JEUMPA, KERAJAAN ISLAM PERTAMA DI NUSANTARA Teori Islamisasi di Nusantara selama ini Penuh Teori Kebohongan Kaum Sunni dan Penipuan Hindia Belanda teori Champa ! Gubernur Jenderal Hindia Belanda, TS Raffles, dalam bukunya berjudul The History of Java bahwa Champa bukanlah seperti yang dikenal sekarang di Kambodia. Tapi Champa adalah nama satu daerah di Aceh yakni Jeumpa. Kerajaan Jeumpa Aceh, di dalam buku Ibrahim Abduh yang disadur dari Hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah kerajaan yang terletak dari mulai pinggir sungai Peudada hinga Pante Krueng Peusangan Timur! Observasi terkini, 80 meter ke selatan terdapat tapak Maligai Kerajaan Jeumpa yang yang dikenal dengan dengan sebutan Buket Teungku Keujereun. Di daerah itu ditemukan barang-barang peninggalan kerajaan. kami mencoba menelusuri kembali jejak-jejak kerajaan Islam Campa di Bireuen ini, karena di kabupaten ini terdapat situs kerajaan Raja Jeumpa, di Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa
TS Raffles yang ber-argumen bahwa: Champa yang banyak di asumsi orang Indonesia bukan berada di Kambodia (Vietnam) sekarang, sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Akan tetapi, munurut Raffles, Champa adalah sebuah nama daerah di sebuah wilayah tepatnya berada di Aceh, dan masyarakat Aceh setempat menyebut daerahnya itu dengan nama ”Jeumpa”, sekarang dikenal daerah ini dengan nama kabupaten Aceh Jeumpa kota Bireun. Kata Jeumpa bagi dialek bahasa Jawa pada saat itu menjadi kata Champa, karena salah penyebutan itu akhirnya bagi ahli sejarah berikutnya mengalamatkan (menghubungkan) (menghubungkan) Walisongon dengan kerajaan Champa Kambodia dan Vietnam sekarang. Kata Jeumpa di Aceh sendiri terurai indah dalam sebuah lagu clasik Aceh dengan potongan liriknya, “bungong Jeumpa bungong Jeumpa meugah di Aceh” (bunga Jeumpa -bunga Jeumpa megah di Aceh). Makna dari Bungong Jeumpa adalah, wanita Jeumpa
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah saw bersabda agar pengikutnya berpegang teguh kepada dua perkara supaya tidak sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an (al-Qur’an dan dan Sunnah) dan Itrah (keturunannya). Dua perkara inilah yang menjadi penghubung antara Rasulullah dengan umatnya, sehingga mereka diwajibkan membaca shalawat untuk beliau dan keluarga keturunannya. Karena Ahlul Bayt diamanahkan sebagai benteng utama Islam oleh Allah dan Rasul-Nya dan ummat diperintahkan untuk mencintai, menghormati dan berpegang teguh kepadanya, maka sejak awal kebangkitan Islam para Itrah Rasul mendapat kehormatan dan kedudukan, termasuk di alam Nusantara. Itulah sebabnya ahli sejarah telah mencatat beberapa dinasti Kerajaan Ahlul Bayt Nusantara, baik di wilayah Sumatera, Semenanjung Melayu, Borneo-Kalimantan, Jawa, Sulawesi sampai ke Maluku dan Papua sekarang . SEBELUM ISLAM, ACEH HiNDU DARi GUJARAT,
BERADA DALAM KEKUASAAN ORANG ORANG
Kabupaten Bireuen dalam catatan sejarah dikenal sebagai daerah Jeumpa. Dahulu Jeumpa merupakan sebuah kerajaan kecil di Aceh. Menurut Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa terletak di di Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen.Secara geografis, kerajaan Jeumpa terletak di daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur.
. Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru serta mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya.
keberadaan Kerajaan Jeumpa Aceh yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Maseh i Kerajaan Jeumpa, ketika itu dikuasai Meurah Jeumpa beragama Hindu, kemudiah datanglah seorang pemuda tampan yang dikenal dengan Syahrianshah Salman sebagaimana disebut dalam Silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao dan juga disebutkan dalam Silsilah Raja-Raja Aceh Darussalam oleh Dinas Kebudayaan NAD. Maharaj Syahriar Salman kemudian menikah dengan putri istana Jeumpa bernama Mayang Seludang. Akibat dari perkawinan itu, Maharaj Syahriar Salman tidak lagi ikut rombongan niaga Persia melanjutkan pelayaran ke Selat Malaka.Sebagian ahli sejarah menghubungkan silsilah Pangeran Salman dengan keturunan dari Sayyidina Hussein ra cucunda Nabi Muhammad Rasulullah saw yang telah menikah dengan Puteri Maharaja Parsia bernama Syahribanun. Dari perkawinan inilah kemudian berkembang keturunan Rasulullah yang telah menjadi Ulama, Pemimpin Spiritual dan Sultan di Dunia Islam, termasuk Nusantara, baik di Aceh, Pattani,Sumatera,Malaya, Brunei sampai ke Filipina dan Kepulauan Maluku Dikisahkan Pangeran Salman memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga dengan segala awak, perangkat dan pengawal serta muatannya yang
datang dari Parsi untuk berdagang dan utamanya berdakwah mengembangkan ajaran Islam, sebagai sebuah misi utama para keturunan Rasulullah saw. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Sang Pangeran sangat tertarik dengan kemakmuran, keindahan alam dan keramahan penduduknya. Selanjutnya beliau tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam yang telah menjadi anutan nenek moyangnya di Parsia.Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Apalagi beliau adalah seorang Pangeran dari negara maju Parsia yang terkenal k ebesaran dan kemajuannya masa itu.
Keutamaan dan kecerdasan yang dimiliki Pangeran Salman yang tentunya telah mendapat pendidikan terbaik di Persia negeri asalnya, sangat menarik perhatian Meurah Jeumpa dan mengangkatnya menjadi orang kepercayaan Kerajaan. Karena keberhasilannya dalam menjalankan tugas-tugasnya, akhirnya Pangeran Salman dinikahkan dengan puteri Raja dan dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya. Setelah menjadi Raja,wilayah kekuasaannya diberikan nama dengan Kerajaan Jeumpa. Sejak saat Kerajaan Islam Jeumpa terkenal dan berkembang pesat menjadi kota perdagangan dan transit bagi pedagang-pedagang Arab, Cina, India dan lainnya.Kerajaan Jeumpa menjadi maju dan makmur sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah Sumatra bahkan Nusantara. Sal-man memproklamirkan Kerajaan Islam Jeumpa pada tahun 156 H atau sekitar tahun 777 M. Maka tidak diragukan, Kerajaan Jeumpa adalah Kerajaan Islam pertama di seluruh Nusantara Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan kerajaan lainnya. Karena letak geografisnya yang sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk persiapan logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas dari Cina menuju Persia ataupun Arab
Kerajaan Islam pertama di Aceh, yang juga merupakan Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan oleh salah satu keturunan Nabi Muhammad yang melarikan diri dari Persia bernama Sasaniah Salman al-Parsi pada tahun 154 Hijriah atau sekitar tahun 777 Masehi. Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat Islamisasi di Nusantara, khususnya Aceh. Salah seorang Pangeran Jeumpa, Shahrnawi, yang namanya disebut oleh Syekh Hamzah Fansuri, menjadi pelopor pendirian Kerajaan Islam Perlak pada tahun 805 Masehi, dan mengangkat anak saudaranya, Maulana Abdul Aziz keturunan dari Imam Ja’far Sidiq sebagai Sultan pertama Kerajaan Perlak pada tahun 840 M . Pangeran Salman adalah salah seorang pelarian politik dari Persia yang tengah bergejolak akibat peperangan antara Keturunan Nabi saw yang didukung pengikut Syiah dengan Penguasa Bani Abbasiah masa itu (tahun 150an Hijriah). Beliau bersama para pengikut setianya memilih ujung utara pulau Sumatera sebagai tujuan karena memang daerah sudah terkenal dan sudah terdapat banyak pemeluk Islam yang mendiami perkampungan perkampungan Arab atau Persia. Jeumpa adalah salah satu pemukiman baru tersebut. Untuk menghindari pengejaran itulah, beliau memilih daerah pinggiriran agar tidak terlalu menyolok. Itulah sebabnya, Pangeran Salman juga dikenal dengan nama-nama lainnya, seperti Meurah Jeumpa, atau ada yang mengatakan beliau sebagai Abdullah . Yang perlu dicermati, kenapa Pangeran Salman al-Parsi memilih kota kecil di wilayah Jeumpa sebagai tempat mukimnya, dan tidak memilih kota metropolitan seperti Barus, Fansur, Lamuri dan sekitarnya yang sudah berkembang pesat dan menjadi persinggahan para pedagang manca negara? 1. beliau diterima dengan baik oleh masyarakat Jeumpa dan memutuskan tinggal di sana 2. beliau merasa nyaman dan sesuai dengan penguasa (meurah) 3. keinginan untuk mengembangkan wilayah ini setingkat Barus, Lamuri dan lainnya dan 4. menghindar dari pandangan penguasa . Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang pesat menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan dan pengalaman Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di Kerajaan maju dan besar seperti Persia yang telah mendapat pendidikan khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam, tentu telah mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra. Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan KerajaanKerajaan lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri lainnya, terutama Arab dan Cina.
. Maharaj Syahriar Salman adalah keluarga bangsawan dari Dinasti Sasanid Persia. Salman yang menjadi panggilannya merupakan seorang pangeran dari Istana Persia, ia berasal dari keluarga kerajaan Persia (H. Awang Muhammad Jamil Al-Sufri, Tarsilah Brunai, 1990 hal 73). Salman beserta rombongan melakukan perjalanan ke Asia Tenggara untuk menuju ke Selat Malaka, namun sebelum sampai ke sana, Pangeran Salman singgah di negeri Jeumpa dan akhirnya menikah dengan puteri Istana Jeumpa yang bernama Mayang Seludang. Pangeran Salman pun tidak meneruskan perjalanan dengan rombongannya ke Selat Malaka. Akibat dari perkawinan itu, Maharaj Syahriar Salman tidak lagi ikut rombongan niaga Persia melanjutkan pelayaran ke Selat Malaka. . Mayang Seludang adalah puteri dari penguasa Negeri Jeumpa (Bireuen) yang leluhurnya berasal dari Indo Cina, menurut satu riwayat mengatakan bahwa penguasa Jeumpa berdarah campuran lokal dan Indo Cina, karena beberapa abad sebelumnya penguasa Jeumpa menikah dengan seorang puteri Indo Cina dan keturunannya menjadi penguasa Jeumpa.Mereka seterusnya menurunkan Raja dan bangsawan Perlak, Pasai sampai Aceh Darussalam. . Menurut penelitian terkini para ahli sejarah,diketahui bahwa sebelum datangnya Islam pada awal abad ke 7 M, Dunia Arab dengan Dunia Melayu-Sumatra sudah menjalin hubungan dagang yang erat sejak 2000 tahun SM atau 4000 tahun lalu. Hal ini sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera . Tentu di balik kesuksesan Pangeran Salman membangun dan memimpin Kerajaan Jeumpa, di dukung oleh seorang Maha Ratu yang sangat berperan, karena sebagaimana pepatah menyebutkan di setiap keberhasilan lelaki, pasti ada perempuan yang mendukung keberhasilannya. Siapakah wanita agung yang telah mendukung kegemilangan Maha Raja Jeumpa yang berhasil sebagai pendiri Kerajaan Islam pertama di Nusantara ini? Menurut Silsilah Sultan Melayu dan Silsilah Raja Aceh, beliau tidak lain adalah Putro Manyang Seulodong atau ada yang menyebutnya dengan Dewi Ratna Keumala, anak Meurah Jeumpa yang cantik rupawan serta cerdas dan berwibawa. Putro Jeumpa inilah yang telah mendukung karir dan perjuangan suaminya sehingga berhasil mengembangkan sebuah Kerajaan Islam yang berwibawa, yang selanjutnya anak keturunannya telah melahirkan Kerajaan Islam di Perlak, Pasai, Pedir dan Aceh Darussalam . Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid,
Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam. menurut pengamatan pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, beliau adalah termasuk keturunan Sayyidina Husein ra. Raja Salman menggunakan dua nama ( satu lagi : Abdullah) akibat menghindar dari kejaran para penguasa Parsia yang sedang memburu pelarian keturunan Nabi..Ini artinya, Islam sudah mulai tersebar pada awal abad ke 8 atau sekitar tahun 150-an Hijriah di wilayah Aceh dan memiliki hubungan dengan wilayah Islam lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan dan pengalaman Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di kerajaan maju dan besar seperti Persia, karena telah mendapat pendidikan khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam. Semua itu, tentu saja telah mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra.Jeumpa sebagai Kerajaa n Islam pertama di Nusantara, memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan kerajaan-kerajaan lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri lainnya, terutama Arab dan Cina . Namun dalam perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang. Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, keturunan kepada Nabi Muhammad saw.Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M, dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah . Putro Manyang Seuludong bukanlah Cleopatra yang penuh intrik dan tipudaya, walaupun sama-sama Maha Ratu yang memiliki kekuasaan besar terhadap Kerajaan dan rakyatnya. Jika Cleopatra menggunakan kekuasaan, kecantikan dan kecerdasannya untuk memperdaya Yulius dan Anthony serta menghancurkannya, namun Putro Jeumpa ini menggunakannya untuk mendukung kesuksesan suaminya tercinta Pangeran Salman. Bersama suaminya, Sang Maha Ratu Jeumpa ini bahu membahu memajukan Kerajaannya sehingga menjadi sebuah Kerajaan yang terkenal di dunia internasional dan menjadi kota persinggahan para pedagangpedagang dari Arab, Parsia, Cina, india dan lainnya.Apalagi geografi Jeumpa sangat strategis yang berdekatan dengan Barus, Lamuri, Fansur yang lebih dahulu berkembang di ujung barat pulau Sumatra . Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan tapak bangunan istana dan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Semua ini tentu menggambarkan kemakmuran dan kemajuan dari Kerajaan Jeumpa 14 abad silam. Maha Ratu Manyang Seuludong bukan hanya berhasil menjadi pendamping suaminya dalam membangun Kerajaan Jeumpa, tetapi juga berhasil menjadi seorang pendidik agung yang
telah melahirkan anak-anak yang melanjutkan perjuangannya menyebarkan dakwah Islamiyah. Sebagai seorang ibu, sudah sepatunya Maha Ratu Jeumpa ini dibanggakan, karena telah berhasil mencetak pemimpin-pemimpin agung untuk agama dan bangsanya. Sang Maha Ratu dikaruniai beberapa orang anak yang menjadi Raja dan Ratu yang sangat berpengaruh dalam perjalanan sejarah pengembangan Islam Nusantara . Kecerdasan dan kecantikan Putro Jeumpa ini telah diwariskan kepada keturunannya yang menjadi lambang keagungan putriputri Islam yang berjiwa penakluk dalam memperjuangkan tegaknya Islam di bumi Nusantara. Tidak diragukan bahwa Putro Manyang Seuludong telah menjadi inspirasi bagi perjuangan para Ratu dan putro-putro Jeumpa sesudahnya. Dari keturunan beliaulah telah berkembang puteri-puteri Jeumpa yang terkenal kecantikan dan kecerdasannya ke seluruh kerajaan di Nusantara. Puteri-puteri Jeumpa telah menjadi lambang kewibawaan para Ratu Islam di istana-istana Perlak, Pasai, Malaka . Itulah sebabnya dalam perjalanan sejarah Aceh, senantiasa dipenuhi dengan wanita-wanita agung yang berjiwa patriotik dan penakluk serta membuat sejarah kegemilangannya masing-masing yang tidak pernah dicapai oleh wanita-wanita lainnya di Nusantara, bahkan di negeri Arab sekalipun
. Menurut silsilah keturunan sultan-sultan Melayu yang dikeluarkan Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao. Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin seorang Pangeran dari Parsia yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludong dan memiliki beberapa anak, diantaranya, Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri 1. Syahri Poli alias Syahri Pauli alias Syahri Puli merantau ke negeri Samaindera (Pidie) , Syahri Pauli menjadi Meurah di Negeri Sama indra (sekarang Pidie). Syahri Poli adalah pendiri dari Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidier di wilayah Pidie sekarang yang wilayah kekuasaannya sampai ujung barat Sumatera. Beliau merantau ke Barat (Pidie, sekarang) kemudian di negeri itu diangkat menjadi penguasa Negeri Sama Indra (Pidie). Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidie 2. Syahri Tanti alias Syahri Dauli alias Syahri Duli pergi merantau ke negeri Indra Purba (Aceh Besar), Syahir Dauli diangkat menjadi Meurah di Negeri Indra Purwa (sekarang Aceh Besar). Beliau merantau ke daerah negeri barat paling ujung (Banda Aceh, sekarang), karena kecakapannya diangkat menjadi penguasa Negeri Indra Pura (Aceh Besar, sekarang). Syahri Tanti mengembangkan kerajaan yang ratusan tahun selanjutnya menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Samudra-Pasai. 3. Syahri Nuwi (Meurah Fu), pendiri kota Perlak dengan gelar Meurah Syahri Nuwi 4. Syahri Dito alias Syahri Tanwi alias Syahri Puri di angkat menjadi Meurah Negeri Jeumpa
5. Makhdum Tansyuri, menikah dengan kepala rombongan Khalifah yang dibawa Nakhoda, Maulana Ali bin Muhammad din Ja’far Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak.Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi Keempat putera Maharaj Syahrian Salman sering dikenal dengan kaum imam empat (kawom imum peuet) atau penguasa empat.Dalam sejarah Aceh selanjutnya, tidak diragukan Putro Jeumpa Manyang Seuludong telah memberikan inspirasi kepada anak keturunannya. Merekalah yang kelak dikenal sebagai “Kaom Imeum Tuha Peut” (penguasa yang empat). Dengan demikian, kawasan-kawasan sepanjang Selat Malaka dikuasai oleh darah keturunan Maharaj Syahriar Salman dari Dinasti Sassanid Persia dan bercampur dengan darah pribumi Jeumpa (sekarang Bireuen) . Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur
Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah kerajaan yang maju menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840-an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200-an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit . Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan dari Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa . Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, keturunan kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa
Putri Tansyir Dewi, menikah dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar, anggota rombongan pendakwah yang tiba di Bandar Perlak dengan sebuah kapal di bawah Nakhoda Khalifah. Kapal itu memuat sekitar 100 pendakwah yang menyamar sebagai pedagang. Rombongan ini terdiri dari orang-orang Quraish, Palestina, Persia dan India. Rombongan pendakwah ini tiba pada tahun 173 H (800 M). Sebelum merapat di Perlak, rombongan ini terlebih dahulu singgah di India . Sayid Maulana Ali al-Muktabar berfaham Syiah, merupakan keturunan dari Sayid Muhammad Diba`i anak Imam Jakfar Asshadiq (Imam Syiah ke-6) anak dari Imam Muhammad Al Baqir (Imam Syiah ke-5), anak dari Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin, yakni satu-satunya putra Syaidina Husen, putra Saidina Ali bin Abu Thalib dari perkawinan dengan Siti Fatimah, putri dari Muhammad Rasulullah saw. Keikutsertaan Sayid Maulana Ali al-Muktabar dalam rombongan pendakwah karena Khalifah Makmun bin Harun Al Rasyid (167-219 H/813-833 M) meminta menyebarkan Islam di Hindi, Asia Tenggara dan kawasan-kawasan lainnya. Khalifah Makmun sebelumnya berhasil meredam “pemberontakan” kaum Syiah di Mekkah yang dipimpin oleh Muhammad bin Ja`far Ashhadiq. selain sayid ada juga yang orang Arab lainnya dari Bani Hasyim dan juga keturunan Rasulullah lainnya yang datang ke Perlak dalam rangka menyiarkan agama Islam dan kemudian mereka berbaur dengan masyarakat setempat terutama dengan keluarga Meurah seperit Syarifah Azizah yang menikah dengan Sultan Perlak ke-11 Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abadullah Syah Johan Berdaulat. Adik bungsu Syahir Nuwi yaitu Putri Tansyir Dewi, menikah dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar, anggota rombongan pendakwah yang tiba di Bandar Perlak dengan sebuah kapal di bawah Nakhoda Khalifah. Kapal itu memuat sekitar 100 pendakwah yang menyamar sebagai pedagang. Rombongan ini terdiri dari orang-orang Quraish, Palestina, Persia dan India.. Perkawinan Putri Tansyir Dewi dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar membuahkan seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, yang kelak setelah dewasa dinobatkan sebagai Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, sultan pertama Kerajaan Islam Perlak Selanjutnya, salah satu anak buah Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja`far Shadiq dinikahkan dengan Makhdum Tansyuri, adik dari Syahir Nuwi. Dari perkawinan mereka inilah lahir kemudian Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah, Sultan pertama Kerjaan Perlak. Sultan kemudian mengubah ibukota Kerajaan, yang semula bernama Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah, sebagai penghargaan atas Nakhoda Khalifah. Sultan dan istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, dimakamkan di Paya Meuligo, Perlak, Aceh Timur. Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah merupakan sultan yang beralirah paham Syiah. Aliran Syi’ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak Kerajaan Perlak berdiri tahun 840 M dengan rajanya yang pertama, Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah. Sebelumnya, memang sudah ada Negeri Perlak yang pemimpinnya merupakan keturunan dari Meurah Perlak Syahir Nuwi atau Maharaja Pho He La
Pendiri kesultanan Perlak adalah sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Shah yang menganut aliran atau Mahzab Syiah. Ia merupakan keturunan pendakwah arab dengan perempuan setempat. Kerajaan perlak didirikannya pada tanggal 1 Muharram 225 H atau 840 masehi, saat kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu di Jawa masih berjaya. sebagai gebrakan mula-mula, sultan Alaiddin mengubah nama ibu kota kerajaan dari bandar Perlak menjadi Banda Khalifah. Kini jelaslah kepada kita bahwa – Kerajaan (Peureulak) dimulai pada 840 M sampai dengan Sulthan Maghdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Shah Johan berdaulat adalah terakhir tahun 1292 M. Artinya, Dinasti Islamiyah di Peureulak telah Berjaya selama 452 ta hun lamanya. Disini dapat kita simpulkan bahwa ada dua tokoh penyebar Islam ke Aceh yang berasal dari tanah Persia : 1. Maharaj Syahriar Salman : seorang pangeran keturunan Dinasti Sasanid Persia 2. Sayid Maulana Ali al-Muktabar keturunan Rasulullah SAW Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan perdagangan dan kota pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa menjadi kurang menonjol. Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit misalnya. Di kisahkan bahwa Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut pendapat Raffless berada di wilayah Aceh dan bukan di Kamboja sebagaimana difahami selama ini . Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah ke wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.
Tansyir Dewi menikah dengan seorang sayid keturunan Arab yang bernama Sayid Maulana Ali al-Muktabar, selain sayid ada juga yang orang Arab lainnya dari Bani Hasyim dan juga keturunan Rasulullah lainnya yang datang ke Perlak dalam rangka menyiarkan agama Islam dan kemudian mereka berbaur dengan masyarakat setempat terutama dengan keluarga
Meurah seperit Syarifah Azizah yang menikah dengan Sultan Perlak ke-11 Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abadullah Syah Johan Berdaulat. Sayid Ali Muktabar bin Muhammad Dibai bin Imam Jakfar al-Shadiq merupakan salah satu keturunan dari Ali bin Abi Thalib, Muhammad bin Jakfar al-Shadiq adalah imam Syiah ke-6 yang juga masih keturunan Rasulullah SAW melalui anaknya Nabi bernama Siti Fatimah Sebelumnya, dinasti Umayah dan Abasiyah sangat menentang aliran Syiah yang dipimpin oleh Ali bin Ali Abu Thalib, tidak heran pada masa dua dinasti tersebut tidak mendapatkan tempat yang aman dan selalu di ditindas karena jumlah minoritas, sehingga banyak dari penganut Syiah menyingkir dari wilayah yang dikuasai oleh dua dinasti tersebut. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (167-219 H/813-833 M) akhirnya mengirim pasukannya ke Mekkah untuk meredakan ketegangan kaum Syiah itu, Khalifah Makmun memutuskan kepada Muhammad bin Jakfar al-Shadiq untuk hijrah dan menyebarkan Islam ke Hindi, Asia Tenggara dan sekitarnya.
Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi’ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu’awiyah yang masih keturunan Ja’far bin Abi Thalib. Bin Mu’awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak. Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w’l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi’ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah. Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin J a’far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi’ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Is lamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi’ah Arab, Persia, dan Hindi —termasuk Muhammad bin Ja’far Shadiq — segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahri Nuwi menjadi perintis Negeri Perlak. Syahri Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja’far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi
Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. . satu kapal yang memuat rombongan angkatan dakwah termasuk di dalamnya Sayid Ali Muktabar. Menurut kitab Idharul Haq fi Mamlakat al-Perlak yang ditulis oleh Syekh Ishak Makarani al-Pasi pada tahun 173 H (800 M) Bandar Perlak disinggahi oleh satu kapal yang membawa kurang lebih 100 orang da’i yang terdiri dari orang -orang Arab suku Qurasy, Palestina, Persia dan India dibawah Nakhoda Khalifah dengan menyamar menjadi pedagang . Rombongan Nakhoda Khalifah ini disambut oleh penduduk dan penguasa negeri Perlak yakni pada masa Meurah Syahir Nuwi. Pada masa itu pula, Meurah Syahir Nuwi menjadi raja pertama yang menganut Islam di Perlak. Sayid Ali Muktabar sendiri kemudian menikah dengan adik Syahir Nuwi yang bernama puteri Tansyir Dewi yang kemudian mereka dianugerahi seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Saat Sayid Maulana Abdul Aziz Syah dewasa, akhirnya dinobatkan menjadi Sultan Pertama Kerajaan Islam Perlak Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abbas Syah, aliran Sunni mulai masuk ke Peureulak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syi’ah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan. Kaum Syi’ah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Ali Mughat Syah dari aliran Syi’ah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syi’ah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni. Pertentangan mahzab yang keras ini sempat ke Peureulak dalam masa sultan Alaiddin Saiyid Maulana Ali Mughaiyad Syah (Bukan Ali Mughaiyad Syah Sultan di Kerajaan Aceh Darussalam) Kaum Ahlusunnah dapat menumbangkan kerajaan Islam Syi’ah Peureulak dan Mendirikan Kerajaan Islam Ahlusunnah Peureulak Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syi’ah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian: v Peureulak Pesisir (Syi’ah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Syah (986-988) dengan ibukota Bandar Peureulak v Peureulak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (986 – 1023) dengan Ibukota Bandar Khalifah Pada tahun 375 H atau (986 M), kerajaan Sriwijaya menyerang Peureulak, Peperangan tersebut menyebabkan Sultan Alaidin Saiyid Maulana Mahmud Syah syahid, peperangan dengan kerajaan Sriwijaya terus dilanjutkan, sehingga tahun 393 H (1006 M) tentara
Sriwijaya keluar dari Peureulak dengan mengalami kerugian yang besar. Maka Sultan Makhdum Alaidin Malik Ibrahim Syah (dari golongan Sunni) menjadi Sultan tunggal Kerajaan Islam Peureulak dan melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006 Disisi lain peperangan ini membawa dampak positif dengan meluasnya pengaruh ajaran Islam ke daerah pedalaman dan ke pantai Barat Utara oleh para Muhajjirin yang hijrah, dan diantara mereka membuka negeri-negeri Islam baru, Seperti Negeri Samudra Pasai, Negeri Isak dan Negeri Lingga (Aceh Tengah), Negeri Serbajadi dan Negri Peunaron (daerah Tamiang dan Lokop) Sejarah keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara kelompok Sunni dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim ini menyebabkan terjadinya perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang menang mengambil alih kekuasaan dari tangan pesaingnya . Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan sultan ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia meninggal pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam kondisi tanpa pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan oleh kelompok Sunni . Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah dan Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023) . Peureulak kemudian mengalami Penggabungan dengan Samudera Pasai
Champa yang dimaksud dalam sejarah pengembangan Islam Nusantara selama ini, yang menjadi tempat persinggahan dan perjuangan awal Maulana Malik Ibrahim, asal ”Puteri Champa” atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan Ampel), bukanlah Champa yang ada di Kambodia-Vietnam saat ini. Tapi tidak diragukan, sebagaimana dinyatakan Raffles, ”Champa” berada di Jeumpa dengan kota perdagangan Bireuen, yang menjadi bandar pelabuhan persinggahan dan laluan kota-kota metropolis zaman itu seperti Fansur, Barus dan Lamuri di ujung barat pulau Sumatra dengan wilayah Samudra Pasai ataupun Perlak di daerah sebelah timur yang tumbuh makmur dan maju.
Untuk mendukung Teori Raffles bahwa Champa yang dimaksud bukan di Vietnam sekarang, tetapi di wilayah Jeumpa Bireuen Aceh, ada beberapa dalil yang dapat dikemukakan, antara lain; (i) Mar tin Van Bruinessen telah memetik tulisan Saiyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren ..“Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara -saudaranya konon telah mengembara ke Asia Tenggara….. Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Kemboja dan Aceh, kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia meninggal.” (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula beliau menyebarkan Islam ke Indonesia bersama rombongan kaum kerabatnya. Anaknya, Saiyid Ibrahim (Maulana Sayyid Ibrahim) ditinggalkan di Aceh untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman. Kemudian, Saiyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”. Jadi tidak diragukan bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Ibrahim, Saiyid Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul Alam. Sedangkan mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Aceh dan tentu menikah dengan puteri Aceh yang dikenal sebagai ”Puteri Raja Champa”. (ii) Keadaan Champa Kambodia ketika zaman Maulana Malik Ibrahim sedang huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Jeumpa yang menjadi mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu yang menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana dari seluruh penjuru dunia. Sementara para sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas tentang masalah-masalah agama, di istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab dan lain-lain, sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi. Dan Sejarah Melayu menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab. Tarikh atau sejarah yang akan dipaparkan berikut ini adalah rangkaian panjang dari tulisan ”SEJARAH PERJUANGAN UMMAH ACEH-SUMATERA”. Sumber tulisan ini adalah Serial Penelitian dan Penerbitan The Acheh Renaissance Movement, karya Al-Ustadz Hilmy Bakar Alhasany Almascaty. Dia adalah Pendiri dan Presiden Hilal Merah sebagai rekomendasi Mudzakarah Nasional Ulama, Habaib dan Cendekiawan Muslim ke XI di Medan Sumut . Bukan hanya itu, Hilmy Bakar juga sebagai Ketua Persaudaraan Pekerja Muslim (PPMI), Direktur RD Universitas Islam Azzahra, Pendiri dan Deputy Presiden Intelektual Muda Muslim Asia Tenggara serta dosen dan Direktur Institut Pendidikan Safa Malaysia, Ketum Yayasan Islam An-Nur NTB. Pernah aktiv di Pelajar Islam Indonesia (PII), Persekutuan Pelajar Islam Asia Tenggara (PEPIAT), dan beberapa jabatan penting lainnya
. Sebagai catatan, langkah ini sebagai usaha untuk membangkitkan ”batang terendam” sejarah Aceh dari berbagai versi, tentunya dengan tidak diklaim sebagai mutlak benar, tapi setidaknya merupakan sejarah dari hasil penelitian yang ilmiah, tentu tidak tertutup kemungkinan ada versi sejarah yang lain. Seperti apakah isi buku tersebut? Berikut, bagian pertama dari tulisan panjang yang direncanakan akan dipublikasikan dalam bentuk buku, yang saat ini masih dalam bentuk draft . Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java, menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa adalah nama daer ah di sebuah wilayah di Aceh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa” . Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke VIII Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur . Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar) . Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Mahligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja J eumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya . Berdasarkan silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 Hijriah atau tahun 777 Masehi dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Shahri Poli, Shahri Tanti, Shahri Nawi, Shahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak
. Menurut penelitian pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, Shahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Shahri Banun, anak Maha Raja Parsia terakhir . Mengenai keberadaan Shahri Nawi ini, disebutkan oleh Syekh Hamzah Fansuri. Syekh ini adalah Ulama Sufi dan sastrawan terkenal Nusantara yang berpengaruh dalam pembangunan Kerajaan Aceh Darussalam, yang juga merupakan guru Syamsuddin al-Sumatrani yang dikenal sebagai Syekh Islam Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Iskandar Muda. A. Hasymi menyebutkan beliau juga adalah paman dari Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Fansuri al-Singkili). Syekh Fansuri dalam beberapa kesempatan menyatakan asal muasalnya dan hubungannya dengan Shahri Nawi. Diantaranya syair : Hamzah ini asalnya Fansuri Mendapat wujud di tanah Shahrnawi Beroleh khilafat ilmu yang ’ali Daripada ’Abd al-Qadir Jilani Hamzah di negeri Melayu, Tempatnya kapur di dalam kayu Dari rangkaian syair tadi, jelaslah bahwa ada hubungan antara bumi Shahrnawi (Shahr Nawi) dengan Fansur yang menjadi asal muasal kelahiran Syekh Hamzah Fansuri dan tempat yang terkenal kafur Barus. Sebagaimana disebutkan di atas, Shahrnawi atau Syahr Nawi adalah anak daripada Pangeran Salman (Sasaniah Salman) yang lahir di daerah Jeumpa, di Aceh Bireuen saat ini . Syahrnawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Islam Perlak, bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805 yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz. Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Islam Pasai dan mendapat kegemilangannya pada masa Kerajaan Aceh Darussalam . Maka tidak mengherankan jika Syekh Hamzah Fansuri, mengatakan kelahirannya di bumi Sharhnawi yang merupakan salah seorang generasi pertama pengasas Kerajaan-Kerajaan Islam Aceh yang dimulai dari Kerajaan Islam Jeumpa. Menurut beberapa data dan analisis yang dikemukakan, bahwa hubungan antara Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh berkaitan satu dengan lainnya . Pernyataan Syekh Hamzah Fansuri ini juga menjadi hujjah yang menguatkan teori bahwa Jeumpa, asal kelahiran Shahrnawi adalah Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Mengenai kebenaran teori ini tentunya menjadi tantangan buat peneliti selanjutnya untuk membuktikan, karena selama ini Kerajaan Perlak lah yang dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di nusantara.
Sejarah mula kedatangan Islam ke Aceh, pemimpinnya dikenal bernama Shir, seperti Shir Poli, Shir Nuwi, Shir Duli. Dalam hikayat hikayat Aceh lama, kata gelar Shir sering pula disebut Syahir. Misal, Shir Nuwi dibaca Syahir Nuwi, Shir Poli dibaca Syahir Poli dst. Kata Syahir ini lebih kurang setara dengan kata Ampon Tuwanku dalam tradisi melayu di Malaysia. Asal kata shir, datangnya dari keluarga bangsawan di kawasan Persia, dan sekitanya. Maka putri Raja Persia yang setelah negerinya ditaklukkan Umar Ibnul-Khatab, ditawan dan dibawa ke Madinah, mulanya bernama Shir Banu. Setelah dibebaskan oleh Ali bin Abi Thaleb, Shir Banu menikah dengan putra Ali bernama Husen. Sementara dua saudara Shir Banu lainnya menjadi menantu Abubakar dan menantu Umar Ibnul Khattab. Belakangan nama menantu Ali itu berubah menjadi Syahira Banu, dan dalam lafal di Hikayat Hasan Husen, nama itu dipanggil Syari Banon, yang menjadi isteri Sayyidina Husen bin Ali. Husen syahid dibunuh Yazid bin Muawiyah di Karbala pada 10 Muharam. Shir Banu atau Syari Banon menjanda sambil membesarkan anaknya Ali Zainal Abidin, yang sering dipanggil Imam as-Sajad, karena selalu suka bersujud (shalat). Dalam hikayat Hasan Husen, nama Syari Banon disebut berulang ulang karena beliau ini mendampingi suami dengan sangat setianya, hingga ke kemah terakhir di Karbala, mengantar Husen menuju kesyahidan. Banon bersama putra kesayangannya Ali Zainal Abidin yang masih sangat belia, menyaksikan sendiri tragedy yang jadi sejarah hitam umat Islam, karena darah titisan Rasul saw tumpah di bumi Kufah oleh tangan orang yang mengatasnamakan dirinya khalifah kaum muslimin. Peristiwa Karbala ini, di Aceh diperingati dengan khanduri A‘syura secara turun temurun. Adakalanya diiringi dengan membaca hikayat Hasan Husen, dan para wanita Aceh mempersiapkan penganan sebagai khanduri keu pangulee. Acapkali pula, para pendengar hikayat ini mencucurkan airmata tatkala ceritera sampai kepada pembantaian anak cucu Rasulullah saw itu. Rafli, penyanyi Aceh kontemporer mendendangkan peristiwa itu dengan lirik: //”Lheuh syahid Hasan ji prang lom Husen/ Ji neuk poh bandum cuco Sayyidina/ Dum na pasukan bandum di yue tron/ Lengkap ban ban dum alat senjata”// ( Dah syahid Hasan, Husen pun digempur/ Nak dihabisi cucu Sayyidina (Rasulullah)/ Seluruh pasukan disuruh turun/ Lengkap semua dengan senjata.) Semangat mencintai ahlul bait, keluarga Rasulullah saw itu muncul pula di Aceh dalam bentuk tari tarian. Di antaranya yang terkenal adalah Saman Aceh. Ragam gerak, lirik lagu dan ratoh dipenuhi symbol symbol Karbala . “Tumbok Tumbok Droe”(memukul mukul dada sendiri) dilakukan oleh para pemain Saman Aceh (juga dalam seudati) sebagai symbol penyesalan Karbala . Seluruh gerak tari Saman itu diilhami oleh kepedihan, penyesalan, dan ratap tangis atas syahidnya Sayyidina Husen, yang terperangkap oleh tipu daya penduduk Kufah yang mendukung Yazid bin Muawiyah. Pengaruh Iran terhadap Indonesia kebanyakan dalam bidang kebudayaan, kesusastraan, pemikiran, dan tasawuf. Pada kenyataannya, kebudayaan bangsa Iran cukup berpengaruh terhadap seluruh dunia. Masyarakat Iran, setelah menerima agama Islam, banyak menemukan keahlian dalam semua bidang ilmu keislaman, yang tidak satu pun dari bangsa lainnya yang sampai kepada derajat tersebut.
Secara khusus, kecintaan bangsa Iran kepada Ahlulbait tidak ada bandingannya. Melalui tasawuf dan kebudayaan Islam, kecintaan tersebut menyebar ke negeri-negeri Islam lainnya, dan karena itulah kebudayaan Iran pun dikenal. Mengenai Ahlubait, orang-orang Iran memiliki cara khusus untuk mengenang peristiwa pembantaian Imam Husain as pada bulan Muharram. Peristiwa ini, atau yang dikenal sebagai tragedi Karbala, adalah sebuah pentas kepahlawanan dunia, yang telah mempengaruhi kebudayaan bangsa-bangsa non-Muslim. Kisah kepahlawanan ini sudah berabad-abad selalu menjadi inspirasi dan tema penting bagi para penyair dan pemikir Iran. Ia juga merupakan episode sejarah yang penting dalam khzanah ajaran Syi’ah dan Sunah, dan bahkan kesusastraan dunia. Dalam syi’ah, kecintaan kepada Ahlulbait merupakan kecenderungan yang abadi. Tanpa kecintaan ini, agama akan kosong dari ruh cinta. Bahkan, sebagian orang berkeyakinan bahwa apabila tidak memiliki rasa cinta kepada Ahlulbait, maka seseorang telah keluar dari Islam. Budaya cinta kepada Ahlulbait, yang merupakan bagian dari pemikiran dan tradisi bangsa Iran, telah membekas diseluruh negeri Islam. Hal ini terkadang juga disebut sebagai pengaruh mazhab Syi’ah yang tampak pada kebudayaan Indonesia dan kaum Muslim dunia. Kebudayaan Iran memiliki pengaruh yang cukup penting terhadap kebudayaan Indonesia. Hal itu menunjukan bahwa sejak dahulu telah terjalin hubungan antara Iran dan Indonesia sehingga berpengaruh sangat kuat terhadap kebudayaan, tasawuf, dan kesusastraan. Meskipun mayoritas Muslim di Indonesia bermazhab Syafi’i, penelitian menunjukan bahwa kecintaan Muslim Indonesia kepada Ahlulbait karena pengaruh orang-orang Iran. Pengaruh Iran terhadap Indonesia kebanyakannya tampak dalam bentuk kebudayaan dan kesusastraan. Sejarah mencatat bahwa, di samping orang-orang Arab dan orang-orang Islam dari India, orng-orang Iran memiliki peran yang penting dalam perkembangan Islam di Indonesia dan negeri-negeri Timur Jauh lainnya. Ada dugaan bahwa sebagian besar raja di Aceh bermazhab Syi’ah. Dimungkinkan pada masa awal perkembangan Islam disini, fikih Syi’ah-lah yang berlaku. Namun, dengan berkembangnya mazhab Syafi’i, mazhab Syi’ah mulai terkikis dan sekarang ini pengaruh fikih Syi’ah di Indonesia tidak terlihat lagi. Azan di Indonesia sedikit berbeda dengan azan di Iran (yang terdengar melalui media elektronik). Shalat Jumat di Indonesia dilakukan disetiap mesjid tetapi di Iran shalat Jumat hanya dilakukan di satu tempat di setiap kota. Model bangunan makam-makam para wali di Indonesia berbeda dengan makam-makam para imam dan keturunan imam di Indonesia, bahkan bisa dikatakan sangat sederhana. Adapun pengaruh Iran yang penting setelah revolusi Islam terlihat pada kel ompok Syi’ah di Indonesia. Di kepulauan Indonesia, sebagian besar sayid Alawi berasal dari wilayah Hadramaut, Yaman, yang sangat berperan besar dalam dakwah Islam. Sayid bermakna ’pemimpin atau petunjuk’. Di dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman, Dan mereka berkata, wahai Tuhan kami, kami telah menaati para pemimpin dan orang-orang terhormat di antara kami, dan mereka telah menyesatkan kami dari jalan yang benar.[1]
Rasulullah, Muhammad saw, tentang Fatimah as bersabda, “Fatimah adalah penghulu wanita seluruh alam.”[2]Kemudian, tentang cucunya, Imam Husain as, Nabi saw bersabda, “Al Husain adalah penghulu para pemuda surga.”[3] Berdasarkan pandangan ini,, dikatakan bahwa para sayid adalah anak keturunan Rasulullah saw serta pemimpin kabilah dan kaum, misalnya al-Ishfahani mengatakan, “Makna sayid adalah penguasa atau pemimpin keluarga, sebagaimana Ustman bin Affan sebagai sayid keluarganya.”[4] Sayid pun digunakan untuk julukan bagi ahli tasawuf dan para wali[5]. Pada abad ke-8 H, kelompok Syi’ah Dua Belas Imam, para pengikut Imam Ali bin Abi Thalib, juga disebut dengan sayid[6]. Pada abad ke-8 H, terdapat seseorang bernama Naqib Ahlulbait, Abu Barakat bin Ali al-Husaini dikenal dengan julukan as-Sayid asy-Syarif.[7] Umumnya, julukan “syarif” adalah gelar bagi anak keturunan Hasan bin Ali as, yang kebanyakan hidup di Madinah. Sementara itu, gelar “sayid” digunakan bagi anak keturunan Husain bin Ali as, yang kebanyakan tinggal di Hadramaut, Yaman.[8] Komunitas para sayid Hadramaut juga dijuluki dengan habib (haba’ib), yang artinya adalah anggota Ahlulbait. Sejumlah besar sayid dari Hadramaut telah berhijrah ke kepulauan Indonesia. Dikatakan bahwa wilayah Hadramaut di Yaman memiliki pohon-pohon kurma yang kuat, pepohonan yang indah, dan padang-padang berpasir dengan Laut Merah, dan juga memiliki sejarah dan peradaban kuno. Pada abad ke-5 dan 6 M, negeri indah Yaman adalah sumber sengketa antara kekasaisaran Romawi dan Persia. Pada awal abad ke-7 M, negeri ini menjadi bagian dari pemerintahan Islam yang berpusat di Madinah.[9] Pada masa kejatuhan Irak ke tangan Islam, Muslim Hadramaut memiliki peran besar dalam peperangan antara pasukan Islam dan pasukan kerajaan Sasani. Setelah itu, sejumlah besar masyarakat Hadramaut hijrah ke Irak, secara khusus pada zaman kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab. Kemudian, pada zaman ‘Ali bin Abi Thaib as, pasukan Hadramaut yang berada di Irak menjadi pendukung Khalifah Ali as dalam peperangan Jamal dan Shiffin dan s ejumlah besar dari mereka menerima mazhab Syi’ah.[10] Gerakan politik mazhab Syi’ah bertambah besar pada zaman kekuasaan Bani Umayah. Seorang Khalifah Bani Umayah, Hisyam, pada 122 H/740 M, berhasil memenangkan peperangan dan membunuh pemimpin terakhir kaum Syi’ah, Zaid bin Ali, cucu Imam Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib as. Pada zaman ini pula, 129 H/747 M, di Hadramaut muncul gerakan kelompok Ibadiah dari kalangan Khawarij yang dipimpin oleh Abdullah bin Yahya, yang berjulukanThalibulhaq. Ia terbunuh pada zaman kekuasaan Khalifah Umayah, Marwan bin Muhammad. Pada zaman ini, pengaruh khawarij di Hadramaut menjadi kuat dan Ahmad bin Isa adalah pemimpin terpenting bagi kaum Sayid Hadramaut. Pada zaman Khalifah al-Mu’tamad (156-276 H/870-892 M), kakek dari Ahmad bin Isa, yaitu Muhammad an-Naqib bin Ali bin Jafar ash-Shadiq bersama putranya bernama Isa, hijrah dari Madinah ke Basrah, Irak. Disanalah, Isa menikah den lahirlah putranya yang bernama Ahmad.
Ahmad dan putranya Abdullah, pada 317 H/929 M hijrah dari Irak ke Hadramaut, Yaman. Ia hijrah karena, di Basrah, kelompok-kelompok Qaramitah dan Zanj (dari Sudan) melakukan kerusakan-kerusakan dan pemerintahan Abasiyah, di masa Khalifah al-Muqtadir (295-320 H/908-932 M), selalu melakukan kezaliman dan penganiayaan terhadap anak keturunan Ali as.[11] Berkenaan dengan hijrah tersebut, Ahmad bin Isa disebut dengan Muhajir ilallah (yang berhijrah kepda Allah). Ahmad bin Isa dan para pengikutnya secara bertahap berhasil menghentikan pengaruh Khawarij di Hadramaut. Mazhab suni Syafi’i pun berkembang di sana.[12] Dua abad kemudian, pada 521 H/1127 M, sejumlah orang dari Alawi al-Qasim, hijrah ke daerah Tharum, di Selatan Hadramaut. Tharum pernah terkenal sebagai pusat agama dan ilmu, dan di sana para sayid Alawi Hadramaut sangat dimuliakan. Di sana para sayid mendirikan suatu pergerakan yang diberi nama Ba’alawi, sebagai sarana mengenal para sayid Alawi.[13] Para sayid menyakini bahwa diri mereka berasal dari keluarga Rasulullah saw, dari anak keturunan imam Husain as. Sejumlah besar sayid Hadramaut (para sayid Alawi) telah berhijrah ke Jawa, Indonesia, dan ke Asia Tenggara.[14] Imam husain as pada tahun 61H/681M, dalam usia 56 tahun, syahid di Karbala. Putranya, Imam Ali Zainal Abidin as, berasal dari istri imam Husain yang merupakan putri Yazgard, raja Iran yang terkenal. [15] Sumber-sumber sejarah mencatat bahwa para Sayid Alawi hadramaut berasal dari keturunan Ali al-Qasim bil Bashrah, yakni cucu ketiga dari imam Husain as. Dapat dikatakan bahwa para sayid Hadramaut, dari anak keturunan Ahmad bin Isa, sangat terkenal serta memiliki hubungan yang kuat dengan para sayid di Maroko, Hijaz, dan India, dan selalu mendapatkan bantuan keuangan dari mereka. Secara umum para sayid menguasai bidang ilmu agama dan tasawuf.[16] Ibnu Khaldun menulis bahwa pada zaman Abasiyah, setelah terjadinya berbagai perubahan, ajaran kelompok Rafidhiah (julukan tendensius para penentang Syi’ah. Rafidhiah berasal dari kata rafadha yang berarti “menolak”, yakni menolak tiga khalifah pertama - peny.) sangat berpengaruh besar terhadap tasawuf dan bermunculanlah para tokoh sufi terkenal, misalnya Qushairi dan Imam Abu Hamid Muhammad Ghazali. Setelah abad ke-4 H atau abad ke-11 M, tasawuf tampil secara sempurna sebagai sebuah cabang ilmu. Di dunia Islam, lahir berbagai kelompok tarekat, yang semuanya bersumber pada ajaran al-Quran. Setiap tarekat memiliki cara khusus dalam berzikir kepada alllah Swt.[17] Tarekat Alawi (tarekat yang didirikan oleh sebagian besar sayid di yaman Selatan) terbagi menjadi dua cabang, batiniah dan zahiriah. Zahiriah mengikuti Imam Abu Hamid Muhammad Ghazali sedangkan batiniah adalah pengikut tarekat Syadziliyah.[18] Kebanyakan sufi terekat Alawi memiliki karamah dan menyandang sejumlah julukan, misalnya syekh, naqib danquthb, serta mereka mewariskan sejumlah kitab tentang zikir. Dalam kitab-kitab zikir disebutkan sejumlah tokoh terkenal dari kalangan para sayid, seperti Muhammad bin Ali Ba’lawi, Syekh Alin bin Abdullah Baras, Abdurrahman Assegaf dan al Qutub Umar bin Abdurrahman al-Attas. Dikatakan bahwa para waliyullah memiliki kemampuan untuk memecahkan batu-batu besar dan menyembuhkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Masyarakat setempat sangat
menghormati mereka dan mendapatkan kesembuhan dengan keberkahan doa mereka.[19] Para sayid Alawi sangat menguasai pelayaran dan perdagangan. Mereka sangat aktif mulai dari Semenanjung Arab hingga ke Teluk Persia, tepatnya di sejumlah pelabuhan misalnya Siraf, Kish dan Ubullah (Bushers). Sejak Irak jatuh ketangan orang-orang Mongolia, pada 1258 M, pusat perdagangan Arab berpindah ke Eden, di Yaman. Serombongan pedagang, tokoh-tokoh agama, dan ulama dari berbagai penjuru Semenanjung Arab pernah pergi ke sejumlah negeri di Timur Jauh, seperti Cina dan Semenanjung Melayu, yang sebagian dari mereka adalah ahli tasawuf dan agama.[20] Islam yang diterima di Indonesia merupakan hasil usaha mubalig dari Iran . Pengaruh tasawuf di sana pun sangat mencolok. Buku Hikayat Raja-raja Pasai dan buku Sejarah Melayu juga mencatat fenomena tersebut. Setelah berhasil memperkenalkan tasawuf dan tarekat di Malaka, Maulana Abu Bakar pergi ke berbagai wilayah di Indonesia. Di Brunei dan Ceh (Filipina), Ia pun sempat memperkenalkan ajaran Islam. Kebanyakan para mubalig yang datang ke Tanah Melayu menyandang sejumlah julukan, misalnya Syekh, sayid dan syarif. [25] Sejumlah besar sayid datang dan pergi ke Asia Tenggara, yaitu Jawa, Sumatra dan Semenanjung Melayu hingga masa penjajahan Belanda.[26] Pada abad ke-16 M, seorang Mubalig Arab bernama Syarif Muhammad bersama beberapa pengikutnya, tiba di Mindanao, di selatan Filipina dari Malaysia untuk menyebarkan Islam. Disebutkan bahwa ia adalah putra dari seorang Arab bernama Syarif Ali Zainal Abidin, dari kalangan para sayid Alawi Hadramaut. [27] Para sayid Alawi, dalam jumlah besar, datang ke kepulauan Nusantara melalaui jalur India, misalnya Sayid Usman bin Shahab yang memerintah kerajaan Siak dan Sayid Husain alQadri yang menjadi sultan di kerajaan Pontianak, di Kalimantan.[28] Hijrahnya para sayid dari Hadramaut ke Asia Tenggara antara abad ke-17 hingga 20 H, berlangsung dalam beberapa tahapan. Mereka datang ke kepulauan nusantara dari India dan Indo-Cina. Para sayid Alawi berada di India sejak abad ke-7 H atau abad ke-13 H. Kemudian, sejak abad ke-10 H M, mereka sering datang-pergi ke daerah Pahang, di Malaysia. Di kampung Pematang Pasir, di jazirah Tambun Pekan, di kota Pahang, Malaysia, terdapat sebuah makam orang Arab yang meninggal pada tanggal 14 Rabiul Awwal 419 H atau tahun 999 M. Menurut sejumlah penulis seperti Nuwairi dan al-Maqrizi, sejak zaman kekuasan Bani Ummayah, beberpa keluarga kelompok Alawi atau Syi’ah telah berada di Jazirah Sila (Korea) dan Cina. Sangat mungkin, kepergian mereka ke sana karena lari dari kezaliman dan kejahatan Bani Umayah. Demikian pula, terdapat kampung Leran, di Jawa Timur, yang nama kampung tersebut diambil dari kaum Lor, yakni orang-orang Iran yang pernah hijrah ke Jawa. Di kampung itu, terdapat makam seorang wanita Muslimah bernama Fatimah binti Maimun. Ia wafat pada 475 H/1082-1083 M.
Semua keterangan di atas menjelaskan bahwa hubungan negeri Arab dan Teluk Persia dengan Cina dan kepulauan Nusantara sudah ada sejak dahulu kala. Para sayid Alawi Hadramaut yang pernah berhijrah ke Asia Tenggara umumnya berasal dari beberapa marga, misalnya; alHabsyi, al-Yahya (bin Aqil), Khirid, Hiduwan, as-Segaf, al-Attas, al-Jufri, al-Idrus, alHaddad, asy-Syihab, dan yang lainnya.[29] Menurut seorang peneliti dan ahli sejarah, Aboebakar Atjeh, di antara para mubalig yang pernah memperkenalkan ajaran Islam di Indonesia adalah keturuanan Ahlulbait. Aceh adalah wilayah pertama yang didatangi para mubalig dari Arab, Iran, dan India. Sementara itu, mazhab yang pertama kali berkembang di Aceh adalah Syi’ah dan Syafi’i. Ia juga adalah wilayah yang menjadi tempat pemberhentian dan wilayah transit para pedagang sebelum pergi ke sejumlah pelabuhan, seperti Malaka, kepulauan Nusantara, dan Cina. Orang Indonesia yang akan menunaikan ibadah haji kerap melintasi Aceh, dengan menggunakan kapal-kapal Aceh atau internasional. Aceh adalah wilayah yang dikenal sebagaiSerambi Mekkah. Aboebakar Atjeh juga menulis bahwa dua orang ahli sejarah Iran, Sayid Mustafa Thabathaba’i dan Sayid Dhiya’ Shahab, dalam buku Hawla al -Alaqah ats Tsaqafiyah bayna Iran wa Indunizi (Tentang Hubungan Kebudayaan antara Iran dan Indonesia) menunjukan bahwa makam Maulana Malik Ibrahim Kasyani (wafat 822 H/1419 M) berada di Gresik, Jawa Timur, dan makamnya Sayid Syarif Qahhar bin Amir Ali Astarabadi (wafat 833 H) dan Hisamuddin Naini berada di Aceh.[30] Sayid Mustafa juga melihat makam lainnya, yang pada papan makamnya tertulis beberapa baris ayat al-Qur’an dan syair tentang keagungan Imam Ali as, yang terjemahannya kira -kira sebagai berikut; Pemuka Para Pemberani, Singa Tuhan, Kekuatan Tuhan Tidak ada pemuda kecuali Ali, Tidak ada pedang kecuali Zulfikar.[31] Masuknya ajaran Islam ke Sumatra umunya melalui usaha para sayid Alawi. Dalam kitabkitab Arab kuno, kepulauan Nusantara tertulis denga nama Syarq al-Hind (Hindia Timur), Srilanka dengan nama Sarandip, kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama Sribaza, Kedah di Malaysia dengan nama Kalah, Jawa dengan nama Zabij, dan Kalimantan dengan nama Ranj. Para mubalig yang pertama kali datang ke Brunai adalah para sayid dan syarif, dan masih memiliki hubungan keluarga dengan keluarga sultan-sultan di Brunai dan Fhilipina. Sejarah Serawak, Malaysia, menunjukan bahwa raja Brunei, Sultan Barakat adalah anak keturunan Imam Husain bin Ali as. Demikian pula, para sultan di Mindanao, dan Sulu, di Fhilipina, adalah anak keturunan para sayid. Di Pontianak, Kalimanan, Indonesia, para sultan
berasal dari kabilah Qadri. Dikatakan bahwa para sultan Brunei dan sultan Mindanao samasama berasal dari anak keturunan Imam Ali Zainal Abidin bin Husain as. Para leluhur mereka berasal dari Hadramaut yang kemudian hijrah ke Johor, Malaysia. Para sultan Aceh pun berasal dari kalangan para sayid. Di Daerah Talang Sura, Palembang, Sumatra, terdapat makam Sayid Jamaluddin Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad, dari keturunan Imam Husain as. Begitu pula dengan Walisongo atau ’Sembilan Wali Jawa’ dan sultan-sultan di Jawa, semuanya berasal dari kalangan para sayid.[32] Imam Syi’ah Dua Belas Imam
Ali bin Abi Thalib : Dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang Khawarijdi Kufah, Irak. Imam Ali ra. ditusuk dengan pisau beracun.. Dimakamkan di Masjid Imam Ali, Najaf, Irak Hasan al-Mujtaba : Diracuni oleh istrinya di Madinah, Arab Saudi atas perintah dari Muawiyah I.Dimakamkan di Pemakaman Baqi. Husain asy-Syahid : Dibunuh dan dipenggal kepalanya di Karbala..Dimakamkan di Makam Imam Husain di Karbala, Irak Ali Zainal Abidin : Menurut kebanyakan ilmuwan Syi’ah, Ali bin Husain diyakini wafat karena diracuni oleh orang suruhan Khalifah al-Walid di Madinah, Arab Saudi.. Dimakamkan di Pemakaman Baqi Muhammad al-Baqir : Menurut sejumlah ilmuwan Syi’ah, diyakini bahwa Muhammad al Baqir diracuni oleh Ibrahim bin Walid diMadinah, Arab Saudi, atas perintah Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Dimakamkan di Pemakaman Baqi. Ja’far ash-Shadiq : Menurut sumber-sumber Syi’ah, beliau diracuni atas perintah Khalifah alMansur di Madinah, Arab Saudi.Dimakamkan di Pemakaman Baqi Musa al-Kadzim : Dipenjara dan diracuni oleh Harun ar-Rashiddi Baghdad, Irak. Dimakamkan di Baghdad, Irak Ali ar-Ridha : Menurut sumber Syi’ah, beliau diracuni oleh Khalifah al-Ma’mun di Mashhad, Iran. Dimakamkan di Makam Imam Reza,Mashhad, Iran Muhammad al-Jawad : Diracuni oleh istrinya, anak dari al-Ma’mun di Baghdad, Irak atas perintah Khalifah al-Mu’tashim. Dimakamkan di Makam Kazmain di Baghdad Ali al-Hadi : Menurut sumber Syi’ah, beliau diracuni di Samarra atas perintah Khalifah al Mu’tazz.[36] Dimakamkan di Masjid Al-Askari di Samarra, Ir Hasan al-Askari : Menurut sumber Syi’ah, beliau diracuni di Samarra, Irakatas perintah Khalifah al-Mu’tamid. Ia dimakamkan di Masjid Al-Askari, Samarra Muhammad al-Mahdi : Menurut keyakinan Syi’ah, beliau sekarang berada di dalam persembunyian dan akan muncul selama Allah mengizinkannya wassalam Catatan Kaki 1. Q.S. al-Ahzab :67 2. Ibnu Saad, Tabaqat, Leiden, 1940, Vol. VII, p.17. 3. C.V.Avendonk. Art, Sharif, Encyclopedia of Islam, M. TH. Houtsma, A.J Wensink. (eds), Vol. IV S-Z, J. Britll Ltd, Leiden, 1934, p.326.
4. Isfahani, Kitab al-Aghani, Math’ah Bulak, Cairo, 1285 A.H Vol. XVII, p.105-6. 5. Sharji, Thabaqat al-Khawawas, Cairo, 1321 AH, p. 2,3, 195. 6. Dhahabi, Tharikh al-islam, Manuscript, Leiden, 1721, Vol. 65A. 7. Nurwairi, Nihayat al-Arab, Wizarah al-Thaqafah wa al-Isryad al-Gawmi (ed). Dar al Kutub, Cairo, 1955, Vol. II, p.277. Hanya pada zaman kerajaan Fatimiah Mesir, keturunan Imam Hasan dan Imam Husain di juluki “syarif”, silahkan merujuk Mawardi,al-Ahkam asSulthaniyah, Enger, (ed), Bonn, 1853 AD, p. 277. 8. Ibnu al-Faqih, Mukhtasar Kitab al Buldan, MJ, de Goeje (ed) Leiden, Bril l, 1885, p.33. 9. Mahayudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed di Pahang, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1984, p.3. 10. Mahayudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed, ibid. p.4. 11. Shalli, Kitab al-Mashra ar-Rawwi fi Manaqib as-Sadah al-Kiram al-Abi Alawi, alMatba’ah al-Amiriah al-Sharafiyyah, Cairo, 1319 H/1901 M, Vol. I, p. 121. 12. Shalli, Kitab al-Mashra, loc. Cit. 13. Shalli, Kitab al-Mashra, ibid, p.129. 14. R.B.Serjeant, “Historians and Historiography of Hadramaut”, Buletin of SOAS, XXV, No.2, Londom 1962, p.245. 15. Ya’kubi, Tarikh, Mathba’ah al-Ghurri, Najaf, 1358 H, Vol. II, p.219. 16. R.B. Serjenant, The Sayids of Hadramaut, School of Oriental and African Studies, University of London, Luzan and Co, London, 1957, p.3. Lihat Sayid Alwi bin Thahir alHaddad, Uqud al-Almas (Arabic). Mathba’ah al-Madani, Cairo, 1968, Second Edition, Vol.2.pp. 45-46. Lihat juga al-Idrus bin Umar al-Habsyi, Iqd al-Yawaqit al-Jawahiriah, Cairo, 1317 H, Vol. I, p. 127. 17. Ibnu kHldun, Muqaddimah, Wazarat al-Thaqafah wa al-Irsyad al-Qawmi, Cairo, 1960, pp. 261-262. Lihat H.A. R.Gibb and Kramers (eds), Shorter Encycopeadia of Islam, E.J.Brill, Leiden, 1953, p.573. Lihat juga H.A. R Gibb, Mohammedanism, Oxford University Press, London, 1969, p.104. 18. Sayid Alawi b. Tahir al-Haddad, Uqud al- Almas, op.cit, pp.82-87. 19. Sayid Muhammad b. Salim al-Attas, Aziz al-Manal wa Fath al- Wisal, Malaysia Press, Berhad, Singapura, 1974. Lihat juga Mahyudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed, op.cit, p.16. 20. S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, Sociological Reseach Institute, Ltd, Singapore, 1960, p.94. 21. A.H. Hill (ed), Hikayat Raja-raja Pasai, JMBRAS, No 33, Part 2, 1960, p.32-33.
22. Buzani, “Pengaruh Kebudayaan dan Bahasa Persia Terhdap Kesusastraan Indonesia”, Majalah Fakultas Sastra, Universitas Tehran no I, Tahun ke-14, 1345 Sh, p.6. 23. A.H. Hill, (ed), Hikayat Raja-raja Pasai, JMBRAS, No.3, Part 2 1960, pp.32-33, 117-120. 24. S.R. Winstedt (ed), The Sejarah Melayu (Malay Annals), JMPRAS, XXVI, Pt I, 1938, pp. 170-172. 25. A. Hasjmi (ed), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, P.T. Al-Maarif, Jakarta, 1981, p.375. Lihat juga Mhayudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed di Pahang, op, cit, p.23. 26. R.B. Serjeant, The Sayids of Haramaut, op, cit, pp.24-25. 27. Alawi b. Thahir al-Haddad, Uqud al-Almas, op, cit, p.131. 28. Mahayudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed, op, cit., p.25. 29. Shahabudin Ahmad bin Abdul Wahab an-Numairi, Nihayat al-Arab fi Funun al-Adab, Wizarat ath-Thaqafah wa al-Irsyad al-Qawmi, Cairo, 1932, Vol. I, p. 230. Lihat juga Ahmad b. Ali al- Maqrizi, Khitat, Mathbaah Bulak, Cairo, 1279 H, Vol I. lihat juga Haji Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Panitia Seminar, Medan, 1963, pp. 109-110, 123. Lihat juga Mahayudi Haji Yahya, Sejarah Orang Syed, ibid, pp. 33,37. 30. Aboebakar Atjeh, Aliran Syiah di Nusantara, Islamic Reseach Institute, Jakarta, 1977, p.31-32. Lihat juga Sayid Musthafa A-Thabataba’i and Dhiya Shahab, Hawla al-Alaqah atsTsaqafiyah bayna Iran wa Indonesia, Embassy of Iran, Jakarta, 1960. 31. Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Ramadhani, Solo, Jawa Tengah, 1985, p.29. 32. Aboebakar Atjeh, Masuknya Islam, ibid, p.35-37. Lihat juga S. Baring Gould, A History of Sarawak Under Two White Rajahs, Singapore. Lihat juga Al-Habib Alwi bin Thahir alHaddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Penerbit Lentera, Jakarta, 1995, pp.69-11