1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Posyandu merupakan salah satu strategi puskesmas untuk mempermudah masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan dasar terutama yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak, seperti penimbangan balita, imunisasi, penanganan diare, atau pelayanan atau pelayanan keluarga berencana (KB). Sebagai kegiatan yang berbasis masyarakat, posyandu diharapkan dapat mandiri dalam memberikan pelayanan, baik pada penyediaan sumberdaya manusia maupun dana kegiatan. Namun meskipun mes kipun demikian, tidak banyak penelitian yang mencoba mengungkap fakta sosial yang melatarbelakangi kesediaan masyarakat untuk bekerjasama untuk bekerjasama menjaga keberlanjutan
pelayanan
kesehatan
melalui
posyandu
(Setyawati, Hasanbasri, dan Arie Sujito, 2011). Penyelenggaraannya dilakukan oleh kader yang telah dilatih di bidang kesehatan dan KB dengan keanggotaannya keanggotaannya berasal dari PKK, tokoh masyarakat, dan pemudi. Pada awalnya Posyandu berkembang dari dari salah satu program puskesmas yaitu program perbaikan gizi masyarakat, untuk mendorong peran serta masyarakat maka program ini didorong ke tingkat desa dengan mengadakan pos penimbangan dan pemberian makanan tambahan Keberhasilan pos penimbangan ini mendorong pemerintah menambah program lain sehingga pos penimbangan berubah nama menjadi posyandu (pos pelayanan terpadu). Pos pelayanan terpadu semakin tahun semakin bertambah jumlahnya sehingga hampir setiap banjar memiliki posyandu. Sejalan Sejal an dengan otonomi daerah (desentralisasi pelayanan dasar) kehadiran posyandu semakin lama semakin berkurang tidak saja jumlahnya tetapi juga kegiatannya. Pernyataan otonomi menurunkan aktivitas posyandu ini didukung oleh Menkes Siti Fadilah. Hal ini disebabkan karena alokasi dana APBD untuk kesehatan yang begitu rendah, yaitu kurang dari 15 persen. Kita baru tersentak ketika
2
muncul gambaran status gizi balita persis seperti kondisi tahun tujuh puluhan. Dimana pada masa itu bangsal anak di rumah sakit setiap hari pasti ada anak dengan gizi buruk yang dirawat. Masalah ini akhirnya disadari oleh pemerintah, dan pemerintah mulai mengadakan program revitalisasi, seperti dalam ucapan pidato kenegaraan tahun 2006 oleh presiden bahwa pemerintah akan terus berupaya, untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, guna menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Kegiatan penyuluhan kesehatan, termasuk kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) juga mulai diaktifkan kembali. Dalam pidato tersebut dikatakan bahwa jumlah Posyandu yang telah berhasil diaktifkan kembali sampai 2006, telah mencapai 42.221 unit di seluruh tanah air (Sari, 2011). Di Ibukota, revitalisasi posyandu ini dikampanyekan melalui program
Gebyar
Posyandu
27
sejak
Desember
2005
lalu.
Sejak itu, jadwal kunjungan anak-anak balita ke posyandu dijadikan serentak, yakni pada tanggal 27 setiap bulannya. Sebelumnya, jadwal kunjungan tiap posyandu berbeda-beda. Selama 10 bulan program berjalan, sebanyak 3.984 posyandu dari total 4.019 posyandu yang tercatat, telah aktif kembali di DKI Jakarta. Idealnya masih diperlukan 6.023 posyandu lagi untuk melayani 602.353 balita. Dari jumlah itu masih 9.253 balita yang berat badannya masih di bawah garis merah (batas normal) sehingga harus dipantau intensif. Namun, sejauh ini revitalisasi itu masih menemui kendala menyangkut jumlah tenaga medis pemerintah yang tersedia. Penyeragaman jadwal membuat tenaga medis pemerintah, yang jumlahnya terbatas, tersedot serentak ke berbagai posyandu. Akibatnya, banyak posyandu yang tidak kebagian tenaga paramedis. Oleh karena itu, seringkali kegiatan imunisasi terpaksa ditunda karena absennya tenaga medis di posyandu. Di lain sisi, kendala revitalisasi tidak hanya datang dari pihak posyandunya saja, mengingat posyandu merupakan kegiatan yang berbasis masyarakat, ketidak pedulian dan rendahnya partisipasi masyarakat juga berdampak pada berhasil tidaknya revitalisasi itu sendiri Kurang sadarnya masyarakat mengenai program posyandu terlihat dari
3
tingkat kunjungan bayi ke posyandu masih rendah. Bahkan di beberapa daerah hampir 50% bayi tak pernah dibawa ke posyandu, Banyaknya angka drop out balita ketika usia 24 bulan yang menunjukan kurangnya komitmen masyarakat untuk mengikuti program posyandu Hasil penelitian Hendrik L. Blum yang sudah sering diangkat para pakar kesehatan, mengungkapkan bahwa dari empat faktor kunci yang mempengaruhi derajat kesehatan, maka aspek pelayanan ternyata hanya memiliki kontribusi sebesar 20 persen. Sementara sebagian besarnya, 80 persen, dipengaruhi
oleh
tiga
faktor
lainnya.
Persisnya, 45 persen ditentukan oleh lingkungan, 30 persen ditentukan oleh perilaku, dan sisanya, 5 persen ditentukan oleh faktor genetik atau keturunan. Dari data ini dapat disimpulkan faktor perilaku memegang peranan penting dan semestinya mendapat perhatian utama. Kita ketahui bahwa sampai sekarang sebagian besar anggaran yang disediakan pemerintah untuk sektor kesehatan kira kira 80 persen nya, ternyata masih diarahkan untuk pelayanan atau peran pengobatan. Artinya, bahwa pembangunan rumah sakit serta pengadaan obat dan sejenisnya masih menjadi prioritas utama. Sebaliknya, pelaksanaan kebijakan dan program yang ditujukan untuk memutus akar penyebabnya, yakni mengubah sikap, perilaku dan lingkungan masyarakatnya, hanya didukung oleh sisanya, sekira 20 persen (Sari, 2011).
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi
Posyandu adalah sistem pelayanan yang dipadukan antara satu program dengan program lainnya yang merupakan forum komunikasi pelayanan terpadu dan dinamis seperti halnya program KB dengan kesehatan atau berbagai program lainnya yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat. Posyandu merupakan salah satu strategi puskesmas untuk mempermudah masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan dasar terutama yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak, seperti penimbangan balita, imunisasi, penanganan diare, atau pelayanan keluarga berencana (KB). Sebagai kegiatan yang berbasis masyarakat, posyandu diharapkan dapat mandiri dalam memberikan pelayanan, baik pada penyediaan sumberdaya manusia maupun dana kegiatan. Namun meskipun demikian, tidak banyak penelitian yang mencoba mengungkap fakta sosial yang melatarbelakangi kesediaan masyarakat untuk bekerjasama menjaga keberlanjutan
pelayanan
kesehatan
melalui
posyandu
(Setyawati, Hasanbasri, dan Arie Sujito, 2011).
2.2
Sejarah Terbentuknya Posyandu
Untuk
mempercepat
terwujudnya
masyarakat
sehat,
yang
merupakan bagian dari kesejahteraan umum seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, Departemen Kesehatan pada tahun 1975 menetapkan (PKMD).
kebijakan
Adapun
Pembangunan
yang
dimaksud
Kesehatan dengan
Masyarakat
PKMD
ialah
Desa
strategi
pembangunan kesehatan yang menerapkan prinsip gotong royong dan swadaya masyarakat, dengan tujuan agar masyarakat dapat menolong
5
dirinya sendiri melalui pengenalan dan penyelesaian masalah kesehatan yang dilakukan bersama petugas kesehatan secara lintas program dan lintas sector terkait. Diperkenalkannya PKMD pada tahun 1975 mendahului kesepakatan internasional tentang konsep yang sama, yang dikenal dengan nama Primary Health Care (PHC), seperti yang tercantum dalam Deklarasi Alma Atta pada tahun 1978. Pada tahap awal, kegiatan PKMD yang pertama kali diperkenalkan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, diselenggarakan dalam pelbagai bentuk. Kegiatan PKMD untuk perbaikan gizi, dilaksanakan melalui Karang Balita, sedangkan untuk penanggulangan diare, dilaksanakan melalui Pos Penanggulangan Diare, untuk pengobatan masyarakat di perdesaan melalui Pos Kesehatan, serta untuk imunisasi dan keluarga berencana, melalui Pos Imunisasi dan Pos KB Desa. Perkembangan berbagai upaya kesehatan dengan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat yang seperti ini, disamping menguntungkan masyarakat, karena memberikan kemudahan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan, ternyata juga menimbulkan berbagai masalah, antara lain pelayanan kesehatan menjadi terkotak-kotak, menyulitkan koordinasi, serta memerlukan lebih banyak sumber daya. Untuk mengatasinya, pada tahun 1984 dikeluarkanlah Instruksi Bersama antara Menteri Kesehatan, Kepala BKKBN dan Menteri Dalam Negeri, yang mengintegrasikan berbagai kegiatan yang ada di masyarakat ke dalam satu wadah yang disebut dengan nama Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU).
Kegiatan
yang
dilakukan,
diarahkan
untuk
lebih
mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi, yang sesuai dengan konsep GOBI – 3F (Growth Monitoring, Oral Rehydration, Breast Feeding, Imunization, Female Education, Family Planning, dan Food Suplementation), untuk Indonesia diterjemahkan ke dalam 5 kegiatan Posyandu, yaitu KIA, KB, Imunisasi, Gizi dan penanggulangan diare. Perencanaan Posyandu yang merupakan bentuk baru ini, dilakukan secara missal untuk pertama kali oleh Kepala Negara Republik Indonesia pada tahun 1986 di Yogyakarta, bertepatan dengan peringatan hari Kesehatan
6
nasional. Sejak saat itu Posyandu tumbuh dengan pesat. Pada tahun 1990, terjadi perkembangan yang sangat luar biasa, yakni dengan keluarnya Instruksi Mneteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 9 Tahun 1990 tentang Peningkatan Pembinaan Mutu Posyandu. Melalui instruksi ini, seluruh kepala daerah ditugaskan untuk meningkatkan pengelolaan mutu Posyandu. Pengelolaan Posyandu dilakukan oleh satu Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) Posyandu yang merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah (Sari, 2011).
2.3
Tahap Perkembangan
Pada perkembangannya posyandu dibagi menjadi 4 strata yaitu posyandu pratama, posyandu madya, posyandu purnama dan posyandu mandiri. Pembagian keempat strata posyandu tersebut berdasarkan pada tingkat kualitas dan telaah kemandirian posyandu. Posyandu yang memiliki tingkat kualitas paling tinggi dan paling mandiri dikelompokkan dalam posyandu mandiri. Selain itu, semakin posyandu menjadi posyandu mandiri maka tingkat pemberdayaan masyarakat juga semakin tinggi dibanding dengan posyandu pada tingkat pratama, madya atau purnama. Perkembangan posyandu tersebut sangat dipengaruhi oleh upaya kader dalam mengelola posyandu serta tingginya pemberdayaan dan peran serta masyarakat
dalam
kegiatan
posyandu
di
wilayah
tersebut
(Setyawati, Hasanbasri, dan Arie Sujito, 2011). 2.3.1
Posyandu Pratama (Warna Merah)
Posyandu tingkat pratama adalah posyandu yang masih belum mantap, kegiatannya belum bisa rutin tiap bulan dan kader aktifnya terbatas. Keadaan ini dinilai ‘gawat’ sehingga intervensinya adalah pelatihan kader ulang. Artinya kader yang ada perlu ditambah dan dilakukan pelatihan dasar lagi. 2.3.2
Posyandu Madya (Warna Kuning)
Posyandu pada tingkat madya sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali per tahun dengan rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau
7
lebih. Akan tetapi cakupan program utamanya (KB, KIA, Gizi, dan Imunisasi) masih rendah yaitu kurang dari 50%. Ini berarti, kelestarian posyandu sudah baik tetapi masih rendah cakupannya. Intervensi untuk posyandu madya ada 2 yaitu : a.
Pelatihan Toma dengan modul eskalasi posyandu yang sekarang sudah dilengkapi dengan metoda simulasi.
b.
Penggarapan dengan pendekatan PKMD (SMD dan MMD) untuk menentukan
masalah
dan
mencari
penyelesaiannya,
termasuk
menentukan program tambahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. 2.3.3
Posyandu Purnama (Warna Hijau)
Posyandu pada tingkat purnama adalah posyandu yang frekuensinya lebih dari 8 kali per tahun, rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih, dan cakupan 5 program utamanya (KB, KIA, Gizi dan Imunisasi) lebih dari 50%. Sudah ada program tambahan, bahkan mungkin sudah ada Dana Sehat yang masih sederhana. Intervensi pada posyandu di tingkat ini adalah : a.
Penggarapan
dengan
pendekatan
PKMD
untuk
mengarahkan
masyarakat menetukan sendiri pengembangan program di pos yandu. b.
Pelatihan Dana Sehat, agar di desa tersebut dapat tumbuh Dana Sehat yang kuat dengan cakupan anggota minimal 50% KK ata u lebih.
2.3.4
Posyandu Mandiri (Warna Biru)
Posyandu ini berarti sudah dapat melakukan kegiatan secara teratur, cakupan 5 program utama sudah bagus, ada program tambahan dan Dana Sehat telah menjangkau lebih dari 50% KK. Intervensinya adalah pembinaan Dana Sehat, yaitu diarahkan agar Dana Sehat tersebut menggunakan prinsip JPKM. Posyandu akan mencapai strata Posyandu Mandiri sangat tergantung kepada
kemampuan,
keterampilan
diiringi
rasa
memiliki
serta
tanggungjawab kader PKK, LPM sebagai pengelola dan masyarakat sebagai pemakai dari pendukung Posyandu.
8
2.4
Penyebaran Posyandu
Secara
kuantitas,
perkembangan
jumlah
Posyandu
sangat
menggembirakan, karena di setiap desa ditemukan sekitar 3- 4 Posyandu. Pada saat Posyandu dicanangkan tahun 1986, jumlah Posyandu tercatat sebanyak 25.000 Posyandu, dan pada tahun 2009, meningkat menjadi 266.827 Posyandu dengan rasio 3,55 Posyandu per desa/kelurahan. Namun bila ditinjau dari aspek kualitas, masih ditemukan banyak masalah, antara lain kelengkapan sarana dan ketrampilan kader yang belum memadai.
Hasil analisis Profil Upaya Kesehatan Bersumberdaya
Masyarakat (UKBM) menunjukkan pergeseran tingkat perkembangan Posyandu. Jika pada tahun 2001, tercatat 44,2% Posyandu strata pratama, 34,7% Posyandu strata madya, serta 18,0% Posyandu tergolong strata purnama. Maka pada tahun 2003 tercatat 37,7% Posyandu tergolong dalam strata pratama, 36,6% Posyandu tergolong strata madya, serta 21,6% Posyandu tergolong strata purnama. Sementara jumlah Posyandu yang tergolong mandiri meningkat dari 3,1% pada tahun 2001 menjadi 4,82% pada tahun 2003 (Kemenkes RI, 2011).
2.5
Indikator Tingkat Kemandirian Posyandu
Untuk mengetahui tingkat perkembangan Posyandu,
ditetapkan
seperangkat indikator yang digunakan sebagai penyaring atau penentu tingkat perkembangan Posyandu. Secara sederhana indikator untuk tiap peringkat Posyandu dapat diuraikan sebagai berikut: No.
Indikator
1
2
3
4
1.
Frekuensi Kegiatan
<8
>8
>8
>8
2.
Rerata Jumlah Kader
≤5
≥5
≥5
≥5
3.
Rerata Cakupan D/ S
< 50 %
< 50 %
> 50 %
> 50 %
4.
Cakupan KB
< 50 %
< 50 %
> 50 %
> 50 %
5.
Cakupan KIA
< 50 %
< 50 %
> 50 %
> 50 %
6.
Cakupan Imun
< 50 %
< 50 %
> 50 %
> 50 %
9
7.
Program Tambahan
-
-
+
+
8.
Cakupan Dana Sehat
< 50 %
< 50 %
< 50 %
> 50 %
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1
Hasil Penelitian
3.1.1
Jumlah Posyandu
Jumlah posyandu mandiri yang ada di Jakarta cukup tinggi, hampir 50%. Dari 4.069 jumlah posyandu yang ada, terdapat 2.008 posyandu mandiri. Sedangkan di kota Bandung, dari 3.918 posyandu yang ada, hanya terdapat 83 posyandu mandiri atau dapat dikatakan hanya 2,11% (Jakarta.go.id, 2010; Pikiran Rakyat, 2011). Tabel Kemandirian Posyandu di Indonesia (2000)
Hasil diatas menunjukkan bahwa posyandu mandiri di Indonesia masih rendah. 3.1.2
Peranan Puskesmas dan Posyandu
Tabel Peranan Puskesmas dan Posyandu
10
Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa upaya revitalisasi, kunjungan kegiatan, dan bantuan yang diberikan puskesmas tidak mampu mendorong posyandu untuk lebih mandiri. Tetapi training kader merupakan satu-satunya cara yang memiliki kemungkinan dalam menghasilkan posyandu mandiri hingga mencapai hasil 4 kali lipat. Hal ini menegaskan bahwa intervensi puskesmas yang bersifat membangun kapasitas
memiliki
peran
penting
dalam
proses-proses
menuju
kemandirian.
3.2
Pembahasan
Kemandirian posyandu tidak terlepas dari kemampuan para kader didalamnya. Peningkatan kualitas kader posyandu akan menentukan kualitas pelayanan yang diberikan. Hal ini dikarenakan kader memiliki peran yang sangat besar dalam mentransfer pengetahuan kesehatan kepada warga masyarakat. Penelitian di India membuktikan bahwa kegiatan pembangunan kesehatan
yang berbasis pada pemberdayaan kader
masyarakat mampu menurunkan kasus penyakit kronis seperti TBC, malaria, dan penurunan kematian bayi. Interaksi sosial yang melekat di
11
masyarakat memungkinkan terjadinya transfer informasi diantara internal para kader maupun antara kader dengan warga, terutama ibu balita. Pengetahuan dan kemampuan ibu-ibu balita dapat berkembang dengan adanya mekanisme ini. Hal tersebut
memberikan pengaruh positif
terhadap kesediaan ibu balita untuk datang ke posyandu. Penelitian di kabupaten Bengkulu Utara menunjukkan bahwa kader yang tidak terampil diduga menjadi penyebab rendahnya utilisasi posyandu oleh ibu balita sedangkan di kabupaten Kampar dan Belawan utilisasi posyandu dipengaruhi oleh rendahnya kemampuan kader dalam memberikan penyuluhan gizi. Informasi merupakan prinsip dasar yang sangat penting dalam melakukan sebuah aktifitas dan modal social memiliki potensi untuk memfasilitasi proses pertukaran informasi tersebut. Kelompok-kelompok sosial yang ada di masyarakat dan berbagai partisipasi yang terjadi dapat menjadi input eksternal dan merupakan modal dalam pencapaian program puskesmas melalui proses-proses pengembangan masyarakat. Penekanan dari proses ini adalah peningkatan kapasitas masyarakat untuk menjadi mandiri dan mampu mengelola berbagai faktor yang mempengaruhi kehidupan mereka serta pemanfaatan sumber daya yang dimiliki masyarakat dimana struktur-struktur yang dikembangkan
harus
mampu
berlanjut
dalam
jangka
panjang.
Pembentukan berbagai kegiatan berbasis masyarakat seperti posyandu merupakan salah satu manifestasi dari proses ini. Dalam kegiatan tersebut masyarakat lebih ditempatkan sebagai pelaku utama kegiatan manajemen. Ketersediaan modal sosial yang tinggi di masyarakat memungkinkan proses-proses ini dapat berjalan dengan lebih baik. Adanya ikatan sosial yang kuat, sikap kooperatif, dan adanya proses transfer informasi antar warga merupakan modal dalam program pengembangan posyandu. Proses pengembangan tersebut harus selalu berupaya memaksimalkan partisipasi dimana setiap entitas dalam masyarakat terlibat secara aktif dalam proses proses identifikasi masalah, pengambilan keputusan serta cara-cara
12
pencapaiannya, sedangkan pihak pemerintah merupakan pendukung dan fasilitator dari proses tersebut.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1
Kesimpulan
Puskesmas pelu lebih memahami penerapan prinsip-prinsip pengembangan
masyarakat
dalam
memberikan
intervensi
kepada
posyandu. Salah satu prinsip penting dalam hal ini adalah pelibatan masyarakat
dalam
mengidentifikasi
permasalahan
kesehatan
dan
mengimplementasikan keputusan-keputusan yang disepakati. Proses ini memungkinkan adanya penguatan kapasitas dan jejaring di masyarakat, pemanfaatan sumber-sumber lokal dan menjamin kepemilikan pelayanan oleh masyarakat. Melalui proses ini maka terjadi sinergi antara pemerintah, yang dalam hal ini adalah puskesmas bersama intervensinya, dengan masyarakat sebagai penyelenggara kegiatan. Berbagai upaya pemerintah tidak akan membawa manfaat jika motivasi di level masyarakat
terabaikan.
Hal
ini
mengisyaratkan
untuk
mencapai
13
keberhasilan program diperlukan komitmen dari pemerintah dan tindakan kooperatif dari level grass-root.
4.2
Saran
Pendekatan yang diterapkan puskesmas sebaiknya tidak bersifat birokratis dan mekanis namun lebih bersifat partisipatif yang bertumpu pada modal social karena eksistensi modal social mampu menjadi kontrol dalam implementasi program-program puskesmas. Langkah nyata yang dapat dilakukan oleh puskesmas dalam mengembangkan program posyandu tersebut yaitu dengan mengintegrasikan program tersebut ke dalam
kelompok-kelompok
sosial
yang
ada
di
masyarakat
dan
menempatkan para professional kesehatan dari puskesmas bukan sebagai aktor ahli namun sebagai fasilitator dalam pelaksanaan program dan juga bantuan Pemerintah sangat diperlukan dalam membangun Posyandu Mandiri.
LAMPIRAN GAMBAR
Gambar 1. (Sumber: http://topikharini.blogspot.com/2010/07/ kader-posyandu-mojokerto-belajarke.html)
Gambar 2. (Sumber: http://rw09curug.blogspot.com/2011/01/ posyandu-mandiri.html)
14
Gambar 3. (Sumber: http://skpd.batamkota.go.id/kesehatan/20 13/07/10/predikat-juara-ii-prakartimadya-tingkat-nasional-tahun-2013untuk-posyandu-anggur-taman-baloi/)
Gambar 4. (Sumber: http://anisavitri.wordpress.com/2009/11/ 18/rasio-dokter-dengan-masyarakatyang-dilayani-menuju-indonesia-sehat2010/)
DAFTAR PUSTAKA
Jakarta.go.id. 2010. Keadaan Posyandu di Provinsi DKI Jakarta. Portal Resmi Provinsi
DKI
Jakarta.
(http://www.jakarta.go.id/v2/news/2010/09/Posyandu#.UiyzlRul7QI, diakses pada 5 September 2013).
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Umum Posyandu. (http://s3.amazonaws.com/pptdownload/pedomanumumposyandu-121126012821-phpapp02.pdf?responsecontentdisposition=attachment&Signature=fH%2Bs1P7e5ibL049NA7otj5fj5aw%3 D&Expires=1378401132&AWSAccessKeyId=AKIAIW74DRRRQSO4NIK A, diunduh pada 5 September 2011).
15
Pikiran Rakyat Online. 2011. Hanya 2,11% Posyandu Mandiri di Kabupaten Bandung. (http://www.pikiran-rakyat.com/node/167375, diakses pada 5 September 2013).
Sari,
Yohana.
2011.
Tujuan,
Sejarah
dan
Dasar
Hukum
Posyandu.
(http://posyandu.org/posyandu/158-tujuan-sejarah-dan-dasar-hukum posyandu.html, diakses pada 7 September 2013).
Setyawati, G., M. Hasanbasri, A. Sujito. 2011. Keterbukaan Sistem Puskesmas, Modal Sosial dan Kemandirian Posyandu. KMPK Universitas Gajah Mada. (http://dosen.narotama.ac.id/wpcontent/uploads/2012/02/GITA_ARIS_SETYAWATI_wps.pdf, pada 5 September 2013).
diunduh