Aku, Kau... Kita oleh Littleayas Seni adalah bentuk/ciptaan yang muncul dari pengalaman jiwa seseorang karena ia ingin memberikan bentuk yang konkrit terhadap yang ia rasakan. Sehingga orang lain dapat pula merasakannya. Puisi adalah salah satu bagian dari bentuk seni, yaitu Seni Sastra. Berbeda dengan bentuk sastra lainnya seperti prosa (cerpen dan novel), puisi 'berkomunikasi' dengan menggunakan kata sebagai simbol; kiasan. Kata itu mengungkapkan sekaligus arti pikiran, perasaan dan khayal (imajinasi). Dengan demikian menulis puisi bukanlah suatu aktivitas di mana kita dapat dengan santai menabur-naburkan kata di atas kertas. Karena penyair harus dapat mengendalikan pikiran, perasaan dan daya khayalnya sekaligus, sehingga membentuk pengalaman baru yang bermakna. Yang imajinatif. Yang tidak hanya sekedar luapan perasaan serupa tulisan-tulisan di catatan harian. Dengan mengembangkan kemampuan berimajinasi yang baik, diharapkan penulis dapat menghasilkan karya-karya puitik yang baik pula. Untuk berpartisipasi dalam kegiatan komunitas berbasis web -Kemudian.com- di mana salah satu programnya adalah meresensi karya puisi dan prosa, maka berikut ini saya akan mencoba mengulas satu sajak karya anggota kemudian.com yang berjudul 'Aku, Kau dan... Kita':
Aku, Kau … Kita Kau ada untukku Menghangatkan hati Mengusir Sepi Membunuh galau Selayaknya telaga tenang Dimana tumbuh mawar harum berseri Aku ada untukmu Melarutkan duka Meretaskan tawa Mengalunkan nada rindu rin du Selayaknya denting kasih Jernih dan lembut Apakah ini cinta? Pun ketika jemari bertautan Kau masih menanyakan cinta
Aku, Kau…Kita Haruskah cinta dipertanyakan dipert anyakan satu sama lain Saat derita mencinta berpalung rindu hadir Apakah ini cinta? Pun kala hati hampa tanpamu Kau tetap menanyakan cinta
Aku, Kau…Kita
Haruskah cinta dikorbankan Meski jiwa ini terikat dengan jiwamu Dalam sunyi Dalam gelap Di tengah keramaian Di bawah bulan perak Di terik mentari Di bayang kedamaian pohon Di sela semilir angin Di antara gemiricik sungai Aku ada untukmu Selayaknya kau ada untukku Selamanya Meski sangkakala terpagut manis dunia
Saya menafsirkan sajak ini adalah tentang dua anak manusia yang masing-masing keberadaannya saling memberikan arti. Di kala susah di kala senang. Meskipun begitu, ternyata di sini cinta masih dipertanyakan. Apakah semua terjadi atas nama cinta? Seperti yang tertulis pada bait ke-3, yang kemudian dilanjutkan pada bait berikutnya: Apakah ini cinta? Pun ketika jemari bertautan Kau masih menanyakan cinta
Tetapi pada bait ke-8 saya menemukan kontradiksi pada makna yang ingin disampaikan. Ketika sebelumnya cinta masih dipertanyakan keberadaannya, pada bait ini cinta seolah sudah sudah hadir (mewujud) sejak awal:
Aku, Kau…Kita Haruskah cinta dikorbankan Meski jiwa ini terikat dengan jiwamu Sehingga yang ingin disampaikan sedikit menjadi rancu: keberadaan cinta yang dipertanyakan, atau cinta (yang sudah ada) yang harus dikorbankan?. Pada bait penutup tertulis, „Meski sangkakala terpagut manis dunia‟, di mana „sangkakala‟ yang dalam KBBI berarti terompet; terompet yang berbunyi secara berkala namun dapat juga diartikan sebagai „diambang kiamat/kiamat telah datang‟ yang dilanjutkan dengan „terpagut manis dunia‟. „terpagut‟ dalam KBBI berarti „mematuk, mencatuk‟. Maka saya menafsirkan bait ini adalah suatu kebahagian yang harus berakhir/direnggut oleh sesuatu yang menyakitkan. Dan kalau memang pesan itu yang ingin disampaikan, menurut saya pilihan kata yang pas adalah „memagut‟ dan bukannya „terpagut‟. Mengacu pada sajak yang sejatinya merupakan kumpulan kata-kata (simbol/lambang) hasil dari imajinasi -yang kreatif- yang memberikan pengalaman baru yang bermakna, tidak dapat saya temukan pada sajak ini. Meskipun demikian, bagi saya menulis puisi adalah sebuah
proses belajar dan 'mencari' yang tidak akan pernah ada habisnya. Akhir kata, seperti tulisan penyair Sutardji Calzoum Bahri dalam kumpulan esai-nya „Isyarat‟ terbitan Indonesia Tera, ‘…menulis sast ra adalah menulis di atas tulisan (realitas), maka menulis pada hakikatnya pula menyembunyikan, menyimpan, mengandung, menindih, melapis realitas. Suatu saat engkau menulis bagaikan menusir foto realitas. Engkau tebalkan garis hidungnya, engkau panjangkan janggutnya, engkau hitamkan ubannya, engkau kasarkan kumisnya, dan engkau mencipta foto lain yang beda dari foto sebelumnya (realitas). Dan realitas sekedar membayang dari bawah tulisanmu’.
Resensi Fragmen Senja Oleh Epri Tsaqib Fragmen Senja oleh Arfin Rose Saya senang karena diberi kesempatan berinteraksi dengan kawan-kawan dari kemudian.com yang punya semangat untuk berkarya di dunia maya. Saya juga memberikan apresiasi kepada kawan-kawan panitia Perkosakata 2009 yang dengan konsisten mau menjadi fasilitator kegiatan-kegiatan pembelajaran sastra baik online maupun off-line bisa terus berlangsung. Sesungguhnya saya merasa kurang enak, karena saya merasa ilmu masih begitu sedikit demikian juga pengalaman yang saya miliki. Apakah saya pantas? Namun melihat semangat dari rekan-rekan Perkosakata dan menyadari bahwa saat awal saya menulis, saya juga bisa merasakan bagaimana pentingnya apresiasi dari orang lain, betapa sebuah kritik yang baik [bukan hanya pujian semu] sesungguhnya bisa memacu lebih cepat penulis yang ingin serius mendalami karya sastra dan meningkatkan kreasinya sendiri dalam menciptakan karya-karya berikutnya, bila ia punya semangat yang tinggi. Berpijak dari situlah maka dengan segala kerendahan hati saya beranikan diri ambil bagian. Tentu saja saya sendiri mengharapkan respon balik dan masukan-masukan dari kawankawan, karena saya sendiri juga sedang belajar. Dan begitu ingin terus belajar dari siapa saja, termasuk dari kawan-kawan di sini. Saya dikirimi 4 puisi oleh panitia Perkosakata kemudian.com untuk diresensi. Setelah membacanya terus terang saya jadi senyum-senyum sendiri. Saya jadi ingat masa-masa di mana awal di mana saya menulis. Saya kira bahkan semua penulis puisi-pun mengalami hal seperti ini. Di mana diksi yang dipilih lebih mirip ungkapan hati bak sebuah diari dengan polesan kata-kata klise [yang tentu saja dalam anggapan penulis adalah kata-kata itulah yang dalam anggapannya paling indah yang mampu menangkap kesan puitis nan romantis]. Baiklah saya akan coba salah satu sajak untuk diresensi.
Coba simak saja potongannya di bawah ini : I Kenapa pagi menjelang sebelum usai meniti malammu Kenapa raut mewangi semerbak kamboja di ulu matiku Kenapa cemas kian bergelayut dibalik culas senyummu Kenapa puisi berdenyut di sela bunga-bunga layu Suguhkan padaku seraut kepedihan di lain hatimu Tawarkan padaku segenggam asa pada ranah berbeda Lemparkan padaku kepingan paling nyiyir sudut lukamu Dan cerucuk bahagiamu, simpanlah sendiri dalam saku!
[Judul Fragmen Senja] Semua penulis puisi, sekali lagi saya ulang pada fase-fase awal dia menulis menurut hemat saya akan mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh penulis puisi Fragmen Senja ini. Di mana tendensi ingin menyajikan kata-kata yang dianggap puitis memilih kata-kata yang membuai-buai dengan tangkapan kesan romantik yang difahami banyak orang dalam anggapannya. Pada paragraf pertama, penulis seperti ingin menunjukkan pola repetisi penulisan puisi dengan model pengulangan pertanyaan berawalan kata tanya yang sama di awal kalimat. Sayang sekali kedua hal itu malah memperkuat kesan klise yang lebih muncul ke permukaan. Jangan lupa bahwa dalam penulisan puisi salah satu hal penting yang membedakannya dengan karya prosa adalah efektifnya pilihan kata. Kata-kata dipilih sedemikian rupa agar kata-kata yang muncul memberikan dan membangkitkan efek puitik pembaca, seorang kawan penyair pernah menyebutnya sebagai semacam ”daya tenung” yang ditangkap di hati pembaca, tusukan yang segera bisa dirasakan siapapun pembacanya tanpa menimbulkan kesan boros kata. Dalam konteks isinya, si penulis juga seperti ingin membuat pola paradoks dengan mengatakan bahwa ”mu” lirik pada setiap kalimat itu menampilkan sosok penipu dengan banyak mengajukan silang maksud di paragraf pertama repetisi di atas dan menutupnya dengan Lemparkan padaku kepingan paling nyiyir sudut lukamu/ Dan cerucuk bahagiamu, simpanlah sendiri dalam saku!. Kesan paradoks akan muncul dan segera ditangkap dengan baik oleh pembaca manakala sang penyair mampu membuat sebuah ”kejutan” yang tentu saja tak diduga-duga sebelumya akan berakhir seperti itu dalam pembacaan pembaca atas puisi sang penyair. Oleh karennya memang penyair membuat tema semacam ini adalah dengan menutupnya di bagian akhir sajak. Sementara dalam puisi ini, sejak awal sesungguhnya penulis sudah memberi semacam petunjuk dari caranya menunjukan pertanyaan yang sayangnya sudah bisa ditebak oleh pembaca sejak awal. Bahwa rangkaian kata itu hanya akan bernada sama, yakni maksud yang terbalik dari apa yang ditampilkan oleh si ”mu” lirik. Kalau petunjuk itu begitu jelas, lalu bagaimana mungkin kita akan merasakan keterkejutan di akhir kalimat?
Misalnya dengan mengatakan Kenapa pagi menjelang sebelum usai meniti malammu/ Kenapa raut mewangi semerbak kamboja di ulu matiku/ Kenapa cemas kian bergelayut dibalik culas senyummu/ Kenapa puisi berdenyut di sela bunga-bunga layu. Rentetan ungkapan pertanyaan yang jelas sekali kemana arah jawabannya. Paradoks, kontras dan ironi [ketiganya boleh dibilang sama], dihadirkan oleh penyair di dalam sajak untuk mengejutkan pembaca, untuk merenggut perhatian pembaca sajaknya. Demikian kalau kita setuju kepada A Teeuw yang pernah bilang bahwa tugas penyair adalah mengejutkan si pembaca, oleh penyimpangan dari pemakaian bahasa yang sudah terbiasa, sudah familiar, usang dan luntur. Kita bisa melihat contoh puisi lain yang ditulis Joko Pinurbo misalnya yang dalam beberapa sajaknya menunjukkan kesan paradoks yang berhasil. Coba kita simak sajak ini :
Telepon Tengah Malam Telepon berkali-kali berdering, kubiarkan saja. Sudah sering aku terima telepon dan bertanya “Siapa ini?”, jawabnya cuma “Ini siapa?”. Ada dering telepon, panjang dan keras, dalam rongga dadaku. “Ini siapa, tengah malam telepon? Mengganggu saja.” “Ini Ibu, Nak. Apa kabar?” “Ibu! Ibu di mana?” “Di dalam.” “Di dalam telepon?” “Di dalam sakitmu.” Ah, malam ini tidurku akan nyenyak. Malam ini sakitku akan nyenyak tidurnya. (2004) Joko Pinurbo memilih ungkapan-ungkapan kata yang lazim kita gunakan dalam percakapan sehari-hari, tanpa sedikitpun membuai-buai pembaca, tak ada semacam kata-kata romantis di sana, tapi bisa kita rasakan bukan kesan paradoks itu muncul dalam dialog yang akhir percakapan antara ibu dan anak itu bukan? Ketika sang ibu menjawab pertanyaan anaknya tentang di mana posisi ibunya kini, dan yang kita dapatkan adalah sebuah jawaban yang mengejutkan, ”Di dalam sakitmu.”. Yang membedakan gaya prosais itu menjadi puitis adalah ungkapan metaforis yang muncul, makna teks yang difahami tidak lazim dalam ungkapan prosa biasa dalam percakapan. Kita butuh sedikit waktu untuk mencerna, dan bahkan kita bisa memaknainya dengan apa saja yang mungkin berbeda dengan maksud penyair, karena metafora yang dimaksud memang bukan ungkapan pasaran. Tetapi sesuatu yang baru yang ditawarkan penyair dalam sajaknya untuk pembacanya. Saya kira itu dulu, semacam pembukaan dari saya. Kita bisa berdiskusi lebih lanjut, karena anda boleh tidak setuju dengan saya dan itu sama sekali tidak haram. Mohon maaf atas pembacaan saya yang mungkin kurang berkenan dalam ulasan sederhana ini. Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya.