BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Limfoma adalah suatu proliferasi klonal pada sel-sel limfoid yang berasal dari kelenjar getah bening atau jaringan limfoid lainnya. Limfoma merupakan sekelompok gangguan yang heterogen (Hoffbrand, Mehta, 2006). Dua tipe utama dari limfoma adalah Limfoma Hodgkin (LH) dan Limfoma Non Hodgkin (LNH). Penyakit Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular yaitu limfoma malignum. Kedua penyakit tersebut dibedakan secara histopatologis, di mana pada limfoma Hodgkin ditemukan sel Reed Sternberg. Pada laporan referat ini akan lebih lanjut membahas mengenai Limfoma Hodgkin. Setiap tahun diperkirakan ada 7.900 kasus baru penyakit Hodgkin dengan angka kematian sebanyak 1.600 (Otto, 1996). Tidak seperti limfoma lain yang meningkat seiring bertambahnya usia, limfoma hodgkin memiliki kurva insiden yang meningkat pada dua kelompok usia, yaitu pada dewasa muda sekitar usia 15 – 35 35 tahun dan yang kedua pada usia diatas 55 tahun. Terdapat predominansi pria sebesar hampir 2:1, artinya limfoma hodgkin, umumnya terjadi pada laki – – laki, kecuali jenis sklerosis nodular yang insidensinya tinggi pada wanita. Limfoma Hodgkin terjadi pada 1:25.000 orang, dan total penyakit ini kurang dari 1% dari seluruh kasus kanker di seluruh dunia. Insiden limfoma hodgkin meningkat pada pasien dengan infeksi HIV. Sebagian besar pasien penderita datang dengan pembesaran kelenjar getah bening superifisial yang tidak nyeri, tidak t idak nyeri tekan, asimetris, padat, berbatas tegas, dan kenyal. Kelenjar getah bening leher terkena pada 60-70% pasien, kelenjar aksila pada 10-15%, dan inguinal pada 6 – 12% (Rotter, 2011). Survey yang dilakukan oleh National Cancer Institute menyatakan bahwa sebanyak 13,13 % pasien yang mengidap Limfoma Hodgkin meninggal. Angka kematiannya memang kecil, namun hal ini tidak menutup kemungkinan bisa
1
meningkatnya angka tersebut. Etiologi utama dari penyakit ini adalah EBV ( Epstein-Barr Epstein-Barr Virus) dan kelainan genetik pada sel imun.
B. Tujuan 1. Mengetahui prevalensi limfoma hodgkin di dunia 2. Mengetahui penyebab dari penyakit Limfoma Hodgkin 3. Mengetahui tata laksana untuk penyakit Limfoma Hodgkin 4. Mengetahui hubungan penyakit limfoma Hodgkin dengan genetik dan faktor lingkungan.
2
BAB II ISI
A. Definisi Limfoma Hodgkin sebelumnya disebut penyakit Hodgkin, adalah kanker jaringan limfoid, biasanya kelenjar limfe dan limpa. Penyakit ini adalah salah satu jenis kanker yang paling sering dijumpai pada dewasa muda, terutama pria muda. Penyakit hodgkin merupakan gangguan klonal yang berasal dari satu sel abnormal. Populasi sel abnormal diturunkan dari sel B atau yang lebih jarang, dari sel T atau monosit. Sel-sel neoplastik pada penyakit Hodgkin disebut sel Reed-Sternberg. Sel-sel ini terselip di antara jaringan limfoid normal yang terdapat di organ limfoid (Corwin, 2009). Analisis PCR menunjukan bahwa sel Reed-Sternberg berasal dari folikel sel B yang mengalami gangguan struktur pada imunoglobulin, sel ini juga mengandung suatu faktor transkripsi inti sel, kedua hal tersebut menyebabkan gangguan apoptosis (Sumantri, 2009). Gambaran khas dari penyakit Hodgkin yaitu adanya sel Reed-Sternberg yang merupakan sel berinti dua atau banyak, besar, maligna yang mengandung dua atau lebih nukleoli besar (Baldy, 2005).
B. Epidemiologi Terdapat 7.500 kasus baru Penyakit Hodgkin setiap tahunnya di Amerika. Rasio kekerapan jumlah penderita menurut kelamin antara pria dan wanita adalah 1,3-1,4 berbanding 1. Lalu untuk usia, terdapat distribusi bimodal, yaitu usia 1534 tahun dan usia diatas 55 tahun (Sumantri, 2010). Saat ini di Amerika, tahun 2012 ini saja menurut National Cancer Institute sudah ditemukan kasus baru sebanyak 9.060 dan kematian yang disebabkan penyakit ini sebanyak 1.190. Limfoma Hodgkin penyakit yang relatif jarang dijumpai, jumlahnya hanya sekitar 1% dari seluruh kanker. Di negara barat insidennya dilaporkan 3,5/100.000/tahun pada laki-laki, dan 2,6/100.000/tahun pada wanita. Di Indonesia, belum ada laporan angka kejadian limfoma Hodgkin. Berdasarkan
3
jenis kelamin, limfoma Hodgkin lebih banyak di jumpai pada laki-laki dengan perbandingan laki-laki : wanita = 1,2 : 1. Penyakit ini terutama ditemukan pada orang dewasa antara usia 18-35 tahun dan pada orang diatas 50 tahun (Handayani, 2008). Angka kejadian Penyakit Hodgkin yang berdasarkan populasi di Indonesia belum ada. Pada KOPAPDI II di Surabaya tahun 1973 dilaporkan bahwa di bagian penyakit dalam RS. Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 19631972 (9 tahun) telah dirawat 26.815 pasien, dimana 81 di antaranya adalah limfoma malignum dan 12 orang adalah penyakit Hodgkin. Pada KOPAPDI VIII tahun 1990 di Yogya dilaporkan bahwa selama 1 tahun di bagian penyakit dalam RSUP
Dr.
Sardjito
dirawat
2246
pasien,
32
di
limfoma malignum dan semuanya adalah limfoma Hodgkin.
antaranya
adalah
Dari
laporan-
laporan tersebut di atas terlihat bahwa di Indonesia limfoma non-Hodgkin lebih banyak dari penyakit Hodgkin, dan pria selalu lebih banyak daripada wanita. Pada limfoma non Hodgkin terdapat peningkatan insidensi yang linear seiring dengan usia. Sebaliknya, pada penyakit Hodgkin di Amerika Serikat dan di negara-negara barat yang telah berkembang, kurva insidensi spesifik umur berbentuk bimodal dengan puncak awal pada orang dewasa muda (15-35 tahun) dan puncak kedua setelah 50 tahun. Penyakit Hodgkin prevalen pada pria dan bila kurva insidensi spesifik umur dibandingkan dengan distribusi jenis kelamin pasien, maka peningkatan prevalensi laki-laki lebih nyata pada dewasa muda. Pada penyakit Hodgkin anak, predominasi laki-laki ini lebih mencolok dengan
lebih
dari
80%
pasien
adalah
laki-laki.
Hal ini menyebabkan beberapa peneliti beranggapan bahwa terdapat peningkatan kerentanan yang berhubungan dengan faktor genetik terkait seks dan hormonal. Faktor risiko penyakit ini adalah infeksi virus. Infeksi virus onkogenik diduga berperan menimbulkan lesi genetik, lalu virus memperkenalkan gen asing ke sel target. Virus-virus tersebut adalah virus Epstein-Barr, HIV, Sitomegalovirus, dan Human Herpes Virus-6 (HHV-6). Faktor risiko lain yaitu keluarga dari pasien
4
hodgkin (adik-kakak). Kemudian defisiensi imun juga merupakan suatu faktor risiko, misalnya pada pasien transplantasi organ dengan pemberian obat imunosupresif atau pada pasien cangkok sumsum tulang (Sumantri, 2010). Hodgkin dapat dibedakan dengan non hodgkin dikarenakan adanya sel Reed-Sternberg pada Hodgkin. Namun tempat sel ini berasal masih belum jelas diketahui (di sumber lain disebutkan sel Reed-Sternberg berasal dari germinalcentre limfosit B). Sel Reed-Sternberg merupakan sel yang besar dan binukleat (di sumber lain disebutkan sel Reed-Sternberg memiliki banyak inti). Setiap nukleusnya menampakkan nukleolus yang menonjol sehingga terlihat seolaholah seperti owl’s eyes.
Gambar 2.1 Owl ’s eyes (University of Virginia, 2010) C. Etiologi Penyebab penyakit Hodgkin masih belum dapat dipastikan. Namun ada beberapa faktor yang mungkin berkaitan dengan penyakit ini. Berikut ini adalah hal-hal yang memiliki kaitan dengan penyakit Hodgkin. Adanya kemungkinan penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus Epstein-Barr. Sebab beberapa dari penderita Hodgkin diketahui telah terinfeksi virus ini. Orang-orang yang telah terinfeksi HIV, biasanya cenderung lebih mudah menderita penyakit Hodgkin. Orang-orang yang menerima terapi obat imunosupresan setelah transplantasi organ juga berpeluang menderita penyakit ini. Penelitian belakangan ini telah menetapkan adanya hubungan pasti antara malfungsi sistem imun dengan insidensi penyakit Hodgkin. Contohnya, beberapa
5
penelitian terhadap orang dengan infeksi HIV dan AIDS yang memiliki penurunan sistem imun menunjukkan adanya peningkatan insidensi limfoma Hodgkin sebesar 10 kali lipat dibandingkan populasi umum (Rotter, 2011). Sementara itu pada penggunaaan obat, terutama obat imunosupresan untuk kasus transplantasi menunjukkan adanya peningkatan kecenderungan terhadap limfoma Hodgkin. Obat yang digunakan untuk pengobataan arthritis rheumtoid juga dicurigai memperbesar faktor risiko (Rotter, 2011). Selain faktor penurunan dan riwayat konsumsi obat, beberapa pendapat menyatakan adanya hubungan antara Limfoma Hodgkin dengan genetik. Beberapa pendapat ilmiah berbeda mengenai mengenai hal ini. Studi pada pasangan kembar, menunjukkan adanya kerentanan genetik yang signifikan terhadap limfoma hodgkin pada usia dewasa muda. Studi tersebut mempelajari 366 pasang kembar dimana salah satu dari kembar telah didiagnosis Limfoma Hodgkin. Pada kembar fraternal tidak satu pun dari 187 kembar menunjukkan tanda – tanda Hodgkin. Pada kembar identik, sepuluh dari 179 kembar menunjukkan adanya Limfoma Hodgkin (Rotter, 2011). Ahli lain percaya genetik tidak mempengaruhi limfoma hodgkin. Menurut Dr Alan C. dari Departemen Hematologi dan Onkologi, Massachusetts General Hospital, Limfoma Hodgkin sama seperti jenis kanker lainnya. Dia berpendapat sekitar empat sampai lima kali lipat peningkatan limfoma hodgkin pada kembar identik lebih menunjukkan adanya faktor lingkunga, bukan faktor genetik (Rotter, 2011). Pendapat lain mengatakan paparan terhadap karsinogen, khususnya di tempat kerja, dapat meningkatkan risiko limfoma Hodgkin. Polutan lingkungan lainnya seperti pestisida, herbisida dan berbagai virus juga memiliki peran dalam peningkatan insidensi limfoma hodgkin (Rotter, 2011).
D. Patomekanisme Limfoma hodgkin terjadi akibat adanya sel B yang menjadi abnormal karena adanya Virus Epstein-Barr yang mengandung banyak NF-κB. NF-κB
6
merupakan salah satu faktor transkrip yang bisa merangsang proliferasi sel B terus menerus terjadi. Selain itu, NF-κB juga melindungi sel B dari sinyal apoptotik, sel abnormal ini miripsel raksasa neoplastik khas yang disebut sel Reed-sternberg (Robbins, 2011). $
Gambar 2.2 Mekanisme pembentukan limfoma Hodgkin
Sel Reed-Sternberg merupakan sel ganas yang masih belum jelas asalnya dari mana. Sel tersebut diperkirakan berasal dari early lymphoid cell atau histiosit. Penelitian terakhir menyebutkan dengan melihat rearrangement gen imunoglobulin, sel Reed-Sternberg bersifat B-lymphoid lineage. Akan tetapi, ada yang mengatakan sel Reed-Sternberg berasal dari sel B dari germinal centre. Penyakit ini disusun dalam suatu setting yang terdiri atas sel ganas (sel ReedSternberg) yang dikelilingi oleh sel radang pleomorf. Perbandingan jumlah sel ganas dengan sel radang bergantung pada derajat respon imunologik penderita. Jika terjadi respon sel radang yang kuat sehingga sel-sel limfosit lebih dominan dibandingkan dengan sel Reed-Sternberg maka orang itu memiliki status imunologik yang baik, sedangkan orang yang memiliki status imunologik yang
7
kurang baik akan memberikan respon imunologik yang rendah sehingga sel-sel limfosit tidak terlalu banyak ( depleted ). Perbandingan sel Reed-Sternberg dengan limfosit ini akan menentukan klasifikasi histologik penyakit Hodgkin dan akan berpengaruh terhadap prognosis (Bakta, 2007). Sel Reed-Sternberg menjadi tanda patologi yang khas untuk limfoma hodgkin dimana pada limfoma non hodgkin tidak diketemukan sel tersebut (Kuppers, 2009).
E. Patofisiologi Limfoma hodgkin dibagi menjadi 5 tipe. 4 diantaranya digolongkan pada limfoma hodgkin klasik. Golongan yang ke 5, penyakit predominan limfosit hodgkin, menunjukkan tanda klinis unik dan butuh treatmen yang berbeda. Pada limfoma hodgkin klasik, sel neoplasma yaitu sel Reed-Sternberg (RS). Sel ReedSternberg hanya sekitar 1 – 2% total sel tumor. Peningkatan pada berbagai variasi reaktif, dan sel inflammatori seperti limfosit, plasma sel, neutrofil, eosinofil, dan histosit. (Bradley, 2012) Umumnya Sel Reed-Sternberg adalah sel B original, derivat dari sentrum germinativum limfenodi namun tidak lagi mampu menghasilkan antibodi. Beberapa kasusk Limfoma Hodgkin teridentifikasi keberadaan sel ReedSternberg berasal dari sel T original, tapi kasus seperti ini termasuk langka, terhitung sekitar 1 -2% dari kasus Limfoma Hodgkin klasik (Bradle y, 2012). Sel Reed-Sternberg mengekspresikan antigen CD-30 dan CD-15. CD-30 merupakan marker aktivasi limfosit yang diekspresikan oleh sel limfoid reaktif dan malignant, dan khusus diekspresikan oleh sel Reed-Sternberg. CD-15 adalah marker bagi granulosit akhir, monosit, dan sel T teraktivasi yang secara normal di ekspresikan oleh sel B (Bradley, 2012). 1. Nodular Sclerosis Hodgkin disease Pada nodular sclerosis hodgkin disease (NSHD), 60 – 80% dari seluruh kasus Limfoma Hodgkin, morfologinya menunjukkan adanya nodular. NSHD
8
umumnya muncul pada remaja dan dewasa muda. Biasanya terlokasi di mediastinum dan lokasi supradiaphragmatic lainnya (Bradley, 2012).
Gambar 2.3 nodular sclerosis hodgkin disease (University of Virginia, 2010)
Gambar 2.4 Gambaran histologis nodular sclerosis hodgkin disease (University of Virginia, 2010)
2. Mixed-cellularity Hodgkin disease Pada Hodgkin penyakit tipe campuran (MCHD), dengan angka kejadian 15 – 30%, infiltrasi biasanya berupa difuse. Sel Reed sternberg juga memiliki ciri tipe klasik, besar, bilobate, ganda atau multiple nukleus, dan eosinofilic nukleus. MHCD umumnya terjadi pada limfenodi di abdominal dan spleen. Pasien dengan tipe histologi seperti itu berada pada stadium akhir dengan sistemik simptoms. MCHD merupakan tipe histologi yang umumnya ada pada
9
pasien dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Bradley, 2012).
Gambar 2.5 Gambaran histologis mixed cellularity Hodgkin disease (University of Virginia, 2010)
3. Lymphocyte-depleted Hodgkin disease Kejadian kasus Lymphocyte-depleted Hodgkin disease (LDHD) hanya berkisar 1% dari semua kasus. Infiltrasi pada penyakit ini berupa difusi dan sering menunjukkan hiposelular. Sejumlah banyak dari Reed-Sternberg cells and jenis jenis sarkoma aneh kadang terlihat. LDHD berhubungan dengan usia lanjut dan status positif HIV. Pasien kadangkala muncul dengan gejala stadium lanjut. Epstein-Barr virus (EBV) proteins diekspresikan oleh banyak sel tumor ini. Mayoritas penyakit yang terdeteksi di masa lampau adalah limfoma yang golongan non Hodgkin biasanya merupakan pembesaran sel anaplastik (Bradley, 2012).
10
(A)
(B)
Gambar 2.6 Gambaran histologi Lymphocyte-depleted Hodgkin disease. (A) Limfosit kecil tidak ada/ non Lymphoma Hodgkin. (B) Gambaran variasi diffuse fibrosis. (University of Virginia, 2010)
4. Lymphocyte-rich classic Hodgkin disease Kejadian kasus Lymphocyte-rich classic Hodgkin disease (LDHD) berkisar 5 % dari semua kasus Dalam LRHD, Reed-Sternberg sel dari jenis klasik atau lacunar diamati, dengan latar belakang infiltrasi limfosit. Hal ini membutuhkan diagnosis imunohistokimia. Beberapa kasus mungkin memiliki pola nodular. Secara klinis, pola presentasi dan pola survival mirip dengan MCHD (Bradley, 2012).
Gambar 2.7 Lymphocyte-rich classic Hodgkin disease (University of Virginia, 2010)
11
5. Nodular lymphocyte-predominant Hodgkin disease Kasus nodular dominan limfosit-Hodgkin disease (NLPHD) merupakan 5% dari total kasus. Berbeda dengan subtipe histologis lain, sel ReedSternberg tidak selalu ada di NLPHD. Sebaliknya, limfositik dan histiocytic (L & H) sel, atau "sel popcorn" (inti mereka menyerupai popcorn) terlihat dalam latar belakang sel inflamasi, yang didominasi limfosit jinak. Tidak seperti Reed-Sternberg sel, L & H sel positif untuk B-sel antigen, seperti CD19 dan CD20, dan negatif untuk CD15 dan CD30.
Gambar 2.8 Popcorn cell pada Lymphocyte-rich classic Hodgkin disease (University of Virginia, 2010)
Diagnosis NLPHD harus didukung oleh penelitian imunohistokimia, karena dapat muncul kemiripan dengan LRHD atau bahkan dengan beberapa non-Hodgkin limfoma (Bradley, 2012).
F. Penegakan Diagnosis 1. Prosedur penentuan derajat penyakit a. Evaluasi awal, terdiri atas: i.
b.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik;
ii.
Laboratorium: darah rutin, faal hati, faal ginjal, dan fosfatase alkali;
iii.
Aspirasi atau biopsi sumsum tulang.
Evaluasi toraks, terdiri atas: i. Foto toraks PA dan lateral; ii. Tomografi paru atau CT scan otak. 12
c.
Evaluasi abdomen, terdiri atas: i.
d.
ii.
CT scan abdomen;
iii.
Staging laparatomi.
Prosedur-prosedur pemeriksaan hematologis: i. ii. iii.
e.
Pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis; Pemeriksaan LED; Aspirasi dan biopsi sumsum tulang.
Prosedur biokimiawi: i. ii.
f.
Bipedal lymphangiography; atau
Tes faal hati Serum albumin, LDH, Ca
Prosedur untuk hal-hal khusus: i. ii.
Laparatomi (diagnostic dan staging) USG abdomen
iii.
MRI
iv.
Gallium Scanning
v.
Technetium Bone Scan
vi.
Scan hati dan limpa
2. Diagnosis klinik a.
Klinis (Anamnesis) Keluhan penderita terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di leher, aksila atau pun lipatan paha, berat badan semakin menurun dan kadang-kadang disertai demam, keringat dan gatal (Tohar, 2007).
b. Pemeriksaan Fisik
Palpasi
pembesaran
kelenjar
getah
bening
di
leher
terutama
supraklavikular, aksiler dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan THT perlu dilakukan untuk menentukan kemungkinan cincin waldeyer ikut terlibat. Apabila area ini terlihat, perlu diperiksa gastrointestinal sebab sering terlihat bersama-sama (Tohar, 2007).
13
c.
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas penyakit atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien penyakit Hodgkin serta pada penyakit neoplastik atau kronik lainnya mungkin ditemukan anemia normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan dengan penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal atau meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat, terutama pada pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan. Eosinofilia absolute perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada pasien yang menderita priritus, juga dijumpai monositosis absolute limfositopenia absolut (<1000 sel per milimeter kubik) biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit stadium lanjut. Telah dilakukan evaluasi terhadap banyak pemeriksaan sebagai indikator keparahan penyakit. Sampai saat ini, LED masih merupakan pemantau terbaik, tetapi pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih terdapat penyakit residual. Uji lain yang abnormal adalah peningkatan kadar tembaga, kalsium, asam laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein C-reaktif dan reaktan fase akut lain dalam serum (Tohar, 2007).
d. Sitologi Biopsi Aspirasi
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis pendahuluan limfadenopati untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma dan limfoma malignum. Penyulit lain dalam diagnosis sitologi biopsi aspirasi LH atau pun LNH adalah adanya negatif palsu dianjurkan melakukan biopsi aspirasi multiple hole di beberapa tempat permukaan tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan
14
gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi (Tohar, 2007). e.
Histopatologi Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtype histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas LH ataupun LNH. Biopsi dilakukan bukan sekadar mengambil jaringan, namun harus diperhatikan apakah jaringan biopsi tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi biasanya dipilih pada rantai KGB di leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher bagian belakang dan submadibular tidak dipilih disebabkan proses radang, dianjurkan agar biopsi dilakukan di bawah anastesi umum untuk mencegah pengaruh cairan obat suntik lokal terhadap arsitektur jaringan yang dapat mengacaukan pemeriksaan jaringan (Tohar, 2007).
f.
Radiologi Termasuk di dalamnya: i.
Foto toraks untuk menentukan keterlibatan kelenjar getah bening (KGB) mediastinal.
ii.
Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan kelenjar getah bening (KGB) di daerah iliaka dan pasca aortal.
iii.
Ultrasonography (USG) banyak digunakan melihat pembesaran
KGB di paraaortal dan sekaligus menuntun biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi. iv.
Computerized Tomography (CT-scan) sering dipergunakan untuk
diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH (Tohar, 2007). v.
Laparotomil aparotomi abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi KGB pada iliaka para aortal dan mesenterium dengan tujuan menentukan stadium. Berkat kemajuan teknologi radiologi misalnya USG dan CT-scan ditambah sitologi biopsi aspirasi jarum halus, tindakan laparotomi dapat dihindari atau sekurangkurangnya diminimalisasi (Tohar, 2007).
15
3. Pemeriksaan penunjang a. Secara patologi anatomi didapatkan gambaran khas yang merupakan gambaran sel keganasan. i.
Sel Reed-Sternberg: merupakan sel berukuran besar, berinti banyak, dan polipoid. Ciri khas limfoma Hodgkin adalah adanya sel datia Reed-Sternberg, meskipun kadang-kadang tidak dijumpai. Sel lain yang juga merupakan ciri khas adalah sel lakunar (menyerupai sel datia Reed-Sternberg, tetapi lebih kecil) dan sel mononuklear Hodgkin. Sel datia Reed Sternberg mempunyai gambaran khas, tampak besar dengan 2 inti yang saling berhadapan atau disebut mirror image, karena letak kedua inti sel seperti bayangan objek pada cermin. Kadang-kadang ditemukan sel tumor yang dikelilingi oleh zona halo dan nukleus yang jelas sehingga dinamakan owl ’s eye (Sudiono et al ., 2001).
ii.
Sel Hodgkin: H-cell yang merupakan sel pre-Sternberg lacunar. 1) Varian L dan H 2) Varian pleomorf
b. Pada pemeriksaan darah didapatkan anemia yang bersifat normositer normokromik, leukositosis moderat yang disebabkan oleh netrofilia, eosinofilia, limfopenia, LED meningkat, serta Lactate Dehydrogenase serum (LDH) meningkat (Sudiono et al., 2001).
Pemeriksaan terhadap limfonodi dilakukan untuk mendeteksi dan mendiagnosa penyakit Limfoma Hodgkin pada orang dewasa. Pengujian dan prosedur yang dapat digunakan: a. Pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit: pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa tanda umum keadaan kesehatan, termasuk memeriksa tanda penyakit seperti bengkak atau segala sesuatu yang terlihat abnormal. Riwayat penyakit terdahulu pasien dan perawatan yang akan digunakan. b. Complete Blood Count (CBC ): prosedur ini dilakukan pada sampel darah yang tergambar dengan disertai pemeriksaan:
16
i. ii.
Jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Banyaknya hemoglobin (protein yang membawa oksigen) dalam sel darah merah.
iii.
Porsi sampel yang terbuat dari sel darah merah.
c. Studi kimia darah: prosedur di mana sampel darah diperiksa untuk mengukur jumlah substansi yang dilepaskan ke darah oleh organ dan jaringan di tubuh. Jumlah abnormal (lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai normal) substansi dapat menjadi tanda penyakit pada organ atau jaringan yang memproduksinya. d. Kecepatan sedimentasi: prosedur di mana sample darah digambarkan dan diperiksa untuk mengetahui kecepatan sel darah merah menuju dasar tabung yang digunakan untuk memeriksa. e. Biopsi limfonodi: pembersihan seluruh bagian limfonodi. Beberapa tipe pemeriksaan yang dapat dilakukan: i.
Biopsi penghilangan ( Excisional biopsy): pembersihan seluruh limfonodi.
ii.
Biopsi irisan ( Incisional biopsy): pembersihan beberapa bagian limfonodi.
iii.
Biopsi
inti
(Core
biopsy):
pembersihan
bagian
limfonodi
menggunakan jarum yang lebar. Pemeriksaan berikut dapat dilakukan pada jaringan yang telah dibersihkan: Immunofenotip ( Immunophenotyping): pemeriksaan terhadap sel yang ada di dalam sampel darah atau sumsum tulang yang dilihat di bawah mikroskop untuk mencari limfosit maligna (kanker) mulai dari Limfosit B atau Limfosit T (NCI, 2012). 4. Diagnosis Banding Diagnosis banding serupa dengan dijelaskan untuk limfoma nonHodgkin pada pasien dengan limfadenopati di leher, infeksi misalnya faringitis bakteri atau virus, mononucleosis infeksiosa dan toksoplasmosis harus disingkirkan. Keganasan lain, misalnya Limfoma Non Hodgkin, kanker
17
nasofaring dan kanker tiroid dapat menimbulkan adenopati leher lokal. Adenopati ketiak harus dibedakan dengan Limfoma Non Hodgkin dan kanker payudara (Tohar, 2007). Adenopati mediastinum harus dibedakan dengan infeksi, sarkoid dan tumor lain. Pada pasien tua, diagnosis banding mencakup tumor paru dan mediastinum, terutama karsinoma sel kecil dan non sel kecil. Mediastinis reaktif dan adenopati hilus akibat histoplasmosis dapat mirip dengan limfoma, karena penyakit tersebut timbul pada pasien simtomatik. Penyakit abdomen primer dengan hepatomegali, splenomegali dan adenopati massif jarang ditemukan, dan penyakit neoplastik lain, terutama Limfoma Non Hodgkin harus disingkirkan dalam keadaan ini (Tohar, 2007).
G. Penatalaksanaan Pasien dengan penyakit tahap awal (IA atau IIA) secara efektif diobati dengan terapi radiasi atau kemoterapi. Pilihan pengobatan tergantung pada usia, jenis kelamin, massal dan subtipe histologis penyakit. Pasien dengan penyakit tahap lanjut (III, IVA, atau IVB) diobati dengan kombinasi kemoterapi saja. Pasien dengan massa besar di dada biasanya diobati dengan kombinasi kemoterapi dan terapi radiasi. Tabel 2.1 Penatalaksanaan Limfoma Hodgkin ABVD
Stanford V
BEACOPP
rejimen
Bentuk lain dari pengobatan yang
Bentuk
kemoterapi adalah standar emas
lebih baru adalah Stanford V
diatas tahap II adalah BEACOPP.
untuk
rejimen, yang hanya setengah
Tingkat
penyembuhan
dengan
selama
yang
escudo
BEACOPP.
rejimen
kemoterapi
sekitar
Saat
ini,
ABVD
pengobatan
Hodgkin.
ABVD
penyakit merupakan
ABVD
tetapi
singkatan untuk Adriamycin, obat
melibatkan
jadwal
empat
lebih
intensif
bleomycin,
vinblastine,
dan dacarbazine. Dikembangkan di
Italia
menggabungkan terapi radiasi.
dan
lain
dari
10-15%
dibandingkan
pengobatan
lebih
dengan
tinggi ABVD
standar dalam stadium lanjut.
pada
1970-an,
Meskipun hal ini ditunjukkan
ABVD
biasanya
dalam The New England Journal
memakan waktu antara enam dan
of Medicine (Diehl et al.), Para
delapan
dokter AS masih mendukung
pengobatan
bulan,
meskipun
18
pengobatan mungkin diperlukan
ABVD, yang mungkin karena
lagi.
beberapa dokter berpikir bahwa menginduksi
BEACOPP
menginduksi leukimia. Namun, hal ini diabaikan dibandingkan dengan tingkat kesembuhan lebih tinggi.
BEACOPP
juga
lebih
mahal karena kebutuhan untuk pengobatan GCSF
bersamaan
untuk
dengan
meningkatkan
produksi sel darah putih . Saat ini, Kelompok Studi Jerman Hodgkin mendapati bahwa terdapat tes 8 siklus
(8x)
BEACOPP
yaitu
BEACOPP esc esc BEACOPP 6x vs vs 8x BEACOPP-14 awal (HD15-sidang). Doksorubisin
Doksorubisin
Doksorubisin
Bleomycin
Bleomycin
Bleomycin
Vinblastine
Vinblastine, vincristine
Vincristine
Dacarbazine
Mechlorethamine
Cyclophosphamide, prokarbazin
Etoposid
Etoposid
Prednisone
Prednisone
Tingkat kesembuhan yang tinggi dan kelangsungan hidup yang panjang banyak pasien dengan limfoma Hodgkin telah menyebabkan perhatian tinggi, termasuk penyakit jantung dan keganasan kedua seperti leukemia akut, limfoma, dan tumor padat dalam bidang terapi radiasi. Kebanyakan pasien dengan penyakit tahap awal sekarang diobati dengan kemoterapi dan melibatkan terapi radiasi, bukan dengan terapi radiasi saja. Penelitian klinis sedang mengeksplorasi pengurangan durasi, dosis kemoterapi, dan volume dari terapi radiasi dalam upaya untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas akhir pengobatan dengan mempertahankan tingkat kesembuhan tinggi (Anonim, 2012). Pemberian terapi pada penyakit Limfoma Hodgkin ini tergantung dari clinical staging penderita dan faktor risikonya. Untuk stadium I atau II dengan
19
faktor risiko secara inisial harus diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan penyinaran. Dewasa ini terapi kombinasi kemoterapi dan penyinaran juga dilakukan untuk stadium I dan II penderita tanpa faktor risiko tambahan.Alasan untuk ini adalah bahwa misalnya sebagai akibat penyinaran lapangan mantel sesudah 10-15 tahun, juga terdapat kenaikan kemungkinan timbul masalah kardial. Faktor risiko menurut German Hodgkin’s Lymphoma Study Group
(GHSG) antara lain (Sum antri, 2009): a. Massa mediastinal yang besar b. Ekstranodal c. Peningkatan laju endap darah ≥ 50 untuk penderita tanpa gejala, dan ≥30 jika dengan gejala. d. Tiga atau lebih regio yang terkena Stadium IIIA: Jika dalam stadium III perluasannya hanya terbatas, radiasi memang mungkin, misalnya dalam situasi klinis stadium klinik II pada laparotomi terdapat perluasan terbatas di limpa atau perut atas. Penyinaran harus terdiri dari radiasi lapangan mantel dan radiasi Y terbalik (radiasi total node). Pada stadium klinik III lebih dipilih penanganan dengan kemoterapi. Penderita ini diterapi sebagai pasien dalam stadium IIIB ± IV. Stadium IIIB ± IV: Penderita dalam stadium ini diterapi dengan kemoterapi (Longo, 1990). Skema moppyang telah lama sebagai pilihan pertama tampaknya digeser oleh skema MOPP/ABV. Dalam hal ini pada hari ke-1 dan ke-8 dapat diberikan berbagai obat. Dari penelitian ternyata bahwa dengan pilihan ini kemungkinan penyembuhan lebih besar daripada dengan MOPP saja. Pada penderita yang lebih tua juga digunakan skema chlvpp, yang pada umumnya lebih baik ditoleransi. Mengenai efek samping kemoterapi disamping efek akut yang terjadi (misalnya nausea, vomitus, depresi sumsum tulang, dan kerontokan rambut), juga harus diperhatikan efek samping yang timbul kemudian.
20
Untuk saat ini, terapi yang masih diteliti adalah imunoterapi dengan antibodi monoklonal anti CD 20, imunotoksin anti CD 25, bispesifik monoklonal antibodi 16/CD 30 bispesifik antibodi, dan radio immunoconjugates.
H. Prognosis Penyakit ini awalnya meragukan untuk terobati. Tetapi semakin dapat diatasi dengan obat yang lebih efektif, De Vita, dan rekan NCL mempelopori pengobatan yang baru menunjukkan 50% pasien yang level yang sudah parah dengan
menggunakan
kombinasi
MOPP
(Mechlorethamine,
Oncovin,
Procarbazine, Prednisone). Pengobatan dengan C-MOPP, seperti chemotherapy dapat menyebabkan azoospermia pada 50-100% pria. Sedangkan pada wanita akan menyebabkan amenorrhea ke 50% jumlah wanita. Tetai pada terapi ABVD hanya sedikit dan sementara menyebabkan toksisitas pada sel induk di pria dan jarang menyebabkan amenorrhea (Michael, 2009). Ada tujuh faktor acuan untuk prognosis penyakit ini, yaitu: 1. Albumin≤ 4 gr/dl 2. Hemoglobin ≤ 10,5 gr/dl 3. Leukosit> 15.000/mm3 4. Lymphopenia≤ 600/mm3 5. Jenis kelamin 6. Umur ≥ 45 tahun 7. Penyakit sudah masuk stadium IV Skor prediksi dalam 5 tahun yang rata-rata bebas dari peningkatan pada level penyakit ini ada 84% yang tidak ada, 77% untuk satu faktor risiko, 67% untuk dua faktor risiko, 60% untuk tiga faktor risiko, 51% untuk empat faktor risiko, dan 42% untuk lima atau lebih faktor risiko (Michael, 2009). Sedangkan pada wanita hamil, prognosis ditentukan oleh: 1. Harapan dari pasien 2. Umur fetus
21
Limfoma Hodgkin pada orang dewasa biasanya dapat disembuhkan jika tidak telat ditemukan dan diobati (NCI, 2012)
Tabel 2.2 Regimen Kemoterapi Penyakit Hodgkin
Regimen
Dosis (mg/m2)
Pemberian
Jadwal (hari)
MOPP 6
IV
1,8
Oncovin
1,4
IV
1,8
100
PO
1-14
40
PO
1-14
Prednisone COPP
28
Cyclophosphamide
650
IV
1,8
Oncovin
1,4
IV
1,8
Procarbazine
100
PO
1-14
Prednisone
40
PO
1-14
ABVD
28
Adriamycin
25
IV
1,15
Bleomycin
10
IV
1,15
Vinblastine
6
IV
1,15
Dacarbazine
375
IV
1,15
Stanford V Mechlorethamine
(hari) 21
Mechloretamine
Procarbazine
Siklus
12 minggu 6
IV
Minggu 1,5,9
25
IV
Minggu 1,3,5,9,11
6
IV
Minggu 1,3,5,9,11
1,4
IV
Adriamycin
Vinblastine
Vincristine
Minggu 2,4,6,8,10,12
22
Bleomycin
Etoposide Prednisone
G-CSF
5
IV
60 x 2
IV
40
PO
-
SC
Minggu 2,4,6,8,10,12 Minggu 3,7,11 Minggu
1-9,
tapering Minggu 10-12
Tabel. 2.3 Rekomendasi Terapi Untuk Limfoma Hodgkin Relaps dan Progresif Primer
Relaps
Terapi
Relaps setelah radioterapi
Kemoterapi
Nodal relaps CS I-II tanpa gejala B, tanpa radioterapi sebelumny
Radioterapi salvage
Progresif primer
High
dose
chemotherapy
Relaps dini
diikuti transplantasi sel asal
Relaps lanjut
“Autologous Stem Cell
(HDCT)
Transplantation” (ASCT)
23
BAB III KESIMPULAN
1. Limfoma hodgkin jarang ditemukan pada daerah Indonesia, hal ini disebabkan karena etiologi utama dari limfoma Hodgkin jarang ditemukan di Indonesia. 2. Penelitian terbaru menjelaskan bahwa penyakit Limfoma Hodgkin disebabkan tidak hanya oleh kelainan genetik tetapi juga karena adanya invasi dari EBV ( Epstein-Barr Virus) yang menyebabkan abnormalitas dari sel limfosit B. 3. Pada Limfoma Hodgkin stadium I dan II, tatalaksana kombinasi kemoterapi dan penyinaran harus diberikan dengan mempertimbangkan faktor risiko secara inisial. Saat ini terapi kombinasi kemoterapi dan penyinaran juga dilakukan untuk penderita stadium I dan II tanpa faktor risiko tambahan. 4. Sampai saat ini, hubungan antara genetik dan penyakit limfoma Hodgkin masih menjadi perdebatan, karena pada kembar fraternal tidak satu pun dari 187 kembar menunjukkan tanda – tanda Hodgkin, sedangkan pada kembar identik, sepuluh dari 179 kembar menunjukkan adanya limfoma Hodgkin.
24
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Pengobatan Limfoma Hodgkin. Available at: http://www.newsmedical.net/health/Hodgkins-Lymphoma-Treatment-(Indonesian).aspx (diakses pada 18 September 2012) Anonim. 2012. Hodgkin Lymphoma. http://www.cancer.gov/cancertopics/types/hodgkin september 2012)
Available (diakses pada
at: 16
Baldy, Catherine. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penya kit . Jakarta: EGC Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiogi. Jakarta: EGC Handayani, Wiwik, Andi Sulistyo Haribowo. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie, et al. 2000. HARRISON : Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.Volume 4. Edisi 13. Jakarta : EGC
prinsip
Kupper. 2009. Epidemiology Principles and Quantitative Methods. New York : Van Nostrand Reunhold Company Inc. Lash, Bradley W. 2012. Hodgkin Lymphoma:Pathophysiology. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/201886-overview#a0104 (diakses pada 25 september 2012) Mehta Atul, Hoffbrand Victor. 2006. At a Glance Hematologi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga NCI (National Cancer Institute). 2012. General Information About Adult Hodgkin Lymphoma. USA: National Institute of Health. Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, et all. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI O’Dell, Michael, dan Michael Stubblefield. 2009. Cancer Rehabilitation: Principles and Practice. US: Demos Medical Publishing.
Otto, Shirley E. 1996. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta: ECG
25
Rotter, Kimberly. 2011. Hodgkin's Disease Causes: Genetic & Viral. Available at: http://www.news-medical.net/health/Hodgkins-Lymphoma-History.aspx (diakses pada 25 September 2012)
Robbins, Stanley L, Cotran, Ramzi S., and Kumay V. 2011. Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC Tohar,
Billy A. 2007. Available at: Limfoma Hodgkin. http://www.scribd.com/doc/24025699/Limfoma-Hodgkin (diakses pada 24 September 2012)
Sudoyo, Aru. et all. 2010. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II . Jakarta : Interna Publishing. Sumantri Rachmat. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II . Jakarta: Interna Publishing
26