REFERAT HEPATITIS B
Pembimbing : dr. Winres Sapto Priambodo, Sp. A
Disusun oleh : Maria Ellsa Primayana 406148082
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT BHAYANGKARA SEMARANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA PERIODE 31 AGUSTUS 2015 – 7 NOVEMBER 2015
LEMBAR PENGESAHAN Diajukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Bhayangkara Semarang. Nama
: Maria Ellsa Primayana
NIM
: 406148082
Fakultas
: Kedokteran Umum
Tingkat
: Universitas Tarumanagara Jakarta
Bidang Pendidikan
: Ilmu Kesehatan Anak
Judul
: Referat Hepatitis B
Pembimbing
: dr. Winres Sapto Priambodo, Sp.A
Telah Diperiksa dan Disahkan Tanggal……………………………………………
Pembimbing
dr. Winres Sapto Priambodo, Sp. A
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan kuasa-Nya yang dilimpahkan kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan presentasi referat yang berjudul “HEPATITIS B“. Tugas presentasi Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di RS Bhayangkara Semarang serta agar dapat menambah kemampuan dan ilmu pengetahuan bagi para pembacanya. Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Winres Sapto Priambodo, Sp. A. Saya menyadari bahwa tugas presentasi kasus ini jauh dari sempurna dan untuk itu saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga tugas Referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata, atas segala perhatian dan dukungannya, saya ucapkan terima kasih.
Semarang, 08 Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................... 3 DAFTAR ISI...............................................................................................................4 PENDAHULUAN........................................................................................................5 I.
DEFINISI………………………………………………………………………...6
II.
EPIDEMIOLOGI.........................................................................................6
III.
ETIOLOGI..................................................................................................7
IV.
CARA TRANSMISI…………………………………………………………..10
V.
PATOGENESIS........................................................................................10
VI.
GEJALA KLINIS……………………………………………………………...12
VII.
DIAGNOSIS……………………………………………………………….......14
VIII.
DIAGNOSIS BANDING……………………………………………………...15
IX.
PENATALAKSANAAN.............................................................................15
X.
KOMPLIKASI………………………………………………………………….17
XI.
PENCEGAHAN……………………………………………………….............17
KESIMPULAN………………………………………………………………………….......22 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................23
BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Infeksi virus Hepatitis B (HBV) yang pertama kali ditemukan pada tahun 1996, telah terjadi pada lebih dari 350 juta penduduk di seluruh dunia. Infeksi HBV saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar serta serius, karena selain manifestasinya sebagai penyakit HBV akut beserta komplikasinya, lebih penting lagi ialah dalam bentuk sebagai karier, yang dapat menjadi sumber penularan bagi lingkungan.1 Hepatitis B biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui kontak perkutaneus atau permukosal terhadap cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi HBV, melalui hubungan seksual dan transmisi perinatal dari seorang ibu yang terinfeksi ke bayinya. Manifestasi klinis dapat bervariasi mulai dari hepatitis subklinik hingga hepatitis simtomatik, dan meskipun jarang dapat terjadi hepatitis fulminan. Komplikasi jangka panjang dari hepatitis mencakup sirosis hepatis dan hepatoma. 1 Saat ini di seluruh dunia diperkirakan lebih 350 juta orang pengidap HBV persisten, hampir 74 % (lebih dari 220 juta) pengidap bermukim dinegara-negara Asia. Bagian dunia yang endemisitasnya tinggi adalah terutama Asia yaitu Cina, Vietnam, Korea, dimana 50–70 % dari penduduk berusia antara 30 – 40 tahun pernah kontak dengan HBV, dan sekitar 10 – 15 % menjadi pengidap Hepatitis B Surface Antigen (HbsAg). Menurut WHO Indonesia termasuk kelompok daerah dengan endemisitas sedang dan berat (3,5 – 20 %).1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA I.
DEFINISI
Penyakit infeksi akut pada yang menyebabkan peradangan hati yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B.1,2,3,4,5 Infeksi HBV mempunyai 2 fase akut dan kronis
1
Akut, infeksi muncul segera setelah terpapar virus beberapa kasus berubah menjadi
hepatitis fulminan. Kronik, bila infeksi menjadi lebih lama dari 6 bulan II.
EPIDEMIOLOGI WHO memperkirakan adanya 400 juta orang sebagai pengidap HBV pada tahun
2000. Pola prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3 golongan yaitu prevalensi rendah (HBsAg 0,2%-0,5% dan anti-HBs 4%-6%), prevalensi sedang (HBsAg 2%-7% dan antiHBs 20%-55%), dan prevalensi tinggi (HBsAg 7%-20% dan anti-HBs 70%-95%). Dinegara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Negara-negara Skandinavia prevalensi HBsAg bervariasi antara 0,1%-0,2% sedangkan di Afrika Timur 10%-15%. Pada komunitas terisolasi seperti orang Eskimo di Alaska prevalensi dapat mencapai 45% dan Aborigin di Australia mencapai 85%. Pada daerah dengan endemisitas tinggi infeksi sering terjadi pada usia dini, ditularkan secara vertikal dari ibu ke anak maupun horizontal diantara anak kecil. Sebaliknya pada daerah dengan prevalensi rendah penularan secara horizontal terjadi oleh penyalahgunaan obat, penggunaan instrumen yang tidak steril pada klinik gigi, tusuk jarum, tindik daun telinga, dan tattoo. Di Indonesia pada penelitian terhadap donor darah di beberapa kota besar didapatkan angka prevalensi antara 2,5%-36,2% dengan frekuensi terbanyak antara 510%. Pada umumnya di luar Jawa angka ini lebih tinggi. Di Jakarta prevalensi HBsAg pada suatu populasi umum adalah 4,1%. Angka-angka ini sangat tinggi sehingga diperlukan suatu cara untuk menurunkannya.
2
III.
ETIOLOGI
Gambar 1. Virus Hepatitis B7 Virus hepatitis B merupakan kelompok virus DNA dan tergolong dalam family Hepadnaviridae. Nama family Hepadnaviridae ini disebut demikian karena virus bersifat hepatotropis dan merupakan virus dengan genom DNA. Termasuk dalam family ini adalah virus hepatitis woodchuck (sejenis marmot dari Amerika Utara) yang telah diobservasi dapat menimbulkan karsinoma hati, virus hepatitis B pada bebek Peking, dan bajing tanah (ground squirrel). Virus hepatitis B tidak bersifat sitopatik.1,2,5
Gambar 2. Rantai DNA Virus Hepatitis B7 Virus hepatitis B akan tetap bertahan pada proses desinfeksi dan sterilisasi alat yang tidak memadai, selain itu VHB juga tahan terhadap pengeringan dan penyimpanan selama 1 minggu atau lebih. Virus hepatitis B yang utuh berukuran 42 nm dan berbentuk seperti bola, terdiri dari partikel genom (DNA) berlapis ganda dengan selubung bagian luar dan nukleokapsid di bagian dalam. Nukleokapsid ini berukuran 27 nm dan mengandung genom (DNA) VHB yang sebagian berantai ganda (partially double stranded) dengan bentuk sirkular. Selama infeksi VHB, terdapat 2 macam partikel virus yang terdapat dalam darah yaitu : virus utuh (virion) yang disebut juga
partikel Dane dan selubung virus yang kosong (HBsAg). Ukuran kapsul virus kosong berukuran 22 nm, dapat berbentuk seperti bola atau filament.
1
Gambar 3. Genom Virus Hepatitis B7 Genom VHB terdiri dari kurang lebih 3200 pasangan basa. Telah diketahui adanya 4 open reading frame (ORF) virus hepatitis B yang letaknya berhimpitan. Keempat ORF itu adalah S untuk gen S (surface/ permukaan), C untuk gen C (core), X untuk gen X, P untuk gen P (polymerase). Dua ORF lainnya (ORF5 dan ORF6) telah dideskripsikan tetapi masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut. 1 Gen S dan C mempunyai hulu yang disebut pre-S dan pre-C. daerah C dan preC mengkode protein nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg. Daerah Pre-C terdiri dari 87 nukleotida yang mengkode untuk 29 asam amino , sedangkan gen C mengkode 212 asam amino precursor untuk HBeAg. ORF S terdiri dari bagian pre-S2, pre-S2, dan S, mengkode untuk protein HBsAg. Gen ini terdiri dari 226 asam amino. 1,2,3,4 Gen P merupakan ORF terpanjang dan mengkode DNA polymerase, gen ini juga berfungsi sebagai reverse transcriptase. Gen X mengkode 2 protein yang bekerja sebagai transaktivator transkripsional, berfungsi membantu replikasi virus. Gen ini merupakan ORF terpendek. Gen ini mengkode untuk pembentukan protein X VHB (HBxAg) yang terdiri dari 154 asam amino. Protein ini juga berperan pada pathogenesis karsinoma hepatoselualar (KHS).1,2,3 Adanya DNA-VHB di dalam serum merupakan baku emas untuk menilai aktivitas replikasi virus. DNA-VHB dapat dideteksi dengan metode hibridisasi atau dengan metode yang lebih sensitive yaitu dengan polymerase-chain-reaction (PRC). DNA-VHB kuantitatif sangat bermanfaat untuk memperkirakan respons penyakit terhadap terapi.1.8,9
Gambar 4. Perkembangbiakan Virus Hepatitis B di Hati8 Siklus hidup Hepatitis B virus adalah kompleks. Hepatitis B adalah satu dari beberapa non-retroviral yang menggunakan transkripsi kebalikan sebagai sebuah bagian dari proses replikasinya. Virus meningkatkan masukan ke sel dengan cara membuat suatu sel peka rangsangan terhadap permukaan dari sel dan masuk ke sel tersebut dengan endocytosis. Secara parsial lilitan ganda DNA virus kemudian membuat secara penuh lilitan ganda serta mentransformasikan ke dalam covalently menutup DNA melingkar (cccDNA) yang bertindak sebagai satu cetakan (template) untuk penyalinan empat mRNA virus. MRNA paling besar, (adalah lebih panjang dari genom virus), digunakan untuk membuat copy baru dari genom dan untuk membuat inti capsid protein serta DNA virus polymerase. Empat catatan virus Ini mengalami pemrosesan tambahan dan meneruskan untuk membentuk keturunan virions yang bebas dari sel atau kembali ke nukleus serta re-cycled untuk menghasilkan lebih lagi mengcopy. MRNA lama kemudian mengangkut kembali ke sitoplasma dimana virion P protein mensintesa DNA melalui kebalikan aktivitas transkriptase. IV.
2
CARA TRANSMISI Transmisi VHB terutama melalui darah atau cairan tubuh (jalur parenteral) yang
terdiri dari transmisi vertikal (perinatal) dan horizontal. Transmisi perinatal terjadi dari ibu ke bayi, sedang transmisi horizontal umumnya karena kontak erat antar keluarga / individu. Transmisi perinatal dari ibu yang terinfeksi virus hepatitis B (VHB) ke bayi adalah salah stu cara transmisi yang paling serius karena bayi lahir akan memiliki risiko tertinggi untuk menjadi hepatitis kronis dan dapat berlanjut menjadi sirosis atau karsinoma hepatoselular. Transmisi vertical ini dapat terjadi intrauterin (pranatal), saat lahir (intranatal), dan setelah lahir (pascanatal). Transmisi intrauterin sangat jarang, hanya terjadi pada <2% dari seluruh kejadian transmisi perinatal. Besarnya risiko
transmisi vertikal ini sangat ditentukan oleh status serologi ibu. Bila HBsAg dan HBeAg ibu positif, risiko transmisi vertikal sangat tinggi yaitu sebanyak 70-90%, sementara bila hanya HBsAg yang positif, risiko transmisi vertikal tersebut lebih rendah yaitu 10-67%. Bila anti HBe ibu positif, berpotensi untuk menimbulkan hepatitis fulminan pada bayi, walaupun jarang terjadi. V.
1,3,4
PATOGENESIS Hepatitis B, tidak seperti hepatitis virus lain, merupakan virus nonsitopatik yang
mungkin menyebabkan cedera dengan mekanisme yang diperantarai imun. Langkah pertama dalam hepatitis akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV, menyebabkan munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting dari antigen virus ini mungkin adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg, pecahan produk HBcAg. Antigen-antigen ini, bersama dengan protein histokompatibilitas (MHC) mayor kelas I, membuat sel suatu sasaran untuk melisis sel T sitotoksis. 1,4,5 Mekanisme perkembangan hepatitis kronis kurang dimengerti dengan baik. Untuk memungkinkan hepatosit terus terinfeksi, protein core atau protein MHC kelas I tidak dapat dikenali, limfosit sitotoksik tidak dapat diaktifkan, atau beberapa mekanisme lain yang belum diketahui dapat mengganggu penghancuran hepatosit. Agar infeksi dari sel ke sel berlanjut, beberapa hepatosit yang sedang mengandung virus harus bertahan hidup.1,4,5 Mekanisme yang diperantarai imun juga dilibatkan pada keadaan-keadaan ekstrahepatis yang dapat dihubungkan dengan infeksi HBV. Kompleks imun yang sedang bersirkulasi yang mengandung HBsAg dapat terjadi pada penderita yang mengalami poliartritis, glomerulonefritis, polimialgia reumatika, krioglobulinemia, dan sindrom Guillan Barre yang terkait.1,3 Mutasi HBV lebih sering terkait untuk virus DNA biasa, dan sederetan strain mutan telah dikenali. Yang paling penting adalah mutan yang menyebebkan kegagalan mengekspresikan HBAg dan telah dihubungkan dengan perkembangan hepatitis berat dan mungkin eksaserbasi infeksi HBV kronis yang lebih berat. 1,3 Selama infeksi HBV akut berbagai mekanisme sistem imun diaktivasi untuk mencapai pembersihan virus dari tubuh. Bersamaan dengan itu terjadi peningkatan
serum transaminase, dan terbentuk antibodi spesifik terhadap protein HBV, yang terpenting adalah anti-HBs.1 Untuk dapat membersihkan HBV dari tubuh seseorang dibutuhkan respons imun non-spesifik dan respons imun spesifik yang bekerja dengan baik. Segera setelah infeksi virus terjadi mekanisme efektor system imun non-spesifik diaktifkan, antara lain interferon. Interferon ini meningkatkan ekspresi HLA kelas I pada permukaan sel hepatosit yang terinfeksi VHB, sehingga nantinya memudahkan sel T sitotoksis mengenal sel hepatosit yang terinfeksi dan melisiskannya. Selanjutnya antigen presenting cell (APC) seperti sel makrofag atau sel Kupffer akan memfagositosis dan mengolah VHB. Sel APC ini kemudian akan mempresentasikan antigen VHB dengan bantuan HLA kelas II pada sel CD4 (sel T helper / Th) sehingga terjadi ikatan dan membentuk suatu kompleks. Kompleks ini kemudian akan mengeluarkan produk sitokin. Sel CD4 ini mulanya adalah berupa Th0, dan akan berdiferensiasi menjadi Th1 atau Th2. Diferensiasi ini tergantung pada adanya sitokin yang mempengaruhinya.
1
Pada tipe diferensiasi Th0 menjadi Th1 akan diproduksi sitokin IL-2 dan IFN γ, sitokin ini akan mengaktifkan sel T sitotoksis untuk mengenali sel hepatosit yang terinfeksi VHB dan melisiskan sel tersebut yang berarti juga melisiskan virus. Pada hepatitis B kronis sayangnya hal ini tidak terjadi. Diferensiasi ternyata lebih dominan ke arah Th2, sehingga respons imun yang dihasilkan tidak efektif untuk eliminasi virus intrasel.1 Selain itu, IL-12 yang dihasilkan kompleks Th dan sel APC akan mengaktifkan sel NK (natural killer). Sel ini merupakan sel primitive yang secara non-spesifik akan melisiskan sel yang terinfeksi. Induksi dan aktivasi sitotoksis dan proliferasi sel NK ini bergantung pada interferon. Walaupun peran sel NK yang jelas belum diketahui, tampaknya sel ini berperan penting untuk terjadi resolusi infeksi virus akut. Pada hepatitis B kronis siketahui terdapat gangguan fungsi sel NK ini. 1 VI.
GEJALA KLINIS 1. Hepatitis Akut Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimptomatis ini terbukti
dari tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila
menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat. Gejala yang muncul terdiri atas gejala seperti flu dengan malaise, lelah, anoreksia, mual dan muntah, timbul kuning atau ikterus dan pembesaran hati dan berakhir setelah 6-8 minggu. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar AST dan ALT sebelum timbulnya gejala klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus dapat didahului gejala seperti serum sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi kulit (urtikaria, purpura, makula, dan makulopapular). Ikterus terdapat pada 25% penderita, biasanya mulai timbul saat 8 minggu setelah terinfeksi dan berlangsung selama 4 minggu. Gejala klinis ini jarang terjadi pada infeksi neonatus, 10% pada anak dibawah umur 4 tahun dan 30% pada dewasa. Sebagian besar penderita hepatitis B simptomatis akan sembuh tetapi dapat menjadi kronis pada 10% dewasa, 25% anak, 80% bayi. 2 2. Hepatitis Kronis Definisi hepatitis kronis adalah terdapatnya peningkatan kadar aminotransferase atau HBsAg dalam serum, minimal selama 6 bulan. Sedangkan sebagian besar penderita hepatitis kronis adalah asimtomatis atau bergejala ringan dan tidak spesifik. Peningkatan kadar aminotransferase serum (bervariasi mulai dari minimal sampai 20 kali nilai normal) menunjukkan adanya kerusakan jaringan hati yang berlanjut. Fluktuasi kadar aminotransferase serum mempunyai korelasi dengan respons imun terhadap HBV. Pada saat kadar aminotransferase serum meningkat dapat timbul gejala klinis hepatitis dan IgM anti-HBc. Namun gejela klinis ini tidak berhubungan langsung dengan beratnya penyakit, tingginya kadar aminotransferase serum , atau kerusakan jaringan hati pada biopsi. Pada penderita hepatitis kronis-aktif yang berat (pada pemeriksaan histopatologis didapatkan bridging necrosis), 50% diantaranya akan berkembang menjadi sirosis hati setelah 4 tahun, sedangkan penderita hepatitis kronis-aktif sedang akan menjadi sirosis selama 6 tahun. Kecepatan terjadinya sirosis mungkin berhubungan dengan beratnya nekrosis jaringan hati yang dapat berubah dari waktu ke
waktu sehingga untuk melakukan perkiraan kapan timbulnya sirosis pada individu sukar untuk ditentukan. 3. Gagal hati Fulminan Gagal hati fulminan terjadi pada tidak lebih dari 1% penderita hepatitis B akut simtomatik. Gagal hati fulminan ditandai dengan timbulnya ensefalopati hepatikum dengan beberapa minggu setelah munculnya gejela pertama hepatitis, disertai ikterus, gangguan pembekuan, dan peningkatan kadar aminotransferase serum sehingga ribuan unit. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya reaksi imunologis yang berlebihan dan menyebabkan nekrosis jaringan hati yang luas. 4. Pengidap Sehat Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar aminotransferase serum dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis sehingga tidak terjadi kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering terjadi pada bayi didaerah endemik yang terinfeksi secara vertikal dari ibunya. Prognosis bagi pengidap sehat adalah membaik (anti HBe positif) sebesar 10% setiap tahun, menderita sirosis pada umur diatas 30 tahun sebesar 1% dan menderita karsinoma hati kurang dari 1%. 2
Gambar 5. Keadaan hati pada hepatitis yang menjadi kronis 9
VII.
DIAGNOSIS Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis. Pada saat
awal infeksi HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk kedalam sel hati melalui aliran darah. Dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis. Pada saat ini DNA HBV, HBsAg, HBeAg, dan anti-HBc terdeteksi dalam serum. Keadaan ini berlangsung selama bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak yang dinamakan sebagai pengidap sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis dengan akibat kerusukan sel hati yang terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau berkembang menjadi hepatitis kronis. 2
Antigen
Interpretasi
Bentuk Klinis
HBsAg
Sedang infeksi (aktif)
Hepatitis akut, kronis, kronis
hepatitis penanda
HBeAg
Proses replikasi dan sangat Hepatitis akut, menular kronis
hepatitis
Anti-HBs Anti- HBc Total
Resolusi infeksi
Kekebalan
Sedang infeksi atau infeksi Hepatitis akut, hepatitis kronis yang kambuh kronis, penanda kronis, kekebalan
IgM anti-HBc
Infeksi akut atau infeksi Hepatitis akut, kronis yang kambuh kronis
Anti-HBe
Penurunan aktivitas Penanda kronis, kekebalan replikasi (resolusi)
PCR DNA HBV
Infeksi HBV
Hepatitis akut, kronis, kronis
hepatitis penanda
Hibridisasi DNA HBV
Replikasi aktif dan sangat Hepatitis akut, menular kronis
hepatitis
VIII.
hepatitis
DIAGNOSA BANDING Diagnosis banding hepatitis B kronis adalah hepatitis C, defisiensi α 1-antitrypsin,
tyrosinemia, cystic fibrosis, gangguan metabolism asam amino atau gangguan metabolisme karbohidrat atau gangguan oksidasi asam lemak. Penyebab lain dari hepatitis kronis pada anak termasuk penyakit Wilson’s, hepatitis autoimun, dan pengobatan yang hepatotoksik. IX.
1,4
PENATALAKSANAAN Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian
kecil menjadi kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit. Pasien dirawat bila ada dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT >10 kali nilai normal atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Namun tidak demikian pada neonatus, bayi, dan anak dibawah 3 tahun dimana infeksi HBV tidak menimbulkan gejala klinis hepatitis akut dan sebagian besar (80%) akan menjadi kronis. Pengobatan hepatitis B kronis merupakan masalah yang sulit dan sampai saat ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak. Tujuan pengobatan hepatitis B kronis adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga infeksi tersebut dieliminasi dari tubuh dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis didalam hati terutama sirosis serta komplikasinya dapat dicegah. Hanya penderita dengan replikasi aktif (ditandai dengan HBeAg dan DNA HBV serum positif) dan hepatitis kronis dengan
peningkatan kadar aminotransferase serum yang akan memberikan hasil baik terhadap pengobatan. 1. Interferon Alfa Pengobatan dengan interferon-alfa 2b (IFN-α2b) adalah pengobatan standar untuk penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati (asites, ensefalopati, koagulopati, dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif (HBeAg
dan
DNA HBV)
serta
peningkatan
kadar
aminotransferase
serum.
Kontraindikasi penggunaan interferon adalah neutropenia, trombositopenia, gangguan jiwa, adiksi terhadap alkohol, dan penyalahgunaan obat. Dosis interferon adalah 3 MU/m2 secara subkutan tiga kali dalam seminggu, diberikan selama 16 minggu. Efek samping interferon dapat berupa efek sistemik, autoimun, hematologis, imunologis, neurologis, dan psikologis. Efek sistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi, anoreksia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri perut, dan rambut rontok. Efek auto imun ditandai dengan timbulnya auto antibodi, antibody anti-interferon, hipertiroidisme,
hipotiroidisme,
diabetes,
anemia
hemolitik,
dan
purpura
trombositopenik. Efek hematologis berupa penurunan jumlah trombosit, jumlah sel darah putih dan kadar hemoglobin. Efek imunologis berupa mudah terkena infeksi bakrerial seperti bronchitis, sinusitis, abses kulit, infeksi saluran kemih, peritonitis, dan sepsis. Efek neurologis berupa kesulitan konsentrasi, kurang motivasi, gangguan tidur, delirium dan disorientasi, kejang, koma, penurunan pendengaran, tinnitus, vertigo, penurunan pengelihatan, dan perdarahan retina. Sedangkan efek psikologis berupa gelisah, iritabel, depresi, paranoid, penurunan libido, dan usaha bunuh diri.
2. Analog nukleosida Lamivudin, famsiklovir, dan adefovir adalah golongan analog nukleosida yang menghambat replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang menimbulkan efek samping daripada interferon: dosisnya 3mg/kgBB sekali sehari selama 52 minggu atau 1 tahun. Terjadi perbaikan gambaran histologis pada 52-67% kasus, sedangkan hilangnya HBeAg dan timbulnya anti-HBe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan
serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe sebesar 23%. Pada penderita dekompensasi hati, lamivudin memperbaiki skor Child-Pugh. Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan peningkatan
kadar
aminotransferase
serum
dengan
spesifikasi:
kontraindikasi
penggunaan interferon terutama penderita yang mengalami dekompensasi hati. Penderta dengan mutasi pre-core HBV mendapat imunosupresif dalam jangka lama dan kemoterapi. Pada penderita yang mengalami kegagalan pengobatan dengan interferon dapat diberikan lamivudin. Apabila dengan pemberian lamivudin terjadi mutasi YMDD pada HBV, maka dapat diberikan adefovir atau gansiklovir. Penggunaan lamivudin pada anak selama 52 minggu dengan dosis 3mg/kgBB memberi respons yang signifikan terhadap virus. Kombinasi terapi antara interferon dengan lamivudin tidak lebih baik dibanding pengobatan lamivudin saja. 2
X.
KOMPLIKASI Hepatitis fulminan akut terjadi lebih sering pada HBV daripada virus hepatitis
lain, dan risiko hepatitis fulminan lebih lanjut naik bila ada infeksi bersama atau superinfeksi dengan virus hepatitis D. Mortalitas hepatitis fulminan lebih besar dari 30%. Transplantasi hati adalah satu-satunya intervensi efektif; perawatan pendukung yang ditujukan untuk mempertahankan penderita sementara memberi waktu yang dibutuhkan untuk regenerasi sel hati adalah satu per satu.
XI.
PENCEGAHAN
Imunisasi Pada Bayi Bayi yang dilahirkan oleh wanita yang HBsAg positif harus mendapat vaksin pada saat lahir, umur 1 bulan dan 6 bulan. Dosis pertama harus diseertai dengan pemberian 0,5 ml immunoglobulin hepatitis B (IGHB) sesegera mungkin sesudah lahir (12 jam) karena efektivitasnya berkurang dengan cepat dengan bertambahnya waktu sesudah lahir. AAP (American Academy of Pediatrics) merekomendasikan bahwa bayi yang dilahirkan dari ibu yang HBsAg negative mendapat dosis vaksin pertama pada saat lahir, kedua pada umur 1-2 bulan, dan ketiga
Indonesia adalah Negara dengan angka prevalensi HB berkisar antara 5-20% termasuk Negara dengan endemisitas sedang sampai dengan tinggi, dengan transmisi verikal 48%. Oleh jarena itu, strategi yang paling tepat untuk Indonesia adalah vaksinasi bayi secepat mungkin setelah dilahirkan. Pemberian vaksinasi bertujuan untuk merangsang system imun agar membentuk kekebalan humoral (antigen-spesifik humoral antibody) dan kekebalan seluler. Tidak seperti kekebalan pasif yang berlangsung sementara, maka kekebalan aktif biasanya bertahan untuk beberapa tahun. Vaksin akan berinteraksi dengan system imun dan umumnya menghasilkan respons imun yang sama dengan yang dihasilkan oleh infeksi alami, tetapi penerima vaksin tidak menjadi sakit atau terserang komplikasi. Vaksin juga menimbulkan immunologic memory yang serupa dengan yang didapat dari infeksi alami.4 Banyak faktor yang mempengaruhi imun respons terhadap vaksinasi, antara lain adanya antibodi maternal, sifat dan dosis antigen, cara pemberian dan adanya adjuvant. Faktor penerima vaksin juga berpengaruh antara lain, umur, status nutrisi, genetik, dan penyakit yang sedang diderita. 3,4 Vaksin HB ternasuk vaksin inactivated, yaitu vaksin yang terdiri dari bagian dari virus dan tidak mengandung virus hidup. Oleh karena itu, vaksin HB tidak menyebabkan replikasi virus hepatitis dan tidak menyebabkan penyakit. Ia juga tidak dapat bermutasi kearah lebih pathogen. Vaksin HB merupakan HBsAg murni yang terikat dengan adjuvant alum. HBsAg adalah glikoprotein yang membentuk selubung (envelope) luar dari virus HB. HBsAg bisa berasal dari proses pemurnian plasma pengidap (plasma derived vaccine) atau diproduksi dalam yeast atau sel mamalia menggunakan teknologi rekombinan (recombinant vaccine).3,4 Vaksin Derivat Plasma5 Pada infeksi alamiah dengan virus HB, sel hati akan memproduksi HBsAg secara berlebihan dari yang dibutuhkan untuk membungkus partikel virus. Kelebihan HBsAg ini adalah kemampuan untuk membentuk partikel sferis dan tubular berukuran 22mm. vaksin HB dibuat dengan memurnikan partikel HBsAg yang berasal dari plasma pengidap. Bahan vaksin diinaktivasi untuk menjamin tidak ada lagi virus maupun mikroorganisme lain yang infeksius. Vaksin HB asal plasma telah diberikan pada lebih dari 70 juta orang dengan kemanan dan efektivitas yang luar biasa.
Program imunisasi nasional Indonesia menggunakan vaksin jenis ini yang diproduksi PT Bio Farma dengan teknologi KGCC (Koren Green Cross Corporation) sejak 1991 sampai dengan 1998. Vaksin HB asal plasma ini memiliki beberapa keterbatasan bila digunakan dalam program universal : 1. Terbatasnya darah pengidap HB yang sehat 2. Perlu ketelitian dalam proses pemurnian dan inaktivasi 3. Kekhawatiran akan kontaminasi pathogen yang berasal dari darah. Keterbatasan ini menyebabkan harga vaksin asal plasma ini terlalu mahal untuk Negara berkembang, sehingga para ahli mengembangkan vaksin dengan teknologi rekombinan. Vaksin Rekombinan HB5 Vaksin HB ini dibuat dari yeast atau sel mamalia, sel-sel ini berisi plasmid yang sudah disisipi gen HBsAg, sehingga dengan replikasi yeast maka plasmid turut berreplikasi dan menghasilkan HBsAg dalam jumlah banyak. Bentuk HBsAg sferis yang dihasilkan serupa dengan partikel sferis 22 nm alami, baik dalam hal komposisi kimia maupun imunogenisitasnya. Vaksin HB ini dapat diproduksi dalam jumlah tidak terbatas di dalam fermentor, sehingga tak ada lagi kekhawatiran akan habisnya bahan asal antigen sebagaimana halnya dengan pemakaian vaksin asal plasma. Sejak tahun 1998 program nasional telah menggunakan vaksin rekombinan produksi PT Bio Farma dengan teknologi KGCC. Yeast yang digunakan bukan Saccharomyces cerevisiae tetapi Hansenula polymorpha yang memiliki banyak keunggulan antara lain plasmid yang stabil dan produktivitas yang tinggi. Efikasi vaksin HB rekombinan5 Setelah 3 x suntikan IM, lebih dari 90 % orang dewasa sehat dan lebih dari 95 % bayi dan anak usia kurang dari 19 tahun akan memberikan repons imun yang cukup. Walaupun terjadi penurunan imunogenisitas yang tergantung dari faktor umur (setelah umur 40 tahun). Sejumlah 90 % penerima vaksin masih memperlihatkan respons imun yang adekuat. Namun demikian, mendekati umur 60 tahun hanya 70 % yang menunjukkan respons imun.
Dosis vaksin yang direkomendasikan dapat berbeda tergantung dari umur penerima vaksin, kondisi tertentu, dan tipe vaksin 5 Kelompok
Bayi + anak < 11 tahun Anak 11-19 tahun Dewasa > 20 tahun
Recombivax HB
Vaksin Engerix-B
Bio Farma/KGCC
Dosis (ml) 5 µg (0,5) 5 µg (0,5) 10 µg (1,0)
Dosis (ml) 10 µg (0,5) 10 µg (0,5) 20 µg (1,0)
Dosis (ml) 10 µg (0,5) 20 µg (1,0) 20 µg (1,0)
Penyuntikan yang dianjurkan adalah intramuscular pada musculus deltoideus untuk anak besar dan orang dewasa, sedangkan pada bayi sebaiknya pada bagian anterolateral paha. Penyuntikan orang dewasa
di bokong akan mengurangi
imunogenisitas vaksin. Antibody yang ditimbulkan karena vaksinasi akan menurun dengan waktu, tetapi immune memory akan menetap sampai kira-kira 13 tahun setelah imunisasi, sehingga baik anak maupun dewasa denagn antibody yang menurun ini masih terlindung terhadap infeksi HBV yang serius (klinis, antigenemia, kelainan fungsi HB). Paparan dengan HBV akan menimbulkan respons anamnestik anti-HBs yang akan mencegah timbulnya gejala klinis infeksi. Vaksin HB dalam kemasan uniject4 Uniject adalah alat suntik terbuat dari plastic yang disposable, pre-filled dengan obat dosis tunggal. Obatnya tertutup rapat dalam blister, dengan jarum yang terpasang permanent. Uniject ini dirancang untuk mencegah penggunaan ulang alat suntik, sehingga menjamin safe infection, tidak ada risiko tertular penyakit lain melalui suntik bekas yang terkontaminasi. Di samping itu mengingat sifat vaksin HB yang relative stabil terhadap perubahan suhu, yaitu hanya sedikit kehilangan potensi setelah penyimpanan pada 37ºc selama 6 bulan, maka WHO menganggap vaksin HB adalah calon vaksin yang dalam kondisi tertentu dapat dipakai di luar rantai dingin.hal ini bertujuan agar dapat memperluas cakupan imunisasi universal pada bayi. Upaya pencegahan umum terhadap HBV yang seyogianya dilakukan pula adalah : 5
1. 2. 3. 4.
Uji tapis donor darah terhadap HBV Sterilisasi alat operasi, alat suntik, peralatan gigi Penggunaan sarung tangan oleh tenaga medis Mencegah kemungkinan terjadinya mikrolesi yang dapat menjadi tempat masuknya
virus, seperti pemakaian sikat gigi, sisir, alat pencukur rambut pribadi 5. Untuk mencegah transmisi vertical, semua ibu hamil terutama yang berisiko terinfeksi HBV sebaiknya dianjurkan untuk diperiksa terhadap HBV. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada awal dan trimester ketiga kehamilan.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan Hepatitis B adalah penyakit infeksi akut pada yang menyebabkan peradangan hati yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B. WHO memperkirakan adanya 400 juta orang sebagai pengidap HBV pada tahun 2000. Di Indonesia pada penelitian terhadap donor darah di beberapa kota besar didapatkan angka prevalensi antara 2,5%-36,2% dengan frekuensi terbanyak antara 5-10%. Virus hepatitis B merupakan kelompok virus DNA dan tergolong dalam family Hepadnaviridae. Nama family Hepadnaviridae ini disebut demikian karena virus bersifat hepatotropis dan merupakan virus dengan genom DNA. Transmisi VHB terutama melalui darah atau cairan tubuh (jalur parenteral) yang terdiri dari transmisi vertical (perinatal) dan horizontal. Transmisi perinatal terjadi dari ibu ke bayi, sedang transmisi horizontal umumnya karena kontak erat antar keluarga / individu. Hepatitis B, tidak seperti hepatitis virus lain, merupakan virus nonsitopatik yang mungkin menyebabkan cedera dengan mekanisme yang diperantarai imun. Langkah pertama dalam hepatitis akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV, menyebabkan
munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting dari antigen virus ini mungkin adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg, pecahan produk HBcAg. Gejala klinis hepatitis dibagi menjadi hepatitis akut, hepatitis kronis, gagal hati fulminan, dan pengidap sehat. Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis. Pada saat awal infeksi HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk kedalam sel hati melalui aliran darah. Dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis. Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian kecil menjadi kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit. Pasien dirawat bila ada dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT >10 kali nilai normal atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Pemberian vaksinasi bertujuan untuk merangsang system imun agar membentuk kekebalan humoral (antigen-spesifik humoral antibody) dan kekebalan seluler. Tidak seperti kekebalan pasif yang berlangsung sementara, maka kekebalan aktif biasanya bertahan untuk beberapa tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dienstag, Jules L. Viral Hepatitis. Kasper, Braunwald, Fauci, et all. In Harrison’s : Principles of Internal Medicine : 1822-37. McGraw-Hill, Medical Publishing Division, 2005. 2. Mohammad Juffrie, dkk. Gastroenterologi-Hepatologi. Jilid 1. IDAI. 2011 3. Isselbacher, Kurt. Hepatology. Thomas D Boyer MD, Teresa L Wright MD, Michael P Manns MD A Textbook of Liver Disease. Fifth Edition. Saunders Elsevier. Canada. 2006 4. Hanifah Oswari,Tinjauan Multi Aspek Hepatitis B pada Anak – Tinjauan Komprehensif Hepatitis Virus pada Anak. Balai penerbit FKUI, Jakarta, 2000 5. Lina Herlina Soemara, Vaksinasi Hepatitis B – Tinjauan Komprehensif Hepatitis Virus pada Anak. Balai penerbit FKUI, Jakarta, 2000 6. Julfina Bisanto. Hepatitis virus – Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Jakarta. 2007 7. www.wikipedia.org/wiki/Hepatitis_B_virus diakses pada19 Oktober 2015 8. www.healthtap.com/topics/hepatitis-b-virus diakses pada 19 Oktober 2015
9. www.slideshare.net/christinedunn92/b75-chapter-24-gallbladder-liver-andpancreatic-disorder diakses pada 19 Oktober 2015