PROSEDUR PENANGANAN HIV AIDS No. Kode
Ditetapkan Oleh Kepala Puskesmas Rangas
Terbitan : SOP PEMERINTAH KABUPATEN MAMUJU
No. Revisi : Tanggal Berlaku : Halaman :
Muchlis, S.Kep, NS
PUSKESMAS RANGAS
NIP : 197011141994031007
1. Pengertian
HIV adalah Human adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh. AIDS atau Acquired atau Acquired Immunodefficiency Syndrome adalah kumpulan gejala akibat penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
2. Tujuan
Sebagai acuan dalam penatalaksanaan HIV AID di puskesmas rangas
3. Kebijakan
4. Referensi
5. Sarana dan Prasarana
1. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. 2. Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran 3. Keputusan mentri kesehatan no. 128 tahun 2004 tentang kebijakan dasar pusat kesehatan puskesmas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 5 Tahun 2014 tentang panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer 1 Obat: ARV, obat-obat infeksi oportunistik, obat koinfeksi 2
Laboratorium: darah rutin, , urin rutin , CD4, VL, fungsi hati dan fungsi ginjal.
3
Radiologi
Anamnesis(Subjective) Pasien datang dapat dengan keluhan yang berbeda-beda antara lain demam atau diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan. Keluhan disertai kehilangan berat badan (BB) >10% dari BB dasar. 6. Prosedur / langkah langkah Keluhan lain bergantung dari penyakit yang menyertainya, seperti: a. Kulit: kulit kering yang luas, terdapat kutil di genital. b. Infeksi: 1. Jamur, seperti kandidiasis oral, dermatitis seboroik atau
kandidiasis vagina berulang 2. Virus, seperti herpes zoster berulang atau lebih dari satu dermatom, herpes genital berulang, moluskum kontagiosum, kondiloma. 3. Gangguan napas, seperti tuberculosis, batuk >1 bulan, sesak napas, pneumonia berulang, sinusitis kronis 4. Gejala neurologis, seperti nyeri kepala yang semakin parah dan tidak jelas penyebabnya, kejang demam, menurunnya fungsi kognitif. Faktor Risiko a. Hubungan seksual yang berisiko/tidak aman b. Pengguna napza suntik c. Transfusi d. Pembuatan tato dan atau alat medis/alat tajam yang tercemar HIV e. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS f.
Pasangan serodiskordan salah satu pasangan positif HIV –
Keadaan tersebut diatas merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV (WHO Searo 2007) Penularan HIV melalui: a. Transmisi seksual b. Produk Darah c. Dari Ibu ke Janin Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik meliputi tanda-tanda vital, BB, tanda-tanda yang mengarah kepada infeksi oportunistik
Pemeriksaan Penunjang Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV a. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling & Testing ) b. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TIPK
–
PITC = Provider-Initiated Testing and Counseling )
Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil tes HIV. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke Pelayanan Dukungan Pengobatan untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi.
Penatalaksanaan Layanan terkait HIV meliputi: a. Upaya dalam menemukan pasien HIV secara dini dengan melakukan tes dan konseling HIV pada pasien yang datang ke layanan primer. b. Perawatan kronis bagi ODHA dan dukungan lain dengan sistem rujukan ke berbagai fasilitas layanan lain yang dibutuhkan ODHA. Layanan perlu dilakukan secara terintegrasi, paripurna, dan berkesinambungan. Infeksi HIV merupakan infeksi kronis dengan berbagai macam infeksi oportunistik yang memiliki dampak sosial terkait stigma dan diskriminasi serta melibatkan berbagai unsur dengan pendekatan tim. Perlu dilakukan upaya pencegahan. Strategi pencegahan HIV menurut rute penularan, yaitu: a. Untuk transmisi seksual: 1. Program perubahan perilaku berisiko, termasuk promosi kondom. 2. Pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah. 3. Konseling dan tes HIV.
4. Skrening IMS dan penanganannya. 5. Terapi antiretrovirus pada pasien HIV. b.
Untuk transmisi darah: 1. Pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik. 2. Keamanan penanganan darah. 3. Kontrol infeksi di RS. 4. Post exposure profilaksis.
c. Untuk transmisi ibu ke anak: 1. Menganjurkan tes HIV dan IMS pada setiap ibu hamil. 2. Terapi ARV pada semua ibu hamil yang terinfeksi HIV. 3. Persalinan seksiosesaria dianjurkan. 4. Dianjurkan tidak memberikan ASI ke bayi, namun diganti dengan susu formula. 5. Layanan kesehatan reproduksi. Setiap daerah diharapkan menyediakan semua komponen layanan HIV yang terdiri dari: a. Informed consent untuk tes HIV seperti tindakan medis lainnya. b. Mencatat semua kegiatan layanan dalam formulir yang sudah ditentukan. c. Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap oleh dokter. d. Skrining TB dan infeksi oportunistik. e. Konseling bagi ODHA perempuan usia subur tentang KB dan kesehatan reproduksi termasuk rencana untuk mempunyai anak. f.
Pemberian obat kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan infeksi oportunistik.
g. Pemberian ARV untuk ODHA yang telah memenuhi syarat. h. Pemberian ARV profilaksis pada bayi segera setelah dilahirkan oleh ibu hamil dengan HIV. i.
Pemberian imunisasi dan pengobatan pencegahan kotrimoksasol pada bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif.
j.
Anjuran rutin tes HIV, malaria, sifilis dan IMS lainnya pada perawatan antenatal (ANC).
k. Konseling untuk memulai terapi. l.
Konseling tentang gizi, pencegahan penularan, narkotika dan
konseling lainnya sesuai keperluan. m. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksual (IMS), dan kelompok risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. n. Pendampingan oleh lembaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien.
Tatalaksana Pemberian ARV Saat Memulai Terapi ARV Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIVnya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa. a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4 Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis. b. Tersedia pemeriksaan CD4 Rekomendasi sesuai dengan hasil pemeriksaan yaitu: 1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. 2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4
Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah: 2 NRTI + 1 NNRTI
Tabel Panduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum mendapat terapi ARV (treatment naive
Tabel Dosis antiretroviral untuk ODHA dewasa
Penggunaan d4T (Stavudine) dikurangi sebagai paduan lini pertama karena pertimbangan toksisitasnya. Terapi lini kedua harus memakai Protease Inhibitor (PI) yang diperkuat oleh Ritonavir (ritonavir-boosted) ditambah dengan 2 NRTI, dengan pemilihan Zidovudine (AZT) atau Tenofovir (TDF) tergantung dari apa yang digunakan pada lini pertama dan ditambah Lamivudine (3TC) atau Emtricitabine (FTC). PI
yang
ada
di
Indonesia
Lopinavir/Ritonavir (LPV/r).
dan
dianjurkan
digunakan
adalah
Tatalaksana infeksi oportunistik sesuai dengan gejala yang muncul. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK) Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder. a.
Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.
b.
Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya.
Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah (secara primer maupun sekunder)
terjadinya
PCP
dan
Toxoplasmosis
disebut
sebagai
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK). PPK dianjurkan bagi: a. ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan
hamil
dan
menyusui.
Walaupun
secara
teori
kotrimoksasol dapat menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala klinis supresi imun (stadium klinis
2,
3
atau
4),
maka
perempuan
yang
memerlukan
kotrimoksasol dan kemudian hamil harus melanjutkan profilaksis kotrimoksasol. b. ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia pemeriksaan dan hasil CD4) Kotrimoksasol untuk pencegahan sekunder diberikan setelah terapi PCP atau Toxoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun. Pemeriksaan Penunjang Lanjutan (bila diperlukan) Pemeriksaan darah lainnya.
Rencana Tindak Lanjut a.
Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV Perlu dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan
sekali. Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termasuk pemantauan berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan infeksi HIV sehingga terkontrol perkembangan
stadium
klinis
pada
setiap
kunjungan
dan
menentukan saat pasien mulai memenuhi syarat untuk terapi profilaksis kotrimoksazol dan atau terapi ARV. Berbagai faktor mempengaruhi
perkembangan
klinis
dan
imunologis
sejak
terdiagnosis terinfeksi HIV. Penurunan jumlah CD4 setiap tahunnya adalah sekitar 50 sampai 100 sel/mm3. Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat ketika mulai mendekati ambang dan syarat untuk memulai terapi ARV. b.
Pemantauan Pasien dalam Terapi Antiretroviral 1. Pemantauan klinis Frekuensi pemantauan klinis tergantung dari
respon
terapi
ARV.
Sebagai
batasan
minimal,
Pemantauan klinis perlu dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil. Pada setiap kunjungan perlu dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi (infeksi bakterial, kandidiasis dan atau infeksi oportunirtik lainnya) ditambah konseling untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan kepatuhan. 2. Pemantauan laboratoris •
Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis.
•
Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia
•
Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda dan gejala dan bukan berdasarkan
sesuatu yang rutin. Akan tetapi bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara 250 350 sel/mm3 –
maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV (bila memungkinkan),
dilanjutkan
dengan
pemantauan
berdasarkan gejala klinis. •
Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF.
•
Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada beberapa pasien yang mendapatkan NRTI, terutama d4T atau ddI. Tidak direkomendasi untuk pemeriksaan kadar asam laktat secara rutin, kecuali bila pasien menunjukkan tanda dan gejala yang mengarah pada asidosis laktat.
•
Penggunaan Protease Inhibitor (PI) dapat mempengaruhi metabolisme
glukosa
dan
lipid.
Beberapa
ahli
menganjurkan pemeriksaan gula darah dan profil lipid secara reguler tetapi lebih diutamakan untuk dilakukan atas dasar tanda dan gejala. •
Pengukuran Viral Load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan untuk memantau pasien dalam terapi ARV dalam keadaan terbatas fasilitas dan kemampuan pasien. Pemeriksaan VL digunakan untuk membantu diagnosis gagal terapi. Hasil VL dapat memprediksi gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan hanya menggunakan pemantauan klinis dan pemeriksaan jumlah CD4. Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka terapi ARV diharapkan menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi (undetectable) setelah bulan ke 6.
3. Pemantauan pemulihan jumlah sel CD4 Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4. Hal ini akan berlanjut bertahun-tahun dengan terapi yang efektif. Keadaan tersebut, kadang tidak terjadi, terutama pada pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah pada saat mulai terapi. Meskipun
demikian, pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah tetap dapat mencapai pemulihan imun yang baik tetapi memerlukan waktu yang lebih lama.Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD4 yang lebih dari 100 sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD4 yang tinggi tetapi kemudian turun secara progresif tanpa ada penyakit/kondisi medis lain, maka perlu dicurigai adanya keadaan gagal terapi secara imunologis.
Konseling dan Edukasi Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit HIV/AIDS. Pasien disarankan untuk bergabung dengan kelompok penanggulangan HIV/AIDS untuk menguatkan dirinya dalam menghadapi pengobatan penyakitnya.
Kriteria Rujukan a. Rujukan horizontal bila fasilitas untuk pemeriksaan HIV tidak dapat dilakukan di layanan primer. b. Rujukan
vertikal
bila
terdapat
pasien
HIV/AIDS
komplikasi.
anamnesis
pemeriksaan fisik
pemeriksaan penunjang
penatalaksanaan
penegakan diagnosis
7. Diagram Alur
8. Unit terkait
1. 2. 3. 4.
Poli Umum Poli Gigi UGD Pustu/Poskesdes.
dengan