REFERAT CEDERA KEPALA
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SYARAT KEPANITERAAN KLINIK BIDANG Ilmu Penyakit Saraf DI BLU RSUD KOTA SEMARANG
Oleh : M Agung Santara, S.Ked 030.09.139 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2014
LEMBAR PENGESAHAN Nama
: M Agung santara
NIM
: 030 09 139
Fakultas
: Kedokteran
Universitas
: Universitas Trisakti Jakarta
Tingkat
: Program Pendidikan Profesi Dokter
Bidang Pendidikan
: Ilmu Penyakit Saraf
Periode Kepaniteraan Klinik : 13 januari 2014 – 15 februari 2014 Judul
: Cedera Kepala
Diajukan
: Februari 2014
Pembimbing
: dr. Dyah Nuraini Widhiana, Sp.S
TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL : ………………………… Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti RSUD Kota Semarang
Mengetahui Kepala SMF Saraf RSUD Semarang
Pembimbing
dr. Dyah Nuraini Widhiana, SpS
dr. Dyah Nuraini Widhiana, SpS
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya sehingga makalah dengan judul “Cedera Kepala” ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi syarat Kepaniteraan Klinik Bidang Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di RSUD Kota Semarang periode 13 januari 2014 – 15 februari 2014
Melalui makalah ini penulis ingin mencoba menyajikan informasi mengenai “Cedera Kepala” bagi para pembaca, khususnya kalangan medis dan paramedis, dengan harapan dapat menambah pengetahuan mengenai “Cedera Kepala” dan penanganannya. Dalam penyusunan referat ini, penulis menghadapi berbagai hambatan, seperti sulitnya memperoleh keakuratan data dengan melakukan seleksi dari berbagai sumber, serta kurangnya pengalaman penulis dalam menyusun karya ilmiah. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih atas bantuan dan kerjasama yang telah diberikan selama penyusunan referat ini, kepada: 1. Pimpinan beserta staf RSUD Kota Semarang 2. Dr. Dyah Nuraini Widhiana, Sp.S selaku Kepala SMF Ilmu Penyakit Saraf dan Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf RSUD Kota Semarang 3. Dr. Mintarti, Sp.S, selaku Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf RSUD Kota Semarang 4. Dr. Ganda, selaku residen Ilmu Penyakit Saraf RSUD Kota Semarang 5. Perawat dan petugas bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Kota Semarang 6. Seluruh staff medis dan non-medis Bangsal Arimbi, Banowati, Bima, dan Yudistira RSUD Kota Semarang 7. Rekan-rekan anggota Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara dan Unissula di Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Kota Semarang ii
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah ikut membantu sehingga referat ini dapat terselesaikan dengan baik Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam referat ini karena kemampuan dan pengalaman penulis yang masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak supaya referat ini dapat menjadi lebih baik dan dapat berguna bagi yang membacanya. Penulis mohon maaf apabila banyak kesalahan maupun kekurangan dalam makalah ini.
Semarang, Februari 2014
Penulis
iii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................................................. ii DAFTAR ISI................................................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1 BAB II CEDERA KEPALA ........................................................................................................ 2 II.1 Definisi .................................................................................................................. 2 II.2 Anatomi ................................................................................................................... 2 II.3 Aspek fisiologis cedera kepala ................................................................................ 5 II.4 Patofisiologi cedera kepala...................................................................................... 6 II.5 Klasifikasi cedera kepala ......................................................................................... 7 II.6 Pemeriksaan Penunjang........................................................................................... 14 II.7 Penatalaksanaan ...................................................................................................... 15 II.8 Prognosis ................................................................................................................. 16
BAB III KESIMPULAN............................................................................................................... 17 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 18
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Lapisan kulit kepala ..............................................................................................2 Gambar 2. Anatomi otak ........................................................................................................4 Gambar 3. Contoh Cedera kepala ..........................................................................................6 Gambar 4. glasgow coma scale .............................................................................................8 Gambar 5. Gambar potongan brain ......................................................................................10 Gambar 6. intraserebral hematom .......................................................................................11 Gambar 7. Lefort kalsifikasi ...................................................................................................13
v
BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat. Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit.80 % di kelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10%termasuk cedera sedang dan 10 % termasuk cedera kepala berat. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokokpokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala. Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio cerebri, Contusion cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii fracture. Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat.Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.DEFINISI CEDERA KEPALA Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakankemampuan kognitif dan fungsi fisik (Japardi, 2004).
2.ANATOMI KEPALA a.Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut sebagai SCALP yaitu:
Skin atau kulit
Connective tissue atau jaringan penyambung
Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak
Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.
Perikranium
Jaringan
penunjang
longgar
memisahkan
galea
aponeurotika
dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anakanak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya (American college of surgeon, 1997).
b. Tulang Tengkorak Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (American college of surgeon, 1997). c. Meningen Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : 1) Duramater Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural(Japardi, 2004) Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat(Japardi,2004). Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (American college of surgeon,1997) 3) Pia mater Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (japardi, 2004)
d. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon(otak belakang) terdiri dari pons,medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardio respiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (American college of surgeon,1997) e. Cairan serebrospinalis Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari(Hafidh, 2007). f. Tentorium Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior) (japardi,2004) g. Vaskularisasi Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis(japardi,2004).
3. ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA a.Tekanan intracranial Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yangtinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak.TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg dianggap tidak normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala,semakin buruk prognosisnya (American college of surgeon,1997)
b.Hukum Monroe-Kellie Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).Vic = V br+ V csf + V bl (American college of surgeon,1997) c.Tekanan Perfusi otak Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata mean arterial presure) dengan tekanan intrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.(American college of surgeon,1997) d.Aliran darah otak (ADO) ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap (American college of surgeon, 1997).
4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder.Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh prosesak selarasi deselarasi gerakan kepala.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut
lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) (japardi, 2004) Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
berkelanjutan,
iskemia,
peningkatan
tekanan
intrakranial
dan
perubahan
neurokimiawi.(japardi, 2004)
5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. a) Mekanisme cedera kepala Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.Sedang cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath,2009). b) Beratnya cedera Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat. 2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15. G
c) Morfologi cedera Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi intrakranial. 1. Fraktur cranium Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk
garis
atau
bintang
dan
dapat
pula
terbuka
atau
tertutup.Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya
tanda-tanda
klinis
fraktur
dasar
tengkorak
menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervusfasialis (Bernath, 2009) Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan
bila
penelitian
dilakukan
pada
populasi
yang
lebih
banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009) 2. Lesi Intrakranial Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atauhematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath,2009)
a. Hematoma Epidural Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk diruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa
posterior.Walau
hematoma
epidural
relatif
tidak
terlalu
sering
(0.5%
darikeseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selaludiingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya „lucid interval´ yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf(Harga Daniel, 2009) Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin,
densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali,2007). b. Hematom Subdural Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan arakhnoid.SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukansekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining . Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak.Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak (American college of surgeon, 1997)Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanyasangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural.Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagimenjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural(Bernath, 2009). 2) SDH Kronis Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini
semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens (Ghazali, 2007) c. Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisilainnya (countrecoup).Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Hafidh, 2007)
d. Cedera difus Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan
dari
komosio
ini
adalah
keadaan
bingung
dan
disorientasi
tanpa
amnesia.Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997). Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam beberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu.defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktuu.Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera aksonal difus dan cedeera otak kerena hipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan (American college of surgeon,1997) Dalam beberapa referensi, trauma maxillo facial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi pertimbangan.
CEDERA MAXILLOFACIAL Faktur maxilaris Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan dicirikan oleh: - Mobilitas palatum - Mobilitas hidung yang menyertai palatum - Epistaksis - Mobilitas 1/3 wajah bag tengah
Klasifikasi menurut lefort 1. Lefort I Fraktur melintang rendah pada maxila yang hanya melibatkan palatum,dicirikan oleh pergeseran arcus dentalis maxila dan palatum,mal oklusi gigi biasanya bisa terjadi(Boies, 2002). 2. Lefort II Fraktur ini dicirikan mabilitas palatum dan hidung end-block, juga epistaksis yang jelas. Biasanya mal oklusi gigidan pergeseran pllatum kebelakang.Fraktur end-block pada palatum dan sepertiga tengah wajah tremasuk hidung(Boies, 2002) 3. Lefort III Merupakan cedera paling berat, dimana perlekatan seluruh rangka wajah terputus.seluruh komplek zigomatikus menjadi mobile dan tergeser (Boies, 2002)
Fraktur os zygoma Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai hematom orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi di daerah arcuszygomaticus. Diagnosis ditegakan secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi waters, yaitu temporo oksipital(Boies, 2002)
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG a) Foto polos kepala Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm,Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis,Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnosa foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dilakukan foto polos posisi AP/lateraldan oblique. b) CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) Indikasi CT Scan adalah : 1. Nyeri kepala menetap atau muntah ± muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obat±obatan analgesia/anti muntah. 2. Adanya kejang ± kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general. 3. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor ± faktor ekstracranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll). 4. Adanya lateralisasi. 5. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan. 6.
Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
7. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS. 8. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72 jam setelah injuri. c) MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif. d) Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma. e) Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis f)X-Ray:
Mendeteksi
perubahan
struktur
struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang. g) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
tulang
(fraktur),
perubahan
h) PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak i)CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid. j)ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial k)Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial l)Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan m)Kesadaran (Haryo, 2008)
7. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat(ariwibowo, 2008). Prinsip
penanganan
Dalam penatalaksanaan
awal
survei
meliputi
primer
survei
hal-hal
primer
yang
dan
survei
diprioritaskan
sekunder.
antara
lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak (ariwibowo, 2008). Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain: a.Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam) b.Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit) c.Penurunan tingkat kesadaran d.Nyeri kepala sedang hingga berat e.Intoksikasi alkohol atau obat f.Fraktura tengkorak g.Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea h.Cedera penyerta yang jelas i.Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan j. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)
Terapi medika mentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuro radiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut: a.volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih b.dari 20 cc di daerah infratentorial c.kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis d.tanda fokal neurologis semakin berat e.terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat f.pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm g.terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg. h.terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan i.terjadi gejala akan terjadi herniasi otak j.terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)
8.PROGNOSA Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala (American college of surgeon,1997). Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi. Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder yang terjadi akibat berbagai prosese patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer.Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi dari beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala, yang walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun merupakan penyebab
kecacatan
yang akan menetap seumur
hidup
yang perlu
dipertimbangkan. Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena. Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.
Daftar pustaka
1. American college of Surgeons, 1997. Advance Trauma Life Suport . United States of America: Firs Impression 2. Haryo W et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah.Yogyakarta: PustakaCendekia Press of Yogyakarta 3. David B. 2009. Head Injury.www.e-medicine.com 4. Boies adam. 2002. Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6. Jakarta: EGC. 5. Hafid A. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua. Jong W.D. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC 6. Ghazali Malueka. 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka Cendekia. 7. Japardi
iskandar.
2004. Penatalaksanaan
Cedera
Kepala
secara
Operatif .
SumatraUtara: USU Press. 8. Kluwer wolters. 2009.Trauma and acute care surger. Philadelphia: LippicottWilliams and Wilkins