Reformasi Birokrasi di Era Otonomi Daerah Oleh: Alfiandri Abstract Government bureaucracy has a service function, which is currently under the spotlight of all parties, including local societies. As we know, local governments are the real players for the success of regional autonomy. With the issuance of the Act No. 32 of 2004, regional autonomy as declared by the (central) government has encouraged changes in all areas, more particularly in regional administration. The progress of a nation is partly indicated by the ability of the bureaucratic apparatus in carrying out its duties and functions as a public servant in a professional and accountable manner. If the public is well served, it means the bureaucracy has succeeded in delivering good public service. In reality, obstacles and shortcomings are still found in those services, which often cause disappointment. This discontentment of bureaucracy may include such factors as convoluted, sluggish, costly and ambiguous. Therefore, the regional autonomy requires a bureaucratic reform. Culture and structural reforms in the bureaucracy is a fundamental strategy to provide certainty and restore public confidence in the government credibility. Keywords: bureaucracy, decentralization, public service. Abstrak Birokrasi pemerintah mempunyai fungsi pelayanan, yang saat ini menjadi pusat perhatian semua kalangan, tidak terkecuali di daerah. Sebagaimana diketahui bersama, pemerintah daerah merupakan ujung tombak bagi berhasilnya otonomi daerah. Dengan dikeluarkannya UU. No 32 Tahun 2004, otonomi daerah yang dicanangkan pemerintah, membawa konsekuensi adanya perubahan di segala bidang, khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Karena kemajuan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh kemampuan aparatur birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya yaitu, sebagai pelayan publik kepada masyarakat secara profesional dan akuntabel. Apabila publik dapat terlayani dengan baik oleh aparatur birokrasi, maka dengan sendirinya aparatur birokrasi mampu menempatkan posisi dan kedudukannya yaitu sebagai civil servant atau public service. Namun kenyataan masih banyak ditemui adanya hambatan dan kekurangan dalam memberikan pelayanan, sehingga menimbulkan kekecewaan. Kekecewaan masyarakat berkaitan dengan pelayanan birokrasi antara lain, berbelit-belit, lamban, mahal dan tidak transparan. Oleh karena itu, otonomi daerah yang dijalankan pemerintah, mau tidak mau membawa konsekuensi perlunya pembaharuan dalam memberikan
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang, Kepulauan Riau. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
180
pelayanan masyarakat dalam wujud reformasi birokrasi. Reformasi kultur dan struktur dalam tubuh birokrasi merupakan strategi mendasar untuk memberikan keyakinan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas pemerintah. Kata kunci: birokrasi, otonomi daerah, pelayanan publik. A. Pendahuluan Birokrasi yang sederhana memudahkan masyarakat menagih hakhaknya. Artinya, di era otonomi daerah1 yang ditandai dengan pemilihan langsung kepala daerah secara langsung, masyarakat tidak perlu kehilangan banyak waktu hanya sekadar mengurus kartu tanda penduduk atau dokumen kenegaraan lain. Hal tersebut mengingat tujuan kebijakan desentralisasi yaitu guna menciptakan suatu sistem pembagian kekuasaan antar daerah yang mapan dimana pemerintah pusat dapat meningkatkan kapasitas, memperoleh dukungan masyarakat, dan mengawasi pembagian sumber daya dengan adil. Desentralisasi yang juga merupakan bentuk pelaksanaan dari demokrasi lokal dengan memanfaatkan keefektifitasan pemerintah daerah pada akhirnya juga diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah agar lebih bertanggung jawab dalam mengelola dan memberikan pelayanan kepada masyarakat yang ada di daerah.2 Pelayanan kepada masyarakat merupakan hal utama bagi birokrasi di Indonesia. Tanpa adanya sikap yang baik dalam bentuk kinerja mempermudah urusan masyarakat maka semangat desentralisasi dan otonomi daerah akan pudar. Pasalnya, pendelegasian wewenang yang dahulu dimiliki secara mutlak oleh pemerintah pusat kini telah menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah di daerah. Namun demikian, setelah genderang otonomi daerah ditabuh sejak awal reformasi 1998 hingga kini potret pelayanan kepada masyarakat belum memuaskan. Dalam survey yang dilakukan oleh Dwiyanto, dkk bahkan dijelaskan nilai capaian kinerja birokrasi dalam hal produktifitas kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas birokrasi masih sangat rendah. Bahkan, Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Paradigma yang sesuai dengan penyelenggaraan otonomi daerah adalah demokratisasi. Lihat: Soenyono, “Prospek Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah”., dalam Andi A. Mallarangeng, dkk. Otonomi Daerah: Perspektif Teoritis dan Praktis. (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2001), p. 116. 2 Myma Nurbarani, “Reformasi Birokrasi Pemerintah Kota Surakarta”, Tesis, pada Program Studi Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang 20019, p. 2. 1
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
181
menurut The World Competitiveness Yearbook tahun 1999, tingkat indeks competitiveness birokrasi Indonesia berada pada urutan terendah dari segi kualitas pelayanan publik dibandingkan dengan 100 negara lain di dunia. Hal itu terbukti dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa dari segi orientasi pelayanan birokrasi, masih cenderung tidak sepenuhnya mencurahkan waktu dan tenaga untuk menjalankan tugas melayani rakyat. Hampir 40% birokrat yang menjadi responden dalam penelitian itu menyatakan bahwa mereka memiliki pekerjaan lain di luar pekerjaaannya sebagai aparatur negara. Kondisi ini otomatis mengurangi konsentrasi mereka dalam bekerja sehingga tidak fokus mengerjakan tugas-tugasnya3 Menilik kondisi demikian, terlihat bahwa semangat desentralisasi belum menyatu dalam diri aparatur negara di daerah. Masih banyak aparatur yang berjiwa sentralisasi, sehingga tugas-tugas menyejahterakan rakyat di daerah belum mampu diemban dengan baik. Ironisnya, aparatur di daerah pun seringkali belum memahami kewenangan yang luas di era desentralisasi ini. Aparatur pemerintah daerah sudah selayaknya mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajemen pemerintahan seperti perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (actuating), dan pengawasan (controlling) secara mandiri dan bebas dari campur tangan pemerintah pusat. Dengan desentralisasi juga daerah dapat menentukan bentuk organisasi, mengembangkan budaya birokrasi, dan menentukan standar kriteria pencapaian tujuan yang dipandang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi lokal.4 Namun, kini birokrasi tidak lagi mampu memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. Birokrasi lama yang didesain untuk bekerja lambat, berhati-hati, dan metodologis sudah tidak dapat diterima oleh konsumen yang memerlukan pelayanan cepat, efisien, tepat waktu, dan simpel (sederhana). Apalagi sekarang telah memasuki era globalisasi yang menuntut segala sesuatunya berjalan serba cepat dan tepat. Oleh karena itulah usaha untuk mereformasi birokrasi Indonesia harus dilakukan. Gerakan reformasi ini menghendaki birokrasi memiliki netralitas politik, transparan, responsibel, akuntabel, bersih dan berwibawa. Untuk mencapai tujuan mencapai atau menciptakan birokrasi yang lebih baik, kinerja birokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan (daerah) yang lama harus segera dapat ditinggalkan dan diganti dengan paradigma birokrasi yang baru. Hal tersebut perlu agar pelaksanaan
3 Budi Setiyono, Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi, (Semarang: Puskodak Undip, 2004 ), p. 131. 4 Myma Nurbarani, Reformasi Birokrasi Pemerintah…, p. 5.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
182
desentralisasi (otonomi daerah) tidak menjadi sia-sia akibat terjadinya inefisiensi di dalam tubuh birokrasi pemerintah.5 Ketika inefisiensi masih menggurita di era otonomi daerah, maka apa yang selama sudah dicapai ini masih perlu terus diperbaiki. Salah satunya adalah dengan mendorong partisipasi aktif masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan di daerah akan mendorong aparatur negara bertanggung jawab atas tugas dan amanatnya. Dengan demikian pemerintah daerah diharapkan dapat menghasilkan perubahan yang berkesinambungan dalam proses tata pemerintahan dan pengambilan keputusan di daerah. Setelah sebelas tahun otonomi daerah berlangsung, sudah cukup banyak reformasi dan perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, dalam tulisan ini yang hendak dikaji adalah bagaimana reformasi birokrasi berperan dalam membangun otonomi daerah. B. Konsep dan Ciri Birokrasi Pengertian birokrasi, berasal dari istilah Yunani, yaitu dari kata “Bureau “ dan “ Kratia “. Bureuau berarti meja atau kantor, sedang Kratia berarti pemerintahan. Jadi menurut asal katanya, birokrasi berarti pemerintahan melalui kantor. Jika ditinjau dari sudut administrasi dan manajemen, birokrasi berarti suatu badan administrasi atau badan manajemen. Dinamakan badan administratif atau badan manajemen karena setiap kegiatan atau setiap penyelenggaraan kerja dalam bidang apapun diperlukan suatu badan atau organ sebagai tempat di mana penyelenggaraan kegiatan itu diadakan. Jadi birokrasi atau badan administrasi adalah suatu badan yang menyelenggarakan suatu kegiatan atau pekerjaan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan baik dalam bidang pemerintahan atau swasta.6 Birokrasi merupakan organisasi formal bersifat hirarki, yang ditetapkan oleh aturan-aturan legal rasional untuk mengoordinasikan pekerjaan orang-orang untuk kepentingan pelaksanaan tugas administrasi agar mencapai tujuan dengan lebih efektif dan efisien. Birokrasi ditandai dengan hirarki, tugas-tugas, wewenang, tanggung jawab, sistem reward dan sistem kontrol. Birokrasi diperlukan kehadirannya dalam suatu negara modern sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat, untuk memberikan layanan terbaik kepada publik. Namun dalam kenyataannya,
Ibid., p. 6. Sedarmayanti, Reformasi Administarsi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan “Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang baik”, (Bandung: Refika Aditama, 2009), p. 3. 5 6
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
183
tidak ada organisasi yang menyerupai tipe birokrasi yang ideal. Namun setidaknya terdaat beberapa ciri ideal dari birokrasi, yaitu :7 1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. 2. Jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarkhi dari atas ke bawah dan ke samping. 3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarkhi itu secara spesifik berbeda satu sama lain. 4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. 5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya. 6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarkhi jabatan yang disandangnya. 7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang obyektif. 8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. 9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu system yang dijalankan secara disiplin. Sebagaimana dijelaskan di muka, birokrasi selama ini masih dipandang negatif oleh masyarakat, padahal birokrasi mempunyai peranan yang sangat strategis dalam memberikan pelayanan. Penilaian yang negatif tersebut disebabkan beberapa factor, antara lain: 8 1. Banyak pejabat atau pegawai yang terlalu berpegang teguh pada peraturan yang berlaku, tidak dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang sedang berlangsung. 2. Tidak adanya human relations yang harmonis dalam instansi, sehingga antara pejabat yang satu dengan yang lain tidak saling kenal meskipun dalam satu lingkungan 3. Ada sementara pegawai yang dengan sengaja memperlambat urusan dengan maksud tertentu 4. Para pejabat banyak yang ingin menunjukkan kekuasaannya. 5. Ada pejabat atau pegawai yang menentang kebijaksanaan pimpinan. 6. Kebijaksanaan yang ditetapkan pimpinan tidak dimengerti oleh bawahannya sehingga kebijaksaan tersebut tidak dapat dilaksanakan. 7. Banyak pejabat atau pegawai yang tidak mau menerima perubahan dalam sistem, metode dan prosedur kerja. 17.
7
Miftah Thoha, Dimensi Prima Administrasi Negara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2001), p.
8
Ibid., p. 18.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
184
Weber pernah membuat delapan proposisi tentang birokrasi, salah satunya adalah “administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern”. Berdasarkan proposisi ini dapat diketahui bahwa budaya tulis menjadi ciri utama birokrasi. Sesuai prisip impersonal dari birokrasi, budaya tulis merupakan perwujudan tanggung jawab dalam rangka pelaksanaan tugas sehari-hari. Dengan dokumentasi secara tertulis, juga akan memperjelas tanggung jawab setiap eselon organisasi dalam menjalankan fungsinya.9 Melalui revitalisasi ini, birokrasi publik diharapkan lebih baik dalam memberikan pelayanan publik serta menjadi lebih profesional dalam menjalankan tugasnya serta kewenangannya. Guna mencapai suatu pelayanan publik yang baik memang banyak hal-hal yang perlu diperbaiki dan salah satunya melakukan pembaharuan birokrasi. Birokrasi harus bisa mengurangi bebannya dalam pengambilan keputusan dengan membaginya kepada lebih banyak orang yang mana memungkinkannya lebih banyak keputusan dibuat ke bawah atau kepada pinggiran ketimbang mengkonsentrasikannya pada pusat yang akhirnya menjadi tidak berfungsi baik dalam memberikan pelayanan publik. Konsep desentralisasi kemudian yang akan menciptakan birokrasi yang lebih fleksibel, efektif, inovatif, serta menumbuhkan motivasi kerja daripada yang tersentralisasi. Dan untuk menjalankan fungsi pelayanan publik yang baik maka dibutuhkan mesin birokrasi yang rasional, yaitu yang terwujud dalam bentuk reformasi birokrasi. Tujuan dilaksanakannya desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah. Di sisi lain, melalui pelaksanaan otonomi pemerintah daerah diharapkan lebih kreatif dalam mengembangkan potensi di daerahnya masing-masing sehingga mereka akan mampu melakukan pembangunan daerah. Kesejahteraan rakyat sebagaimana hendak diwujudkan melalui pelaksanaan otonomi ini hanya mungkin dapat dicapai jika daerah mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki sebagai model utama untuk melakukan pembangunan.10 Hardjosoekarto mengusulkan tiga strategi pembenahan yaitu privatisasi, pelayanan prima, dan membangun visi maupun orientasi baru. Atmosudirdjo mengusulkan perlunya semangat kewirausahaan dan peningkatan kinerja pelayanan aparatur daerah. Sementara itu Kristiadi 9
Myma Nurbarani, Reformasi Birokrasi Pemerintah…, p. 40-41. Ibid., p. 44.
10
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
185
mengusulkan perlunya penerapan manajemen modern di daerah.11 Usulan lain yang lebih lengkap menuntut manajemen pelayanan publik untuk lebih profesional, memiliki jiwa entrepreneur, dan mampu bertindak sebagai fasilitator. Manajemen pelayanan publik diharapkan dapat menjadi lebih bersifat administratif. Konsep atau formula tersebut dikenal sebagai New Public Management (NPM), yaitu manajemen pelayanan yang berwatak entrepreneurship (wirausaha).12 Doktrin New Public Management (NPM) dan Reinventing Government ini didasarkan pengalaman reformasi pemerintahan di Amerika, Eropa dan New Zealand, yang dipasarkan melalui kebijakan Bank Dunia ke negaranegara berkembang. NPM dari satu sisi dianggap sebagai upaya pembebasan manajemen pemerintahan dari konservatisme administrasi klasik dengan jalan memasukkan cara bekerja sektor swasta ke dalam sektor pemerintahan. Dengan demikian sejalan dengan pandangan. Osborne dan Gaebler NPM mengubah perspektif kerja pemerintah menjadi sejajar dengan sektor swasta Konsep reinventing government yang diperkenalkan oleh Osborne dan Gaebler ini sebenarnya adalah sebuah kritikan yang dialamatkan kepada konsep hirarki birokrasi milik Weber. Menurut mereka, pandangan Weber mengenai birokrasi dinilai sudah tidak lagi efisien dan efektif dalam rangka memberikan pelayanan publik apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan jaman.13 Terdapat merumuskan sepuluh prinsip birokasi yang memiliki jiwa entrepreneur, yaitu: Pemerintahan katalis, mengarahkan ketimbang mengayuh; Pemerintahan milik masyarakat, memberi wewenang ketimbang melayani; Pemerintahan yang kompetitif, menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan; Pemerintahan yang digerakkan oleh misi, mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan; Pemerintahan yang berorientasi hasil, membiayai hasil dibandingkan dengan masukan; Pemerintahan berorientasi pelanggan, memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi; Pemerintahan wirausaha, menghasilkan dibandingkan dengan membelanjakan; Pemerintahan antisipatif, mencegah daripada mengobati; Pemerintahan desentralisasi; Pemerintahan berorientasi pasar, mendongkrak perubahan melalui pasar.14 New Public Management (NPM) ini adalah model manajemen pelayanan publik yang memiliki ciri yang lebih mengarah pada “inside the organisation”, yaitu: pertama, memfokuskan aktivitasnya hanya pada Myma Nurbarani, Reformasi Birokrasi Pemerintah…, p. 45. Ibid. 13 David Osborne dan Ted Geabler, Mewirusahakan Birokrasi, (Jakarta: Pustaka, Binaman Persindo, 1996), p. 29-341 14 Myma Nurbarani, Reformasi Birokrasi Pemerintah…, p. 46. 11 12
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
186
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
kegiatan manajemen, tidak pada aktivitas kebijakan. Kedua, NPM mencoba melihat manajemen pelayanan publik pada segi kinerja (performance) dan efisiensi, dan tidak dari segi politis. Ketiga, pemecahan manajemen pelayanan publik menjadi badan-badan kecil dan sederhana yang berkaitan langsung dengan kepentingan dasar pengguna jasa (user-pay bases). Keempat, menggunakan landasan pasar sebagai daya dorong bagi terciptanya kompetensi. Kelima, pemangkasan ekonomi biaya tinggi sehingga ongkos untuk memperoleh pelayanan menjadi lebih murah. NPM menurut Rhodes juga ditandai dengan gaya manajemen yang berorientasi pada output, cara tersingkat, penggunaan insentif moneter dan kebebasan pengelolaan. Cara pengelolaan ini dinilai sesuai dengan semangat desentralisasi. NPM juga diasumsikan bahwa semangat yang ada di dalam tubuh birokrasi publik ketika berhadapan dengan pengguna jasanya bukanlah “how to steer” tetapi “how to serve”, dan birokrasi publik haruslah berpikir secara strategis (think strategically) dan bertindak secara demokratis (act democratically) dalam mewujudkan pelayanan yang baik terhadap warga negara.15 Ide New Public Management (NPM) dan model reformasi administratif lainnya sejalan dengan perkembangannya telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. NPM muncul sebagai bentuk yang mendorong pemerintah melakukan apa yang dinamakan reformasi di tubuh birokrasi. Hal ini didasarkan pada pengalaman pemerintah Amerika Serikat yang kala itu dikritik karena tidak dapat memenuhi kebutuhan dan memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Kemudian dalam perkembangannya, model NPM ini melekat dalam agenda negara-negara yang sedang berkembang untuk mendorong pemerintahannya membentuk suatu tata pemerintahan yang baik atau disebut sebagai good governance.16 Untuk dapat menjawab berbagai tantangan yang muncul sebagai konsekuensi pelaksanaan desentralisasi (otonomi daerah) membutuhkan birokrasi yang memiliki jiwa entrepreneur tersebut. Hal ini karena desentralisasi baik dalam konteks administratif maupun dalam konteks politik tidak akan pernah bisa dilaksanakan secara efektif jika aparatur pemerintahan daerah gagal mengembangkan kapasitasnya secara memadai 15 Purwanto, Erwan Agus dan Wahyudi Kumorotomo, Birokrasi Publik dalam Sistem Politik Semi-Parlementer, (Yogyakarta: Gava Media, 2005), p. 77. 16 Namun NPM dinilai tidak selalu tepat untuk diterapkan pada semua negaranegara sedang berkembang. Hal ini dikarenakan bahwa dalam suatu rejim negara yang sedang berkembang atau negara-negara yang sedang mengalami masa transisi seharusnya mendahulukan pembangunan kapasitas administrasi negaranya sebelum akhirnya melakukan apa yang disebut dengan reformasi dan membongkar sistem yang formal tersebut. Lihat: B. Guy Peters, The Future of Governing: Second Edition, Revised, (USA: University Press of Kansas, 2001), p. 77.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
187
untuk mengelola proses pembangunan. Dalam konteks ini reinventing government dinilai signifikan dan tepat. Reinventing government dimaknai sebagai penciptaan kembali birokrasi dengan mendasarkan pada sistem wirausaha, yaitu menciptakan organisasiorganisasi dan sistem publik yang terbiasa memperbarui dan berkelanjutan, memperbaiki kualitasnya tanpa harus memperoleh dorongan dari luar. Dengan demikian, reinventing berarti menciptakan sektor publik yang memiliki dorongan dari dalam untuk memperbaiki apa yang disebut dengan “sistem yang memperbarui kembali secara sendiri”. Dengan kata lain, reinventing menjadikan pemerintah siap menghadapi tantangan yang mungkin tidak dapat diantisipasi. Di samping itu, reinventing tidak hanya memperbaiki keefektifan pemerintah sekarang ini, tetapi juga dapat membangun organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki keefektifannya di masa mendatang pada waktu lingkungan organisasi mengalami perubahan.17 Pada proses reformasi birokrasi, ada pendekatan yang dapat digunakan ketika suatu pelayanan disampaikan kepada publik (masyarakat). Model pendekatan tersebut disebut pendekatan principalagent. Dimana “principal” yang dimaksudkan disini adalah masyarakat sipil sebagai penerima layanan dan “agent” yang dimaksud adalah para “officials” atau para birokrat/pegawai. Para official ini adalah agent dari para pembuat kebijakan (policy maker). Namun pada kenyataannya, yang terjadi adalah pemerintah yang seharusnya menjadi agent justru menjadi “principal” dari pelaksanaan reformasi ini. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya reformasi birokrasi dilakukan di banyak negara yang sedang berkembang.18 Oleh karena itu, untuk dapat melakukan apa yang disebut reformasi di dalam pelayanan kepada publik ini harus dapat memperhatikan kepentingan-kepentingan yang terdapat di dalamnya, baik itu kepentingan masyarakat sebagai penerima layanan juga birokrasi sebagai pemberi layanan. Harus ada keseimbangan dari institusi dan faktor-faktor sektoral lainnya.19 Reformasi birokrasi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya dirancang sebagai birokrasi yang rasional dengan pendekatan strukturalhirarkikal (tradisi weberian). Pendekatan Weberian dalam penataan kelembagaan yang berlangsung dalam pendayagunaan aparatur negara hingga dewasa ini, secara klasikal menegaskan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas melalui Myma Nurbarani, Reformasi Birokrasi Pemerintah…, p. 50. Richard Batley, Development and Change 35(1): 31-56. (Oxford: UK Blackwell Publishing, 2004), p. 31. 19 Myma Nurbarani, Reformasi Birokrasi Pemerintah…, p. 51. 17 18
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
188
pembagian kerja hirarkikal dan horisontal yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya, disertai tata kerja yang formalistik dan pengawasan yang ketat. Dalam pertumbuhannya, birokrasi di Indonesia berkembang secara vertikal linear, dalam arti “arah kebijakan dan perintah dari atas ke bawah, dan pertanggungjawaban berjalan dari bawah ke atas”, demikian pula “loyalitasnya”; karenanya koordinasi lintas lembaga yang umumnya dilakukan secara formal sulit dilakukan. Birokrasi di Indonesia juga masih dipengaruhi sikap budaya “feodalistis”, tertutup, sentralistik, serta ditandai pula dengan arogansi kekuasaan, tidak atau kurang senang dengan kritik, sulit dikontrol secara efektif, sehingga merupakan lahan subur bagi tumbuhnya KKN. Dalam kondisi seperti itu akan sulit bagi Indonesia untuk menghadirkan clean government dan good governance.20 Beberapa pengamat, seperti Karl D. Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity dimana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan.21 Sementara Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic capitalism. Sedangkan Hans Dieter Evers melihat bahwa proses birokrasi di Indonesia berkembang model birokrasi ala Parkinson dan Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel adalah pola birokrasi sebagai proses perluasan kekuasaaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaaan.22 Mustopadidjaja AR, “Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN”, Makalah Disampaikan Pada Acara Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, Denpasar, 15 Juli 2003., p. 9. 21 Seperti ditahui, rezim Orde Baru merupakan rezim yang sangat menonjolkan kekuasaan negara yang sentralistik. Negara tampil sebagai satu-satunya kekuatan yang tidak dapat ditandingi oleh kelompok masyarakat manapun juga. Negara menikmati otonominya berhadapan dengan masyarakat yang pada gilirannya sering memaksakan kepentingannya. Jaringan negara terutama lembaga-lembaga eksekutif, telah ber-kembang menjadi alat-alat efektif dalam mengelola dan menangani mobilisasi untuk mendukung kebijakan yang dikeluarkan oleh negara. Lebih dari itu negara juga berhasil mengontrol masyarakat dengan berbagai kebijakan dan perundang-undangan serta proses pembentukan tatanan politik, yang secara keseluruhan amat berdampak negatif terhadap nilai-nilai demokrasi. Lihat: Hikam, Demokratisasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1997), p. 134-135. 22 Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), p. 132. Lihat juga: Wahyu Ardianawati, dan Dyah Retna Puspita, 20
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
189
Mengacu pendapat dari para pengamat tersebut, birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru sebaliknya menjadi inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi. Birokrasi semakin besar dan membesar. Birokrasi juga semakin mengendalikan dan mengontrol masyarakat dalam bidang politik, ekonomi dan sosial 23 Untuk menjelaskan fenomena birokrasi yang detrimental terhadap proses pembangunan, hasil studi Alavi di beberapa negara Asia Selatan sangat relevan untuk digunakan. Menurut hasil studi tersebut, manuver birokrasi yang bebas dari kendali masyarakatnya merupakan penyebab munculnya birokrasi yang bekerja untuk dirinya (otonom), bukan untuk melayani masyarakat. Ada dua penjelasan mengenai hal tersebut. Pertama, Birokrasi di negara-negara berkembang menjadi overdeveloped setelah masa penjajahan berakhir sehingga tidak lagi memiliki atasan yang bisa menundukkannya. Kedua, Ketiadaan kelas sosial penyeimbang yang terorganisir untuk menundukkan kekuatan birokrasi. Akibatnya birokrasi menjadi bebas dari kontrol masyarakat. 24 Hal ini wajar jika birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat daerah, kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efisien. Oleh sebab itu, secara teoritis birokrasi di Indonesia sudah berubah yang tidak lagi seperti itu, tetapi harus menuju pada birokrasi ala Weber di mana birokrasi benar-benar menekankan pada aspek efisiensi, efektivitas, profesionalisme. Oleh karena itu, reformasi birokrasi merupakan sebuah keniscayaan. C. Reformasi Birokrasi: Upaya Perbaikan Otonomi Daerah Menurut Miftah Thoha reformasi adalah suatu proses yang tidak bisa diabaikan. Reformasi secara naluri harus dilakukan karena tatanan pemerintahan yang baik pada suatu masa, dapat menjadi tidak sesuai lagi karena perkembangan jaman. Reformasi birokrasi yang mendasar “Demoralisasi Birokrasi: Fenomena Korupsi dan Red Tape di Sektor Publik”, makalah dalam Simposium Nasional Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (SIMNAS ASIAN) ke-2 di Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, 10 Pebruari 2012., p. 5-6. 23 Wahyu Ardianawati, dan Dyah Retna Puspita, Demoralisasi Birokrasi…, p. 6. 24 Mohtar Mas’oed, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), p. 6. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
190
semestinya memberikan perspektif rancangan besar yang akan dilakukan. Perbaikan di satu bidang harus menunjukkan kaitannya dengan bidang yang lain. Apalagi dengan menganut sistem pemerintahan yang demokratis, maka setiap kebijakan publik harus mengakomodasi setiap kebutuhan rakyat. Miftah menegaskan, pemimpin daerah seharusnya mengenal warganya secara baik, sehingga pelayanan publik tidak lagi berorientasi pada kepentingan penguasa, tetapi lebih kepada kepentingan publik. Antrian panjang dalam memperoleh bantuan, padahal sudah ditimpa bencana, masih dipersulit dengan birokrasi yang panjang, adalah contoh bahwa pelayanan publik belum berorietasi pada kepentingan publik. Kelemahan lain birokrasi di Indonesia antara lain karena banyak kegiatan yang tidak perlu dilakukan, tetapi tetap dipaksakan untuk dijalankan oleh pemerintah.25 Kembali menurut Miftah Thoha, faktor-faktor yang bisa mendorong timbulnya reformasi birokrasi pemerintah adalah: Adanya kebutuhan melakukan perubahan dan pembaharuan; Memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis nasional; Memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis global; Memahami perubahan yang terjadi dalam paradigma manajeman pemerintahan.26 Salah satu filosofi dari otonomi daerah sebenarnya adalah semakin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karenanya untuk dapat memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat selayaknya perlu diketahui terlebih dahulu persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Ketika persoalan-persoalan dalam masyarakat sudah dapat diinventarisir dan dilakukan analisis maka strategi-strategi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut akan semakin jelas dan konkret dampaknya bagi masyarakat. Pelayanan merupakan usaha apa saja yang mempertinggi kepuasan pelanggan (whatever enhances customer satisfaction). Selain itu, membangun kesan yang dapat memberikan citra positif di mata pelanggan karena jasa pelayanan yang diberikan dengan biaya yang terkendali/terjangkau bagi pelanggan akan membuat pelanggan terdorong/termotivasi untuk bekerja sama dan berperan aktif dalam pelaksanaan pelayanan yang prima. Ukuran paling nyata keberhasilan otonomi daerah dalam kerangka kemajuan berkebebasan dan berkemajuan adalah inovasi. Meski diselenggarakan secara serentak, otonomi daerah tidak beroperasi dalam kondisi awal, beban penyelenggaraan dan kemampuan memproduksi hasil yang sama bagi pemerintahan daerahnya. Beberapa daerah, misalnya, Myma Nurbarani, Reformasi Birokrasi Pemerintah…, p. 39-40. Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), p. 106-107. 25 26
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
191
dianugerahi kombinasi alamiah menguntungkan. Namun, beberapa daerah selain berada dalam tingkat kesiapan yang rendah, mereka harus dihadapkan pada tingkat ketersediaan modalitas yang juga minim sementara tantangan dan permasalahan yang dihadapi demikian rumit. Inovasi adalah syarat yang diperlukan pemerintah yang berorientasi kepada hasil dan kinerja (goal oriented). Menilai kemajuan otonomi dalam ukuran inovasi berarti menilai seberapa jauh kebebasan yang dimiliki daerah mampu mendorong munculnya program, kebijakan serta gagasan lokal yang cerdas, khas dan genuine dalam mensiasati setiap bentuk keterbatasan atau mengoptimalkan setiap bentuk keunggulan daerah yang dimiliki. Dalam konteks ini, inovasi menemukan arti penting. Inovasi bukan saja nama lain dari kearifan dan kejeniusan lokal yang terlembaga. Dalam setiap inovasi, terpendam senantiasa kreativitas. Jika terobosan mencerminkan kemajuan, kreativitas mencerminkan kebebasan. Inovasi tidak sekedar inisiatif, inovasi adalah sebuah terobosan. Jika inisiatif menggambarkan suatu prakarsa awal yang jeli, terobosan menggambarkan paduan kreativitas dan kecerdasan untuk keluar dari kebuntuan. Entah itu kebuntuan karena keterbatasan sarana atau kebuntuan karena kecenderungan mengupayakan segala sesuatu secara biasa-biasa saja. Pada gilirannya, betapa pun bagus sebuah inovasi, ia tidak akan berguna jika tidak bermakna strategis, berpotensi produktif serta memberi efek sinambung. Pelayanan masyarakat bisa dikatakan baik (profesional) bila masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan pelayanan dan dengan prosedur yang tidak panjang, biaya murah, waktu cepat dan hampir tidak ada keluhan yang diberikan kepadanya. Kondisi tersebut dapat terwujud bilamana organisasi publik didukung oleh sumber daya manusia yang mumpuni baik dari kualitas maupun kuantitas, disamping juga adanya sumber daya peralatan dan sumber daya keuangan yang memadai.27 Namun, menurut Sofian Effendi, reformasi politik, desentralisasi pemerintahan dan liberalisasi ekonomi nasional yang berlangsung dengan cepat sejak 1998 ternyata tidak diikuti oleh perubahan tata penyelenggaraan pemerintahan yang cukup mendasar. Akibatnya sistem pemerintahan termasuk pranata-pranata yang diperlukan untuk mendukung sistem politik demokratis, otonomi daerah dan sistem ekonomi pasar yang lebih terbuka belum sepenuhnya tersedia. Salah satu pranata tersebut adalah sistem birokrasi publik. Sistem ini terdiri atas tiga komponen pokok yaitu peraturan dasar tentang sistem birokrasi, sistem 27
Myma Nurbarani, Reformasi Birokrasi Pemerintah…, p. 103.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
192
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
kepegawaian, akuntabilitas dan transparansi. Secara khusus dalam presentasi ini saya akan menyoroti sistem kepegawaian.28 Berbeda dari persepsi publik bahwa negara ini kelebihan PNS, dengan 3.622.000 PNS sebenarnya Indonesia belum mencapai rasio minimal yang dipersyaratkan agar mampu menyelenggarakan pelayanan umum yang memadai bagi 217 juta penduduk yang tersebar di 440 kabupaten dan kota. Dari jumlah tersebut lebih dari 1,6 juta orang adalah tenaga kependidikan dan 126.000 tenaga kesehatan. Dari gambaran umum ini jelaslah bahwa bagi Indonesia isu pokok bukan besarnya jumlah PNS, karena untuk memberikan pelayanan umum yg minimal diperlukan lebih kurang 4,3 juta PNS. Kualitas SDM aparatur negara juga relatif cukup baik karena dari total PNS, hanya 6 persen yang berpendidikan SD dan SLTP, 37 pesen berpendidikan SLTA, 55 persen berpendidikan S-0 dan S-1, dan sekitar 2,5 lebih memiliki pendidikan pascasarjana. Karena itu nampaknya reformasi birokrasi khususnya reformasi kepegawaian harus dipusatkan pada tiga aspek yaitu penataan sistem penggajian dan jaminan sosial PNS, pendistribusian mutu PNS yang lebih merata antar daerah perkotaan dan pedesaan, serta mengatasi ketimpangan dalam kompetensi perumusan kebijakan. Penataan gaji dan jaminan sosial harus merupakan fokus utama dalam reformasi birokrasi karena sistem penggajian PNS yang diterapkan terlalu menyimpang dari acuan teori penggajian yang berlaku. Literatur manajemen SDM yang banyak dianut oleh banyak negara, skala penggajian yang baik dan yang mampu memacu prestasi kerja adalah yang memiliki rasio 1: 20 antara gaji terendah dan gaji tertinggi. Pada masa-masa awal Pemerintahan Indonesia, sistem penggajian PNS menggunakan skala seperti tersebut. Skala yang digunakan saat ini, yang dikenal dengan Peraturan Gaji Pegawai Sipil (PGPS) telah menyimpang dari teori penggajian. Skala penggajian yang kita terapkan mungkin merupakan sistem penggajian yang paling kompleks di dunia karena menggunakan skala gabungan dan rasio antara gaji pokok tertinggi dan terendah terlalu tipis. Dalam PGPS dikenal gaji pokok yang berkisar antara Rp. 700.000, gaji terendah, dan Rp 1,700,000, gaji tertinggi. Selain itu ada tunjangan fungsional yang besarnya dan tunjangan struktural untuk para pejabat eselon IV sampai eselon I. Karena itulah sistem penggajian ini disebut sebagai sistem yang menggunakan skala gabungan. Sistem penggajian dengan skala gabungan 28 Effendi, Sofian, “Reformasi Aparatur Negara untuk Melaksanakan Tata Pemerintahan yang Baik”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional AIPI Reformasi Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, di Medan, 3-4 Mei 2006., p. 4-7.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
193
tersebut ternyata belum menjamin tingkat kesejahteraan yang mampu mendukung kinerja PNS. Total penerimaan PNS jauh di bawah gaji dan tunjangan yang diterimakan pada para pegawai BUMN dan anggota legislatif. Bahkan berada di bawah gaji para anggota dan pegawai berbagai komisi yang tumbuh bak jamur selama masa pemerintahan SBY-MJK. Karena itu reformasi birokrasi harus memberikan prioritas pertama pada sistem penggajian PNS. Reformasi birokrasi juga harus diarahkan untuk menciptakan sistem kepegawaian meritokratik. Landasan hukum untuk sistem kepegawaian meritokratik yang bertujuan untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari intervensi politik sebenarnya sudah ada yaitu UU No. 43 tahun 1999. Untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari praktek “spoilled” dan pengelolaan aparatur negara betul-betul terlaksana secara meritokratik, UU tersebut memperkenalkan konsep kelembagaan independen sebagai pembantu Presiden untuk merumuskan kebijakankebijakan kepegawaian negeri yang harus dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program pembangunan dan kebijaksanaan pemerintah. Akan tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugastugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali mendapatkan kesan berbeda dari pandangan masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik): 29 Oleh karena itu, untuk menanggulangi kesan buruk birokrasi yang telah ada selama ini, perlu dilakukan beberapa perubahan sikap dan perilaku berkaitan denganbirokrasi dan pelakunya (birokrat), antara lain seperti di bawah ini.30
Argama Rizki, “Reformasi Birokrasi dalam Persepektif Hukum Administrasi Pembangunan”, makalah Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007., p. 12. 30 Kwik Kian Gie, “Reformasi Birokrasi dalam Mengefektifkan Kinerja Pegawai Pemerintah,” makalah disampaikan dalam Workshop Gerakan Pemberantasan Korupsi, diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Jakarta, 5 Januari 2003., p. 5-6. Lihat juga: Argama Rizki, “Reformasi Birokrasi dalam…, p. 13 29
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
194
1. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkanpada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan. 2. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif, dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat). 3. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern, yaitupelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, ifesiensi biaya dan ketepatan waktu. 4. Birokrasi harus memosisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik alihalihsebagai agen pembaharu (agent of change) pembangunan. 5. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel, dan responsif D. Tujuan dan Langkah Reformasi Birokrasi Reformasi birokrasi secara umum bertujuan untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik, didukung oleh penyelenggara negara yang profesional, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga terwujud pelayanan prima. Selain tujuan yang ingin dicapai seperti di atas, reformasi birokrasi mempunyai beberapa sasaran, yaitu: 31 1. Terwujudnya birokrasi professional, netral dan sejahtera, mampu menempatkan diri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat guna mewujudkan pelayanan masyarakat yang lebih baik. 2. Terwujudnya kelembagaan pemerintah yang profesional, fleksibel, efektif, efisien di lingkungan pemerintah pusat dan daerah. 3. Terwujudnya ketatalaksanaan (pelayanan publik) yang lebih cepat, tidak berbelait dan sesuai kebutuhan masyarakat. Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam reformasi birokrasi, yaitu :32 1. Retrospeksi Retrospeksi adalah menilik ulang dan mengevaluasi semua kebijakan masa lalu secara jujur dan obyektif, sehingga faktor penyebab kegagalan
06-12.
31Sri 32
Sutjiatmi “Reformasi Birokrasi. www.//http://www.perpus.upstegal.ac.id/. 14-
Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
195
dapat ditemukan kembali, kemudian menciptakan sistem baru yang lebih baik. Dalam sejarah pemerintahan Indonesia,ternyata pemerintah tidak mampu menjalankan fungsi pelayanan publik dalam tataran yang sederhana sekalipun, misalnya hak masyarakat untuk memperoleh informasi, pembayaran pajak dan sebagainya. Oleh karena itu birokrasi harus dapat mengkaji kembali kinerja masa lalu dan berani melakukan reformasi. Realitas menunjukkan bahwa untuk saat sekarang, pemerintah bukanlah satu-satunya lembaga pelayan publik. Sektor swata dan organisasi nirlaba sudah banyak mengambil alih peran pemerintah, yang lambat laun peran pemerintah akan berkurang dalam memfasilitasi pelayanan publik. 2. Reorientasi Reorientasi adalah upaya merubah paradigma, visi, misi dan strategi kebijakan masa lalu ke dalam suasana baru yang lebih aspiratif di mata publik. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, secara filosofis dan politik telah merubah paradigma baru penyelenggaraan sistem pemerintahan dari model konvergensi ke devergensi. Meskipun masih perlu penyempurnaan dalam pelaksanaan otonomi. Konvergensi adalah sistem pemerintahan sentralistik atau dominasi pemerintahahan pusat, sedangkan devergensi adalah desentralisasi atau pemeberian otonomi kepada daerah. Dalam reformasi birokrasi ini, bukan berarti dengan otonomi mengakibatkan intervensi pemerintah tingkat atasnya diabaikan, karena bagaimanapun juga pemerintah daerah merupakan sub sistem dari pemerintahan nasional. Ada lima dimensi yang penting dalam mengadakan perubahan birokrasi pemerintah daerah menuju pemerintahan daerah yang visioner, mandiri, responsif dan produktif dalam semangat integrasi nasional, yaitu dimensi kulturaal, dimensi struktural, dimensi etika pemerintahan dan dimensi globalisasi. 3. Reposisi Reposisi adalah kembali kepada peran asli. Karena birokrasi telah menguasai semua lini kehidupan, maka reposisi merupakan kata kunci untuk reformasi birokrasi. Reposisi merupakan kesadaran total atas multi fungsi pemerintah yang hegemonik untuk secara bijak menjalankan fungsi alokasi dan distribusi dalam konteks pelayanan publik.Untuk melakukan reposisi ini, harus ada kemampuan dan kemauan untuk bagaimana merumuskan, menterjemahkan dan melaksanakan visi kolektif antara pemerintah propinsi, kabupaten menjadi visi individu semua warganegara ke dalam posisi atau peran masing-masing.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
196
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
E. Profesionalitas Rekrutmen Kualitas birokrasi dapat menyebabkan korupsi ketika sistem perekrutan pegawai lebih didasarkan atas pertimbangan politik, patron dan nepotisme daripada merit serta ketiadaan aturan yang memadai mengenai promosi dan perekrutan pegawai. Besaran gaji di sektor publik dapat menyebabkan korupsi ketika gaji pegawai negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Sistem hukuman dapat menyebabkan korupsi ketika tidak terjadi ketegasan dalam menghukum orang yang melangar aturan. Pengawasan institusi dapat menyebabkan korupsi ketika tidak terdapat sistem pengawasan internal yang memadai, efektif, transparan dan jelas. Transparansi aturan, hukum dan proses dapat menyebabkan korupsi ketika di sebuah negara tidak memiliki pengaturan mengenai transparansi dalam aturan, hukum dan proses penyelenggaraan pemerintahan. Teladan dari pemimpin dapat menyebabkan korupsi ketika pemimpin pemerintahan melakukan tindakan korupsi dan menjadi contoh bagi bawahannya. Proses penyelenggaraan pelayanan birokrasi publik akan dapat berlangsung dengan baik dan profesional jika didukung oleh birokrat yang berasal dari lulusan-lulusan terbaik universitas. Penerapan seleksi birokrat menurut pendekatan pasar seperti kompetensi dan kinerja menjadi relevan untuk mendapatkan calon-calon birokrat yang handal. Krisis pelayanan birokrasi publik, salah satunya disebabkan karena rendahnya komitmen pemerintah untuk mendapatkan lulusan-lulusan universitas terbaik untuk menjadi birokrat. Akibatnya, lembaga administrasi publik diisi oleh lulusan-lulusan kelas dua yang kapasitasnya juga terbatas. Selama ini rekruitmen yang terjadi dalam lingkungan birokrasi hanya umum saja dan pada umumnya standar yang ditentukan dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan dan peningkatan tuntutan mutu. Dengan demikian proses rekruitmen yang kurang ditopang oleh kualifikasi yang standard menjadi bersifat disfungsional, sehingga tidak memenuhi kualifikasi pekerjaan yang semestinya. Kondisi demikian ini menyebabkan permasalahan pada peningkatan pegawai di lingkungan birokrasi yaitu “the wrong man in the right place”. Apa yang menjadi tuntutan birokrasi akan kebutuhan pegawai sesungguhnya adalah “The right man in the right place” supaya terjadi efisiensi dan efektivitas. Untuk memenuhi tuntutan “tepat orang tepat tempat” tersebut diperlukan sebuah proses rekruitmen yang memperhatikan kebtuhan birokrasi akan tenaga kerja yang sesuai. Dengan pertimbangan ini maka rekrutmen harus memperhatikan job analysis dan job description yang seharusnya telah ada dan dapat dijadikan pedoman penarikan pegawai. Hanya sayangnya tidak semua birokrasi pemerintah memiliki uraian dan SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
197
analisis pekerjaan terhadap semua jenis pekerjaan yang dikembangkan dikantornya. Padahal bersumber pada uraian dan analisis pekerjaan inilah aan diketahui peta kebutuhan keahlian dan kecakapan calon pegawai yang akan direkrut. Dari uraian dan analisis pekerjaan ini selanjutnya dapat disusun kompetensi pegawai yang dibutuhkan.33 E. Kesimpulan Dari pandangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efisien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi dari pada tersentralisasi. Struktur yang desentralistis diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam konteks persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capability), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency), proses rekrutmen calon pegawai pun sudah selayaknya mempertimbangkan aspek kualitas. Sehingga penempatan pegawai didasarkan atas kemampuan bukan atas dasar suka atau tidak suka (like and dislike). Dengan demikian, birokrasi akan berjalan dengan baik berdasarkan kualitas kerja dan kinerja aparaturnya. Tanpa hal yang demikian, akan sulit mewujudkan birokrasi tanggap kerja dan prorakat di era otonomi daerah. Kemampuan mencipta kinerja aparatur yang berkualitas merupakan sebuah keniscayaan di tengah semakin meningginya praktek korupsi di negeri ini. Oleh karena itu, keberanian pemerintah pusat dan daerah guna mencipta tatanan yang lebih baik menjadi agenda yang perlu segera diwujudkan.
33
Wahyu Ardianawati, dan Dyah Retna Puspita, Demoralisasi Birokrasi…, p. 14-
15. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
198
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
Daftar Pustaka Ardianawati, Wahyu, dan Dyah Retna Puspita, “Demoralisasi Birokrasi: Fenomena Korupsi dan Red Tape di Sektor Publik”, makalah dalam Simposium Nasional Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (SIMNAS ASIAN) ke-2 di Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, 10 Pebruari 2012. Argama, Rizky, “Reformasi Birokrasi dalam Perspektif Hukum Administrasi Pembangunan”, Makalah, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007. Batley, Richard. 2004. Development and Change 35(1): 31-56. Blackwell Publishing, Oxford, UK. Effendi, Sofian, “Reformasi Aparatur Negara untuk Melaksanakan Tata Pemerintahan yang Baik”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional AIPI Reformasi Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, di Medan, 3-4 Mei 2006. Gie, Kwik Kian, “Reformasi Birokrasi dalam Mengefektifkan Kinerja Pegawai Pemerintah,” makalah disampaikan dalam Workshop Gerakan Pemberantasan Korupsi, diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Jakarta, 5 Januari 2003 Hikam, Muhammad AS, Demokratisasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1997. Mas’oed, Mohtar. 2008. Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Mustopadidjaja AR, “Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN”, Makalah Disampaikan Pada Acara Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, Denpasar, 15 Juli 2003. Miftah Thoha, Dimensi Prima Administrasi Negara, Jakarta: Pustaka Jaya, 2001.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
199
Nurbarani, Myrna, 2009, “Reformasi Birokrasi Pemerintah Kota Surakarta”, Tesis, pada Program Studi Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang. Osborne, David dan Ted Gaebler, 1996, Mewirausahakan Birokrasi, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Peters, B. Guy, 2001, The Future of Governing: Second Edition, Revised, USA: University Press of Kansas. Purwanto, Erwan Agus dan Wahyudi Kumorotomo, 2005, Birokrasi Publik dalam Sistem Politik Semi-Parlementer, Yogyakarta: Gava Media. Romli, Lili. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Setiyono, Budi, 2004, Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi, Semarang: Puskodak Undip. Suharmawijaya, Dadan S, 2006, Otonomi Daerah dan Otonomi Award Dua Propinsi: Kumpulan Hasil Monitoring dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Kabupaten/ Kota Propinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Semarang: JPIP. Supriyanto, DR. Budi, 2009, Manajemen Pemerintahan (Plus Dua Belas Langkah Strategis), Tangerang: CV Media Brilian. Suryono, Agus, “Budaya Birokrasi Pelayanan Publik,” http://publik.brawijaya.ac.id/simple/us/jurnal/pdffile/7Budaya%2 0Birokrasi%20Pelayanan%20Publik-Agus%20Suryono.pdf Soenyono, “Prospek Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah”. Dalam Andi A. Mallarangeng, dkk. Otonomi Daerah: Perspektif Teoritis dan Praktis. Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2001 Sedarmayanti, Reformasi Administarsi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan “Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang baik”, Bandung: Refika Aditama, 2009 Thoha, Miftah, 2007, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012
200
Alfiandri: Reformasi Birokrasi di Era Otonomi …
_______, 2008, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Jakarta: Kencana Prenada. Wicaksono, Kristian Widya, 2006, Administrasi dan Birokrasi Pemerintah, Yogyakarta: Graha Ilmu.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012