MENCERMATI PENGEMBANGAN SEDIAAN FARMASI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN TUNTUNAN SYARIAT ISLAM
Surya Amal Himyatul Hidayah
MAKALAH PEMBEKALAN MABA 2015/2016 PRODI FARMASI FIK UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
AGUSTUS, 2015
© 2015, Department of Pharmacy University of Darussalam Gontor - Indonesia| Surya Amal and Hinyatul hidayah
MENCERMATI PENGEMBANGAN SEDIAAN FARMASI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN TUNTUNAN SYARIAT ISLAM Oleh : Surya Amal Himyatul Hidayah (Prodi Farmasi FIK Universitas Darussalam Gontor)
A. Pendahuluan Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. (PP Nomor 51 Tahun 2009). Secara khusus obat merupakan sebuah senyawa atau campuran senyawa yang dapat digunakan untuk mempengaruhi atau mempelajari kondisi fisik atau penyakit, sehingga dapat dilakukan diagnosis, pencegahan, pengobatan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (SK Menkes No. 47/MenKes/SK/11/1981). Pengembangan produk obat ( drug product development ), dan sediaan farmasi lainnya patut dicermati, baik dari aspek kemaslahatannya maupun dari kebolehan penggunaannya ditinjau dari syariat Islam. Salah satunya adalah memperhatikan status kehalalan sediaan farmasi tersebut. Walaupun istilah boleh atau tidak boleh, dengan perkataan lain (halal-haram) berlaku pula untuk bentuk-bentuk aktivitas dan pemikiran yang dilakukan seseorang, namun tulisan ini akan membatasi pengertiannya pada aspek materialnya. Kompleksitas persoalan kesehatan menuntut penanganan yang lebih komprehensif baik untuk upaya pencegahan, pengobatan dan pemulihan penyakit. Dalam Islam kesehatan sangat dijunjung tinggi baik kesehatan fisik dan mental, maupun kesehatan lingkungan. Hal ini dapat kita temukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang merupakan sumber hukum Islam dan menjadi pedoman hidup bagi seluruh ummat Islam. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kesehatan, menurut Zuhdi Masjfuk dalam Masail Fiqhiyah, 1994, dapat dibagi menjadi tiga macam; Pertama : Islam melarang perbuatan-perbuatan yang dapat membahayakan kesehatan dirinya dan atau orang lain. Kedua : Islam menyuruh (wajib) atau menyarankan (sunnah) yang mempunyai dampak positif, yaitu mencegah penyakit dan menyegarkan atau menyehatkan jasmani dan rohani. Ketiga : Islam menyuruh (wajib) orang yang sakit berobat untuk mengobati penyakitnya. Karakterisasi pengaruh ilmu farmasi dan bidang ilmu terkait dalam pengembangan sediaan farmasi menjadi lebih kompleks dengan munculnya berbagai bidang ilmiah, termasuk: pertanian, kimia, biokimia, imunologi, biologi molekuler, dan biofarmasetika. Sebagai contoh dari beberapa produk biofarmasetika antara lain protein, antibodi monoklonal, hormon dan enzim menjadi titik kritis dimana dapat diperoleh dari sumber hewani. Walaupun sesungguhnya teks-teks Al-Qur’an dan Hadist memiliki batasan yang tegas untuk beberapa bahan yang diharamkan penggunaannya. Seorang farmasis muslim akan berusaha menyelaraskan prinsip-prinsip ilmiah farmasi di atas keyakinan keberislamannya. Implementasinya mengembangkan kajian farmasi Islam, yaitu bidang keilmuan dan pelayanan kefarmasian dalam koridor Islam. Untuk maksud tersebut diperlukan world view Islam, termasuk menggali konsep-konsep dasarnya di atas mana peradaban Islam pernah dibangun di dunia Arab Islam pada abad pertengahan. © 2015, Department of Pharmacy University of Darussalam Gontor - Indonesia| Surya Amal and Hinyatul hidayah
A. Sejarah Singkat Pengobatan dan Perkembangan Awal Bidang Kefarmasian Pengobatan yang semula menjadi tradisi penyembuhan dari penyakit yang diderita oleh seseorang telah berjalan ribuan tahun, bahkan diperkirakan telah bersamaan dengan keberadaan manusia di alam semesta. Pada awalnya kemampuan mengobati dan meracik obat dipegang oleh satu orang dan praktiknya dijalankan secara spekulatif, dipengaruhi oleh tahyul dan perdukunan (occultism). Ilmu Pengobatan ketika itu belum didasarkan atas pengetahuan anatomi, farmakologi dan ilmu farmasi lainnya. Pengetahuan tabib dan pengobatan kemudian berkembang di Yunani, Mesir, Cina, India dan berbagai wilayah di Asia. Di Yunani kuno misalnya, mereka semula hanya percaya pada pendeta sebagai orang yang dianggap mampu menjaga kesejahteraan rohani dan jasmani rakyat, tentu termasuk pada penyembuhan. Lambat laun peran ini diambil tabib, yang memperoleh ilmu pengobatan secara intuitif dan empiris. (Pane, A.H. 2000) Di zaman Yunani Kuno (ancient greek ) terdapat seorang tabib yang namanya melegenda dan sangat dikagumi oleh Hippocrates yakni Aesculapius (Asclepius). Beliau diyakini sebagai putra Apollo dan Chronis. Dalam profesinya sebagai tabib Aesculapius kerap dibantu oleh dua orang putrinya yakni Hygieia dan Panacea. Tokoh-tokoh inilah yang meginspirasi Hippocrates, ketika beliau mencetuskan simbol kedokteran dan farmasi. Simbol kedokteran dengan ular dan cawan diambil dari ciri Aesculapius yang digambarkan membawa tongkat yang dililit ular. Sedangkan simbol farmasi dengan cawan dan ular sebagaimana Hygieia (putri Aesculapius) digambarkan membawa cawan (media meracik obat) yang kerap antara lain menggunakan bisa ular. Pada tahun 400 SM berdiri sekolah kedokteran dengan alumninya yang terkenal, Hippocrates, tokoh yang disebutkan di atas. Hippocrates yang kemudian dikenal sebagai Bapak Kedokteran, merasionalisasikan ilmu pengobatan dan meningkatkan profesi tabib pada taraf etik yang tinggi. Kemudian muncul tokoh Yunani lain bernama Galenus, seorang ahli meracik obat dari sari pati tumbuhan, sehingga keterampilan meracik obat dari sari pati tumbuhan ini kemudian dikenal dengan istilah Galenika. Perkembangan Ilmu dan Profesi Kefarmasian di Eropa ditandai ketika Kaisar Jerman Frederick II pada tahun 1240 mengeluarkan maklumat untuk memisahkan farmasi dari kedokteran, sehingga masing-masing ahli mempunyai kesadaan, standar etik, pengetahuan dan keterampilan sendiri. Maklumat ini dikenal dengan “The Magna Carta of Pharmacy” yang berisi tiga keputusan. Dengan maklumat ini maka keahlian farmasi menjadi profesi resmi yang terpisah dari kedokteran, namun tetap mempunyai tujuan yang sama menolong orang sakit dan meningatkan kesehatan manusia. Walaupun dari berbagai catatan sejarah diketahui bahwa kemajuan Arab Islam di Abad Pertengahan menunjukkan pemisahan praktek kefarmasian dari medis, terutama di kota Baghdad. Pengaruh Farmasi Arab Islam Farmasi Islam (Saydanah), yang merupakan seni mempersiapkan dan meracik obat, sudah mulai dikenal di Jazirah Arab sejak abad kedelapan. Apotik disebut dalam bahasa Arab sebagai Saydanah dan apoteker disebut dengan as-saydanani atau assaydalani. Aspek dan pengaruh Arab Islam dalam kebanyakan penulisan barat tentang sejarah kedokteran dan farmasi seringkali tidak dinyatakan. Sedangkan pada hakikatnya pencapaian sains dan budaya dunia Arab Islam begitu banyak mempengaruhi profesi serta sumbangan pustaka farmasi di barat yang wujud hingga hari ini. (Pane, A. H., 2000; Zakaria Virk). © 2015, Department of Pharmacy University of Darussalam Gontor - Indonesia| Surya Amal and Hinyatul hidayah
Sejarah kedokteran (juga farmasi) Arab dapat dibagi menjadi tiga tahap: Yunani ke Arab, Arab, dan Arab ke dalam bahasa Latin. Tahap pertama "Yunani ke Arab" dimulai pada abad kedelapan saat Islam meliputi hampir dua-pertiga dari dunia yang dikenal. Ini adalah periode penerjemahan naskah ilmiah dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Khalifah Baghdad ketika itu menyadari apa yang harus dipelajari dari ilmu pengetahuan Yunani, dan pada masa pemerintahan al-Ma'mun dimana Institusi "The House of Wisdom" didirikan untuk tujuan ini. Yang paling terkenal dari semua penerjemah adalah Hunayn Ibn-Is'haq. Dia dan timnya telah menerjemahkan sejumlah besar naskah medis oleh Hippocrates dan Galen, karya filosofis oleh Plato dan Aristoteles, dan karya matematika oleh Euclid dan Archimedes. Rumah sakit dan sekolah kedokteran berkembang selama periode itu, pertama di Baghdad dan kemudian di kota-kota provinsi utama. (Saad, B. 2014; Huguet, T. dan Termes. 2008) Kecemerlangan Arab Islam di abad pertengahan itu menjadi bukti kegigihan mereka dalam membangun peradaban melalui ilmu pengetahuan. Berikut dapat kita lihat alur transformasi ilmu pengetahuan terutama yang berkenaan dengan kedokteran dan farmasi.
Figure : Development of Greco-Arab and Islamic medicine (Source : Saad, B. 2014)
Setelah periode pertama penerjemahan, dimana karya-karya utama dari Galen dan Hippocrates telah dapat ditemukan dalam literatur yang berbahasa Arab. Pada fase ini umat Kristiani kehilangan monopoli mereka berkenaan dengan obat-obatan, Beberapa Ilmuan Muslim justru meraih Ilmu kedokteran dan pengobatan sejajar dengan Ilmuan-Ilmuan Yunani yang terkemuka ketika itu, dan bahkan berdiri jauh di atas pendahulunya. (Saad, B. 2014; Muazzam, M.G. 1989). Beberapa ulama terkenal dari ilmu kedokteran Arab adalah: Al Tabbari (838-870), Al Razi (Rhazes) (846- 930), Al Zahrawi (930-1013), Ibnu Sina (980-1037), Ibnu Al Haitham (960 -1040), Ibnu Al Nafees (1213-1288), dan Ibnu Khaldun (1332-1395). © 2015, Department of Pharmacy University of Darussalam Gontor - Indonesia| Surya Amal and Hinyatul hidayah
Pada perkembangan selanjutnya di Barat, dimana sebagian besar warisan medis Barat berasal dari literatur Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Penerjemahan literatur Arab ke dalam bahasa Latin dilakukan pertama kali di Toledo, serta di daerah Italia selatan Salerno. Berkat penerjemahan ini farmakologi Islam mewarnai teks medis Eropa dari abad 13 hingga abad ke-19. Meskipun demikian, seperti studi oleh Danielle Jacquart dan Albert Dietrich, yang menurutnya masih terdapat kesenjangan besar mengenai isu-isu kunci yang berkaitan dengan penerimaan farmakologi Islam dan farmasi di Barat. (Huguet, T. dan Termes. 2008). Hal ini tentu menjadi menarik untuk dicermati, terutama dalam perkembangan farmasi pada dekade terakhir ini. Merekonstruksi sejarah masa silam menghidupkan konsep-konsep dasar di atas mana peradaban Islam yang pernah dibangun. B. Obat Herbal dan Obat Bersumber Bahan Alam Penggunaan herbal untuk mengobati penyakit bersifat universal di kalangan masyarakat non-industri, dimana harganya seringkali dianggap lebih terjangkau dibanding obat-obat modern. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 80 persen dari populasi beberapa negara Asia dan Afrika saat ini menggunakan obat herbal untuk beberapa aspek pelayanan kesehatan primer. Studi di Amerika Serikat dan Eropa telah menunjukkan bahwa penggunaan obat-obat herbal untuk kepentingan klinis belum bersifat umum, tetapi fakta ini meningkat dalam beberapa tahun terakhir setelah obat-obat herbal dengan bukti ilmiah tentang efektifitasnya lebih banyak tersedia. Sekarang, efek karakterisasi farmakologi dan biologi dalam pengobatan herbal menjadi lebih kompetitif dan kompleks dengan keterlibatan dalam penelitian para ahli untuk membedakan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmiah, termasuk botani, kimia, biokimia, imunologi, biologi molekular dan bioinformatika. Ilmu pengetahuan tersebut menjadi sangat mengesankan untuk beberapa dampak dalam bidang ilmiah. Sewaktuwaktu pengobatan herbal dan spiritual bukan tidak mungkin akan menjadi pilihan pertama untuk kesehatan. Mengutip dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam bukunya Thibbun Nabawi, yang dalam Edisi Bahasa Indonesia oleh Penerbit Hikam Pustaka dengan judul Praktek Kedokteran Nabi S.A.W, di bawah ini beberapa obat dan penggunaannya untuk menambah referensi dan bahan kajian ilmiah. 1.
Sitrun (Utrujj) Dalam Shahih Bukhari Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda : “Perumpamaan seorang mukmin yang membawa Al-Qur’an adalah seperti ‘Utrujah, rasanya enak dan baunya harum”. Bagian-bagian sitrun seperti kulit, daging, buah, zat asam, dan biji bermanfaat sebagai obat. Antara lain bersumber dari Al-Qaanuun bahwa “perasan kulit sitrun berkhasiat mengobati luka gigitan ular, sedangkan kulitya digunakan sebagai pembalut untuk gigitan ular. Abu bakaran kulitnya digunakan sebagai salep yang efektif melawan lepra”. Sementara Al-Ghifari berkata, “Daging buah sitrun dapat menyembuhkan anyang-anyangan jika dimakan”.
2. Beras Ketan (Arz / Syanaubar) Biji beras ketan mempunyai sifat melembutkan, mematangkan, dan agak lengket yang dapat dicegah bila direndam dengan air. Khasiat biji ketan antara lain;
© 2015, Department of Pharmacy University of Darussalam Gontor - Indonesia| Surya Amal and Hinyatul hidayah
membantu menyembuhkan batuk, menghilangkan uap yang terakumulasi dalam paru-paru, dan menambah produksi sperma. 3. Celak (Itsmid) Celak berkhasiat menguatkan mata dan saraf mata, menghilangkan daging berlebihan di sekitar koreng dan menutup luka sewaktu membersihkan wilayah sekitarnya. 4. Buah Ara (Tin) Buah Ara atau Tin berkhasiat menghancurkan batu (ginjal) dan membersihkan kandung kencing di ginjal dan berkhasiat melawan racun, membersihkan liver dan limpa, membersihkan lendir dalam perut. Galenius menandaskan, “Bila dimakan bersama buah badam dan buah rue, selama tidak mengonsumsi racun mematikan, akan berkhasiat menjaga tubuh dari berbagai unsur berbahaya.” 5. Jinten Hitam (Habbatus Saudaa) Dinyatakan dalam Shahih Bukhari Muslim dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Salamah bahwa Abu Hurairah r.a meriwayatkan dari Rasulullah S.A.W. yang bersabda : “Hendaklah kalian menggunakan habbatus saudaa karena ia mengandung obat untuk setiap penyakit, kecuali kematian”. Saat ini Jinten Hitam telah dikemas dalam berbagai bentuk sediaan herbal sebagai obat. 6. Cress/Seledri Air (Hurf) Khasiat seledri sebagai obat disebutkan antara lain; obat cacing, mendekomposisi tumor limpa, membangkitkan gairah seksual, menyembuhkan kudis dan herpes. 7. Daun Kemangi/ Daun Ruku-Ruku (Raihan) Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda : Siapa saja yang diberi raihan, janganlah menolaknya karena ia ringan dan memiliki bau yang harum”. Disebutkan khasiatnya sebagai obat antara lain : menghentikan diare, penyakit kuning, tumor di dua ureter jika diborehkan di atasnya. Jika seseorang berendam di dalam raihan yang dimasak, maka air itu dapat mengobati infeksi di pantat dan vagina. Disamping yang telah disebutkan di atas terdapat pula seperti Buah Delima (Rumman), Minyak Zaitun (Zait), Jahe (Zanjabil), Kayu Siwak (Siwak), dan lain-lain. Patut pula dicacat bahwa Farmasi Islam telah memperkenalkan kurang lebih 2000 bahan obat baru termasuk adas manis, kayu manis, cengkeh, senna, kamper, cendana, musk , cassia, asam, pala, aconite, dan merkuri. Mereka juga telah memperkenalkan ganja sebagai obat bius (untuk tujuan anastesi). Untuk pengembangan bentuk-bentuk sediaan obat untuk pertamakalinya mereka sudah mengembangkan bentuk sediaan berupa sirup, pil, elixir, permen, tinktur, dan inhalansi. Apoteker Muslim ketika itu telah mulai melakukan penyelidikan ilmiah tentang komposisi, dosis, penggunaan, dan efek terapi obat (Zakaria Virk dalam Muslim Contribution to Pharmacy). Sebagai contoh dapat dicermati dari sebuah pernyataan yang dikutip dari Rhazes “When the disease is stronger than the natural resistance of the patient, medicine is of no use. When the patient’s resistance is stronger than the © 2015, Department of Pharmacy University of Darussalam Gontor - Indonesia| Surya Amal and Hinyatul hidayah
disease, the physician is of no use. When the disease and the patient’s resistance are equally balanced, the physician is needed to help tilt the balance in the patients favour”. (Saad, B. 2014) C. Isu Halal pada Sediaan Farmasi Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik berkembang sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta Produk lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan. Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan percampuran antara yang halal dan yang haram baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan kesucian suatu Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, dan pemahaman tentang syariat. (Penjelasan UU RI Nomor 33 Tahun 2014) Berdasarkan ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadist bahwa bahan haram diluar babi adalah organ manusia (bahan dari rambut, plasenta, essen dari embrio), bangkai hewan (mati tidak disembelih, dipukul, tercekik, disembelih tidak secara Islam), binatang buas (srigala, harimau. singa, burung buas, dan lain-lain), darah, khamar (minumam yang difermentasi mengandung alkohol). Pelarangan memakan darah dan bangkai terdapat pada Surat Al Baqarah ayat 173 dan Surat Al Maidah ayat 3. Sedangkan pelarangan minum khamar terdapat dalam Surat Al Maidah ayat 90-91, pelarangan memakan dan memakai organ manusia terdapat pada Surat Bani Israil ayat 70. Ketentuan melarang memakan binatang buas terdapat pada Hadist. Masalah halal dan haram bukan hanya merupakan isu yang sensitif di Indonesia, tetapi juga selalu mengusik keyakinan umat Islam di seluruh dunia. Umat Islam di seluruh dunia amat berkepentingan atas jaminan halal tidak saja terhadap produk pangan, obat-obatan dan kosmetika, namun juga terhadap proses produksi serta rekayasa genetik. Sebagai contoh, hal yang juga dapat menentukan kehalalan proses produksi obat terkait dengan penambahan bahan-bahan farmasetik, yakni bahan tambahan (bukan obat) yang diracik bersama obat membentuk produk farmasetik. Bahan-bahan tersebut bisa berupa substansi pembasah, bufer, pengemulsi, pewarna, perasa, pemanis, pengisi tablet, pelarut, bahan enkapsulasi, dan lain-lain. Bahan-bahan ini bisa saja berasal dari bahan mentah atau proses produksi yang membuatnya menjadi haram. Bahan kapsul yang terbuat dari gelatin sebagai contoh, tergolong sebagai bahan yang kritis status kehalalannya, sementara masih terdapat gelatin yang berasal dari babi. (Ranasasmita, R., Roswiem, A.P., 2015). Apalagi saat ini bahan-bahan yang digunakan untuk produksi obat dan kosmetika masih banyak yang harus didatangkan dari luar negeri. Sebagai tambahan bahwa gelatin merupakan salah satu bahan baku yang banyak digunakan dalam produk makanan, obat-obatan dan kosmetik. Penggunaannya pada obat-obatan yakni bahan untuk kapsul gelatin lunak dan keras, pil dan tablet bersalut gula, pengganti serum, vitamin enkapsulasi, substansi polimer untuk sistem penghataran obat ( drug delivery system) terutama pada sediaan obat lepas lambat. Sedangkan terhadap produk kosmetik gelatin dapat digunakan untuk pembuatan krim, masker, dan lotion. Gelatin dapat diekstrak dari tulang, lemak, limbah daging, lemak dan minyak goreng dari hewan. Ada beberapa jenis gelatin, dan yang paling disukai adalah yang bersumber dari babi ( porcine) dan sapi (bovine). (Sahilah, A.M. et al. 2012). © 2015, Department of Pharmacy University of Darussalam Gontor - Indonesia| Surya Amal and Hinyatul hidayah
Sebagai contoh yang lain yang bersumber dari babi adalah Heparin porcine. Heparin berbeda dengan gelatin, dimana gelatin hanya digunakan untuk tujuan bahan tambahan farmasetik (bukan obat). Heparin sebagai obat telah digunakan selama lebih dari 50 tahun untuk mengobati dan mencegah trombosis. Hal ini juga diperlukan untuk sirkulasi ekstrakorporeal selama hemodialisis atau operasi jantung. Heparin yang memiliki aktivitas antikoagulan ini masih diperoleh secara eksklusif dari jaringan hewan, terutama dari usus babi ( porcine). Meskipun heparin saat ini telah dapat diperoleh dari jaringan paru-paru sapi (bovine), namun nyaris menimbulkan penolakan setelah munculnya kasus sapi gila (the bovine spongiform encephalopathy ). (Warda, M. et al. 2003; Tovar et al. 2013). Selain dua contoh sediaan farmasi yang telah disebutkan di atas, dalam monograf British Pharmacopoeia (BP) Edisi 2012 tercamtum 27 sediaan obat menggunakan bahan dari porcine (babi), baik sebagai bahan aktif maupun sebagai bahan tambahan farmasetk. Ketentuan yang berlaku di Malaysia untuk produk obat-obatan sebagaimana dalam Malaysian Standard MS 2424:2012, dimana perusahaan farmasi diwajibkan mematuhi aspek-aspek hukum syariah untuk obat-obatan sebagai berikut : 1.
Obat-obatan tidak boleh mengandung bagian atau produk hewan yang tidak halal atau tidak disembelih sesuai ketentuan Islam. 2. Obat-obatan tidak boleh mengandung najis. 3. Obat-obatan harus aman untuk digunakan manusia, yakni tidak beracun, tidak memabukkan atau tidak berbahaya bagi kesehatan sesuai dosis yang ditentukan. 4. Obat-obatan tidak dapat dibuat, diproses atau diproduksi menggunakan peralatan yang terkontaminasi dengan najis. 5. Obat-obatan tidak boleh mengandung bagian manusia atau derivatnya yang tidak halal. 6. Selama persiapan, pengolahan, penanganan, pengemasan, penyimpanan dan distribusi, mereka harus dipisahkan secara fisik dari produk tidak halal dan najis. Untuk memenuhi ketentuan tersebut industri farmasi diharuskan menerapkan Cara Produksi Obat yang Baik untuk Obat-Obatan Halal (Good Manufacturing Practices (GMPs) for Halal Pharmaceuticals). Bahan farmasi yang juga selalu membawa perhatian umat Islam adalah alkohol, lebih tepat etanol atau etil alkohol. Etanol adalah salah satu yang paling banyak digunakan pada sediaan cair yang berfungsi sebagai penstabil. Etanol juga dapat digunakan sebagai pelarut dalam proses ekstraksi pada produk farmasi. Senyawa alkohol, seperti hidroksil(-OH) --- mengandung gugus fungsional ---, umumnya diperbolehkan dengan kondisi yang tidak berasal dari khamr (minuman beralkohol yang memabukkan atau minuman keras). Ketentuan produksi dan kuantitas etanol (etil alkohol) pada produk akhir (makanan atau obat-obatan) sangat kecil dan tidak akan memabukkan. (Jumlah yang ditoleransi adalah 0,01 persen pada produk akhir, dan menjadi ketentuan untuk sertifikasi halal di Malaysia, sebagaimana dikutip dari INHART IIUM, 2013). Isu Halal pada Produk Kosmetika Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik. (dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1176/MENKES/PERN/III/2010 Tentang Notifikasi Kosmetika).
© 2015, Department of Pharmacy University of Darussalam Gontor - Indonesia| Surya Amal and Hinyatul hidayah
Walaupun penggunaannya hanya pada bagian luar tubuh manusia, namun aspek keselamatan dalam penggunaannya adalah masalah penting dalam industri kosmetik. Penilaian keselamatan bagi kesehatan manusia dari produk jadi, bahan, struktur kimia dan tingkat paparan pada produk kosmetika secara ketat diperlukan. Sehubungan dengan ini, sangat penting untuk memilih bahan yang aman untuk menjamin keamanan produk jadi. Bahan-bahan ini dapat dikategorikan ke dalam bahan kimia, ekstrak botani, ekstrak hewan dan pengharum/wewangian. Karena itu, penerapan GMP (Good Manufacturing Practice) dalam proses produksi kosmetika juga telah dipersyaratkan untuk memastikan keamanan produk tersebut. Sedangkan terkait isu halal, beberapa bahan yang merupakan titik kritis kehalalan pada kosmetika adalah lemak, kolagen, elastin, ekstrak plasenta, cairan amnion, gliserin, cerebrospinal , asam alfa hidroksil (AHA), zat penstabil vitamin, dan hormon. Bahan-bahan ini bisa bersumber atau diolah dari sumber hewani yang tidak halal. Dalam hubungan ini riset-riset di perguruan tinggi diharapkan juga mendorong penemuan raw materials, terutama dari sumber alami untuk kosmetik yang memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan, mutu, serta jaminan halal. Isu Halal pada Produk Biofarmaseutika Abad ke-21 sering kali disebut sebagai era bioteknologi. Bioteknologi dapat membawa banyak manfaat, tetapi juga menimbulkan banyak kekhawatiran bagi masyarakat dan berbagai negara. Organisme yang dimodifikasi secara genetik (GMOs = Genetically modified organisms) adalah salah satu buah dari bioteknologi modern. GMO adalah hasil dari manipulasi yang disengaja dari bahan genetik dari suatu organisme-bakteri, ragi, jamur, tumbuhan dan hewan. Teknik bioteknologi dan proses, sebagaimana GMO tersebut memberikan kesempatan baru dalam industri farmasi – terutama yang menghasilkan produk biofarmaseutika. Setidaknya dua keprihatinan utama yang cukup mempengaruhi konsumen Muslim berkaitan dengan produk biofarmaseutika yakni bahan dan proses yang digunakan dalam pembuatan produk tersebut. Gen dalam setiap prosedur dan / atau GMO dalam produksi biofarmaseutika harus berasal dari sumber halal. Jika gen berasal dari sumber-sumber non-halal atau meragukan, maka produk biofarmasi tersebut tidak akan cocok untuk konsumen Muslim. Vektor dan inang untuk ekspresi protein harus divalidasi bahwa mereka tidak menimbulkan ancaman keracunan atau bersifat patogen. Selain itu, bahan yang digunakan dalam media pertumbuhan dan pengolahan hilir berikutnya harus aman dan tanpa haram atau meragukan. Adapun contoh produk biofarmasetika yakni protein, antibodi monoklonal, hormon dan enzim. (Hashim, Y.Z.H et al. 2013). Bentuk-bentuk sediaan yang banyak dikenal adalah vaksin, insulin, dan beberapa produk rekombinan-DNA. Tentu saja tidak semua dari contoh-contoh tersebut terkategori haram baik dari sumbernya maupun dari prosesnya. Karena itu diperlukan kajian untuk menetapkan kehalalan dan kesuciannya.
Penutup Karakterisasi pengembangan farmasi, baik materialnya maupun cara-cara pengobatan mungkin terdapat beberapa perbedaan pada ruang dan waktu yang berbeda. Hal ini tentu dapat dipahami dengan kemajuan nyata rekayasa ilmu pengetahuan dan semakin kompleksnya persoalan kesehatan primer di masa kini. Namun, nilai-nilai luhur ajaran Islam tetap harus maujud dalam setiap tindakan, keputusan-keputusan yang diambil maupun pada pilhan-pilihan yang ditentukan. Kerenanya diperlukan saintis-saintis muslim yang agenda-agenda keilmiahannya © 2015, Department of Pharmacy University of Darussalam Gontor - Indonesia| Surya Amal and Hinyatul hidayah
senantiasa bertitik tolak dari nilai-nilai ajaran Islam – sebagaimana pada kejayaan Islam di masa silam -- demi kemaslahatan ummat manusia seluruhnya. Serpihan-serpihan informasi dalam tulisan ini semoga membawa manfaat, dan selamat memasuki gerbang kampung nan damai – Universitas Darussalam Gontor. Ponorogo, 17 Ramadhan 1436 H Surya Amal Himyatul Hidayah Contact :
[email protected]
Daftar Bacaan 1.
2.
3. 4. 5.
6. 7. 8. 9.
10.
11. 12. 13. 14.
15. 16. 17.
Abadi, T. dkk, 2011. Tim Pengkajian Hukum Tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pemberian Informasi Produk Halal . Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Jakarta Al-Jauziyyah, I.Q. 2013. Thibbun Nabawi . Edisi Bahasa Indonesia : Praktek Kedokteran Nabi S.A.W . Penerjemah : Abu Firly, S.Ag; Dzul Bakir, S.Ag. Penerbit Hikam Pustaka. Jogjakarta. 354-489 Elumalai, A. dan Eswariah, M.C. 2012. HERBALISM – A REVIEW . Inter. J. of Phytotherapy / Vol 2 / Issue 2 / 2012 / 96-105. Hashim, Y.Z.H et al. 2013. Halal : all that you need to know . INHART, IIUM Publication. Vol 1: 79-99 Huguet, T. dan Termes. 2008. Islamic Pharmacology and Pharmacy in the Latin West: An Approach to Early Pharmacopoeias European Review , Vol. 16, No. 2, 229–239 Muazzam, M.G. 1989. Important Contributions of Early Muslim Period to Medical Science. I. Basic Sciences. JIMA:Vol.21 Pane, A. H., 2000. Format Industri Farmasi Indonesia, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, Ranasasmita, R., Roswiem, A.P., 2015. Kehalalan Produk Obat-Obatan, Terutama Obat Herbal. Proseding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XIV Razak, D.A. Perkembangan Sejarah Awal Farmasi Pengaruh Arab dan Islam , Pusat Racun Negara, USM, Malaysia dalam http://www.prn.usm.my/old_website/mainsite/ bulletin/kosmik /1997/kosmik4.html , diakses 2 Juli 2015 Sahilah, A.M. et al. 2012. Halal market surveillance of soft and hard gel capsules in pharmaceutical products using PCR and southern-hybridization on the biochip analysis. International Food Research Journal 19(1): 371-375 (2012) Virk, Z. Muslim 'Cntribution' to 'Pharmacy' , Canada. http://www.alislam.org/ egazette/articles/Muslim-Contribution-to-Pharmacy-201009.pdf, diakses 2 Juli 2015 Saad, B. 2014. Greco-Arab and Islamic Herbal Medicine : A Review. European Journal of Medicinal Plants. 4(3): 249-258 Tovar et al. 2013. Bovine and porcine heparins: different drugs with similar effects on human haemodialysis. BMC Research Notes,6:230 Warda, M. et al. 2003. Isolation and characterization of raw heparin from dromedary intestine: evaluation of a new source of pharmaceutical heparin . Comparative Biochemistry and Physiology Part C 136; 357–365 Zuhdi, M. 1994. Masail Fiqhiyah, Kapitaselekta Hukum Islam. Penerbit Haji Masagung, Jakarta, hal 188 ------------------, Malaysian Standard MS 2424:2012. Halal pharmaceuticals – General guidelines. Department of Standards Malaysia. 2012. ------------------, Salinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
© 2015, Department of Pharmacy University of Darussalam Gontor - Indonesia| Surya Amal and Hinyatul hidayah