran teoritis atau sekedar wacana saja. Namun, juga dalam tataran praktisnya. Atau bahkan kita melepaskan itu semua, didasari ketakberdayaan kita dalam menghadapi gerusan arus globalisasi, dengan nilai-nilai positif dan negatifnya. Bahan Bacaan dan Rujukan
Rahman, Budhi Munawar, Ensiklopedia Cak Nur , Jakarta; Paramadina, 2007 Abdul Hadi W.M,“Pancasila sebagi Etika Politik dan Dasar Negara,” makalah ini disampaikan pada mata kuliah Pancasila di ICAS Jakarta, 06 November 2006
Pancasila sebagai dasar negara, asas etika politik dan ac uan kritik ideologi — Document Transcript
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara, Asas Etika Politik dan Acuan Kritik Ideologi1. Pengantar Sebagian besar dari kehidupan kita, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara, atau kehidupanpolitik, kita lewatkan atas dasar ”common sense” atau yang kerapkali disebut sebagai ”akal sehat”. ”Common sense” adalah pengetahuan sehari -hari, yang tidak kita pertanyakan kebenarannya, tetapi kita andaikan ”benar”, taken for granted. Tetapi salah satu ciri khas manusia adalah ”mempertanyakan”. Ia tidak puas dengan ”common sense”, ia terdorong untuk mengangkat apa yang dialami menjadi pertanyaan. Begitu kita mengajukan ”pertanyaan”, ”interrogating” kita mengatasi ”common sense”.Mempertanyakan, interrogating adalah awal dari perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat.Ilmu pengetahuan mempertanyakan segala sesuatu termasuk manusia sampai batas tertentu atau dalam perspektif tertentu, yaitu perspektif instrumental.Ilmu pengetahuan mempertanyakan dan mencari jawaban atas pertanyaannya untuk digunakan bagi kepentingan manusia.Filsafat mempertanyakan segala sesuatu, khususnya yang menyangkut ”nasib” diri manusia, lebih jauh dari ilmu pengetahuan. Mempertanyakan siapakah dan apakah aku ini adalah awal dari filsafat manusia, dimana manusia ingin memperoleh makna dari dirinya. ”Pahamilah dirimu”demikian kata Sokrates.Mempertanyakan manusia berarti mencari jalan bagaimana manusia mencapai tujuan hidupnya, yaitu semakin menjadi manusiawi. Dalam pengertian ini bila filsafat harus mati, kemanusiaan akan meredup tak lama kemudian. Berhenti bertanya hanya akan berakibat kemandekan dan berhentinya perkembangan. Dalam kaitan ini filsafat tidak hanya merupakan ”disiplin (ilmu) yang mempertanyakan”, tetapi juga ’disiplin (ilmu) yang membebaskan’.Dalam arti apa? Manakala kita mengangkat pertanyaan, kita dibebaskan dari jawaban yang tidak dipertanyakan, yaitu jawaban berdasarkan ”common sense” semata, yang diandaikan benar. Dalam setiap pertanyaan kita mengatakan ”tunggu sebentar”: ada yang lebih dari ini atau itu. Bahkan ada ”ekses” dari realitas, yang tidak tertampung dari suatu konsep yang sekarang kita miliki, ”adayang lebih” yang terbelenggu oleh berbagai struktur yang melilit kita.2. Tiga Fungsi Filsafat Ada begitu banyak pengertian mengenai filsafat dan cara berfilsafat serta corak filsafat. Di depan sudah dikatakan bahwa filsafat itu berkembang dengan ”mempertanyakan”, ”interrogating”. Dalam kaitan dengan Pancasila, ada sedikitnya tiga fungsi filsafat, yang saling terkait satu dengan lainnya.1) Pertama, filsafat mempertanyakan dan mencari ”dasar”. Sejak awal filsafat Yunani telahdip ertanyakan apakah ”dasar” dari dunia kita, apakah ”dasar” dari perubahan, apakah ”dasar” dari persamaan dan perbedaan manusia, apakah ”dasar” dari kebebasan manusia, apakah ”dasar” dari kehidupan suatu ”polis”?2) Kedua, filsafat mempertanyakan, mencari dan
menemukan makna dari realitas disekelilingnya, asal dan tujuan hidup manusia. Seringkali dikatakan bahwa filsafat mempertanyakan nilai dari suatu realitas dan tindakan manusia.Maka filsafat dapat mencerahi kehidupan manusia.3) Kedua, filsafat berfungsi pula sebagai kritik ideologi. Filsafat berusaha untuk membuka selubung dari berbagai sistem pemikiran, yang membelenggu manusia, terutama kebebasannya.Pengetahuan dan kekuasaan saling berpautan.Marx telah memberi contohbagaimana melakukan suatu kritik ideologi terhadap ideologi kapitalis.Dari uraian di atas, Filsafat Pancasila dapat dilihat pertama, sebagai eksplisitasi secara filosofis Pancasila sebagai dasar negara; kedua, filsafat Pancasila sebagai etika politik; ketiga ,filsafat 2. Pancasila sebagai kritik ideologi, termasuk kritik terhadap distorsi dan penyalahgunaan Pancasilasecara ideologis.3. Pancasila sebagai Dasar NegaraFungsi filsafat yang pertama adalah mempertanyakan dan menjawab ”apakah dasar dari kehidupanberpolitik atau kehidupan berbangsa dan bernegara. Sangat lah tepat pertanyaan yang diajukanoleh Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wediodiningrat di hadapan rapat BPUPKI bahwa ”NegaraIndonesia yang akan kita bentuk itu apa dasarnya”? Soekarno menafsirkan pertanyaan itu sebagaiberikut: ”Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia ialah dalambahsa Belanda: ’philosophische grondslag’ dari pada Indonesia Merdeka. Philosophischegrondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka*1+.”Dasar Negara” dapat disebut pula ”ideologi negara”, seperti dikatakan o leh MohammadHatta: ”Pembukaan UUD, karena memuatnya di dalamnya Pancasila sebagai Ideologi negara,beserta dua pernyataan lainnya yang menjadi bimbingan pula bagi politik negeri seterusnya,dianggap sendi daripada hukum tatanegara Indonesia. Undang-undang ialah pelaksanaan daripadapokok itu dengan Pancasila sebagai penyuluhnya, adalah dasar mengatur politik negara danperundang-undangan negara, supaya terdapat Indonesia merdeka seperti dicita- citakan: merdeka,bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”*2+Kalau seringkali dikatakan mengenai ideologi Pancasila, sebetulnya yang dimaksudkan tidak lainadalah Pancasila sebagai dasar negara, sebagaimana dikatakan Bung Hatta, ”ideologi negara”,yaitu prinsip-prinsip atau asas membangun negara. Jadi P ancasila bukanlah suatu ”doktrin” yanglengkap, yang begitu saja dapat dijabarkan dalam tindakan, tetapi suatu orientasi, yang memberikanarah kemana bangsa dan negara harus dibangun atau suatu dasar rasional, yang merupakan hasilkonsensus mengenai asumsi-asumsi tentang negara dan bangsa yang akan dibangun.4. Pancasila sebagai dasar etika politikDengan dipilihnya Pancasila sebagai dasar hidup bernegara dan berbangsa atau sebagai dasarhidup berpolitik, maka politik tidaklah netral, tetapi harus dilandasi nilai-nilai etis. Itulah salah satutugas filsafat politik: mencerahi makna berpolitik dan mengeksplesitkan nilai-nilai etis dalam politikyang didasarkan atas Pancasila.Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara, kehidupan politik memiliki dimensi etis,bukan sesuatu yang netral.Nilai-nilai y ang terkandung dalam Pancasila mendorong warga negarauntuk berperilaku etis dalam politik.Apabila nilai-nilai Pancasila ini dapat ditransformasikan ke dalam ethos masyarakat, maka akanmenjadi pandangan hidup atau Weltanschauung.5. Pancasila Sebagai Acuan Kritik IdeologiAgnes Heller membedakan ”yang politik” dengan ”politik” (politics). Istilah ”yang politik” menunjukkandomain, atau lingkup dimana deliberasi terjadi, sedangkan istilah ”politik” (politics), merujuk kepadaaktivitas yang terjadi dalam lingkup itu.*3+ Ini mempunyai implikasi pada masalah sejauhmana ’ruang lingkup politik’, apakah batas kekuasaan politik?Siapa memiliki hak untukmelaksanakan kekuasaan politik itu? Isu-isu apa yang relevan bagi politik? Kalau dalam masaYunani kuno ”yang sosial” dan ”yang politik” terjadi tumpang tindih, sementara dalam modernitas halitu tidak terjadi.Para ”founding fathers” sejak awal telah melakukan suatu ”kritik ideologi”, meskipun pada jaman itumodel alternatif terhadap ideologi-ideologi besar (liberalisme dan sosialisme) masih terbatas. Adadua tradisi mengenai konsepsi ”yang sosial” dan ”yang politik” dan interaksi antara keduany a.
3. Politik di dalam demokrasi liberal kapitalis didasarkan pada premis konsepsi mengenai individusebagai unit utama moral dan politik.Karenaya hak dan kebebasan didefinisikan lebih dalamkerangka individual.Hak-hak ini memberikan prioritas kepada kepentingan pribadi individual di ataskepentingan umum.Asumsinya ialah bahwa individu dengan usahanya sendiri dapat memenuhikebutuhannya tanpa terlalu banyak intervensi dari negara.Namun dengan berkembangnyademokrasi dan kewarganegaraan, model li beral dianggap tidak memadai.Kritik terhdap ideologi demikian pada abad ke 19 dilontarkan oleh Marx, yang menyatakan bahwakewarganegaraan modern lebih menguntungkan individu dari kelas borjuis. Pada abad ke 20negara-negara modern telah menyesuaikan diri dengan kritik ini dengan memperluas ”hak -haksosial” pada kesehatan, kesejahteraan dan jaminan sosial. Namun negara haruslah berintervensidalam ekonomi dan masyarakat, lebih dari masa sebelumnya.*4+ Dengan demikian ”yang politik”lebih masuk ke dalam ”yang sosial”. Nilah salah satu makna ”akhir dari ideologi”, sepertidikemukakan oleh Daniel Bell. Tak ada lagi ideologi yang murni, melulu ”liberal” ataumelulu ”sosialis”. Pancasila dan UUD 1945 mencari keseimbangan dan perpaduan antara keduanya.Dinamika Pancasila terletak dalam ketegangan antara ”ideologi” dan ”utopia”. Pancasila sebagaiideologi memberi arah pembangunan sistem soasial dan politk.Sistem yang dibangun tidak pernahmerupakan perwujudan utuh dari Pancasila, maka selalu bisa dikritik.Bisa terjadi juga Pancasila sebagai ”ideologi” membenarkan dan meneguhkan sistem yangdibangun untuk kepentinan kelompok tertentu, sehingga menjadi mandeg. Maka atas dasarPancasila itu pula dapat dilakukan kritik. Mungkin dapat dikatakan dari perspektif ini Pancasilamerupakan ”utopia”. Utopia dapat bersifat ”subversif”, menggoncangkan sistem -sistem yangdibangun berdasarkan orientasi ideologi. Utopia dapat menciptakan kreatifitas dengan imajinasisosialnya.
Pancasila Sebagai Etika Moral Politik Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang telah disahkan sebagai dasar negara adalah merupakan suatu kesatuan utuh nilai-nilai budi pekerti atau m oral. Oleh karena itu Pancasila dapat disebut sebagai moral bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia telah menegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian Pancasila juga m erupakan moral negara, yaitu moral yang berlaku bagi negara. Selain itu Pancasila merupakan gagasan fundamental tentang kehidupan manusia, dimana nilai-nilai tersebut melekat pada kodrat setiap individu. Dari sebab itu kelima nilai Pancasila itu berlaku bagi perseorangan maupun sebagai masyarakat. Secara etimologis Pancasila berarti lima asa kewajiban moral. Yang dimaksud dengan moral ialah keseluruhan norma dan pengertian yang menentukan baik atau buruknya sikap dan perbuatan manusia. Yang dimaksudkan dengan norma adalah prinsip at au kaidah yang memberikan perintah kepada manusia untuk melakukan sesuatu atau suatu larangan bagi manusia untuk melakukan suatu perbuatan.Dengan memahami norma-norma, manusia akan tahu apa yang harus atau wajib dilakukannnya dan apa yang harus dihindari. Jika manusia
mematuhi perintah norma disebut baik, sebaliknya jika melanggar disebut jahat. Terdapat hubungan antara nilai dengan norma. Norma atau kaidah adalah aturan pedoman bagi manusia dalam berprilaku sebagai perwujudan dari nilai. Nilai yang abstrak dan normative dijabarkan dalam wujud norma. Sebuah nilai mustahil dapat menjadi acuan berprilaku kalau tidak diwujudkan dalam sebuah norma. Dengan demikian pada dasarnya norma adalah perwujudan dari nilai. Tanpa dibuatkan norma, nilai tidak bisa praksis artinya tidak mampu berfungsi konkrit dalam kehidupan sehari-hari.Akhirnya yang tampak dalam kehidupan dan melingkupi kehidupan kita adalah norma. Norma yang kita kenal dalam kehidupan shari-hari ada 4 (empat), yaitu sebagai berikut : Norma Agama Norma ini disebut juga dengan norma religi atau kepercayaan. Norma kepercayaan dan keagamaan ditunjukkan kepada kehidupan beriman. Norma ini ditujukan terhadap kewajiban manusia kepada Tuhan dan dirinya sendiri. Sumber norma ini adalah ajaran-ajaran kepercayaan atau agama yang oleh pengikut-pengikutnya dianggap sebagai perintah Tuhan.Tuhanlah yang mengancam pelanggaran-pelanggaran norma kepercayaan atau agama itu dengan sanksi. Norma Moral (Etika) Norma ini disebut juga dengan norma kesusilaan atau etka atau budi pekerti . Norma moral atau etik adalah norma yang paling dasar. Norma moral menentukan bagaimana kita menilai seseorang. Norma kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai i ndividu karena menyagkut kehidupan pribadi. Norma Kesopanan Norma kesopanan disebut juga norma adat, sopan santun, tata karma atau norma fatsoen. Norma sopan santun didasarkan atas kebiasaan, kepatuhan atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Daerah berlakunya norma kesopanan itu sempit , terbatas secara lokal atau pribadi. Sopan santun di suatu daerah tidak sama dengan daerah lain. Berbeda lapisan masyarakat, berbeda pula sopan santunnya. Sanksi atas pelanggaran norma kesopanan berasal dari masyarakat setempat. Norma Hukum Norma hukum berasal dari luar diri manusia. Norma hukum berasal dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan kepada kita. Masyarakat secara resmi (negara) diberi kuasa untuk member sanksi atau menjatuhkan hukuman. Dalam hal ini pengadilanlah sebagai lembaga yang mewakili masyarakat resmi untuk menjatuhkan hukuman.
Sebagai seperangkat nilai dasar, Pancasila harus dijabarkan kedalam norma agar praksis dalam kehidupan bernegara. Norma yang tepat sebagai penjabaran atas nilai dasar Pancasila tersebut adalah norma etik dan norma hukum. Pancasila dijabarkan sebagai norma etik karena pada dasarnya nilai-nilai dasar Pancasila adalah nilai-nilai moral. Jadi, Pancasila menjadi semacam etika perilaku para penyelenggara negara dan masyarakat Indonesia agar sejalan dengan nilai normative Pancasila itu sendiri. Pengalaman sejarah pernah menjadikan Pancasila sebagai semacam norma etik bagi perilaku segenap warga negara bangsa. Yaitu Ketetapan MPR No.II/MPR/1998 tentang P4 dapat dianggap sebagai etika sosial dan etika politik bagi bangsa Indonesia atas nilai-nilai Pancasila. Penataran P4 dan segala atributnya dianggap gagal bukan karena kesalahan nilai
dan norma dari Pancasilanya tetapi cara pendekatannya yang indoktrinatif dan monolitik.Terlebih lagi penataran P4 terkesan bukan untuk penyelenggara negara tapi dipaksakan pada warga. Justru para penyelenggara negaralah yang seharusnya memiliki nil ai dan norma. Bernegara karena merekalah yang menyelanggarakan negara dan menjadi contoh bagi bagi rakyatnya. Para pejabat negara malahan banyak menyimpang dari apa yang dipidatokan kepada warga negara. Di era sekarang ini tampaknya kebutuhan akan norma etik untuk kehidupan bernegara masih perlu bahkan amat penting untuk ditetapkan. Etika kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat ini bertujuan untuk : 1. Memberikan landasan etik moral bagi seluruh komponen bangsa dalam menjalankan kehidupan kebangsaan dan berbagai aspek 2. Menentukan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. 3. Menjadi kerangka acuan dalam mengevaluasi pelaksanaan nilai-nilai etika dan moral dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasayarakat.
http://phity2.blogspot.com/2010/10/pancasila-sebagai-etika-politik.htm
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK Sebagai suatu nilai, pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat Fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adapun manakala nilai-nilai tersebut akan di jabarkan dalam kehidupan yang bersifat fraksis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun negara maka nilai- nilai tersebut di jabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi: (1) Norma moral yaiu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat di ukur dari sudut baik maupun sudut buruk. (2) Norma hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Jadi sila-sila pancasila pada hakikatnya adalah bukan suatu pedoman yang langsung bersifat normatif auat pun praksis melaikan merupakan suatu sistem nilan-nilai etika yang merupakan sumber nilai baik meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada gilirannya harus di jabarkan lrbih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan berbangsa maupun bernegara. PENGERTIAN ETIKA
Etika termasuk kelompok filsafat praksis dan di bagi menjadi dua kelompok yaitu etika umun dan etiika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis yang mendasar tentang ajaranajaran dan pandangan-pandangan berhadapan dengan moral . Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikitu suatu ajaran moral tertentu, atau
bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Sebenarnya etika lebih banyak bersangkutan dengan frinsif-prinsif dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia. Dapat juga di katakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofi dalam hubungan dengan tingkah laku manusia. B. PENGERTIAN , NILAN, NORMA DAN MORAL 1. Pengertian Nilai
Di dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences di kemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang percayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Di dalam nilai itu sendiri terdapat cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan dan keharusan. 2. Hierarkhi Nilai
Max Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Menurut rendahnya, Nilai-nilai dapat di kelompokan dalam 4 tingkatan sebagai berikut: (1) Nilai-nilai kenikmatan (2) Nilai-nilai kehidupan (3) Nilai-nilai kejiwaan (4) Nilai-nilai kerohanian Walter G Everst mengolongkan nilai-nilai manusiawai ke dalam delapan kelompok yaitu: (1) Nilai-nilai ekonomis (2) Nilai-nilai kejasmanian (3) Nilai-nilai hiburan (4) Nilai-nilai sosial (5) Nilai-nilai watak (6) Nilai-nilai estesis (7) Nilai-nilai intelektual (8) Nilai-nilai keagamaan Notonagoro memagi nilai menjadi tiga macam yaitu: (1) Nilai materrial
(2) Nilai vitual (3) Nilai kerohanian Dan khusus nilai kerohanian in dapat di bedakan menjadi empat macam: A. Nilai kebenaran B. Nilai keindahan C. Nilai kebaikan D. Nilai religius Notonagoro berpendapat bahwa nilai-nilai pancasila tergolong nilai-nilai kerohanian. Tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vit al. NILAI DASAR, NILAI INTRUMENTAL DAN NILAI PRAKSIS
Dalam kaitannya dengan deriviasi atau penjabaran maka nilai-nilai dapat di kelompokan menjadi tiga macam yaitu nilai dasar, nilai intrumental, nilai praksis. A. Nilai Dasar
Nilai dasar in ibesifat universal karna menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu misalkan hakikat tuhan, manusia auat segala sesuatu lainnya. Demikian juga hakekat nilai dasar itu dapat juga berlandaskan pada hakikat suatu benda , kuantital, kualitas, aksi relasi ruang maupun waktu. Demikianlah sehingga nilai dasar dapat juga di sebut sebagai sumber norma yang pada gilirannya di jabarkan atau di relisasikan dalam suatu kehidupan yang bersifat praksis. B. Nilai Intrumental
Nilai intrumental lah yang merupakan suatu pedoman yang dapat di ukur dan di arahkan. Bilamana nilai intrumental tersebut berkaitan dengan tinggak laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka hal ini merupakan suatu nilai norma. Dan nilai intrumental sendiri juga dapat di katakan bahwa nilai intrumental itu merupakan suatu eksplistasi dari nilai dasar. C. Nilai Praksis
Nilai praksis pada hakekatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai intrumental dalam suatu kehidupan yang nyata. Artinya oleh karna nilai dasar, nilai intrumental dan nilai praksis itu merupakan suatu sistem perwujutannya tidak boleh menyimpang dari sistem t ersebut. 3. HUBUNGAN NILAI, NORMA DAN MORAL
Nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan norma dan etika. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penutup sikap dan tingkah laku manusia. Sedangkan hubungan moral dengan etika sangat erat sekali dan kadangkala kedua hal tersebut di samakan begitu saja. Namun sebenarnya kedua hal tersebut memiliki perbedaan. Moral