BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNHAS UNIVERSITAS HASANUDDIN REFERAT APRIL 2012
TIROIDITIS
Oleh : Farhan Hafiz bin Nazari C 111 07 343
Pembimbing : dr. Suriadi
Supervisor : Dr. William Hamdani, Sp.B(K)Onk
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2012
1
DAFTAR ISI I.
PENDAHULUAN………………………1
II. FISIOLOGI……………………………1 -3 III. KLASIFIKASI…………………………..4 a. Tiroiditis Akut i. Tiroiditis infeksiosa akut……......5 akut……......5-7 ii. Tiroiditis radiasi………………….7 iii. Tiroiditis pengaruh obat…………7 obat…………7-8 b. Tiroiditis Sub-akut i. Tiroiditis de Quervain…………8 Quervain…………8-9 c. Tiroiditis Kronis i. Tiroiditis Hashimoto……….....10 Hashimoto……….....10-13 ii. Tiroiditis Riedel’s……………….14 IV. DIAGNOSIS………………………...15 -19 V. KESIMPULAN…………………………20 VI. DAFTAR PUSTAKA…………………21
2
TIROIDITIS PENDAHULUAN Tiroiditis adalah istilah umum yang mengacu pada peradangan kelenjar tiroid. Tiroiditis meliputi sekelompok gangguan individu yang seluruhnya menyebabkan peradangan tiroiditis dan sebagai hasilnya banyak penyebab yang berbeda presentasi klinisnya. Sebagai contoh, tiroiditis Hashimoto adalah penyebab yang paling umum hipotiroidisme di Amerika Serikat. Tiroiditis postpartum, yang menyebabkan tirotoksikosis transien (hormone tiroid yang tinggi dalam darah) diikuti oleh hipotiroidisme sementara, umumnya merupakan penyebab masalah tiroid setelah melahirkan. Tiroiditis subakut adalah penyebab utama dari nyeri pada tiroid. Tiroiditis juga dapat terlihat pada pasien yang memakai obat interferon dan amiodarone.
(1,2,3)
FISIOLOGI Kelenjar tiroid menghasilkan tiroksin (T4), bentuk aktifnya adalah triyodotironin (T3) yang berasal dari konversi hormone T4 di perifer dan sebagian kecil dibentuk langsung di kelenjar tiroid. Yodida inorganic diserap saluran cerna merupakan suatu bahan baku dari hormone tiroid, bahn ini mengalami oksidasi menjadi menjadi organic dan selanjutnya berikatan dengan tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin membentuk monoyodotirosin(MIT) atau diyodotirosin (DIT). Senyawa ini menghasilkan T3 dan T4 disimpan di dalam koloid kelenjar tiroid. T3 dan T4 membantu sel mengubah oksigen dan kalori menjadi tenaga (ATP=adenosis trifosfat). T3 bersifat lebih aktif dari T4. T4 yang tidak aktif itu kemudian diubah menjadi T3 oleh enzim 5-deiodinase yang ada di dalam hati dan ginjal. Proses ini juga berlaku di organ-organ lain
3
seperti hipotalamus yang berada di otak tengah. Dalam sirkulasi hormone tiroid terkait pada globulin yang dikenal dengan tiroid-binding-globulin (TBG). Sekresi hormone tiroid dikendalikan oleh suatu hormone stimulator tiroid( thyroid stimulator hormone ) yang dihasilkan di lobus anterior kelenjar hipofisis
dan perlepasannya dipengaruhi oleh thyrotropin releasing hormone (TRH) di hipotalamus. Hormone tiroid mempunyai pengaruh terhadap jaringan/organ tubuh yang pada umunya berhubungan dengan metabolisme sel. Pada kelenjar tiroid didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan kalsitonin. Kalsitonin adalah merupakan suatu sel polipeptida yang turut mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap (4)
tulang.
Fungsi hormone tiroid adalah:
(4,5)
a) Meransang laju metabolic target cell dengan meningkatkan metabolisme protein,lemak,dan karbohidrat. b) Merangsang kecepatan pompa natrium-kalium di target cell. Kedua fungsi bertujuan meningkatkan penggunaan energi oleh sel, terjadi peningkatan laju metabolisme basal, pembakaran kalori, dan peningkatan produksi panas oleh setiap sel. c) Meningkatkan
responsivitas target cell
terhadap katekolamin sehingga
meningkatkan frekuensi jantung. d) Meningkatkan respositivitas emosi e) Meningkatkan kecepatan depolarasi otot rangka, yang meningkatkan kecepatan kontraksi otot rangka.
4
f) Hormone tiroid penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal semua sel tubuh dan dibutuhkan untuk fungsi hormone pertumbuhan
KLASIFIKASI TIROIDITIS Tiroiditis dapat dibagi berdasarkan etiologinya yaitu akut, subakut atau kronik.
Tiroiditis akut terbagi kepada
(2)
:
1). Tiroiditis infeksiosa akut: Bakteri : staphylococcus, streptococcus dan enterobacter Fungal : aspergillus, candida, histoplasma, pneumocystis 131
2). Tiroiditis karena radiasi ( I theraphy) 3). Tiroiditis karena pengaruh obat: Amiodarone
Tiroiditis subakut terbagi kepada
(2)
:
1). Tiroiditis infeksi Viral( atau granulomatosa) tiroiditis De Quervain 2). Infeksi mikobakterial 3). Silent Thyroiditis ( tiroiditis postpartum )
(2)
Tiroiditis kronis terbagi kepada
:
1). Autoimun : Tiroiditis fokal,Tiroiditis Hashimoto, 2). Tiroiditis Riedel’s
5
TIROIDITIS AKUT Tiroiditis Infeksiosa Akut Tiroiditis infeksiosa akut sinonim dengan tiroiditis supuratif akut yang mana penyakit tiroid yang jarang berlaku. Penyebab utama terjadinya tiroiditis akut ini adalah karena adanya infeksi dari fungi dan bakteri, yang mana terjadi melalui penyebaran hematogen atau lewat fistula dari sinus piriformis yang berdekatan dengan laring, yang merupakan anomaly konginetal yang sering terjadi pada anak-anak. Sebetulnya kelenjar tiroid sendiri resisten terhadap infeksi karena beberapa hal diantaranya berkapsul, mengandung iodum tinggi yang mana berfungsi sebagai baktericidal, kaya suplai darah dan saluran limfe untuk drainase.
(4,5)
Tiroiditis infeksiosa sangat jarang terjadi kecuali pada keadaan-kedaan tertentu seperti mempunyai penyakit tiroid, atau orang-orang yang mempunyai supresis sistem imun seperti pada orang tua, pasien yang menghidap tuberculosis atau penderita AIDS. Pasien tiroiditis supurativa bakteri ini biasanya
mengeluh
rasa sakit yang hebat
pada kelenjar tiroid,
panas,
menggigil, disfagia, disfoni, sakit leher depan, nyeri tekan, ada fluktuasi dan eritema. Sering terjadi pembesaran kelenjar tiroid yang bersifat unilateral dan didapatkan tanda-tanda radang. Fungsional tiroid umumnya normal tetapi bisa juga terjadi hipotiroid dan hipertiroid yang ringan. Jumlah leukosit dan laju endap darah meningkat. Pada pemeriksaan USG leher, didapatkan hiperfusi apabila adanya abses pada daerah
tiroid yang mengalami
inflamasi. Pada
skintigrafi didapatkan pada daerah supuratif tidak menyerap iodium radioaktif
6
(dingin). Pasien harus dilakukan aspirasi dan drainase dari daerah supuratif dan diberikan antibiotic yang sesuai.
(1)
Differensial diagnosis untuk tiroiditis akut ini mencakup tiroiditis subakut de Quervain’s, dan hemorragik pada nodul tiroid. Pada pemeriksaan USG leher, pada tiroiditis supuratif akut akan tampak daerah yang mengalami hiperfusi ( mengandungi abses) manakala pada tiroiditis subakut de Quervain’s didapatkan mikroabses dan tidak didapatkan daerah yang hiperfusi. Computed Tomography (CT) dan/atau oesografi kotras bisa dilakukan untuk memperoleh diagnosis yang lebih rinci dan membantu dalam didapatkan infeksi pada fistula sinus piriformis.
penanganan operatif jika
(1,7)
Gambar 1 : dikutip dari kepustakaan 1
Gambaran klinis pada pasien perempuan umur 31 tahun dengan tiroiditis infeksiosa akut. Tampak pembesaran kelenjar tiroid yang bersifat unilateral.
7
Gambar 2 : dikutip dari kepustakaan 1
Sonografi tiroid pada pasien dengan tiroiditis infeksiosa akut. Tampak daerah yang mengalami hiperfusi dan adanya cairan (diduga abses) pada daerah lobus kiri.
Tiroiditis Radiasi Tiroiditis akibat radiasi sering terjadi pada pasien-pasien yang post radioterapi. Destruksi pada folikel akibat dari sinar dari radiasi menyebabkan terjadinya hipertiroidisme yang bersifat sementara dan diikuti terjadinya hipotiroidisme. Nyeri pada leher biasannya muncul 5-10 hari setelah di radioterapi. Gejala ini biasanya ringan dan menghilang sendiri dalam satu minggu.
(1,8)
Tiroiditis karena pengaruh obat Tiroiditis bisa juga terjadi akibat daripada pengaruh obat-obatan. Terapi iodin kronis bisa menyebabkan terjadinya tiroiditis dengan adanya hyperplasia daripada sel-sel folikel dari kelenjar tiroid. Seperti pada terapi litium yang bisa menyebabkan terjadinya goiter dengan atau tanpa disertai hipotiroidisme. Obatobatan antikonvulsan seperti phenytoin dan carbamazepine juga bisa menyebabkan timbulnya gejala-gejala hipotiroidisme. Pada 1-5% kasus pasien dengan hepatitis kronis atau pasien yang menghidap kanker yang mana sudah dirawat dengan menggunakan interferon alpha akan menyebabkan terjadinya
8
gejala tiroiditis tanpa rasa sakit. Terdapat juga beberapa penelitian yang mengatakan bahawa, pengaruh dari penggunaan
interleukin-2 pada pasien-
pasien dengan melanoma malignant, kanker sel renal, dan juga leukimia juga bisa menyebabkan terjadinya gejala hipertiroidisme dan hipotiroidisme. Obat antiaritmia seperti amiodarone mengandungi 35% iodin dan bisa menyebabkan terjadi disfungsi tiroid. Tirotoksik krisis adalah akibat yang biasanya ditemukan pada pengguna obat amiodarone kerana kandungan
iodin didalamnya yang
cukup tinggi ( biasanya terjadi pada pasien yang sudah memang ada penyakit gondok sebelumnya). Di samping itu amiodarone juga bisa menyebabkan terjadi hipotiroidisme akibat dari reaksi antitiroid pada iodin, biasanya pada pasien yang sudah ada riwaya penyakit tiroid sebelumnya. Amiodarone akan menghambat konversi T 4 menjadi T3
.(1)
TIROIDITIS SUB-AKUT Tiroiditis de Quervain sinonim: tiroiditis granulomatous, tiroiditis pseudotuberculous, tiroiditis giant cell.
(2)
Tiroiiditis subakut de Quervain’s merupakan penyakit self-limiting disease. Etiologi tiroiditis subakut de Quervain’s diduga disebabkan oleh infeksi virus ( mumps, measles, influenza, adenovirus, coxsackievirus). Insidens terjadi biasanya 0.5-3% dari keseluruhan tiroiditis. Lebih sering didapatkan pada wanita. Insiden tertinggi biasanya didapatkan antara 20-50 tahun.
(2)
Gejala klinis tiroiditis subakut de Quervain’s berupa nyeri pada leher yang bersifat sedang hingga ke berat, dan menjalar ke rahang, telinga, muka dan
bagian torakal. Bisa juga disertai dengan demam dan malaise. Pada
pemeriksaan fisis, didapatkan pembesaran kelenjar tiroid secara simetris. Pada
9
mulanya penderita biasanya mempunyai gejala hipertiroidisme dengan palpitasi, agitasi dan keringat. Tanda-tanda klinis toksisitas termasuk takikardi,tremor, dan hiperrefleksia bisa dijumpai.
(2,9)
Diferensial diagnosis untuk tiroiditis sub-akut de Quervain adalah tiroiditis supuratif akut. Keduanya dibedakan melalui pemeriksaan USG dimana pada tiroiditis sub-akut de Quervain tampak hipoperfusi yang irregular pada kelenjar tiroid, berbeda dengan tiroiditis supuratif akut yang tampak hiperfusi pada daerah yang mengalami inflamasi.
(2)
Terapi pada tiroiditis sub-akut de Quervain’s ini bersifat simtomatis. Rasa sakit dan inflamasi diberikan NSAID atau aspirin. Pada keadaan berat dapat diberikan kortikosteroid, misalnya prednisone 40mg/hari. Tirotoksikosis yang timbul biasanya tidak berat, bila berat dapat diberikan alpha-bloker misalnya propranolol 40-120mg/hari atau atenolol 25-50mg per hari. Peningkatan PTU atau metimasol tidak diperlukan karena tidak terjadi peningkatan sintesis dari sekresi hormone. Pada perjalanan penyakitnya kadangkadang dapat timbul hipotiroid yang ringan yang berlangsung tidak lama, karenanya tidak memerlukan pengobatan. Bila hipotiroidnya berat dapat diberikan L-tiroksin 50-100mcg per hari selama 6-8 minggu dan tiroksin kemudian dihentikan.
(1,2)
TIROIDITIS KRONIS Tiroiditis Hashimoto Etiologi penyakit ini adalah autoimun. Pada Tiroiditis Hashimoto didapatkan infiltrasi limfosit ke seluruh kelenjar tiroid yang menyebabkan
10
dekstrusi progresif folikel kelenjar. Dalam beberapa tahun akan terjadi atrofi kelenjar dengan fibrosis. Insidens kejadian Tiroiditis Hashimoto ini biasanya banyak didapatkan pada umur kurang dari 50 tahun dan biasanya lebih banyak didaptkan pada perempuan. Wanita 20-30 kali lebih sering terkena berbanding dengan lelaki.
(5)
Mekanisme kompleks imunologi mungkin berperan pada kematian sel tiroid (tirosit). Sensitasi dari autoreactive CD4 + T-helper cell ke antigen tiroid memberikan gambaran awal kejadian. Kematian tirosit adalah dampak mekanisme sebagai berikut
(2,4,6)
:
CD8 + cytotoxic T cell-mediated cell-death T cell-mediated cell death : CD8 + cytotoxic T cell-mediated mungkin menyebabkan dekstruksi tirosit oleh satu dari dua jalur, eksositosis dari granula perforin/granzyme atau reaksi death receptor, CD95 pada sel target.
Cytokine-mediated cell-death: CD4 + T cells menghasilkan sitokin inflamasi seperti IFN-ƴ dalam waktu cepat dalam tirosit,dengan akibat pengerahan dan pengaktifan makrofag dan merusak folike.
Ikatan antitiroid-antibodi ( anti-TSH receptor antibodies, antithyroglobulin dan antithyroid peroxidase antibodies) diikuti oleh antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity( ADCC ). Mengenai faktor lingkungan, asupan yodium yang tinggi, defisiensi selenium, polutan seperti asap rokok, penyakit menular seperti hepatitis C kronis, dan obat-obatan tertentu yang terlibat dalam pengembangan tiroiditis autoimun. Eksposur yodium jangka panjang mengarah ke peningkatan iodinasi thyroglobulin, yang meningkatkan antigenesis dan memulai proses autoimun pada individu yang rentan secara genetic. Defisiensi selenium mengurangi aktivitas
selenoproteins,
termasuk
11
peroxidase
glutathione,
yang
dapat
menyebabkan peningkatan konsentrasi hydrogen peroksida dan dengan demikian meningkatkan peradangan dan penyakit. Polutan lingkungan seperti asap, poliklorinasi bifenil, pelarut dan logam telah terlibat dalam proses autoimun dan inflamasi. Faktor-faktor lingkungan belum jelas, namun sudah cukup diselidiki untuk menjelaskan peran mereka dalam pathogenesis, da nada kebutuhan untuk menilai pengaruhnya terhadap perkembangan proses autoimun dan mekanisme interaksi mereka dengan kerentanan gen.
(7,8)
Walaupun etiologi pasti respons imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan data epidemiologic diketahui bahwa faktor genetic sangat berperan dalam pathogenesis penyakit tiroid autoimun, pada penyakit Grave’s diperkirakan peran faktor genetic sekitar 79% sisanya 21% dari faktor lingkungan. Selanjutnya diketahui pula pada penyakit tiroid autoimun, respons seluler dan humoral bekerja bersamaan dengan sasaran kelenjar tiroid. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitasi (sensitized Tlymphocyte) dan/atau antibody antitiroid berikatan dengan membrane sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membrane sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen. Manifestasi klinis tiroiditis hashimoto biasanya ditemukan goiter pada pasien yang dengan eutiroid atau yang menderita hipotiroidisme ringan. Distribusi seksual wanita dibanding pria adalah 4:1. Prosesnya tidak sakit dan penderita bisa tidak sadar akan adanya goiter kecuali bila jadi sangat besar. Pasien lebih tua dapat muncul dengan tiroidisme berat walau kelenjar tiroid yang kecil atrifik lunak.
12
Pengobatan Tiroiditis Hashimoto ditujukan terhadap hipotiroid dan pembesaran tiroid. Pilihan pengobatan untuk Tiroiditis Hashimoto atau hipotiroid dengan sebab lainnya adalah terapi substitusi dengan hormone tiroid. Obat pilihan yang dianjurkan yaitu levothyroxine sodium. Levotiroksin diberikan sampai kadar TSH normal. Pada pasien dengan struma baik hipotiroid maupun eutiroid, pemberian
levotiroksin selama enam bulan dapat
mengecilkan struma. Dosis standard penggunaan levotiroksin yaitu 1,6-1,8 mcg/kgBB/hari. Namun dapat berbeda-beda pada setiap individu.
(8)
Pasien dengan usia dibawah 50 tahun tanpa riwayat penyakit jantung, dapat diberikan dosis awal penuh.
Pasien diatas 50 tahun atau pasien muda dengan penyakit jantung, diberikan dosis rendah 25mcg (0,025mg) per hari, dengan evaluasi pengobatan setiap 6-8 minggu.
Pada pasien usia lanjut, dosis yang diberikan lebih rendah, kadang bisa mencapai 1 mcg/kgBB/hari.
Intervensi bedah dapat dilakukan atas beberapa indikasi, diantaranya:
Pembesaran kelenjar dengan gejala obstruksi seperti disfagia, suara serak, dan stridor karena adanya obstruksi pada jalan napas.
Terdapatnya nodul maligna yang bisa ditemukan pada pemeriksaan sitology dengan FNA
Terdapatnya limfoma pada FNA : limfoma tiroid memberi respon yang baik terhadap radioterapi dan merupakan modalitas terapi pilihan.
13
Alasan kosmetik untuk struma yang cukup besar.
Tiroiditis Riedel’s Tiroiditis Riedel’s merupakan suatu tiroiditis kronis yang jarang ditemukan dimana kelenjar tiroid digantikan dengan tisu fibrosa dimana sampai sekarang mekanismenya masih belum jelas. Diduga ada kaitan dengan proses autoimun berdasarkan dari adanya peningkatan titer autoantibodi tiroid. Tiroiditis Riedel’s adalah suatu bagian dari proses multifocal fibroinflammatory yang bisa melibatkan organ yang lain misalnya, organ mediastinum, hepar, paru, organ-organ retroperitoneum dan orbital. Insiden tertinggi didapatkan lebih banyak pada wanita-wanita umur pertengahan. Manifestasi klinis Tiroiditis Riedel’s yang sering didapatkan adalah pembesaran kelenjar tiroid yang progressif dan teraba keras. Pasien juga sering mengeluh rasa tidak enak di bagian leher dan nyeri telan. Suara bisa berubah menjadi serak sekiranya sudah melibatkan nervus laryngeal dan/atau kelenjar paratiroid. Pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium, sitologi, dan x-ray tidak bermanfaat untuk membedakan Tiroiditis Riedel’s dengan dengan neoplasma ataupun dengan Tiroiditis Hashimoto. Pemeriksaan histologis dan biopsy operatif diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Diferensial diagnosis Tiroiditis Riedels mencakup karsinoma anaplastic dan sarcoma tiroid. Pengobatan berupa substitusi hormone tiroid diperlukan apabila diagnosis tiroiditis riedels telah ditegakkkan.
14
(1)
DIAGNOSIS Diagnosis penyakit tiroiditis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan juga pemeriksaan penunjang. 1. Anamnesis: Biasanya pasien datang dengan keluhan benjolan pada leher sebagai tanda pembesaran kelenjar tiroid yang tidak menimbulkan nyeri atau rasa penuh di leher. Jika pasien sudah mengalami keadaan hipotiroid, maka pasien menunjukkan beberapa keluhan seperti fatique, kulit kering, konstipasi, retensi urin, berat badan bertambah, tidak tahan dengan suhu dingin, menorrhagia, depresi, kelemahan oto, kehilangan memori dan rambut rontok.
(5)
2. Pemeriksaan fisis: Inspeksi: terlihat pembesaran kelenjar tiroid,simetris, pembesarannya difus dan warna kulit sama dengan sekitarnya. Periksa leher terhadap kemungkinan assimetris. Tiroid normal hampir tidak nampak. Persilakan pasien untuk menelan, sambil mengamati gerakan naik turun
tiroid.
Pembesaran
tiroid
secara
difus
seringkali
menyebabkan
pembesaran leher secara merata. Palpasi: terdapat dua cara untuk palpasi pada kelenjar tiroid. Cara anterior dilakukan dengan pasien dan pemeriksa duduk berhadapan. Dengan
memfleksi leher pasien atau memutar dagu sedikit ke kanan, pemeriksa dapat merelaksasi
muskulus
sternokleidomastoideus
pada
sisi
itu,
sehingga
memudahkan pemeriksaan. Tangan kanan pasien menggeser laring ke kanan
15
dan selama menelan, lobus tiroid kanan yang tergeser di palpasi dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri. Lakukan hal serupa pada lobus kiri. Pada cara posterior , pemeriksa meletakkan kedua tangannya pada leher pasien, yang
posisi lehernya sedikit ekstensi. Pemeriksa memakai tangan kirinya mendorong trakea ke kanan. Pasien diminta menelan sementara tangan kanan pemeriksa meraba tulang rawan tiroid. Lakukan cara yang sama saat pemeriksaan tiroid kiri. Konsistensi kelenjar harus dinilai. Kelenjar tiroid yang normal mempunyai konsistensi mirip jaringan otot. Keadaan padat keras terdapat pada kanker atau luka parut. Keadaan lunak atau mirip seperti spons sering dijumpai pada goiter toksik. Nyeri tekan pada kelenjar tiroid terdapat pada infeksi akut atau perdarahan ke dalam kelenjar. Pada palpasi, didapatkan kelenjar tiroid yang teraba membesar, padat keras dan berbatas tegas. Namun dapat pula ukurannya normal ataupun lebih kecil lagi bila terdapat fibrosis yang luas. Kadang-kadang pembesarannya (5)
simetris dan teraba berbenjol-benjol.
16
Cara pemeriksaan kelenjar tiroid (Dikutip dari kepustakaan 10) 3. Pemeriksaan Penunjang a. Pada kecurigaan adanya kelainan tiroid maka dilakukan pemeriksaan darah dengan tujuan untuk menguji fungsi tiroid (thyroid function test = TFT). Parameter yang tersedia adalah T4 total, T3 total, T3 uptake dan TSH. Penetapan T4 total tidak tepat menggambarkan fungsi tiroid sebab dipengaruhi oleh Thyroid binding globulin (TBG) sehingga hasil dapat tinggi atau rendah palsu, juga bisa kerna dipengaruhi oleh obat-obatan tertentu. Oleh karena it u ada parameter hitungan yaitu Free thyroxin index (FTI) yang didapatkan dari nilai T4 total x T3 uptake sebagai perkiraan kadar T4 bebas. FTI ini lebih baik daripada hanya kadar T4 total. Hasil yang tinggi sesuai dengan hipertiroidisme dan yang rendah sesuai dengan hipotiroidisme. TSH lama kurang peka, hanya dapat mendeteksi kadar tinggi sehingga hanya mendiagnosis hipotiroid. Dengan perkembangan teknik pengukuran yang makin peka maka kemungkinan untuk mengukur kadar T4 bebas (FT4), T3 bebas (FT3) dan TSHS sensitive (TSHs). Dengan adanya FT4 dan FT3 maka FTI tidak diperlukan lagi. TSHs dapat mengukur kadar TSH baik yang tinggi maupun rendah sehingga juga dapat mendiagnosis hipertiroid atau tirotoksikosis. Sekarang dengan TSH yang dimaksud adalah TSHs. Pada sangkaan adanya kelainan tiroid baik gangguan
17
fungsi maupun morfologi maka TFT dimulai dengan TSH, diteruskan dengan FT4 atau FT3.
(7)
b. Pemeriksaan sitology diperoleh dengan biopsy aspirasi jarum halus ( fine needle aspiration biopsy/FNA). Pada hasil pemeriksaan ini ditemukan adanya infiltrasi sel-sel limfosit pada kelenjar tiroid. Ciri mikroskopis dari penyakit Hashimoto adalah tampak potongan jaringan tiroid dengan struktur folikel yang rusak. Terdapat bentukan limfoid folikel dengan germinal center di bagian tengah. terdapat bentukan sel hurtler yaitu sel berukuran besar, sitoplasma granuler dan eosinofilik. c. Sidik radioaktif/thyro-scan dengan unsur radioaktif teknesium (tc99m) atau yodium 131 (I 131) dapat menunjukkan gambaran fungsional jaringan tiroid dengan melihat kemampuan pengambilan terhadap unsur radioaktif tersebut diatas. Cara ini berguna untuk menentukan apakah nodul dalam kelenjar tiroid bersifat hiperfungsi ( nodul panas = hot nodule), hipofungsi ( nodule dingin = cold nodule ), atau normal ( nodul hangat/warm nodule). Kemungkinan keganasan ternyata lebih besar pada nodul dingin meskipun karsinoma tiroid dapat juga ditemukan pada nodul hangat atau bahkan nodul panas, seperti pada anak-anak. d. Teknik ultrasonografi digunakan untuk menentukan apakah nodul tiroid, baik yang teraba pada palpasi maupun yang tidak, merupakan nodul tunggal atau multiple padat atau kistik. Pemeriksaan ultrasonografi ini terbatas nilainya dalam menyingkirkan kemungkinan keganasan dan hanya dapat mendeteksi nodul yang berpenampang lebih dari setengah sentimeter.
18
(10)
KESIMPULAN Tiroiditis merupakan suatu inflamasi pada kelenjar tiroid. Etiologinya tergantung pada klasifikasi tiroiditis itu sendiri. Pada Tiroiditis Akut biasanya disebabkan oleh bakteri, tiroiditis subakut disebabkan oleh infeksi virus manakala tiroiditis kronis itu disebabkan oleh penyakit autoimun. Pada tiroiditis akut biasa dipengaruhi oleh immunocompromised dan pada anak-anak terjadi melalui penyebaran hematogen atau lewat fistula dari sinus piriformis. Pada tiroiditis subakut mempunyai kadar ESR yang tinggi dan ia merupakan suatu penyakit yang bersifat self-limiting, kebanyakannya memerlukan NSAIDS dan steroids sebagai pengobatan. Tiroiditis autoimun bisa didapatkan pada anakanak dan orang dewasa Ultrasonografi, dan pemeriksaan laboratorium autoantibodi bisa membantu sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis tiroiditis. Pada pasien yang mempunyai gejala hipotiroid diberikan levothyroxine sehingga kadar TSH kembali normal.
19
DAFTAR PUSTAKA 1. Oertli D, Udelsman R. Tiroiditis. In: Surgery of the thyroid and parathyroid glands: Springer verlag berlin publisher;2007.p.207-23 2. Agrawal NK. Thyroiditis: Supplement to japi;2011 3. Sjamsuhidayat R, De jong, Wiem. Buku ajar ilmu bedah: ECG edisi 2;2003. Hal:533-7 4. Guyton, Arthur C,Johan E Hall. Hormon metabolic tiroid. In: Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta:ECG.2007 5. Djokomoeljanto R, Sudoyo AW, Setiyohadi B. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme dan hipertiroidisme. Dalam:Buku ajar ilmu penyakit dalam: Pusat penerbitan departemen IPD,FKUI Jilid 3 Edisi keempat;2006.hal.1955-65 6. Robbins S, Kumar V.Tiroiditis. Dalam: Buku ajar patologi: EGC Edisi 4. Jakarta.1995.Hal:424-7 7. Richard A, Edgar D. Physiology of thyroid. In: Endocrine Surgery. Landes Bioscience,Texas,2000,p:1-9 8. Chistiakov DA. Immunogenetics of hashimoto thyroiditis. In: th
Journal of Autoimmune Disease. Pub March 11 2005 9. Available from URL:http://www.nejm.org 10. Bhatia A,Rajwanshi A, Radharman JD, Mittal BR. Lymphocytic thyroiditis. In:CytoJournal. Pub April 2007
20