Tabel 6. Farmakologi klinis obat-obatan sedatif
Benzodiazepin . Benzodiazepin mengaktifkan reseptor neuron γ-aminobutyric acid A
(GABAA) di otak. Zat tersebut memiliki efek anxiolitik, amnestik, sedatif, hipnotik, dan antikonvulsan, tetapi tidak ada efek analgesik (169, 170). Efek amnestik pada zat ini lebih besar daripada efek sedatifnya (171). Lorazepam lebih poten daripada midazolam, yang lebih poten dibanding diazepam. diazepam. Midazolam dan diazepam lebih mudah larut dalam lipid daripada lorazepam, menyebabkan onset sedasi yang lebih cepat dan volume distribusi yang lebih besar dari pada lorazepam. Pasien lansia secara signifikan signifikan lebih sensitif terhadap efek sedatif benzodiazepin (171). Benzodiazepin dapat menyebabkan depresi pernafasan dan hipotensi sistemik, terutama bila diberikan bersama dengan depresan jantung paru lainnya, seperti opioid (172). Ketidakstabilan jantung paru yang diinduksi b enzodiazepin lebih sering terjadi pada pasien kritis dengan insufisiensi pernapasan sejak awal dan/atau ketidakstabilan kardiovaskular (172). Toleransi terhadap benzodiazepin akan timbul dengan pemakaian jangka panjang.
Semua benzodiazepin dimetabolisme oleh hati. Klirens benzodiazepin berkurang pada pasien dengan disfungsi hati dan penyakit lainnya, pada pasien lanjut usia, dan bila diberikan obat lain yang menghambat sistem enzim sitokrom P450 dan/atau konjugasi glukoronida di hati (173-175). Waktu paruh eliminasi dan durasi efek klinis lorazepam juga meningkat pada pasien dengan gagal ginjal (176, 177). Metabolit aktif midazolam dan diazepam dapat berakumulasi dengan pemberian yang lama, terutama pada pasien dengan disfungsi ginjal (178). Klirens benzodiazepin menurun seiring bertambahnya usia (175, 179 , 180). Durasi bangun kembali yang tertunda setelah sedasi dengan benzodiazepin dapat diakibatkan oleh pemberian benzodiazepin yang berkepanjangan (karena kejenuhan jaringan perifer), lanjut usia, disfungsi hati, atau insufisiensi ginjal (171, 175, 181). Karena potensi yang lebih besar dan klirens lorazepam yang lebih lambat, bangun kembali dari sedasi jangka pendek (1-2 hari) dengan lorazepam mungkin akan lebih lama daripada midazolam. Namun, studi perbandingan pada penggunaan secara berkepanjangan obat-obatan tersebut pada pasien ICU menunjukkan variabilitas yang lebih banyak dan waktu yang lebih lama untuk bangun dengan midazolam daripada dengan lorazepam (171, 175, 182-184). Diazepam memiliki durasi aksi yang lama karena kejenuhan jaringan perifer dan metabolit aktif yang dapat berakumulasi pada penderita insufisiensi ginjal (185). Formulasi parenteral lorazepam mengandung propilen glikol sebagai pengencer, yang dapat menyebabkan toksisitas pada pasien ICU (186-190). Toksisitas propilen glikol menyebabkan asidosis metabolik dan gagal ginjal akut. Karena kondisi ini sering kali terjadi pada pasien kritis, kemungkinan hubungan dengan pemberian lorazepam harus diperhatikan. Meskipun pada awalnya diperkirakan hanya be rakumulasi pada pasien yang menerima dosis lorazepam yang sangat tinggi melalui infus berkelanjutan (mis., 15-25 mg/jam), bukti terbaru menunjukkan bahwa jumlah dosis harian IV serendah 1 m g/kg dapat menyebabkan toksisitas propilen glikol (191). Gap osmol serum telah digunakan sebagai alat skrining dan surveilans yang baik; gap osmol yang lebih besar dari 10-12 mOsm/L dapat membantu mengidentifikasi pasien yang menerima lorazepam dengan akumulasi propilen glikol yang signifikan (187, 191).
Propofol . Propofol adalah obat sedatif IV yang terikat pada banyak reseptor pada
sistem saraf pusat untuk menghentikan transmisi saraf, termasuk reseptor GABA A, glisin, nikotinik, dan M1 muskarinik (192-194). Propofol memiliki edek sedatif, hipnotik, anxiolitik, amnestik, antiemetik, dan antikonvulsan, tapi tidak ada efek analgesik (195, 196). Pada pasien ICU, efek amnestik propofol pada tingkat sedasi ringan lebih kecil daripada benzodiazepin (197). Propofol sangat larut dalam lipid dan dengan cepat melintasi sawar darah otak, sehingga onset sedasinya cepat. Karena tingginya kelarutan dalam lipid, propofol juga dengan cepat didistribusikan kembali ke jaringan perifer. Redistribusi cepat ini, ditambah dengan klirens hepar dan ekstrahepatik yang tinggi, berakibat pada offset efek yang cepat setelah pemberian propofol jangka pendek. Karena durasi efek sedatif yang pendek, propofol banyak digunakan pada pasien dalam keadaan sering bangun untuk pemeriksaan neurologis dan dapat mempermudah protokol interupsi sedasi harian (183, 198, 199). Namun, pemberian propofol jangka panjang dapat menyebabkan kejenuhan jaringan perifer dan durasi bangun kembali yang memanjang (198). Propofol menyebabkan depresi pernapasan dan hipotensi yang bergantung dosis karena vasodilatasi sistemik. Efek ini dapat lebih jelas bila propofol diberikan dengan obat penenang lain dan opioid. Ketidakstabilan jantung paru dengan pemberian propofol lebih mungkin terjadi pada pasien dengan insufisiensi pernapasan awal dan/atau ketidakstabilan kardiovaskular. Efek samping lainnya meliputi hipertrigliseridemia, pankreatitis akut, dan mioklonus (200-204). Propofol dilarutkan dalam emulsi lipid 10% yang mengandu ng lesitin telur dan minyak kedelai, yang dapat menyebabkan reaksi alergi pada pasien dengan alergi telur atau kedelai. Beberapa formulasi propofol generik mengandung pengawet sulfit, yang mungkin juga dapat menyebabkan reaksi alergi (196). Pemberian propofol kadang dihubungkan dengan timbulnya sindrom infus propofol (PRIS). Tanda dan gejala dari PRIS bervariasi tetapi mungkin termasuk asidosis metabolik yang memburuk, hipertrigliseridemia, hipotensi dengan peningkatan kebutu han vasopressor, dan aritmia. Gagal ginjal akut, hiperkalemia, rhabdomiolisis, dan disfungsi hati kadang dilaporkan terjadi pada PRIS (205, 206). K emungkinan mekanisme PRIS meliputi disfungsi mitokondria, gangguan oksidasi asam lemak, pengalihan metabolisme karbohidrat ke
substrat lemak, dan akumulasi metabolit propofol (207). PRIS biasanya berhubungan dengan pemberian propofol dosis tinggi yang berkepanjangan (> 70 μg/kg/menit), tapi mungkin juga terjadi pada infus dosis rendah (208, 209). Insiden PRIS dengan infus propofol sekitar 1% (210). Kematian akibat PRIS tinggi (hingga 33%) dan dapat terjadi bahkan setelah menghentikan infus (202). Gambaran yang bervariasi, kurangnya spesifisitas diagnostik, dan jarang terjadinya PRIS membuat deteksi dari kondisi yang berpotensi mengancam jiwa ini sulit. Pengenalan awal dan penghentian propofol pada Pasien dengan dugaan PRIS sangat penting. Penatalaksanaan pasien dengan PRIS adalah dengan suportif. Dexmedetomidine . Dexmedetomidine adalah agonis selektif α2-reseptor dengan
sifat sedatif, sparing analgesik/opioid, dan simpatolitik, tetapi tanpa sifat antikonvulsan (211, 212). Dexmedetomidine mempunyai pola sedasi yang sangat berbeda dibanding sedatif lainnya. Pasien yang disedasi dengan dexmedetomidine lebih mudah dirangsang dan interaktif, dengan depresi nafas minimal (213, 214). Permulaan sedasi terjadi dalam 15 menit dan puncak sedasi terjadi dalam waktu 1 jam setelah diberikan infus IV dexmedetomidine (167, 215). Onset sedasi dapat dipercepat dengan pemberian dosis loading awal IV dexmedetomidine, tetapi lebih mungkin menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik pada pasien dengan sakit kritis (216). Dexmedetomidine didistribusikan dengan cepat ke jaringan perifer dan dimetabolisme oleh hati (217). Pada pasien dengan fungsi hati normal, waktu paruh eliminasi adalah sekitar 3 jam (215). Pasien dengan disfungsi hepar berat yang mengalami gangguan klirens dexmedetomidine, dapat mengalami durasi bangun kembali yang memanjang, dan dapat memerlukan dosis dexmedetomidine yang lebih rendah (218). Meski dexmedetomidine hanya disetujui di Amerika Serikat untuk sedasi jangka pendek pasien ICU (< 24 jam) dengan dosis maksimal 0,7 μg/kg/jam (sampai 1,0 μg/kg/ jam untuk sedasi prosedural), beberapa penelitian menunjukkan keamanan dan efektivitas pemberian infus dexmedetomidine lebih dari 24 jam (sampai 28 hari) dan pada dosis yang lebih tinggi. (sampai 1,5 μg/kg/jam) (216, 219-222). Efek samping yang paling sering dari dexmedetomidine adalah hipotensi dan bradikardia (223). Dosis loading IV dapat menyebabkan baik hipotensi maupun hipertensi (215, 224). Karena dexmedetomidine tidak secara signifikan mempengaruhi pernafasan, zat
ini adalah satu-satunya obat penenang yang disetujui di Amerika Serikat untuk diberikan pada pasien ICU yang tidak diintubasi, dan infus dapat dilanjutkan sesuai kebutuhan setelah ekstubasi (225-227). Namun, dexmedetomidine dapat menyebabkan hilangnya tonus otot orofaringeal yang dapat menyebabkan penyumbatan jalan nafas pada pasien yang tidak diintubasi, sehingga pemantauan pernafasan terus-menerus untuk hipoventilasi dan hipoksemia pada pasien ini diindikasikan (225). Efek opioid-sparing dexmedetomidine dapat mengurangi kebutuhan opioid pada pasien yang sakit kritis (219, 220, 224, 228). Mekanisme kerja untuk efek analgesik dexmedetomidine masih kontroversial (229). Walaupun reseptor α-2 terletak di daerah dorsal sumsum tulang belakang dan di lokasi supraspinal, efek analgesik nonspinal dexmedetomidine telah didokumentasikan (230). Satu studi terbaru menunjukkan bahwa pasien ICU yang menerima dexmedetomidine memiliki prevalensi delirium yang lebih rendah dibandingkan pasien yang disedasi dengan midazolam (220). Tabel 7. Skor Psikometrik Untuk Skala Sedasi
Agitasi dan Sedasi: Pertanyaan, Pernyataan, dan Rekomendasi.
1.
Kedalaman Sedasi dan Hasil Klinis Pertanyaan: apakah sebaiknya pasien ICU dewasa dirawat dengan tingkat sedasi yang ringan? (ditindaklanjuti) Jawaban: Mempertahankan tingkat sedasi ringan pada pasien ICU dewasa dikaitkan dengan hasil klinis yang lebih baik (misalnya, durasi ventilasi mekanis yang lebih pendek dan LOS ICU yang lebih pendek) (B). Mempertahankan tingkat sedasi ringan meningkatkan respons stres fisiologis, tetapi tidak dikaitkan dengan peningkatan kejadian iskemia miokard (B). Hubungan antara k edalaman sedasi dan stress psikologis pada pasien-pasien tersebut masih belum jelas (C). Kami merekomendasikan obat sedatif dititrasi untuk mempertahankan tingkat sedasi yang ringan pada pasien ICU dewasa, kecuali terdapat kontraindikasi klinis (+ 1B). Dasar Pemikiran: Tiga belas studi meneliti hubungan langsung antara kedalaman sedatif dan hasil klinis pada pasien ICU, termasuk durasi ventilasi mekanis, LOS ICU, pengukuran stress fisiologis, dan penilaian stress psikologis post-ICU (10, 14, 15, 20,
158, 231-238). Lima studi menunjukkan bahwa tingkat sedasi yang lebih dalam dikaitkan dengan jangka waktu ventilasi mekanis dan LOS ICU yang lebih lama. (10, 14, 15, 20, 158). Tiga penelitian menunjukkan bukti peningkatan stress fisiologis dalam hal peningkatan konsentrasi katekolamin dan/atau peningkatan konsumsi oksigen pada tingkat sedasi yang lebih ringan (232, 235, 236), sedangkan satu penelitian tidak (233). Signifikansi klinis ini belum jelas, karena tidak ada hubungan yang jelas antara penanda peningkatan stres fisiologis dan hasil klinis, seperti iskemia miokard, pada pasien-pasien ini (232-234). Empat studi meneliti hubungan antara kedalaman sedasi dan stress psikologis post-ICU (20, 231, 237, 238). Satu studi menunjukkan bahwa protokol interupsi sedasi harian tidak menyebabkan hasil psikologis yang merugikan (231), sedangkan penelitian lain menemukan insidensi kecil kejadian tersebut pada pasien yang disedasi dengan ringan (20). Penelitian ketiga menunjukkan bahwa tingkat sedasi yang lebih dalam dikaitkan dengan kejadian recall yang lebih rendah, tapi memori delusional tersebut tidak berkorelasi dengan tingkat sedasi yang lebih ringan (238). Namun, dalam studi keempat, periode terjaga dikaitkan dengan recall memori ICU yang stressful (237). Kualitas bukti secara umum yang mengevaluasi hubungan antara kedalaman sedasi ICU dan stress psikologis post-ICU masih rendah, dan hasil penelitian-penelitian ini masih saling bertentangan. Maka, secara umum keuntungan pemeliharaan sedasi ringan pada pasien ICU lebih besar daripada risikonya. 2.
Monitoring Kedalaman Sedasi dan Fungsi Otak a. Tingkat sedasi Pertanyaan: Skala sedasi subjektif manakah yang paling paling valid dan reliabel dalam penilaian kedalaman dan kualitas sedasi pada pasien ICU dewasa yang menggunakan ventilasi mekanis? (deskriptif) Jawaban: Skala Sedasi-Agitasi Richmond (RASS) dan Skala Sedasi-Agitasi (SAS) adalah alat penilaian sedasi yang paling valid dan reliabel untuk mengukur kualitas dan kedalaman sedasi pada pasien ICU dewasa (B). Dasar Pemikiran: Beberapa skala sedasi subjektif dibuat untuk monitoring kedalaman sedasi dan agitasi pada pasien ICU dewasa, dan sifat psikometriknya
dijelaskan dengan baik. Tetapi derajat kumulatif sifat psikometrik diuji dan kualitas bukti sangat bervariasi pada skala-skala tersebut. Kami meninjau sifat psikometri dari sepuluh skala sedasi subjektif, masing-masing dikembangkan untuk mengevaluasi kedalaman dan kualitas sedasi pada pasien ICU dewasa: 1) O bserver’s Assessment of Alertness/Sedation Scale (OAA/S); 2) Ramsay Sedation Scale (Ramsay); 3) New Sheffeld Sedation Scale (Sheffeld); 4) Sedation Intensive Care Score (SEDIC); 5) Motor Activity Assessment Scale (MAAS); 6) Adaptation to the Intensive Care Environment (ATICE); 7) Minnesota Sedation Assessment Tool (MSAT); 8) Vancouver Interaction and Calmness Scale (VICS); 9) SAS; dan 10) RASS. Kami meninjau 27 penelitian termasuk 2.805 pasien (2.239-264): 26 merupakan studi observasional dan satu menggunakan format random dan blinded untuk mengevaluasi video tingkat sedasi pasien yang sebelumnya telah diberi skor (253). Tabel 7 merangkum skor psikometri untuk semua sepuluh skala sedasi. RASS dan SAS menghasilkan nilai psikometri tertinggi (yaitu, reliabilitas antar-penilai, validasi konvergen atau diskriminan) dan memiliki jumlah peserta studi yang banyak. Kedua skala menunjukkan tingkat reliabilitas antar-penilai, termasuk dokter ICU yang tinggi (240, 262, 263). Kedua skala tersebut mampu melakukan diskriminasi tingkat sedasi yang berbeda dalam berbagai situasi klinis (246, 250, 258, 261). Korelasi sedang sampai tinggi ditemukan di antara skor sedasi dari skala-skala ini dan baik electroencephalogram (EEG) maupun indeks bispectral (BIS) juga mendukung (244, 246, 258). Sebagai tambahan, RASS secara konsisten memberikan target konsensus untuk maksud yang diarahkan pada tujuan dari obat sedatif, menunjukkan kelayakan penggunaannya (2, 246, 254). Kami menemukan bahwa ATICE, MSAT, dan VICS memiliki kualitas bukti psikometri yang baik, namun beberapa sifat psikometrik (misalnya, validasi konvergen atau diskriminan) belum diuji (242, 243, 249, 259, 260). MAAS, SEDIC, Sheffeld, Ramsay, dan Skala OAA/S memiliki kualitas bukti yang lebih rendah; studi replikasi dan pengujian reliabilitas dan validitas psikometri untuk menentukan kedalaman dan kualitas sedasi pada pasien ICU diperlukan (239, 241, 242, 245, 247249, 251-253, 255, 261, 262, 264).
Secara umum, penilaian komparatif kami mengenai sifat psikometrik skala sedasi menunjukkan RASS dan SAS merupakan skala yang paling valid dan reliabel untuk digunakan pada pasien kritis, sedangkan ATICE, MSAT, dan VICS cukup valid dan reliabel. Uji tambahan untuk skala yang lain diperlukan untuk menilai reliabilitas dan validitasnya dengan lebih baik dalam menentukan kedalaman sedasi pada pasien kritis. b. Pemantauan neurologis i. Pertanyaan: Apakah sebaiknya penilaian fungsi otak secara objektif (mis., auditory evoked potentials [AEPs], bispectral index [BIS], Narcotrend Index [NI], Patient State Index [PSI], atau state entropy [SE]) digunakan untuk menilai kedalaman sedasi pada pasien ICU dewasa tidak koma yang tidak menerima zat penghambat neuromuskular? (ditindaklanjuti) Jawaban: Kami tidak merekomendasikan penilaian fungsi otak secara objektif (misalnya, AEP, BIS, NI, PSI, atau SE) digunakan sebagai metode utama untuk monitoring kedalaman sedasi pada pasien kritis dewasa tidak koma tidak lumpuh, karena tidak cukup kuat untuk menggantikan sistem penilaian sedasi secara subyektif (-1B). ii. Pertanyaan: apakah sebaiknya penilaian fungsi otak secara obyektif (mis., AEPs, BIS, NI, PSI, atau SE) digunakan untuk mengukur k edalaman sedasi pada pasien ICU dewasa yang menerima zat penghambat neuromuskular? (ditindaklanjuti) Jawaban: Kami menyarankan agar pengukuran fungsi otak secara objektif (mis., AEPs, BIS, NI, PSI, atau SE) digunakan sebagai tambahan untuk penilaian sedasi subjektif
pada
pasien
ICU
dewasa
yang
menerima
zat
penghambat
neuromuskular, karena penilaian sedasi subjektif mungkin tidak dapat diperoleh dari pasien tersebut (+ 2B). iii. Pertanyaan: apakah sebaiknya monitoring EEG digunakan untuk mendeteksi aktivitas kejang nonkonvulsif dan untuk menitrasi obat electrosuppressive untuk mendapatkan supresi penuh pada pasien ICU dewasa, baik yang telah diketahui atau dicurigai kejang? (ditindaklanjuti)
Jawaban: Kami merekomendasikan agar monitoring EEG digunakan untuk memantau aktivitas kejang nonkonvulsif pada pasien ICU dewasa, baik yang telah
diketahui
atau
dicurigai
kejang,
atau
untuk
menitrasi
obat
electrosuppressive untuk mencapai supresi penuh pada pasien ICU dewasa dengan tekanan intrakranial tinggi (+ 1A). Dasar Pemikiran: Kami meninjau 18 studi yang membandingkan monitor sedasi objektif hingga sistem skor sedasi pada pasien ICU dewasa (244, 248, 258, 265279). Monitoring objektif termasuk monitor EEG dan AEP langsung dan yang telah diproses. Monitor EEG yang telah diproses (konversi sinyal EEG ke sebuah indeks dengan algoritma tertentu) termasuk Indeks Bispectral (BIS) dan Bispectral Index XP (BIS-XP SE), NI, dan PSI. Bukti keseluruhan masih saling bertentangan. Lima belas studi dengan kualitas sedang menemukan bahwa pemantauan sedasi berdasarkan AEP atau sinyal EEG yang telah diproses, termasuk BIS, NI, SE, dan PSI, dapat menjadi tambahan yang berguna untuk penilaian sedasi subjektif pasien kritis (244, 248, 258, 266, 267, 271-273, 276, 278-283). Namun, sebagian besar penelitian ini melaporkan bahwa sinyal elektromiografi secara negatif mempengaruhi korelasi antara pengukuran objektif dalam pertanyaan dan skor sedasi. Lima studi tambahan dengan kualitas sedang tidak menemukan keuntungan penggunaan monitor objektif dibanding sistem penilaian subjektif untuk menilai kedalaman sedasi (268-270, 277, 284). Pada sebagian besar penelitian, monitor objektif hanya membedakan antara tingkat sedasi dalam dan ringan, tetapi nilainya berkorelasi buruk dengan skor sedasi spesifik dan secara negatif dipengaruhi oleh artefak sinyal elektromiografi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa monitoring EEG terus menerus berguna untuk mendeteksi aktivitas kejang nonkonvulsif pada pasien ICU dengan aktivitas kejang yang diketahui atau yang berisiko kejang (mis., cedera otak traumatik, perdarahan intraserebral, kejadian vaskular serebral, pasien dengan penurunan tingkat kesadaran dengan sebab yang tidak dapat dijelaskan) (275, 281). Pemantauan EEG secara terus menerus mungkin dapat berguna dalam
menitrasi obat electrosuppressive untuk mencapai supresi penuh pada pasien dengan penyakit kritis dengan peningkatan tekanan intrakranial (275, 281).
Gambar 1. LOS ICU meta-analisis dari studi berkualitas sedang-tinggi membandingkan
sedasi dengan benzodiazepin dan nonbenzodiazepin 3.
Pilihan sedatif Pertanyaan: apakah sebaiknya sedasi berbasis nonbenzodiazepin, bukan sedasi dengan benzodiazepin, digunakan pada pasien ICU dewasa yang menggunakan ventilasi mekanis? (ditindaklanjuti) Jawaban:
Kami
menyarankan
agar
strategi
sedasi
menggunakan
sedatif
nonbenzodiazepin (propofol atau dexmedetomidine) lebih dianjurkan daripada sedatif
benzodiazepin (baik midazolam atau lorazepam) untuk meningkatkan keluaran klinis pasien ICU dewasa yang menggunakan ventilasi mekanis (+ 2B). Dasar Pemikiran: Secara umum, pilihan sedatif yang digunakan pada pasien ICU harus digunakan berdasarkan: 1) indikasi spesifik dan tujuan sedasi untuk setiap pasien; 2) farmakologi klinis obat pada pasien tertentu, termasuk onset dan offset efek dan profil efek samping; dan 3) keseluruhan biaya yang terkait dengan menggunakan sedatif tertentu. Hasil studi dari efek sedatif pada pasien ICU biasanya membandingkan benzodiazepin (baik midazolam atau lorazepam) dengan nonbenzodiazepin (baik propofol atau dexmedetomidine) untuk sedasi. Pada waktu review tinjauan pustaka kami, hanya dua penelitian berkualitas rendah saja yang telah dipublikasikan yang membandingkan keluaran klinis pada pasien ICU yang menerima propofol vs dexmedetomidine untuk sedasi (285, 286). Tidak ada penelitian yang membandingkan keluaran klinis pada pasien ICU yang disedasi dengan ketamin atau obat penenang lainnya. Beberapa penelitian yang kami tinjau menyatakan bahwa penggunaan sedatif berbasis benzodiazepin secara berkelanjutan dikaitkan dengan keluaran klinis yang merugikan, seperti ketergantungan jangka panjang pada ventilasi mekanik, peningkatan LOS ICU, dan timbulnya delirium (29, 183, 220, 286-293). Namun, penemuan ini belum dilaporkan secara konsisten. (197, 222, 285, 294-297). Kami meninjau 13 penelitian terhadap 1.551 pasien ICU yang membandingkan keluaran klinis pada pasien yang disedasi dengan benzodiazepin (midazolam atau lorazepam) atau nonbenzodiazepin (propofol atau dexmedetomidine) dan tidak menemukan perbedaan yang konsisten dalam LOS ICU (183, 197, 220, 222, 285, 286, 292-298). Namun, metaanalisis kami terhadap enam percobaan dengan tingkat kualitias sedang hingga tinggi menyatakan bahwa sedasi dengan benzodiazepin dapat meningkatkan LOS ICU sekitar 0,5 hari dibandingkan dengan obat penenang nonbenzodiazepin. (p = 0,04) (Gambar 1) (183, 197, 220, 222, 292, 295-297). Data yang terbatas menyatakan bahwa durasi ventilasi mekanik diperpanjang dengan sedasi berbasis benzodiazepin (183, 220, 292, 298). Tidak ada perbedaan yang jelas mengenai mortalitas dengan sedasi menggunakan benzodiazepin vs nonbenzodiazepin (220, 222, 285, 295). Enam percobaan mengevaluasi pengaruh sedasi berbasis benzodiazepin pada
biaya perawatan ICU (194, 222, 286, 294, 299, 300); hanya satu penelitian yang menemukan bahwa sedatif benzodiazepin (yaitu, infus midazolam) dikaitkan dengan biaya ICU yang lebih tinggi daripada sedasi dengan dexmedetomidine (300). Ketika kami membandingkan hasil penelitian pada pasien ICU yang di sedasi dengan propofol vs midazolam atau lorazepam, kami menemukan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan propofol mungkin dikaitkan dengan durasi ventilasi mekanis yang lebih pendek, namun efek ini bervariasi pada seluruh populasi pasien (183, 197, 291, 292, 294-297), dan berarti LOS ICU yang lebih pendek. Tidak ada perbedaan yang nyata mengenai kejadian ekstubasi oleh pasien dengan sedasi propofol vs benzodiazepine (183). Tinjauan sistematis yang lain mengevaluasi 16 percobaan terkontrol acak yang membandingkan keluaran klinis pada pasien ICU yang menerima propofol atau sedatif lainnya (291). Karena studi meta-analisis tersebut dibatasi dengan perbandingan propofol dan midazolam, tidak ada perbedaan dalam angka kematian, sedikit penurunan durasi ventilasi mekanis dengan propofol, tetapi tidak ada perbedaan pada LOS ICU. Hubungan antara penggunaan propofol atau benzodiazepin untuk sedasi dan munculnya delirium belum jelas. Hanya dua penelitian relevan yang telah dipublikasikan yang membandingkan kejadian delirium pada pasien ICU yang menerima propofol vs benzodiazepin untuk sedasi (285, 286). Dalam kedua penelitian tersebut, pasien diacak untuk menerima propofol, midazolam, atau dexmedetomidine untuk sedasi, dan kejadian delirium hampir sama pada pasien yang menerima propofol atau midazolam, tetapi kualitas bukti masih rendah. Kami meninjau beberapa penelitian yang membandingkan keluaran pada pasien ICU yang menerima dexmedetomidine atau benzodiazepin (baik midazo lam atau lorazepam) untuk sedasi (220, 222, 285, 286, 293). Tiga dari empat penelitian yang mengevaluasi durasi ventilasi mekanis tidak menunjukkan perbedaan antara kelompok-kelompok ini (222, 285, 286). Namun, penelitian terbesar menunjukkan penurunan signifikan dalam waktu lepas dari ventilasi mekanis dengan dexmedetomidine (3,7 hari) dibandingkan dengan midazolam (5,6 hari) (220). Dexmedetomidine tidak berhubungan dengan kejadian ekstubasi oleh pasien yang lebih rendah dibandingkan dengan benzodiazepin (222). Empat dari penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan dalam LOS ICU (220,
222, 285, 286). Lima penelitian, termasuk analisis subkelompok dari percobaan Maximizing Effcacy of Targeted Sedation and Reducing Neurological Dysfunction, mengevaluasi perkembangan delirium pada pasien yang menerima dexmedetomidine atau benzodiazepin untuk sedasi (220, 222, 285, 286, 298). Delirium dilaporkan dalam hal frekuensi kemunculan, prevalensi, dan hari bebas delirium. Tiga studi mendukung penggunaan dexmedetomidine (286, 288, 300), walaupun hanya satu yang berkualitas tinggi
(220).
Percobaan
analisis
subkelompok
tersebut
lebih
mendukung
dexmedetomidine daripada lorazepam hanya pada pasien sepsis (298). Satu percobaan tidak menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan benzodiazepin dan delirium (222). Satu percobaan dengan kualitas yang sangat rendah menyatakan tingkat delirium yang lebih tinggi dengan dexmedetomidine, tetapi dengan banyak cacat metodologis yang serius termasuk ketidaktepatan dalam penilaian delirium (285). Hasil dari dua percobaan berkualitas tinggi, acak, double blind, komparatif dexmedetomidine vs midazolam atau propofol untuk sedasi ICU dipublikasikan setelah pembuat guideline menyelesaikan pemungutan suara dan membuat rekomendasi (301). Hasil yang relevan pada kedua studi meliputi durasi ventilasi mekanis, dan ICU dan LOS rumah sakit. Selain durasi ventilasi mekanik yang lebih lama dengan penggunaan midazolam, tidak ada perbedaan antar kelompok yang terlihat. Hasil ini konsisten dengan kedua analisis kami dari data yang dipublikasikan sebelumnya dan rekomendasi selanjutnya untuk sedasi berbasis benzodiazepin vs nonbenzodiazepin. Secara umum, literatur saat ini mendukung perbedaan yang tidak terlalu besar dalam keluaran dengan pemberian sedasi berbasis benzodiazepin vs nonbenzodiazepin. Metaanalisis kami dari percobaan berkualitas sedang hingga tinggi menunjukkan bahwa sedatif benzodiazepin dikaitkan dengan peningkatan LOS ICU. Data berkualitas sedang hingga tinggi mendukung penggunaan propofol dibandingkan lorazepam (183) dan dexmedetomidine dari midazolam (220) untuk membatasi durasi ventilasi mekanis. Signifikansi klinis efek deliriogenik komparatif dari benzodiazepin masih belum pasti, dengan satu percobaan berkualitas tinggi yang menunjukkan bahwa benzodiazepin memiliki risiko yang lebih tinggi daripada dexmedetomidine (220). Rekomendasi lain untuk mencegah atau mengobati delirium dapat dilihat di bagian Delirium dari guideline
ini. Dexmedetomidine mungkin memiliki keuntungan dalam hal konsumsi sumber daya ICU dibandingkan dengan infus midazolam pada institusi perawatan kesehatan karena efisien dalam mentransfer pasien keluar dari ICU (300). Walaupun penggun aan propofol atau dexmedetomidine memiliki kelebihan dibanding benzodiazepin untuk sedasi ICU, benzodiazepin tetap penting untuk mengatasi agitasi pada pasien ICU, terutama untuk mengatasi kecemasan, kejang, dan ketergantungan alkohol atau benzodiazepin. Benzodiazepin juga penting saat sedasi dalam, amnesia, atau terapi kombinasi untuk mengurangi penggunaan agen sedatif lainnya diperlukan. (166, 302).