diperlukan pemahamam lebih mendalam tentang peran dan juga karakteristik dari lignoselulosa dan amilum.
2.3.1 Lignoselulosa
Lignoselulosa merupakan komponen yang paling banyak ditemukan pada tanaman hijau. Biomassa Lignoselulosa merupakan biomassa terbarukan yang paling banyak di dunia dengan produksi sebesar 1 X 10 10 di seluruh dunia [12]. Lignoselulosa adalah komponen berserat yang menyusur dinding sel tumbuhan. Lignoselulosa terdiri atas tiga komponen utama, yaitu hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Hemiselulosa dan selulosa merupakan gula polimer sehingga kedua komponen ini sangan potensial untuk dijadikan gula fermentasi. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai ketiga komponen utama dari lignoselulosa. 1) Hemiselulosa Hemiselulosa merupakan komponen penyusun dinding sel tanaman. Hemiselulosa mempunyai struktur yang acak, dan amorf dengan ikatan yang lemah. Hemiselulosa adalah kelompok karbohidrat dengan struktur rantai yang bercabang dan derajat polimerisasi yang rendah (DP<100-200) [11]. Molekul yang paling dominan pada hemiselulosa adalah xylan. Gambar 2.9 Menggambarkan struktur xylan
Gambar 2.9 Struktur hemiselulosa [12]
23
2) Selulosa Selulosa merupakan komponen lainnya yang menyusun dinding sel tanaman. Tidak seperti hemiselulosa, selulosa mempunyai struktur kristalin yang kokoh. Struktur ini terbentuk dari banyak molekul glukosa. Selulosa adalah rantai polimer panjang [6]. Selulosa merupakan
komponen
yang
dominan
dari
biomassa
kayu.
Kandungan selulosa pada biomassa kayu berkisar antara 40 – 44 % berat kering dari kayu. Gambar 2.10 menunjukkan struktur dari selulosa
Gambar 2.10 Struktur molekul tunggal dari selulosa [12] 3) Lignin Lignin merupakan komponen yang palig kompleks pada komponen penyusun lignoselulosa. Mengisi tempat diantara hemiselulosa dan selulosa pada struktur lignoselulosa. Pada kayu lignin berfungsi meningkatkan ketahanan dan perkembangan sel. Kandungan lignin mempengaruhi transportasi air, nutrisi dan mempunyai ketahanan terhadap impak [11]. Pada penelitian sebelumnya, lignin telah terbukti dapat berfungsi sebagai pengikat pada biomassa. Gambar 2.11 menunjukkan struktur lignin.
24
Gambar 2.11 Contoh struktur molekul lignin [12]
2.3.2 Amilum
Amilum merupakan komponen yang paling banyak ditemukan pada nasi. Amilum merupakan polimer senyawa glukosa yang terdiri dari dua komponen tama, yaitu amilosa dan amilopektin [13]. Amilosa merupakan polimer berlantai lurus yang memberikan sifat keras pada nasi. Amilopektin merupakan polimer bercabang yang memberikan sifat lengket nasi. Gambar 2.12 menggambarkan sturktur amilosa dan amilopektin
25
Gambar 2.12 Sturktur amilosa dan amilopektin [13]
2.4
Dasar Proses Torefaksi
Pada subbab sebelumnya dijelaskan sampah kota yang tersedia untuk dijadikan bahan bakar alternatif ternyata masih membutuhkan penanganan lebih sebelum dapat menjadi bahan bakar padat yang dapat setara dengan batubara. Tingginya kandungan air dan kandungan senyawa organik yang kompleks merupakan masalah yang harus ditanggulangi agar kelak sampah kota dapat menggantikan batubara sebagai sumber energi.
2.4.1 Definisi Proses Torefaksi
Peningkatan densitas energi menjadi cara untuk meningkatkan kualitas sampah kota agar setara dengan batubara. Menghilangkan kandungan air dan menyederhanakan
senyawa
organik
kompleks
pada
sampah
kota
dapat
meningkatkan densitas energi sampah kota agar dapat setara dengan batubara. Pirolisis merupakan suatu metode untuk meningkatkan densitas energi dari bahan bakar. Pirolisis adalah proses peningkatan densitas energi material lignoselulosa melalui perlakuan panas pada kondisi inert dan pada tekanan atmosfer [14]. Pirolisis akan menghasilkan 3 macam produk berupa padatan, cairan, dan gas. Kuantitas dari ketiga produk ini akan berbeda – beda tergantung dari jenis
26
pirolisis yang dilakukan. Pada tabel 2.4 dapat dilihat jenis – jenis pirolisis berdasarkan temperatur operasi, waktu tinggal, dan laju kenaikan temperatur.
Tabel 2.4 Fraksi massa produk kayu (dry wood basis) yang dihasilkan dari berbagai metode torefaksi kayu [14] Metode Fast Intermediate Slowtorrefaction Slowcarbonization Gasification
Kondisi ±500°C, short hot vapor residence time 1 second ±500°C, short vapor residence time, 10-30 seconds ±290°C, solid residence time 30 minutes ±400°C, long vapor residence time hours-days ±800°C
Padat (%)
Cair (%)
Gas (%)
12
75
13
25
50
25
82
-
18
35
30
35
10
5
85
Dari tabel diatas dapat dilihat beragam jenis pirolisis. Pada penelitian kali ini hanya torefaksi yang akan dibahas lebih lanjut karena torefaksi merupakan metode yang digunakan pada penelitian kali ini. Torefaksi merupakan jenis dari proses pirolisis dengan temperatur operasi berkisar sekitar 200°C-300°C. Torefaksi menghasilkan padatan sebagai produk utama. Laju pemanasan yang lambat membuat padatan menjadi produk yang paling dominan. Gambar 2.13 menunjukkan contoh skema proses torefaksi.
27
Gambar 2.13 Contoh skema proses torefaksi
2.4.2 Mekanisme Proses Torefaksi
Pada proses torefaksi, biomassa atau sampah kota dipapari aliran gas inert panas. Oleh karena itu, biomassa akan mengalami 2 tahap penurunan massa, yaitu tahap pengeringan dan tahap devolatilisasi selama proses torefaksi [15]. Berikut adalah penjelasan dari kedua tahapan penurunan massa sampah kota pada saat proses torefaksi.
Tahap Pengeringan Pada tahap ini, penurunan massa pada biomassa akan terjadi karena lepas
kandungan air pada padatan. Kandungan air yang hilang berupa surface moisture maupun inherent moisture. Lepasnya kandungan air pada padatan disebabkan perubahan fasa kandungan air dari fasa cair ke gas karena paparan panas dari aliran gas pada proses torefaksi.
Tahap Dekomposisi . Pada tahap ini terjadi pelepasan volatile matter dari padatan. Tahap
devolatisasi ini terjadi setelah tahap pengeringan berakhir pada biomassa yang terpulverisasi. Pada biomassa dengan ukuran yang lebih besar, tahap dekomposisi akan terjadi ketika tahap pengeringan telah selesai pada sebagian biomassa yang ditorefaksi.
28
Tahap dekomposisi dapat meningkatkan densitas energi pada biomassa. Dekomposisi komponen lignoselulosa pada biomassa menyebabkan penurunan massa pada biomassa yang akhirnya dapat meningkatkan densitas energi dari produk torefaksi biomassa.. Proses dekomposisi dari ketiga jenis komponen lignoselulosa terjadi secara berbeda. Perbedaan proses dekomposisi tersebut dipengaruhi oleh temperatur proses torefaksi. Gambar 2.14 menunjukkan proses dekomposisi dari tiap komponen lignoselulosa.
Gambar 2.14 Proses dekomposisi termal komponen – komponen lignoselulosa pada proses torefaksi [14]
Pada proses dekomposisi diatas terlihat bahwa proses dekomposisi termal komponen lignoselulosa yang terjadi pada proses torefaksi. Hemiselulosa merupakan komponen lignoselulosa yang terdekomposisi paling maksimal pada temperatur operasi torefaksi, yang ditunjukan dengan daerah bewarna pekat pada rentang temperatur torefaksi. Hal ini menunjukkan bahwa temperatur dekomposisi termal hemiselulosa berkisar antara 200 – 300 °C. Selulosa tidak terdekomposisi secara maksimal pada proses torefaksi karena temperatur dekomposisi selulosa
29
berkisar antara 300 – 400 °C, sedangkan lignin terdekomposisi secara perlahan karena temperatur dekomposisi lignin berkisar antara 200 – 500 °C. Proses dekomposisi termal dari komponen – komponen lignoselulosa juga dapat diamati dengan analisis thermogravimetry. Analisis termografimetri menunjukkan penurunan massa dari komponen – komponen lignoselulosa pada selang temperatur operasi tertentu. Berikut ini contoh grafik termografimetri dari proses dekomposisi kayu
Gambar 2.15 Contoh grafik thermogravimetry kayu [16] Selain dengan grafik thermogravimetry proses dekomposisi juga dapat diamati dengan melihat grafik penurunan grafik thermogravimetry. Grafik tersebut dinamakanan derivative thermogravimetry (DTG). DTG ditunjukan oleh
30
gambar dibawah ini.
Gambar 2.16 Contoh grafik DTG [17] Pada grafik DTG diatas dapat dilihat bahwa dekomposisi termal hemiselulosa terjadi pada temperatur dibawah 300 °C. Dekomposisi selulosa terjadi secara maksimal pada temperatur 323 °C, sedangkan proses dekomposisi ⁰
lignin mencapai puncak pada temperatur sekitar 500 C walaupun tidak sebesar dekomposisi hemiselulosa dan selulosa. Hal ini mengindikasikan bahwa komponen lignin merupakan komponen lignoselulosa yang paling sulit untuk terdekomposisi. 2.5
Proses Torefaksi Temperatur Tinggi
Pada subbab ini akan dibahas mengenai proses torefaksi pada temperatur tunggi (>300˚C). Pembahasan diawali dengan membahas mekanisme dekomposisi komponen lignoselulosa dan akan diakhiri dengan pembahasan penelitian terkait torefaksi biomassa pada temperatur tinggi yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.
2.5.1 Mekanisme Dekomposisi Komponen Lignoselulosa
Dekomposisi komponen – komponen lignoselulosa merupakan bahasan yang penting untuk dibahas, apabila kita ingin merancang suatu proses torefaksi 31
yang baik pada suatu biomassa.
Hemiselulosa, selulosa, dan lignin akan
mengalami mekanisme dekomposisi yang berbeda-beda pada suatu rentang temperatur tertentu. Pada uraian dibawah ini akan dibahas mengenai mekanisme dekomposisi hemiselulosa, selulosa, dan lignin.
Mekanisme Dekomposisi Hemiselulosa
Hemiselulosa
merupakan
heteropolisakarida,
yang
komposisinya
bergantung pada jenis tumbuhan. Xylan merupakan komponen hemiselulosa yang paling banyak pada tumbuhan angiospermae, sementara glucomannan merupakan komponen lignoselulosa yang paling banyak ditemukan pada tumbuhan gymnospermae [18]. Walaupun merupakan komponen yang heterogen, dekomposisi hemiselulosa terjadi secara dominan pada rentang temperatur 200 ˚C-350˚C. Dekomposisi puncak terjadi pada temperatur sedikit di bawah 300˚C. Gambar 2.17 menggambarkan secara lebih detil mekanisme dekomposisi hemiselulosa pada proses pirolisis melalui peninjauan dekomposisi komponen xylan.
32
Gambar 2.17 Pirolisis komponen xylan (atas: analisis thermogravimetry ,bawah: reaksi utama selama perubahan struktur ikatan) [18] Pada gambar 2.17 atas terlihat bahwa pada dekomposisi xylan selama proses pirolisis terjadi dua puncak yang menunjukkan dekomposisi maksimal. Puncak kecil terjadi pada sekitar temperatur 240˚C dan puncak besar terjadi pada temperatur sekitar 300˚C. maksimal hemiselulsa tidak terjadi lagi setelah temperatur 300˚C. Pada temperatur diatas 300 ˚C, sisa padatan menjadi lebih aromatik dibanding sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa dekomposisi hemiselulosa terjadi secara maksimal pada temperatur torefaksi (200˚C-300˚C). Gambar 2.17 bawah menyajikan mekanisme dekomposisi xylan secara lebih detil. Dekomposisi xylan dimulai dari proses dehidrasi dan pelepasan ikatan – ikatan yang tidak stabil yang terjadi pada sekitar temperatur 200 ˚C. Selama proses ini methanol terbentuk akibat pemecahan gugus metoksi pada padatan. Selain itu, asam format ikut terbentuk akibat pemecahan asam karboksilat pada padatan. 33
Proses dekomposisi selanjutnya adalah depolimerasisasi, yang terjadi pada rentang temperatur 240˚C-320˚C. Pada rentang temperatur tersebut ikaatan glikosidik yang mengikat unit – unit monosakarida menjadi tidak stabil sehingga depolmerisasi
cepat
terjadi.
Proses
depolimerisasi
ini
mengakibatkan
pembentukan gula anhidro yang baru. Pada temperatur diatas 320 ˚C, reaksi yang terjadi hanya proses charring pada sisa padatan. Proses tersebut tidak menimbulkan dekomposisi yang besar pada xylan.
Mekanisme Dekomposisi Selulosa
Selulosa merupakan komponen linear homopolisakarida. Selulosa berbeda dengan hemiselulosa yang mana merupakan komponen heteropolisakarida [18]. Dekomposisi selulosa pada proses pirolisis terjadi utamanya pada rentang temperatur 300˚C-390˚C. Gambar 2.18 menggambarkan secara lebih detil tentang mekanisme dekomposisi selulosa pada proses pirolisis.
34
Gambar 2.18 Pirolisis selulosa (atas: analisis thermogravimetry, bawah: reaksi utama selama perubahan struktur ikatan) [18] Gambar 2.18 atas menunjukkan hasil analisis thermogravimetry pada komponen selulosa. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa dekompoisis maksimal selulosa terjadi sekitar temperatur 340˚C. Proses dekomposisi setelah temperatur 400˚C terlihat sangat kecil dan bisa disimpulkan telah selesai. Setelah temperatur 400˚C, sisa padatan menjadi lebih aromatik dibandingkan sebelumnya. Gambar 2.18 bawah menunjukkan reaksi – reaksi utama dekomposisi selulosa pada proses pirolisis. Berbeda dengan hemiselulosa, pada temperatur 200˚C hanya terjadi proses dehidrasi. Proses pelepasan ikatan baru dimulai pada
35
sekitar temperatur 300˚C. Pada temperatur tersebut dimulai pula proses depolimerisasi.
Proses depolimerisasi terjadi pada rentang temperatur 300 ˚C-390˚C. Pada proses ini ikatan glikosidik menjadi sangat reaktif dan reaksi lain yang terjadi secara simultan. Depolimerisasi selulosa terjadi sangat cepat yang dapat menghasilkan sampai dengan 80% senyawa volatil yang mayoritas merupakan senyawa organik yang dapat terkondonsasi. Depolimerisas juga memacu pembentukan anhidro-oligosakarida dan anhidro-sakarida. Pada temperatur diatas 400˚C, reaksi yang terjadi hanya proses charring . Proses tersebut tidak mengakibatkan dekomposisi yang maksimal pada selulosa.
Mekanisme Dekomposisi Lignin
Lignin merupakan polir amorfus tiga dimensi kompleks yang terdiri dari tiga unit fenilpropana [18]. Proporsi dari unit – unit monomer sangat bervariasi dan utamanya tergantung dari jenis biomassa lignoselulosanya. Dekomposisi lignin pada proses pirolisis terjadi pada rentang temperatur yang besar, yaitu dari 200˚C sampai 500 ˚C. Gambar 2.19 menunjukkan mekanisme dekomposisi lignin secara lebih detil.
36
Gambar 2.19 Pirolisis lignin (atas:analisis thermogravimetry, bawah: reaksi utama selama perubahan struktur ikatan) [18] Gambar 2.19 atas menunjukkan analisis thermogravimetry pada lignin. Dekomposisi lignin utamanya terjadi pada rentang temperatur 200 ˚C-500˚C, dengan dekomposisi maksimal terjadi pada rentang temperatur 360 ˚C-400˚C. Lignin merupakan komponen yang sulit terdekomposisi. Hal ini terlihat pada dekomposisi maksimal lignin yang masih lebih rendah dibanding dekomposisi maksimal hemiselulosa dan selulosa. Reaksi dekomposisi lignin terbagi atas dua reaksi utama. Reaksi pertama adalah ketidakstabilan rantai propil yang mengikat unit – unit monomer dengan 37
metoksi pada cincin aromatik. Reaksi kedua adalah proses charring. Reaksi pertama terjadi pada rentang temperatur. Reaksi pertama terjadi pada rentang temperatur 150˚C-420˚C, sedangkan reaksi kedua terjadi pada rentang temperatur 380˚C-800˚C Kedua proses ini menghasilkan senyawa volatil yang didominasi oleh gas – gas bermassa rendah yang tidak dapat terkondensasi.
2.5.2 Penelitian Terkait Torefaksi Temperatur Tinggi
Proses torefaksi biomassa bukan lagi menjadi hal yang asing bagi para peneliti energi terbarukan di dunia. Kesadaran akan pentingnya pengembangan teknologi konversi energi terbarukan membuat penelitian tentang proses torefaksi biomassa mulai dilakukan. Banyaknya parameter terkait pada proses torefaksi membuat penelitian tentang proses torefaksi terus dilakukan sampai saat ini. Salah satu parameter paling penting pada proses torefaksi biomassa adalah temperatur operasi. Temperatur operasi proses torefaksi yang paling sering digunakan pada penelitian – penelitian saat ini berada pada rentang 200˚C sampai 300˚C. Hal ini dikarenakan proses torefaki yang dipahami berada pada rentang temperatur tersebut. Namun, bukan berarti proses torefaksi dengan temperatur operasi yang berada di luar temperatur tersebut tidak patut untuk diteliti. Meskipun penelitian torefaksi biomassa dengan temperatur diluar rentang temperatur torefaksi pada umumnya belum banyak dilakukan, sudah ada beberapa peneliti yang melakukan penelitian tentang perilaku biomassa saat proses torefaksi pada temperatur diluar temperatur torefaksi pada umumnya, contohnya penelitian dari Jeeban Poudel, Tae-In Ohm, dan Sea Cheon Oh [19]. Jeeban Poudel dkk meneliti proses torefaksi sampah makanan yang dikumpulkan dari beberapa restoran di Korea Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh temperatur operasi dan waktu tinggal terhadap sifat – sifat sampah makanan sebagai bahan bakar. Keunikan dari penelitian tersebut adalah penggunaan rentang temperatur operasi yang besar, yaitu dari temperatur 150˚C sampai 600˚C.
38
Pada penelitian ini beberapa karakteristik produk hasil torefaksi dianalisis, seperti nilai kalor, kandungan abu, dan komposisi gas yang dihasilkan. Gambar 2.17 menyajikan pengaruh nilai kalor produk hasil torefaksi terhadap temperatur operasi torefaksi.
Gambar 2.20 Grafik pengaruh temperatur terhadap nilai kalor [19]
Gambar 2.20 menampilkan grafik yang menujukan pengaruh temperatur terhadap nilai kalor dari produk proses torefaksi. Nilai kalor akan meningkat sampai pada temperatur 400˚C, kemudian menurun sampai pada temperatur 500˚C. Meningkatnya nilai kalor setelah temperatur 300˚C, walaupun tidak signifikan,
cukup
memberikan
informasi
bahwa
terdapat
potensi
untuk
meningkatkan nilai kalor pada temperatur torefaksi yang lebih tinggi. Turunnya nilai kalor sampai pada temperatur 500˚C menunjukkan ada fenomena lain yang terjadi sehingga nilai kalor turun. Hasil dari penelitian tersebut lah yang dijadikan salah satu alasan bahwa penelitian ini harus dilakukan.
39
Bab 3 Kajian Proses Torefaksi Sampah Kota pada Daerah Dekomposisi Selulosa dan Lignin
Pada bab ini akan dibahas beberapa hal menyangkut penelitian proses torefaksi sampah kota pada daerah dekomposisi selulosa dan lignin. Pembahasan bermula dari alur penelitian sampai pada peralatan – peralatan pengujian pada penelitian ini. Bab ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih detil kepada pembaca tentang penelitian pengaruh proses torefaksi sampah kota pada daerah dekomposisi selulosa dan lignin.
3.1
Gambaran besar Penelitian
Penelitian torefaksi sampah oleh Tim Peneliti Lab. Termodiamika Teknik Mesin FTMD ITB dilakukan untuk melihat pengaruh torefaksi terhadap nilai kalor sampah kota. Jenis sampah yang digunakan pada penelitian tersebut adalah daun, ranting, kulit pisang, kulit jeruk, dan nasi. Proses torefaksi pada penelitian tersebut dioperasikan pada rentang temperatur 200˚C sampai 300˚C. Pada penelitian tersebut dihasilkan produk torefaksi dengan nilai kalor (HHV) setara dengan batubara subbituminus B, yaitu 5279-5828 kkal/kg. Pada temperatur operasi torefaksi tersebut, komponen lignoselulosa yang terdekomposisi secara sempurna hanyalah komponen hemiselulosa, sedangkan komponen
masih
tersisa
komponen
selulosa
dan
lignin
yang
belum
terdekomposisi secara sempurna. Dekomposisi kedua senyawa tersebut berpotensi menghasilkan produk torefaksi dengan massa sisa yang lebih sedikit dan nilai kalor yang lebih besar daripada penelitian sebelumnya.
40
Penelitian kali ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dekomposisi selulosa dan lignin terhadap nilai kalor dari produk torefaksi sampah kota. Beberapa rangkaian pengujian akan dilakukan guna memberi gambaran yang jelas tentang pengaruh dekomposisi selulosa dan lignin. Untuk mengetahui lebih jelas tentang penelitian ini, gambar 3.1 menunjukkan alur penelitian ini.
Gambar 3.1 Alur penelitian Penelitian kali ini diawali dengan pengumpulan informasi melalui studi pustaka. Studi pustaka ini meliputi pengetahuan tentang kondisi bahan bakar padat di Indonesia saat ini, pengolahan sampah di Indonesia, dan juga prediksi penggunaan dan ketersediaan bahan bakar padat di masa depan. Hal ini diharapkan dapat membantu penulis untuk merumuskan topik penelitian yang dapat menjadi solusi untuk menjawab tantangan krisis energi di masa depan. Setelah merumuskan dan merencanakan topik penelitian, berbagai rangkaian
41
pengujian dilakukan untuk menjawab hipotesa. Berikut adalah gambaran pengujian yang dilakukan: 1. Pengujian karakteristik penurunan massa komponen sampah kota Pengujian
ini
bertujuan
untuk
memberikan
gambaran
tentang
karakteristik komponen sampah kota yang ditorefaksi. Karakteristik yang dimaksud adalah penurunan massa tiap komponen sampah kota saat proses torefaksi Keluaran dari pengujian ini berbentuk grafik penurunan massa yang dapat menggambarkan karakteristik tiap komponen saat proses torefaksi
Pengujian
ini
menggunakan
alat
thermogravimetry.
Alat
thermogravimetry membutuhkan sampel yang berukuran sangat kecil. Oleh karena itu, aspek homogenisasi harus diperhatikan agar sampel yang berukuran kecil tersebut dapat mewakili sampel komponen sampah kota yang akan dipakai pada pengujian proses torefaksi.
2. Pengujian nilai kalor produk torefaksi sampa kota Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui nilai kalor dari produk komponen sampah kota. Hasil pengujian ini berupa data nilai kalor tiap komponen sampah kota pada setiap temperatur uji proses torefaksi. Data tersebut akan digunakan untuk mengidentifikasi pengaruh dekomposisi selulosa dan lignin pada proses torefaksi dan menjadi acuan pemodelan campuran sampah kota. Pengujian nilai kalor produk torefaksi dilakukan oleh tekMIRA dengan alat kalorimeter bom. Pengujian nilai kalor membutuhkan sampel berupa produk torefaksi dengan massa minimal 1 gram setiap pengujianya. Produk torefaksi sebenarnya bisa diperoleh dari pengujian karakteristik penurunan massa. Namun, produk dari pengujian tersebut sangat sedikit, sekitar 5 mg. Oleh karena itu, dibutuhkan ekseperimen torefaksi yang dapat menghasilkan produk yang cukup untuk dijadikan sampel pengujian nilai kalor.
42
Eksperimen torefaksi bertujuan untuk menghasilkan produk torefaksi sampah kota yang kemudian akan diuji nilai kalornya.. Eksperimen torefaksi akan menggunakan reaktor torefaksi berjenis tube furnace di Laboratorium Metodologi Perancangan & Pengendalian Proses Teknik Kimia FTI ITB.
Hasil – hasil pengujian yang sudah didapatkan akan analisis dan diharapkan dapat memberikan kesimpulan yang tepat dari penelitian ini secara keseluruhan.
3.2
Kajian Penentuan Komponen Sampah Kota
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa sampah kota merupakan suatu bahan bakar yang heterogen. Keterbatasan waktu dan tenaga membuat penelitian ini tidak mungkin menggunakan seluruh komponen penyusun sampah sebagai sampel pengujian. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemilihan komponen sampah kota yang diharapkan dapat mewakilkan sampah kota Bandung. Bila kita melihat lagi gambar 2.5, terlihat bahwa fraksi massa komponen organik mencapai 69 % dari massa total sampah kota yang tersisa di TPA. Komponen organik berisikan sampah pepohonan dan sampah sisa makanan. Hal ini membuat komponen organik seperti sampah pepohonan dan sampah sisa makanan menjadi sampel percobaan pada penelitian ini. Pemilihan sampah pepohonan dan sisa makanan ternyata tidak cukup untuk memudahkan dalam memilih sampel percobaan karena varian sampah sisa makanan masih cenederung banyak. Kajian lebih lanjut dibutuhkan untuk memilih komponen sampah kota untuk mewakili varian sampah sisa makanan. Pada penelitian sebelumnya tentang pemanfaatan
sampah kota sebagai
bahan bakar alternatif, sudah dipilih beberapa jenis sampah yang dapat mewakilkan jenis sampah pepohonan dan sampah sisa makanan. Daun dan ranting pohon dipilih untuk mewakilkan komponen sampah pepohonan karena daun dan
43
ranting merupakan bagian pepohonan yang paling sering ditemukan berserakan dijalanan. Nasi, kulit pisang, dan kulit jeruk dipilih untuk mewakilkan komponen sampah sisa makanan karena nasi merupakan makanan pokok yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, sedangkan kulit pisang dan jeruk se merupakan buah – buahan yang paling banyak diproduksi saat itu. Pada penelitian kali ini, sampel penelitian untuk mewakili sampah makanan akan divalidasi. Validasi dilakukan dengan menggunakan data konsumsi bahan makanan per kapita per tahun di Indonesia dari tahun 2010 – 2014. Penggunaan data konsumsi makanan diharapkan dapat lebih menggambarkan komposisi sampah sisa makanan dibandingkan apabila menggunakan data produksi makanan. Nasi tetap dipilih menjadi sampel penelitian sebagai salah satu sampel yang mewakili komponen sampah sisa makanan. Berdasarkan data konsumsi makananan pokok perkapita yang dikeluarkan oleh Kementrian Pertanian, konsumsi rata – rata beras dari tahun 2010 sampai 2014 adalah sebesar 88 kg/kapita [20]. Angka tersebut jauh diatas makanan – makanan pokok lain yang juga dikonsumsi oleh masyrakat Indonesia, seperti jagung, kentang, dan lain – lain. Untuk memvalidasi sampel penelitian yang berasal dari kulit buah – buahan, dilakukan peninjauan dari data konsumsi buah – buahan oleh masyarakat Indonesia. Tabel 3.1 menyajikan rata – rata konsumsi buah – buahan perkapita tahun 2010-2014 di Indonesia Tabel 3.1 Rata – rata konsumsi buah – buahan perkapita tahun 2010 – 2014 [20]. Rata – Rata Konsumsi per Kapita Tahun Jenis Buah
2010 – 2014 (Kg)
Pisang
6,653
Rambutan
3,598
Jeruk
3,076
Duku
2,263
Pepaya
2,013
44
. Buah – buahan yang terdapat pada tabel 3.1 merupakan lima macam buah – buahan yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia dari tahun 2010 sampai 2014. Pisang merupakan buah – buahan yang paling banyak dikonsumsi pada rentang tahun tersebut, diikuti rambutan jeruk duku, dan pepaya. Untuk menentukan sampel pengujian yang diharapkan dapat mewakili sampah buah – buahan di Kota Bandung, data konsumsi tidaklah cukup sebagai panduan. Buah yang paling banyak dikonsumsi belum tentu merupakan buah yang menghasilkan sampah yang paling banyak. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai potensi sampah yang dihasilkan dari kelima buah – buahan tersebut. Potensi sampah yang dimaksud adalah fraksi massa kulit buah. Tabel 3.2 menyajikan potensi produksi sampah dari kelima buah – buahan tersebut, sedangkan Tabel 3.3 menyajikan perhitungan produksi sampah total per kapita pada tahun 2010 sampai 2014 dari kelima buah – buahan tersebut. Tabel 3.2 Fraksi massa sampah lima buah yang paling banyak dikonsumsi Jenis Buah Pisang Rambutan Jeruk Duku Pepaya
Fraksi Massa Sampah 0.3 0.54 0.12
Tabel 3.3 Massa total sampah lima buah yang paling banyak dikonsumsi
Jenis Buah
Fraksi Massa Sampah
Pisang Rambutan Jeruk Duku Pepaya
0,3 0,54 0,12
Konsumsi per Kapita (Kg) 6,653 3,598 3,076 2,263 2,013
Massa Sampah Total (Kg) 1,996 1,65 0,242
Pada Tabel 3.2 terlihat bahwa rambutan dan duku tidak ditampilkan fraksi massa sampahnya. Hal ini dikarenakan pada saat pengujian fraksi massa sampah, buah rambutan dan duku sedang tidak musim sehingga buahnya tidak bisa diuji.
45
Hal ini mengindikasikan bahwa sampah rambutan dan duku tidak ada sepanjang tahun. Berdasarkan perhitungan massa sampah total yang dapat dihasilkan, pisang dan jeruk merupakan dua buah yang paling banyak menghasilkan sampah. Sampah yang dihasilkanpun konsisten sepanjang tahun. Oleh karena itu, kulit pisang dan kulit jeruk dipilih untuk mewakilkan sampah sisa buah – buahan. Untuk sampah pepohonan, penulis menetapkan daun dan ranting pohon sebagai sampel pengujian. Hal ini disebabkan daun dan ranting pohon banyak ditemukan di pinggir jalan raya sehingga diharapkan daun dan pohon dapat mewakilkan jenis sampah pepohonan. Daun juga diharapkan dapat mewakili sampah sisa sayuran karena daun disinyalir memliki kandungan lignoselulosa yang mirip dengan sampah sisa sayuran. Kesimpulan dari kajian pemilihan sampel peengujian pada penelitian kali ini adalah telah ditetapkannya sampel pengujian, yaitu nasi, kulit pisang, kulit jeruk , daun, dan ranting .
3.3
Kajian Kandungan Lignoselulosa dan Amilum Pada Sampel Pengujian
Seperti yang telah diungkapkan pada bab 2, kandungan lignoselulosa dan amilum pada sampah kota merupakan sesuatu yang signifikan. Kandungan lignoselulosa dan amilum dapat mempengaruhi temperatur dekomposisi optimum pada sampah kota. Seperti yang telah diketahui, lignoselulosa terdiri atas tiga komponen utama, yaitu hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Ketiga komponen utama lignoselulosa dan juga amilum memiliki temperatur dekomposisi yang berbeda – beda. Dengan mengetahui kandungan lignoselulosa dan amilum pada komponen sampah kota, temperatur optimum proses torefaksi dapat diperkirakan. Amilum merupakan komponen yang sangat dominan pada nasi sehingga tidak perlu lagi dilakukan pengujian untuk menentukan kadar amilum yang sebenarnya. Berbeda dengan amilum, pengujian kandungan tiga komponen utama lignoselulosa sangat diperlukan.
46
Pengujian kandungan lignoselulosa pada komponen sampah kota telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Komponen sampah kota yang diuji saat itu adalah daun, ranting, kulit pisang, dan kulit jeruk. Komponen sampah kota yang diuji saat itu sama dengan yang akan digunakan pada penelitian kali ini sehingga pengujian kandungan lignoselulosa komponen sampah kota tidak perlu dilakukan pada penelitian kali ini. Pengujian kandungan lignoselulosa komponen sampah kota yang dilakukan pada penelitian sebelumnya dilakukan di Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) di Kota Bandung. Sampel yang diberikan kepada BBPK merupakan sampel yang terlebih dahulu dikeringkan dengan udara selama 24 jam. Pengujian kandungan ketiga komponen lignoselulosa pada sampah kota menggunakan metode yang berbeda – beda. Kandungan hemiselulosa diuji berdasarkan SNI 14-1304-1989, sedangkan kandungan selulosa berdasarkan in house method dan lignin berdasarkan SNI 0492-2008. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, kandungan ketiga komponen lignoselulosa pada sampel sampah kota ditampilkan pada tabel 3.4 Tabel 3.4 Hasil Pengujian Kandungan Lignoselulosa [7] Jenis Sampel Daun Ranting Kulit Pisang Kulit Jeruk
3.4
Parameter (%) Selulosa 34,32 45,32 29,33 51,59
Hemiselulosa 10,03 19,53 10,15 14,54
Lignin 24,32 14,16 35,14 39,66
Kajian Penentuan Parameter Torefaksi.
Pada subbab – subbab sebelumnya, telah dibahas secara mendalam tentang objek penelitian ini, yaitu sampah kota organik di Kota Bandung. Pada subbab ini akan dibahas mengenai parameter uji proses torefaksi yang digunakan pada penelitian ini. Proses torefaksi merupakan dasar dari setiap pengujian yang dilakukan pada penelitian ini. Dalam
proses
torefaksi,
terdapat
beberapa
parameter
yang
dapat
menentukan produk torefaksi, seperti temperatur, waktu tinggal, purge gas yang 47
digunakan, ukuran partikel, dan lain – lain. Namun, dua parameter pertama yang disebutkan merupakan parameter paling penting dalam proses torefaksi. Oleh karena itu, pada subbab ini akan dibahas mengenai penentuan parameter temperatur uji dan waktu tinggal yang akan digunakan pada penelitian kali ini. Pada penelitian tentang torefaksi sampah kota sebelumnya, komponen lignoselulosa yang ditinjau adalah hemiselulosa sehingga temperatur operasi yang dipilih berkisar antara sekitar 200˚C sampai sekitar
300˚C. Pada rentang
temperatur torefaksi tersebut, hanya komponen hemiselulosa yang akan terdekomposisi secara sempurna.. Pada penelitian kali ini, yang mana dekomposisi selulosa dan lignin yang ingin ditinjau, temperatur operasi yang dipilih berkisar antara 300 ˚C sampai 500˚C. Pada temperatur 300˚C sampai 400˚C selulosa akan terdekomposisi secara maksimum, sedangkan lignin masih akan terdekomposisi sampai pada temperatur 500˚C. Untuk menggambarkan pengaruh temperatur terhadap dekomposisi komponen lignoselulosa dan amilum, dipilih 5 temperatur uji proses torefaksi pada penelitian ini. Dalam Pemilihan temperatur uji, prediksi tentang letak nilai kalor maksimal harus dilakukan. Prediksi ini diharapkan dapat memberikan salah satu temperatur uji yang menghasilkan nilai kalor maksimal produk torefaksi yang nilainya mendekati nilai kalor maksimal sebenarnya dari produk torefaksi tersebut. Pada bab 2 telah dibahas bahwa selulosa terdekomposisi pada temperatur 300˚C-400˚C, dan lignin pada temperatur 200˚C-500˚C. Berdasarkan informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada rentang 300 ˚C-400˚C selulosa dan lignin akan terdekomposisi, sementara pada rentang 400˚C-500˚C hanya tinggal lignin yang tersisa yang akan terdekomposisi. Berdasarkan kajian kandungan lignoselulosa pada komponen sampah yang digunakan, jumlah lignin tidak sebanyak jumlah selulosa. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa proses dekomposisi pada rentang temperatur operasi 400˚C-500˚C tidak akan sebesar pada rentang temperatur 300˚C-400˚C sehingga
48
temperatur uji
torefaksi yang dipilih pada penelitian kali ini adalah 300˚C,
330˚C , 360˚C, 400˚C, dan 500˚C.
Parameter penting lain dalam proses torefaksi adalah waktu tinggal. Waktu tinggal yang baik adalah waktu ketika proses dekomposisi pada sampah kota telah berhenti. Hal ini dapat ditunjukan dengan tidak adanya lagi penurunan massa sampah kota yang terjadi pada saat torefaksi. Dengan begitu, diharapkan karakteristik penurunan massa sampah kota pada saat proses torefaksi dapat diidentifikasi dengan lebih baik. Dalam menentukan parameter waktu tinggal, dilakukanlah percobaan dengan menggunakan alat thermogravimetry. Percobaan ini diharapkan dapat menunjukkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai dekomposisi yang sempurna. Pengujian dilakukan pada tiap komponen sampah kota pada satu temperatur torefaksi. Hasil dari pengujian awal tersebut memperlihatkan bahwa sampai pada 120 menit, hanya komponen nasi yang telah terdekomposisi sepenuhnya, sedangkan pada 4 komponen lainnya tidak. Dikarenakan sampai 120 menit dekomposisi sampah kota belum selesai, dipilihlah waktu tinggal yang sama dengan penelitian sebelumnya karena tidak ditemukannya waktu tinggal yang lebih baik. Parameter waktu tinggal yang akhirnya dipilih adalah 45 menit.
3.5
Peralatan – Peralatan Pengujian
3.5.1 Thermogravimetry
Tthermogravimetry Processor merupakan instrumen yang berguna untuk melakukan analisis termal pada suatu sampel tertentu. Dalam penelitian ini sampel yang dimaksud adalah komponen penyusun sampah kota. Thermogravimetry processor dapat menganalisa penurunan massa dari sampel pada kondisi tertentu. Hasil analisis dari thermogravimetry processor inilah yang dipakai untuk
49
memprediksi karakteristik penurunan massa pada proses torefaksi yang sebenarnya. Pada penelitian ini, jenis thermogravimetry processor yang digunakan adalah TA 4000 Mettler Toledo. TA 4000 Mettler Toledo ini merupakan rangkaian instrumen – instrumen yang terdiri dari timbangan, dan
TG 50 Thermobalance,
TA 11 Processor. Adapun spesifikasi dari ketiga instrumen
tersebut dijelaskan pada Tabel 3.5 , sedangkan Gambar 3.2 menunjukkan alat thermogravimetry yang digunakan pada penelitian kali ini.
Tabel 3.5 Spesifikasi thermogravimetry processor Instrumen
TG 50 Thermobalance
Timbangan
TA 11 Processor
50
Spesifikasi Temperatur : Temperatur ruangan – 1000 ˚C Presisi : ± 2˚C Laju Pemanasan dan Pendinginan : 0 – 100 ˚C/min Waktu pendinginan dari 1000 – 100 ˚C : 18 menit Metode pendinginan : Koveksi dengan kipas Range : 0 – 5100 mg Resolusi : 1 μg – 99,999 mg, 10 μg – 999,999 mg, 100 μg diatas 1 g Noise (50 ˚C isotermal ) : 4 μg puncak/puncak selama 5 menit Keluaran data : Bidirectional data interface (RS-232C) Program Temperatur : Linear sekuensial dan isotermal Determinasi Temperatur : Sensor Pt100 Akurasi Tampilan Temperatur : 0,1 ˚C
Gambar 3.2 Rangkaian instrumen thermogravimetry processor Berikut ini merupakan prosedur persiapan dan pemakaian thermogravimetry processor yang digunakan pada penelitian ini. 1. Hubungkan selang penghubung antara tabung nitrogen dan tungku. 2. Buka katup primer pada tabung nitrogen dan katup sekunder. Katup primer akan membuka apabila diputar berlawanan jarum jam, dan katup sekunder akan membuka apabila dipitar berlawanan dengan arah jarum jam. Buka katup sekunder sampai nitrogen dapat dipastikan mengalir dengan baik ke tungku. 3. Atur debit aliran nitrogen dengan memutar katup flowmeter pada tungku. 4. Timbang berat crucible (tempat sampel) dan tekan tombol Re-Zero pada timbangan agar massa kosong crucible dijadikan acuan sehingga masa sampel dapat diketahui.
51
5. Letakan sampel yang ingin diuji kedalam crucible dan timbang massa sampel. Berat sampel harus ±10 mg. Sampel terlebih dahulu ditumbuk sampai berbentuk serbuk. 6. Letakkan kertas milimeterblok pada printer . Pastikan kertas tersebut terpasang lurus sehingga kesalahan pembacaan grafik dapat diminimalisasi. 7. Masukan jenis pengujian dan parameter – parameter operasi yang sesuai. Setelah itu, memulai pengujian. 8. Setelah pengujian selesai, analisis grafik penurunan massa pada kertas milimeterblok.
3.5.2 Reaktor Torefaksi
Reaktor torefaksi merupakan alat digunakan pada eksperimen proses torefaksi. Reaktor torefaksi yang akan digunakan pada penelitian ini merupakan jenis tube furnace 2100 Thermolyne yang berada pada Laboratorium Metodologi Perancangan & Pengendalian Proses Program Studi Teknik Kimia FTI ITB. Reaktor ini merupakan sebuah tungku yang didalamnya terdapat pipa vertikal tempat terjadinya proses. Pipa vertikal ini biasa disebut process tube. Pada penelitian ini tungku ini dialiri gas nitrogen untuk menjamin tidak adanya oksigen di dalam process tube sehingga tidak terjadi reaksi pembakaran . Reaktor torefaksi ini biasa digunakan untuk melakukan proses torefaksi pada biomassa, seperti bambu. Namun, pada penelitian ini reaktor ini digunakan untuk melakukan proses torefaksi pada sampah kota.
Tabel 3.6 berisikan
spesifikasi dari reaktor torefaksi, sedangkan Gambar 3.3 menunjukkan bentuk dari reaktor torefaksi yang digunakan pada penelitian kali ini. Tabel 3.6 Spesifikasi reaktor torefaksi tube furnace 2100 Thermolyne Parameter Temperatur Purge gas Berat sampel Konsumsi Daya
Spesifikasi 100 – 1000 ˚C Nitrogen 50 – 70 g 1250 W
52
Gambar 3.3 Reaktor torefaksi Adapun prosedur dalam pemakaian reaktor torefaksi ini adalah sebagai berikut : 1.
Buka katup primer dan sekunder pada tabung nitrogen, dan pastikan nitrogen mengalir dengan baik pada tabung proses reaktor torefaksi.
2. Nyalakan reaktor torefaksi dan atur temperatur sesuai temperatur operasi yang diinginkan dengan perlahan. 3.
Selama menunggu reaktor torefaksi menyesuaikan temperaturnya, masukkan sampel kedalam tempat sampel. Padatkan sampel agar produk yang tersisa tidak terlalu sedikit
4.
Setelah temperatur reaktor torefaksi sesuai dengan temperatur operasi yang diinginkan, masukkan sampel yang telah disiapkan kedalam tabung proses pada reaktor torefaksi
5.
Sambungkan selang pembuangan dan kencangkan baut pada klem. Pastikan tidak ada gas atau cairan yang bocor keluar dari saluran
53
pembuangan dan dapat menimbulkan bau yang tidak sedap di dalam ruangan 6.
Tunggu sampai waktu tinggal proses torefaksi yang diinginkan, setelah itu keluarkan sampel dan segera dinginkan sampel dengan meletakkan pada kotak yang direndam di dalam air.
7.
Setelah sampel telah dingin, keluarkan sampel dari tempat sampel dan simpan sampel pada plastik penyimpanan.
3.5.3 Kalorimeter Bom
Nilai kalor merupakan parameter penting yang diuji pada penelitian ini. Oleh karena itu, diperlukan pengujian nilai kalor sampah kota setelah melalui proses torefaksi. Untuk menguji nilai kalor dari bahan bakar, diperlukan suatu alat yang bernama kalorimeter bom. Gambar 3.4 menggambarkan skema umum kalorimeter bom.
Gambar 3.4 Skema umum kalorimeter bom Kalorimeter bom merupakan alat yang sering sekali digunakan untuk mengukur nilai kalor bahan bakar, baik cair maupun padat. Bahan bakar yang ingin diukur nilai kalornya dimasukkan kedalam tabung, seperti terlihat pada Gambar 3.4. Setelah itu, pemantik dinyalakan guna memantik pembakaran bahan bakar. Nilai kalor bahan bakar dapat dikalkulasikan dengan mengukur kenaikan temperatur air disekeliling tabung sampel.
54
Bab 4 Pengujian dan Analisis Torefaksi Komponen Penyusun Sampah Kota Pada Daerah Dekomposisi Selulosa dan Lignin
Bab ini berisikan tentang pengujian – pengujian yang dilakukan pada penelitian ini. Pembahasan pada bab 3 menjadi dasar dalam rancangan pengujian yang dibahas pada bab ini. Pengujian yang akan dibahas pada bab ini hanya pengujian komponen – komponen penyusun sampah kota. Hasil dari pengujian padap bab ini akan menjadi dasar untuk perumusan pada Bab 5.
4.1
Persiapan Sampel Pengujian
Sampel pengujian secara garis besar dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sampel pengujian penurunan massa komponen penyusun sampah kota yang berukuran 250 mikron dan sampel eksperimen torefaksi yang berukuran sekitar 1 centimeter. Hal ini dikarenakan perbedaan dari kebutuhan alat yang digunakan. Persiapan sampel dimulai dari pengumpulan komponen – komponen penyusun tersebut. Tabel 4.1 menjelaskan sumber sampel komponen penyusun sampah kota yang digunakan pada penelitian ini. Tabel 4.1 Sumber sampel pengujian Sampel Komponen Penyusun Sampah Kota Daun
Sumber Parkiran Sipil Institut Teknologi Bandung
Ranting
Hutan Babakan Siliwang Pedagang gorengan Pasar Simpang Dago Pedagang jus di jalan cisitu baru Kantin PAU
Kulit Pisang Kulit jeruk Nasi
55
Setelah dilakukan pengumpulan sampel pengujian, ukuran sampel direduksi hingga mencapai ukuran yang seusai dengan kebutuhan alat uji, yaitu thermogravimetry dan alat torefaksi. Dari setiap sampel yang akan digunakan untuk pengujian dengan alat torefaksi, diambil sebagian kecil untuk digunakan sebagai sampel pengujian dengan alat thermogravimetry. thermogravimetry. Hal ini perlu dilakukan supaya sebagian kecil sampel yang digunakan pada alat thermogravimetry dapat mewakilkan seluruh sampel yang digunakan dalam pengujian dengan apat torefaksi. Untuk pengujian yang dilakukan dengan
thermogravimetry, sampel
direduksi sampai diperloeh ukuran sekitar 250 mikron. Namun, ternyata tidak semua jenis sampel dapat direduksi sampai ukuran tersebut. Hal ini dikarenakan kandungan air yang dimiliki oleh jenis sampah tersebut. Untuk mereduksi ukuran sampel sampai 250 mikron, sampel dengan kandungan air yang besar dikeringkan terlebih dahulu sebelum direduksi ukurannya. Gambar 4.1 memberi gambaran terhadap sampel pengujian karakteristik penurunan massa.
Gambar 4.1 Sampel pengujian karakteristik penurunan massa (kiri ke kanan: daun, ranting, kulit pisang, kulit jeruk, nasi)
Untuk pengujian torefaksi, alat torefaksi yang digunakan tidak memiliki spesifikasi ukuran sampel khusus, namun reduksi ukuran dilakukan guna menyeragamkan temperatur pada sampel sehingga sampel direduksi sampai 56
mencapai ukuran yang cukup kecil. Gambar 4.2 memberi gambaran terhadap sampel eksperimen torefaksi.
Gambar 4.2 Sampel eksperimen torefaksi (kiri ke kanan: daun, ranting, kulit pisang, kulit jeruk, nasi) Setelah ukuran sampel pengujian direduksi, dilakukanlah perhitungan kadar air pada setiap sampel, baik sampel pengujian penurunan masa maupun sampel pengujian torefaksi. Perhitungan kadar air ini digunakan untuk mengetahui perbedaan yang ada pada sampel pengujian penurunan massa dan pengujian torefaksi. Tabel 4.2 dan tabel 4.3 menyajikan kadar air dari tiap jenis sampel pengujian penurunan massa dan proses torefaksi komponen peyusun sampah kota secara berturut – berturut – turut. turut. Tabel 4.2 Kadar air sampel pengujian penurunan massa Jenis Sampel Daun Ranting Kulit Pisang Kulit Jeruk Nasi
Kadar Air 17% 23% 10% 18% 14%
57
Tabel 4.3 Kadar air sampel eksperimen proses torefaksi komponen penyusun sampah kota Jenis Sampel Daun Ranting Kulit Pisang Kulit Jeruk Nasi
4.2
Kadar Air 17% 23% 35% 58% 25%
Pengujian Karakteristik Penurunan Massa Komponen Penyusun Sampah Kota
Seperti yang telah dijelaskan pada Bab 3, pengujian karakteristik penurunan massa komponen penyusun sampah kota ini menggunakan alat thermogravimetry. Pada subbab ini akan dijelaskan mengenai hal – hal hal yang menyangkut pengujian tersebut. Berawal dari persiapan sampel pengujian sampai hasil dari pengujian ini. Setelah melakukan pengujian dengan menggunakan alat thermogravimetry, thermogravimetry, grafik penurunan massa dapat diperoleh dari processor. Grafik tersebut dicetak pada kertas milimeterblok supaya memudahkan untuk mengubah grafik tersebut menjadi data yang nantinya akan ditampilkan menjadi grafik. Hal ini diperlukan karena thermogravimetry tidak memberikan keluaran berupa data penurunan massa. Grafik tiap komponen sampah kota dikumpulkan menjadi satu grafik setiap komponen agar dapat dengan mudah melihat pengaruh temperatur torefaksi pada karakteristik penurunan massa. Gambar – Gambar – gambar gambar dibawah ini menunjukkan hasil pengujian karakteristik penurunan massa tiap komponen sampah kota pada setiap temperatur torefaksi sampah kota.
58
1 0.9 0.8 0.7
f i t 0.6 a l e R0.5 a s s a 0.4 M
0.3 0.2 0.1 0 0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
45.0
Waktu Tinggal(menit) 500˚C
400˚C
360˚C
330˚C
300˚C
Gambar 4.3 Grafik penurunan massa komponen daun Gambar 4.3 menunjukkan karakteristik penurunan massa dari komponen daun. Pada grafik ini terlihat bahwa semakin tinggi temperatur torefaksi semakin rendah pula massa akhir yang dihasilkan. Pada komponen daun massa akhir yang dihasilkan pada temperatur tertinggi berjumlah sebanyak 30 % dari massa sebelum dilakukan torefaksi
59
1 0.9 0.8 0.7
f i t a 0.6 l e R a 0.5 s s a 0.4 M
0.3 0.2 0.1 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Waktu Tinggal(menit) 500˚C
400˚C
360˚C
330˚C
300˚C
Gambar 4.4 Grafik penurunan massa komponen ranting Gambar 4.4 menunjukkan karakteristik penurunan massa dari komponen ranting. Pada grafik ini terlihat bahwa semakin tinggi temperatur torefaksi semakin rendah pula massa akhir yang dihasilkan. Pada komponen daun massa akhir yang dihasilkan pada temperatur tertinggi berjumlah kurang dari 30 % dari massa sebelum dilakukan torefaksi
60
1 0.9 0.8 0.7
f i t a 0.6 l e R0.5 a s s a 0.4 M
0.3 0.2 0.1 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Waktu Tinggal(menit) 500˚C
400˚C
360˚C
330˚C
300˚C
Gambar 4.5 Grafik penurunan massa komponen kulit pisang Gambar 4.5 menunjukkan karakteristik penurunan massa dari komponen kulit pisang. Pada grafik ini terlihat bahwa semakin tinggi temperatur torefaksi semakin rendah pula massa akhir yang dihasilkan. Pada komponen daun massa akhir yang dihasilkan pada temperatur tertinggi berjumlah sebanyak 24% dari massa sebelum dilakukan torefaksi
61
1 0.9 0.8 0.7 f i t a 0.6 l e R a 0.5 s s a 0.4 M
0.3 0.2 0.1 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Waktu Tinggal(menit) 400˚C
360˚C
300˚C
330˚C
500˚C
Gambar 4.6 Grafik penurunan massa komponen kulit jeruk Gambar 4.6 menunjukkan karakteristik penurunan massa dari komponen kulit jeruk. Pada grafik ini terlihat bahwa semakin tinggi temperatur torefaksi semakin rendah pula massa akhir yang dihasilkan. Pada komponen daun massa akhir yang dihasilkan pada temperatur tertinggi berjumlah sebanyak 26 % dari massa sebelum dilakukan torefaksi
62
1 0.9 0.8 0.7
f i t a 0.6 l e R0.5 a s s a 0.4 M
0.3 0.2 0.1 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Waktu Tinggal(menit) 500˚C
400˚C
360˚C
330˚C
300˚C
Gambar 4.7 Grafik penurunan massa komponen nasi Gambar 4.7 menunjukkan karakteristik penurunan massa dari komponen nasi. Pada grafik ini terlihat bahwa semakin tinggi temperatur torefaksi semakin rendah pula massa akhir yang dihasilkan. Pada komponen daun massa akhir yang dihasilkan pada temperatur tertinggi berjumlah sebanyak 10 % dari massa sebelum dilakukan torefaksi
4.3
Pengujian Nilai Kalor Produk Torefaksi Komponen Penyusun Sampah Kota
Pengujian nilai kalor produk torefaksi komponen penyusun sampah kota merupakan pengujian inti dari penelitian ini. Hasil dari pengujian ini akan digunakan sebagai dasar perumusan proses torefaksi campuran sampah kota. Namun, sebelum pengujian nilai kalor dilakukan, eksperimen torefaksi komponen penyusun sampah kota perlu dilakukan untuk meghasilkan sampel pengujian nilai kalor produk torefaksi komponen penyusun sampah kota Eksperimen proses torefaksi komponen penyusun sampah kota dilakukan di Laboratorium Metodologi Perancangan dan Pengendalian Proses, Program studi
63
Teknik Kimia ITB. Eksperimen ini menggunakan turbular furnace dengan nitrogen sebagai purge gas yang membuat ruangan di dalam tabung proses inert. Eksperimen ini menggunakan sampel yang sudah disiapkan sebelumnya. Tiap komponen penyusun sampah kota akan diproses pada lima temperatur operasi torefaksi, yaitu 300°C, 330°C, 360°C, 400°C, 500°C. Produk dari eksperimen ini akan berupa 25 produk torefaksi tiap komponen sampah kota pada tiap temperatur uji. Sebelum memulai eksperimen, aliran nitrogen harus dipastikan lancar agar dapat membuang udara yang terdapat pada process tube sehingga kondisi inert yang diharapkan dapat dicapai. Setelah memastikan aliran nitrogen pada process tube tidak terhambat, reaktor torefaksi dipanaskan sampai temperatur operasi yang diinginkan dan setelah itu sampel diletakkan pada tabung proses selama 45 menit. Setelah 45 menit, sampel dikeluarkan dari process tube dan didinginkan. Produk dari eksperimen proses torefaksi tiap komponen penyusun sampah kota seluruhnya berwarna hitam. Selain itu, produk hasil torefaksi lebih rapuh jika dibandingkan dengan yang belum melewati proses torefaksi. Gambar 4.8 menunjukkan produk hasil eksperimen proses torefaksi tiap komponen penyusun sampah kota.
Gambar 4.8 Produk torefaksi komponen penyusun sampah kota (dari kiri ke kanan: daun, ranting, kulit pisang, kulit jeruk, nasi) Dalam eksperimen ini, terdapat beberapa masalah yang dihadapi. Pembentukan abu pada produk hasil torefaksi menjadi masalah yang sering muncul. Hal ini dapat terjadi karena ruangan di dalam tabung proses tidak
64
sepenuhnya inert pada saat proses torefaksi berlangsung. Selain itu, tar yang terbentuk dari proses torefaksi menimbulkan bau yang tidak sedap sehingga sempat dilakukan modifikasi pada selang pembuangan gas agar tar yang tercipta dapat keluar ruangan dengan baik dan tidak menimbulkan bau yang tidak sedap. Setelah proses torefaksi setiap komponen penyusun sampah kota telah selesai dilakukan, produk hasil torefaksi tersebut diserahkan kepada tekMIRA untuk kemudian diuji nilai kalor. Hasil yang didapat dari pengujian nilai kalor oleh tekMIRA berupa data nilai kalor produk torefaksi dari tiap komponen penyusun sampah kota pada tiap temperatur uji. Data tersebut diolah menjadi grafik nilai kalor per komponen penyusun sampah kota. Pengolahan data nilai kalor tersebut bertujuan untuk melihat pengaruh temperatur torefaksi terhadap nilai kalor pada tiap komponen penyusun sampah kota. 5000 ) 4000 g k / l a k 3000 k ( r o l a 2000 K i a l i N
1000 0 Produk Torefaksi Daun
T300
T330
T360
T400
T500
Gambar 4.9 Nilai kalor produk torefaksi daun Gambar 4.9 di atas menunjukkan diagram batang dari data nilai kalor produk torefaksi komponen daun pada setiap temperatur operasi proses torefaksi. Nilai kalor produk torefaksi komponen daun berkisar antara 4600 – 5000 kkal/kg. Nilai kalor tertinggi dihasilkan pada temperatur 330°C kemudian terus menurun sampai pada temperatur 500°C.
65
6000 ) 5000 g k / l a k 4000 k ( r o 3000 l a K i a 2000 l i N
1000 0
Produk Torefaksi Ranting
T300
T330
T360
T400
T500
Gambar 4.10 Nilai kalor produk torefaksi ranting Gambar 4.10 di atas menunjukkan diagram batang dari data nilai kalor produk torefaksi komponen ranting pada setiap temperatur operasi proses torefaksi. Nilai kalor produk torefaksi komponen ranting berkisar antara 5000 – 6100 kkal/kg. Nilai kalor produk torefaksi ranting akan cenderung naik seiring kenaikan temperatur operasi torefaksi. Nilai kalor tertinggi tercapai pada temperatur 500°C kemudian diikuti temperatur 400°C, 360°C, 300°C, dan 330°C. 6000 5000
) g k / l 4000 a k k ( r 3000 o l a k i 2000 a l i N
1000 0
Produk Torefaksi Kulit Pisang
T300
T330
T360
T400
T500
Gambar 4.11 Nilai kalor produk torefaksi kulit pisang Gambar 4.11 di atas menunjukkan diagram batang dari data nilai kalor produk torefaksi komponen ranting pada setiap temperatur operasi proses 66
torefaksi. Nilai kalor produk torefaksi komponen kulit pisang berkisar antara 4000 – 5500 kkal/kg. Nilai kalor produk torefaksi ranting akan cenderung naik seiring kenaikan temperatur operasi torefaksi, namun turun pada temperatur 500°C. Nilai kalor tertinggi tercapai pada temperatur 400°C kemudian diikuti temperatur 360°C, 330°C, 500°C, 300°C. 7000 6000 ) g k 5000 / l a k k ( 4000 r o l a 3000 K i a l i 2000 N
1000 0
Produk Torefaksi Kulit Jeruk
T300
T330
T360
T400
T500
Gambar 4.12 Nilai kalor produk torefaksi kulit jeruk
Gambar 4.12 di atas menunjukkan diagram batang dari data nilai kalor produk torefaksi komponen kulit jeruk pada setiap temperatur operasi proses torefaksi. Nilai kalor produk torefaksi komponen kulit jeruk berkisar antara 6000 – 6200 kkal/kg. Nilai kalor produk torefaksi kulit jeruk cenderung stagnan dari temperatur 300°C sampai 500°C. Nilai kalor produk torefaksi jeruk mengalami kenaikan sampai pada temperatur 360°C, kemudian turun sampai temperatur 500°C. Nilai kalor tertinggi dicapai pada temperatur 360°C, kemudian 330°C, 400°C, 300°C, dan 500°C.
67
8000 7000
) g k 6000 / l a k 5000 k ( r 4000 o l a K 3000 i a l i 2000 N
1000 0
Produk Torefaksi Nasi
300
330
360
400
500
Gambar 4.13 Nilai kalor produk torefaksi nasi Gambar 4.13 di atas menunjukkan diagram batang dari data nilai kalor produk torefaksi komponen kulit jeruk pada setiap temperatur operasi proses torefaksi. Nilai kalor produk torefaksi komponen nasi berkisar antara 4400 – 6500 kkal/kg. Nilai kalor produk torefaksi komponen nasi cenderung meningkat seiring meningkatnya temperatur torefaksi. Nilai kalor produk torefaksi nasi hanya menurun pada temperatur 330°C. Nilai kalor produk torefkasi nasi mencapai nilai maksimal pada temperatur 500°C kemudian diikuti pada temperatur 400°C, 300°C, 360°C, dan 330°C. Rangkuman karakteristik umum produk torefaksi komponen sampah kota disajikan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Karakteristik torefaksi tiap komponen sampah kota pada daerah dekomposisi selulosa dan lignin Komponen Sampah Kota
Nilai Kalor Maksimal Temperatur Nilai Kalor Torefaksi
Daun
330˚C
4991 kkal/kg
Ranting Kulit Pisang Kulit Jeruk Nasi
500˚C 400˚C 360˚C 500˚C
6122 kkal/kg 5473 kkal/kg 6300 kkal/kg 7173 kkal/kg
68
Keterangan Khusus Nilai kalor produk torefaksi daun cenderung menurun -
4.4
Analisis Hasil Pengujian Komponen Penyusun Sampah Kota
Setelah mendapatkan data hasil pengujian – pengujian yang telah dilakukan, hasil pengujian tersebut harus dianalisis lebih lanjut. Pada subbab ini akan dibahas mengenai analisis dari hasil pengujian karakteristik penurunan massa dan pengujian nilai kalor tiap komponen penyusun sampah kota.
4.4.1 Analisis Hasil Pengujian Karakteristik Penurunan Massa
Secara umum hasil yang didapat dari pengujian karakteristik penurunan massa tiap komponen sampah kota sudah sesuai dengan hipotesis awal, yaitu massa yang tersisa akan semakin sedikit seiring naiknya temperatur torefaksi. Semakin sedikitnya massa yang tersisa mengindikasikan bahwa semakin tinggi temperatur torefaksi menyebabkan semakin banyaknya kandungan lignoselulosa pada komponen penyusun sampah yang terdekomposisi. Mayoritas kurva penurunan massa dari setiap komponen penyusun sampah kota tidak menunjukkan garis asimtotik sampai pada 45 menit waktu tinggal proses. Hal ini mengindikasikan bahwa proses dekomposisi kandungan organik pada komponen penyusun sampah kota belum selesai. Hanya komponen nasi yang sudah selesai berdekomposisi pada temperatur 500°C. Hal ini ditunjukan oleh kurva penurunan massa komponen nasi pada temperatur 500°C yang mencapai garis asimtotik pada 45 menit. Semua kurva karakteristik penurunan massa yang diperoleh dari pengujian penurunan massa menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur operasi, derajat dekomposisi komponen lignoselulosa akan semakin besar. Hal ini ditunjukan oleh belokan menuju garis asimtotik pada grafik karakteristik penurunan masa. Semakin tinggi temperatur torefaksi maka komponen sampah kota akan semakin reaktif untuk berdekomposisi. Penurunan massa dari temperatur 400°C ke 500°C lebih kecil dibandingkan penurunan massa dari temperatur 300°C ke 400°C. Hal ini disebabkan karena pada temperatur 400°C sampai 500°C hanya lignin yang terdekomposisi pada komponen yang mengandung lignoselulosa, sedangkan hemiselulosa dan selulosa
69
telah selesai terdekomposisi pada temperatur 400°C. . Untuk lebih jelasnya tertera pada gambar 4.14.
Gambar 4.14 Fraksi Massa sisa komponen a)kulit pisang dan b)daun Gambar 4.14 menunjukkan fraksi massa sisa pada temperatur 300°C, 400°C , dan 500°C dari dua komponen penyusun sampah kota, yaitu kulit pisang dan daun. Kulit pisang merupakan komponen sampah kota yang penurunan massanya pada temperatur 400°C ke 500°C paling banyak, sementara daun yang penurunannya paling sedikit. Walaupun penurunan massa kulit pisang paling banyak, penurunan massa dari temperatur 400°C ke 500°C masih lebih kecil dibandingkan dari temperatur 300°C ke 400°C.
4.4.2 Analisis Hasil Pengujian Nilai Kalor
Hasil pengujian nilai kalor komponen penyusun sampah kota menunjukkan hasil yang beragam. Meningkatnya temperatur proses torefaksi memperbanyak komponen organik yang terdekomposisi dan juga meningkatkan kecepatan dekomposisi
pada
sampah
kota.
Banyaknya
komponen
organik
yang
terdekomposisi membuat ikatan kimia pada komponen organik sampah kota menjadi ikatan sederhana dan dapat meningkatkan nilai kalor dari sampah kota. Oleh karena itu, nilai kalor sampah kota seharusnya terus bertambah seiring meningkatnya temperatur torefaksi. Namun, komponen daun tidak menunjukan hal tersebut. Nilai kalor komponen daun menurun dari temperatur 330 ˚C sampai 500˚C.
70
Menurunnya nilai kalor daun seiring meningkatnya temperatur torefaksi mengindikasikan terpisahnya komponen yang memiliki energi densitas tinggi dari produk padatan torefaksi. Fenomena ini kemungkinan disebabkan oleh terjadinya pembakaran terbatas pada sampel torefaksi. Pembakaran terbatas pada daun dapat terjadi akibat adanya kandungan oksigen pada daun. Kehadiran oksigen menyebabkan terbentuknya ruang – ruang tidak inert sehingga reaksi pembakaran terjadi pada ruang – ruang tersebut. Potensi terjadinya pembakaran meningkat seiring naiknya temperatur torefaksi sehingga nilai kalor daun akan terus turun seiring naiknya temperatur torefaksi. Seperti yang telah dibahas pada Bab 2, komponen bahan bakar padat yang dapat terbakar adalah fixed carbon dan volatile matter. Dalam kasus penurunan nilai kalor produk torefaksi daun, volatile matter akan terbakar lebih dahulu. Terbakarnya volatile matter akan memicu peningkatan temperatur sampai temperatur pembakaran fixed carbon sehingga reaksi pembakaran fixed carbon terjadi. Terbakarnya fixed carbon inilah yang disinyalir menyebabkan penurunan nilai kalor produk torefaksi daun karena fixed carbon merupakan komponen dengan nilai kalor yang tinggi. . Kandungan fixed carbon yang terbakar dapat diketahui dengan uji analisis proksimat. Namun, karena keterbatasan pada penelitian ini uji analisis proksimat tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu, prediksi jumlah fixed carbon yang terbakar perlu dilakukan. Untuk memprediksi berapa jumlah fixed carbon yang terbakar, digunakan persamaan empiris seperti di bawah ini [21].
= 0.1905 0.2521 Keterangan : HHV (MJ/kg)
:Nilai kalor
VM
: %db volatile matter
FC
; %db fixed carbon
71
(4.1)
Persamaan 4.1 merupakan persamaan empiris yang bertujuan untuk memprediksi nilai kalor biomassa. Persaman ini menggunakan metode korelasi dan telah diuji pada 44 macam jenis biomassa dengan eror maksimal sekitar 5%. Pada analisis penurunan nilai kalor produk torefaksi daun, persaman 4.1 digunakan untuk memprediksi banyaknya fixed carbon yang hilang sehingga menurunkan nilai kalor daun dari temperatur 330˚C sampai 500˚C. Dengan mengetahui penurunan nilai kalor dari produk torefaksi temperatur 330 ˚C sampai 500˚C, banyaknya fixed carbon yang hilang akan dapat diprediksi. Penurunan nilai kalor daun dari temperatur 330˚C sampai 500˚C adalah sebesar
356
kkal/kg.
Berdasarkan
persamaan
4.1,
1%db fixed
carbon
menyumbang 60.25 kkal/kg. Setelah perhitungan, penurunan nilai kalor produk torefaksi daun dari temperatur 330˚C sampai 500˚C dikarenakan hilangnya 5.9%db fixed carbon.
72
Bab 5 Pemodelan Torefaksi Campuran Sampah Kota Pada Daerah Dekomposisi Selulosa dan Lignin
Bab ini berisikan tentang perumusan torefaksi campuran sampah kota. Hasil pengujian pada bab 4 dijadikan dasar untuk memprediksi proses torefaksi campuran sampah kota pada daerah dekomposisi selulosa dan lignin. Pembahasan bab ini diawali degan pembuatan model campuran sampah kota Bandung, penentuan temperatur optimum serta nilai kalor maksimal yang dapat dihasilkan produk torefaksi campuran sampah kota. Bab ini akan ditutup dengan pembahasan perbandingan produk torefaksi pada penelitian ini dengan batubara dan produk torefaksi pada penelitian sebelumnya.
5.1
Pembuatan Model Campuran Sampah Kota
Seperti yang telah diungkapkan pada Bab 2, sampah kota merupakan komponen yang heterogen. Sampah kota terdiri dar i berbagai komponen penyusun. Oleh karena itu, pembuatan model campuran sampah kota dibutuhkan supaya hasil dari pengujian ini dapat digunakan untuk merepresentasikan sampah kota di Kota Bandung. Pembuatan model campuran sampah kota Bandung diawali dengan pengumpulan data mengenai sumber – sumber dari timbulan sampah yang ada di Kota Bandung. Data ini kemudian diolah untuk kemudian didapatkan fraksi komponen penyusun sampah kota pada model campuran sampah kota. Gambar 5.1 menjelaskan alur pengerjaan dari pembuatan model campuran sampah kota.
73
Gambar 5.1 Alur pengerjaan pembuatan model sampah kota Bandung Pembuatan model campuran sampah kota Bandung diawali dengan pengumpulan data mengenai sumber dari timbulan sampah kota bandung. Data sumber timbulan sampah Kota Bandung didapat dari Badan Pusat Statistik Kota Bandung. Tabel 5.1 menjelaskan sumber timbulan sampah di Kota Bandung pada tahun 2015. Tabel 5.1 Sumber timbulan sampah Kota Bandung [15] Sumber Timbulan Sampah
Pemukiman Pasar Kawasan Industri Jalan Daerah Komersil Institusi Total
Produksi Sampah (ton) 1.048,96 300,32 95,84 88,32 44,96 21,6 1600
Persentase Massa (%) 65.56 18.77 5.99 5.52 2.81 1.35 100
Data timbulan sampah Kota Bandung 2015 menunjukkan bahwa daerah pemukiman merupakan penyumbang sampah paling besar di Kota Bandung. Sampah daerah pemukiman menyumbang sekitar 65% dari keseluruhan sampah yang ada di Kota Bandung. Dalam menentukan sumber mana yang yang akan dimodelkan untuk menjadi model campuran sampah kota Bandung, dipilih tiga sumber yang menyumbang sampah paling banyak di Kota Bandung. Daerah pemukiman, pasar, dan kawasan industri merupakan tiga sumber yang menghasilkan sampah paling besar di Kota Bandung. Namun, seperti yang
74
telah dijelaskan pada Bab 3, sampah yang digunakan pada penelitian kali ini hanya sampah organik. Hal ini membuat kawasan industri tidak menjadi pilihan karena sampah yang dihasilkan dari kawasan industri mayoritas merupakan sampah anorganik. Oleh karena itu, jalan dipilih menjadi pengganti kawasan industri sebagai sumber sampah yang akan dimodelkan karena mayoritas sampah jalan adalah sampah organik. Sumber sampah yang akan diolah lebih lanjut adalah daerah pemukiman, pasar, dan jalan. Ketiga sumber sampah ini menyumbang sekitar 80% dari total sampah di Kota Bandung sehingga pemodelan dari ketiga sumber sampah ini disimpulkan dapat mewakili komposisi sampah di Kota Bandung. Jumlah sampah yang dihasilkan dari ketiga sumber yang dipilih masih merupakan campuran antara sampah organik dan anorganik. Oleh karena itu, perhitungan fraksi massa organik pada tiap sumber sampah perlu dilakukan untuk memodelkan campuran sampah kota Bandung. Tabel 5.2 menjelaskan tentang fraksi massa organik dari tiap sumber sampah yang sebelumnya telah dipilih. Tabel 5.2 Persentase Massa Komponen Organik Sumber Timbulan Sampah Pemukiman Pasar Jalan
Persentase Massa Komponen Organik (%) 68,3 [22] 89,1 [23] 80
Persentase Massa Total Komponen Organik (%) 44,8 16,7 4.4
Data presentase massa sampah organik pada sampah daerah pemukiman dan pasar diperoleh dari referensi, sedangkan persentase massa sampah organik pada sampah jalan diperoleh dari pengamatan. Fraksi organik dari sampah kota ini akan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu sampah makanan dan sampah pepohonan guna memudahkan pembagian fraksi massa komponen penyusun sampah kota pada model sampah kota campuran. Sampah makanan yaitu nasi, kulit jeruk, dan kulit pisang. Sampah pepohonan yaitu daun dan ranting. Tabel 5.3 merupakan persentase massa dari sampah makanan dan sampah pepohonan pada komponen organik sampah kota Bandung yang diperoleh dari hasil pengamatan, sedangkan
75
Tabel 5.4 meupakan persentase massa dari sampah makanan dan sampah pepohonan pada model campuran sampah kota Bandung yang dibuat. Tabel 5.3 Persentase massa sampah makanan dan pepohonan pada tiap sumber sampah Sumber Timbulan Sampah
Persentase Massa Sampah Makanan (%)
Persentase Massa Sampah Pepohonan (%)
Persentase Total Massa Sampah Makanan (%)
Persentase Total Massa Sampah Pepohonan (%)
60 40 20
40 60 80
26.9 6.7 0.9 34.5
17.9 10.0 3.5 31.5
Pemukiman Pasar Jalan Total
Tabel 5.4 Persentase massa jenis sampah makanan dan sampah pepohonan pada model campuran sampah kota
Jenis Sampah
Persentase Massa pada Model (%)
Sampah Makanan Sampah Pepohonan
52 48
Penentuan persentae massa sampah makanan dan sampah pepohonan dilakukan dengan metode pengamatan dengan pengumpulan informasi. Penentuan fraksi massa sampah makanan dan sampah pepohonan pada tiap sumber adalah sebagai berikut:
Pemukiman : Sampah yang berasal dari daerah pemukiman didominasi oleh sampah sisa makanan, seperti nasi, kulit buah, dan juga sayuran. Pada penelitian ini daun mewakili sampah sayuran sehingga perbedaan fraksi massa antara sampah makanan dan sampah pepohonan tidak terlalu signifikan.
Pasar : Sampah yang berasal dari pasar didominasi oleh kulit buah dan juga sayuran sehingga pada sampah yang berasal dari pasar, jenis sampah pepohonan sedikit lebih dominan ketimbang sampah makanan.
76
Jalan : Sampah yang berasal dari jalan sangat didominasi oleh sampah pepohonan yang berjatuhan dijalanan sehingga sampah yang bersumber dari jalan didominasi oleh sampah pepohonan.
Setelah menjumlahkan fraksi total dari tiap jenis sampah yang berasal dari tiap sumber, didapatkan persentase massa dari tiap jenis pada model sampah kota Bandung. Sampah makanan menyumbang 52% massa dari total massa model campuran sampah kota, sedangkan sisanya disumbang oleh sampah pepohonan. Persentase massa dari setiap jenis masih harus dibagi menjadi beberapa komponen penyusun jenis sampah tersebut. Penentuan persentase massa dari komponen penyusun sampah kota pada model campuran sampah kota Bandung dilakukan dengan menghitung potensi sampah dari tiap komponen penyusun sampah makanan, dan metode pengamatan pada komponen penyusun sampah pepohonan. Tabel 5.5 dan 5.6 menjelaskan tentang pembagian persentase massa dari komponen penyusun sampah makanan dan sampah pepohonan secara berturut-turut. Tabel 5.5 Potensi produksi sampah makanan Komponen Penyusun
Potensi Sampah (Kg/orang/tahun)
Nasi Kulit Pisang Kulit Jeruk
1.03 [24] 1.99 1.65
Persentase Massa pada Sampah Makanan (%) 22 43 35
Tabel 5.6 Komposisi sampah pepohonan pada tiap sumber sampah Sumber Sampah Pemukiman Pasar Jalan
Persentase Massa Komponen Daun (%) 70 90 50
Persentase Massa Komponen Ranting (%) 30 10 50
Penentuan persentase massa dari komponen penyusun sampah makanan pada model campuran sampah Kota Bandung ditentukan melalui data potensi
77
pembentukan sampah yang telah dibahas pada Bab 3. Nasi menyumbang 22%, kulit pisang menyumbang 43%, dan kulit jeruk menyumbang 35% dalam jenis sampah makanan model campuran sampah kota Bandung. Penentuan persentase massa dari komponen penyusun sampah pepohonan ditentukan melalui metode pengamatan. Komposisi komponen daun dan ranting akan berbeda di setiap sumber sampah. Oleh karena itu, penentuan komposisi sampah pepohonan dibedakan pada setiap sumber. Di daerah pemukiman dan pasar didominasi oleh daun karena daun mewakili sampah sayuran, sedangkan komposisi daun dan ranting pada sampah jalan diasumsikan seimbang. Setelah menentukan persentase massa dari setiap komponen penyusun sampah kota, didapatkanlah komposisi model campuran sampah Kota Bandung. Tabel 5.7 menunjukkan komposisi model campuran sampah kota Bandung. Tabel 5.7 Komposisi komponen penyusun model campuran sampah kota Persentase Massa (%) 35 12 22 19 12
Komponen Daun Ranting Kulit Pisang Kulit Jeruk Nasi
5.2
Prediksi Temperatur Operasi Optimum dan Nilai Kalor Maksimal Produk Torefaksi Campuran Sampah Kota
Setelah menentukan model campuran sampah kota Bandung, temperatur optimum merupakan parameter penting yang harus ditentukan. Temperatur optimum adalah temperatur yang dapat menghasilkan nilai kalor campuran yang paling besar. Temperatur optimum harus terlebih dahulu ditentukan karena setiap komponen
penyusun
sampah
kota
mempunyai
temperatur
yang
dapat
menghasilkan nilai kalor maksimal yang berbeda-beda Tabel 5.8 menyajikan temperatur yang dapat menghasilkan nilai kalor maksimal dari tiap komponen sampah kota.
78
Tabel 5.8 Nilai kalor maksimal tiap komponen penyusun sampah kota Temperatur (˚C) 330 500 400 360 500
Komponen Daun Ranting Kulit Pisang Kulit Jeruk Nasi
Nilai Kalor Maksimal adb(kkal/kg) 4991 6122 5437 6300 7173
Nilai kalor merupakan parameter yang sangat penting pada suatu bahan bakar. Oleh karena itu, penentuan temperatur torefaksi campuran sampah kota sangat dibutuhkan untuk mendapatkan nilai kalor maksimal yang dapat dihasilkan oleh campuran sampah kota Bandung. Perumusan temperatur torefaksi campuran sampah kota dilakukan dengan dua cara, yaitu metode analitik terbatas dengan fraksi massa sebagai variabel dependen dan perhitungan nilai kalor campuran sampah kota pada tiap temperatur uji torefaksi. Pendekatan
analitik
adalah
pendefinisian
suatu
fenomena
dengan
menggunakan perhitungan matematika, sedangkan terbatas berarti bila pada perhitungan terdapat nilai yang tidak diketahui diantara nilai yang diketahui melalui pengujian, nilai tersebut dapat dihitung dengan metode interpolasi linear. Metode pendekatan analitik terbatas didasari oleh temperatur yang dapat menghasilkan nilai kalor terbesar pada setiap komponen penyusun sampah kota. Pada metode analitik terbatas ini fraksi massa tiap komponen penyusun sampah kota dalam model campuran sampah kota Bandung dijadikan variabel untuk menentukan temperatur optimum. Persamaan 5.1 merupakan perumusan matematika untuk menentukan temperatur optimum proses torefaksi campuran sampah kota dengan metode analitik terbatas.
(℃) =
33 + +4 +36 +
Keterangan: T(°C) : Temperatur optimum torefaksi campuran sampah kota X1 : Persentase massa komponen daun 79
( 5.1)
X2 : Persentase massa komponen ranting X3 : Persentase massa komponen kulit pisang X4 : Persentase massa komponen kulit jeruk X5 : Persentase massa komponen nasi Setelah perhitungan dilakukan, dengan sebelumnya memasukkan seluruh data yang dibutuhkan, didapat temperatur optimum proses torefaksi campuran sampah kota dengan metode analitik terbatas adalah sebesar 392 ˚C.
Setelah mendapatkan temperatur optimum dengan metode analitik terbatas, nilai kalor dari campuran sampah kota pada temperatur tersebut dapat dihitung. Dikarenakan temperatur 392°C bukan merupakan temperatur uji proses torefaksi komponen penyusun sampah kota, nilai kalor setiap komponen penyusun sampah kota harus dicari dengan menggunakan metode interpolasi linear. Tabel 5.9 menyajikan data nilai kalor tiap komponen sampah kota setelah perhitungan pada temperatur 392°C. Tabel 5.9 Nilai kalor komponen penyusun sampah kota pada temperatur 392 ˚C Nilai Kalor adb (kkal/kg)
Komponen Daun Ranting Kulit Pisang Kulit Jeruk Nasi
4783 5885 5428 6172 6896
Nilai kalor campuran sampah kota pada temperatur 392˚C dapat dihitun dengan menggunakan Persamaan 5.2
(/) =
4783 +88 +48 +67 +686
(5.2)
Keterangan: HHV (kkal/kg) : Nilai Kalor torefaksi campuran sampah kota pada temperatur 392°C X1 : Persentase massa komponen daun X2 : Persentase massa komponen ranting
80
X3 : Persentase massa komponen kulit pisang X4 : Persentase massa komponen kulit jeruk X5 : Persentase massa komponen nasi Setelah dilakukan perhitungan, nilai kalor campuran sampah kota pada temperatur 392°C adalah sebesar 5575 kkal/kg
Cara kedua dalam menentukan temperatur optimum campuran sampah kota adalah dengan menghitung nilai kalor dari campuran sampah kota pada setiap temperatur uji proses torefaksi komponen penyusun sampah kota. Perhitungan nilai kalor di setiap temperatur uji menggunakan Persamaan 5.4
(/) =
3 3 4 4 100
Keterangan: HHVT (kkal/kg) : Nilai Kalor torefaksi campuran sampah kota pada temperatur tertentu HHVT 1 : Nilai kalor komponen daun pada temperatur tertentu HHVT 2 : Nilai kalor komponen ranting pada temperatur tertentu HHVT 3 : Nilai kalor komponen kulit pisang pada temperatur tertentu HHVT 4 : Nilai kalor komponen kulit jeruk pada temperatur tertentu HHVT 5 : Nilai kalor komponen nasi pada temperatur tertentu
Setelah dilakukan perhitungan, didapatlah nilai kalor campuran sampah kota pada setiap temperatur uji proses torefaksi. Gambar 5.2 menyajikan grafik nilai kalor pada setiap temperatur uji, serta nilai kalor pada temperatur 392˚C, sedangkan Gambar 5.3 menunjukkan tren nilai kalor produk torefaksi campuran sampah kota.
81
Gambar 5.2 Nilai kalor produk torefaksi model campuran sampah kota
6000 5500 ) 5000 g k 4500 / l a k 4000 k ( 3500 b d 3000 a r o 2500 l a K 2000 i a 1500 l i N1000 500 0 250
300
350
400
450
500
550
Temperatur
Nilai Kalor Campuran
Gambar 5.3 Tren nilai kalor produk model campuran sampah kota Pada gambar 5.2 terlihat nilai kalor produk torefaksi model campuran sampah kota yang sudah dianalisis dengan dua cara yang telah disebutkan sebelumnya. Nilai kalor produk campuran sampah kota terbesar dapat dicapai
82
pada temperatur 400°C dengan nilai sebesar 5575 kkal/kg. Namun, temperatur optimum torefaksi model campuran sampah kota bukanlah 400°C. Pada gambar 5.3 terlihat kenaikan nilai kalor terbesar terjadi pada temperatur 360°C, sedangkan dari temperatur 360°C sampai
400°C terlihat konstan. Oleh karena itu,
temperatur 360°C dipilih sebagai temperatur optimum torefaksi model campuran sampah kota dengan nilai kalor produk torefaksi model campuran sampah kota sebesar 5545 kkal/kg.
Temperatur optimum proses torefaksi dan nilai kalor campuran produk torefaksi sampah kota telah berhasil ditentukan dengan perumusan. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dibutuhkan validasi dengan metode eksperimen. Namun, mengingat kebutuhan untuk eksperimen yang cukup besar, validasi dengan eksperimen tidak dapat dilakukan pada penelitian ini.
5.3
Perbandingan Produk Torefaksi Sampah Kota
Pada subbab – subbab sebelumnya telah dibahas mengenai proses torefaksi campuran sampah kota pada penelitian ini. Temperatur optimum proses torefaksi serta nilai kalor maksimal dari produk torefaksi campuran sampah kota pada temperatur dekomposisi selulosa dan lignin telah berhasil didapatkan. Pada subbab ini akan dibahas mengenai kesetaraan produk torefaksi campuran sampah kota dengan batubara, serta perbandingan produk torefaksi pada penelitian ini dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.
5.3.1 Perbandingan dengan Batubara
Seperti yang telah dijelaskan pada Bab 2, batubara sampai saat ini masih merupakan bahan bakar padat yang paling sering dimanfaatkan. Oleh karena itu, produk torefaksi sampah kota pada penelitian ini harus dibandingkan dengan batubara guna mendapatkan gambaran tentang potensi penggantian batubara dengan produk torefaksi sampah kota. Nilai kalor merupakan aspek yang akan dijadikan pembanding antara produk torefaksi sampah kota dengan batubara. Perbandingan dilakukan dengan kelas batubara seperti yang telah diatur di ASTM.
83
Bila melihat lagi kelas batubara pada Tabel 2.1, terlihat bahwa produk torefaksi model campuran sampah kota pada daerah dekomposisi selulosa dan lignin setara dengan batubara subbituminous B karena nilai kalor produk torefaksi model campuran sampah kota terletak diantara batas bawah dan atas batubara kelas subbituminous B, seperti terlihat pada Gambar 5.4.
Gambar 5.4 Perbandingan nilai kalor produk torefaksi sampah kota dengan batubara
5.3.2 Perbandingan dengan Produk Torefaksi pada Penelitian Sebelumnya
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mengidenitifikasi pengaruh dekomposisi selulosa dan lignin pada proses torefaksi sampah kota. Untuk lebih melihat pengaruh dekomposisi selulosa dan lignin, produk torefaksi pada penelitian kali ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Proses torefaksi pada penelitian sebelumnya berfokus pada daerah dekomposisi hemiselulosa. Tabel 5.10 menunjukkan nilai kalor produk torefaksi sampah kota pada penelitian sebelumnya.
84
Tabel 5.10 Nilai kalor produk torefaksi campuran sampah kota pada penelitian sebelumnya [2] Nilai Kalor (kkal/kg) 5831 5741 5674 5743
Model Campuran Sampah Kota Kawasan Umum Pasar Pemukiman Rata-rata
Tabel 5.10 menyajikan nilai kalor produk torefaksi sampah kota pada tiap model campuran sampah kota. Pada penelitian sebelumnya, digunakan tiga model campuran sampah kota. Model tersebut berasal dari sumber – sumber sampah, seperti pemukiman, pasar, dan kawasan umum. Sumber kawasan umum didominasi oleh sampah pepohonan. Nilai kalor produk torefaksi yang akan dibandingkan adalah nilai kalor rata – rata dari ketiga jenis model campuran sampah kota dengan nilai kalor produk sampah kota pada penelitian kali ini. Perbandingan tersebut dapat dilakukan karena model campuran sampah yang digunakan pada penelitian kali ini merupakan gabungan dari model – model campuran sampah kota sebelumnya. Nilai kalor rata – rata pada produk torefaksi campuran sampah kota pada produk sebelumnya adalah 5743 kkal/kg sedangkan nilai kalor produk torefaksi campuran sampah kota pada penelitian ini adalah 5545 kkal/kg. Terjadi penurunan nilai kalor pada penelitian ini dibandingkan yang sebelumnya, walaupun senyawa organik yang terdekomposisi pada proses torefaksi pada daerah dekomposisi selulosa dan lignin lebih banyak. Penurunan nilai kalor yang terjadi disebabkan oleh turunnya nilai kalor produk torefaksi komponen daun seiring naiknya temperatur torefaksi. Daun merupakan komponen yang dominan pada model campuran sampah kota Bandung sehingga turunnya nilai kalor produk torefaksi komponen daun berdampak cukup besar pada nilai kalor produk torefaksi model campuran sampah kota Bandung.
85
Bab 6 Kesimpulan dan Saran
6.1
Kesimpulan
1. Dekomposisi selulosa dan lignin pada proses torefaksi sampah kota di satu sisi dapat meningkatkan nilai kalor produk torefaksi sampah kota. Namun,
di
sisi
lainnya
torefaksi
pada
daerah
tersebut
dapat
meningkatkan potensi terjadinya reaksi pembakaran terbatas. Reaksi tersebut dapat menurunkan nilai kalor produk torefaksi sampah kota.
2. Temperatur optimum proses torefaksi sampah kota pada daerah dekomposisi selulosa dan lignin adalah sebesar 360˚C, dengan nilai kalor (HHV) sebesar 5545 kkal/kg. Produk torefaksi sampah kota pada daerah dekomposisi selulosa dan lignin setara dengan batubara subbituminus B dengan nilai kalor (HHV) setara 5279-5828 kkal/kg. Uraian ini telah dibahas pada Bab 5 3. Nilai kalor produk torefaksi sampah kota pada daerah dekomposisi selulosa dan lignin lebih rendah bila dibandingkan dengan produk torefaksi sampah kota pada daerah dekomposisi hemiselulosa, yang dapat menghasilkan nilai kalor produk torefaksi sampah kota sebesar 5743 kkal/kg. Uraian ini telah dibahas pada Bab 5 4. Penurunan nilai kalor produk torefaksi sampah kota disebabkan oleh turunnya
nilai
kalor
produk
torefaksi
komponen
daun
seiring
meningkatnya temperatur torefaksi. Penurunan nilai kalor produk torefaksi komponen daun ini diduga disebabkan oleh fenomena pembakaran terbatas selama proses torefaksi. Diprediksi 5.9%db fixed
86
carbon terbakar pada produk torefaksi daun pada temperatur 500˚C. Uraian ini telah dibahas pada Bab 4 6.2
Saran
1. Perlu dilakukan uji analisis proksimat pada produk torefaksi untuk dapat meninjau
fenomena
pembakaran
terbatas
pada
proses
torefaksi
sebagaimana dijelaskan pada Bab 4 akhir. 2. Perlu dilakukan validasi terhadap perumusan torefaksi campuran dengan metode eksperimen sebagaimana dijelaskan pada Bab 5 akhir.
87
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ari Darmawan Pasek, Toto Hardianto, Willy Adriansyah, dkk., 2007, Laporan Akhir Studi Kelayakan Pembangkit Listrik Dengan Bahan Bakar Sampah Di Kota Bandung, LPPM ITB, Bandung. [2] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Jakarta Dalam Angka 2014, Badan Pusat Statistik, Jakarta, 2014. [3] Badan Pusat Statistik Kota Surabaya, Surabaya Dalam Angka 2015, Badan Pusat Statistik, Surabaya, 2015. [4] Badan Pusat Statistik Kota Bandung, Kota Bandung Dalam Angka 2015, Badan Pusat Statistik, Bandung, 2015 [5] Andarini, Kajian Komposisi dan Karakteristik Sampah Kota Bogor, Tugas Sarjana, Teknik Lingkungan FTSL ITB, Bandung, 2012. [6] Badan Pusat Statistik Kota Semarang, Kota Semarang Dalam Angka 2014, Badan Pusat Statistik, Semarang, 2014 [7] Adrian Rizqi Irhamna, Pengembangan Metode Pembuatan Bahan Bakar Padat Setara Batubara Dari Sampah Kota Melalui Proses Torefaksi Batch Simultan, Tugas Sarjana, Teknik Mesin FTMD ITB, Bandung, 2013. [8] Gary L Borman, Kenneth W. Ragland, 1998, Combustion Engineering, Mc-Graw-Hill, Amerika Serikat. [9] Bruce G Miller, 2005, Coal energy Systeem, Elsevier Academic Press, Britania Raya. [10] Enri Damanhuri, 2010, Diktat Kuliah TL-3104 Pengelolaan Sampah, ITB, Bandung. [11] Prabir Basu, 2013, Biomass Gasification, Pyrolisis, And, Torrefaction, Elsevier, Amerika Serikat.
88
[12] P.F.H. Harmsen, W.J.J Huijgen, L.M. Bermudez Lopez, R.R.C. Bakker, 2010, Literature Review Of Physical And Chemical Pretreatment Processes For Lignocellulosic Biomass, BioSynergy, Eropa. [13] Dilya Izhharul Haq, Studi Karakteristik Perlakuan Panas Pada Nasi (Amilum) Sebagai Komponen Sampah Kota Dalam Rangka Konversinya Menjadi Bahan Bakar Padat Melalui Torefaksi, Tugas Sarjana, Teknik Mesin FTMD ITB, Bandung, 2013 [14] J.S. Tumuluru, S. Sokhansanj, C.T. Wright, and R.D. Boardman, Biomass Torrefaction Process Review and Moving Bed Torrefaction System Model Development, Research report for the U.S. Department of Energy at INL and ORNL, 2010. [15] K.W Ragland, K.M Bryden, Combustion Engineering 2 nd Edition, CRC Press, New York, 2011. [16] Haryadi, Aryadi Suwono, Toto Hardianto dan A. Pasek, Peningkatan Nilai Kalor Gambut sebagai Bahan Bakar Padat Melalui Proses Torefaksi, Prosiding Dies Emas ITB, Bandung, 2009. [17] Wei-Hsin Chen, Po-Chih Kuo, A Study On Torrefaction of Various Biomass Materials and Its Impact on Lignocellulosic Structure Simulated by A Thermogravimetry, Energy 35 (2010) 2580-2586, 2010. [18] Francois-Xavier Collard, Joel Blin, A Review on Pyrolisis of Biomass Constituents: Mechanisms and Composition of the Products Obtained From the Conversion of Cellulose, Hemicelluloces and Lignin, Renewable and Sustainable Energy Reviews 38 (2014) 594-608, 2014. [19] Jeeban Poudel, Tae-In Ohm, Sea Cheon Oh, A Study on Torrefaction of Food Waste, Fuel 140 (2015) 275-281, 2015. [20] Basis Data Konsumsi Pangan menurut Susenas, Kementerian Pertanian, (Online), (https://aplikasi2.pertanian.go.id/konsumsi/tampil_susenas_kom2_th.php ) diakses pada tanggal 18 Juli 2015. [21] Chun-Yang Yin, Prediction of Higher Heating Values of Biomass from Proximate and Ultimate Analyses, Fuel 90 (2011) 1128-1132, 2011.
89
[22] Aditya Kaunan Ribath Fathoni, Perencanaan Tipikal Rumah Kompos Untuk Pengolahan Sampah Pasar Tradisional (Studi Kasus di Kota Surabaya), Tugas Akhir, Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS, Surabaya, 2011. [23] T. A. Ramadhani, Analisis Timbulan dan Komposisi Sampah Rumah Tangga di Kelurahan Mekarjaya (Depok) Dihubungkan dengan Tingkat Pendapatan, Pendidikan, Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Masyarakat , Universitas Indonesia, Depok, 2011. [24] Dini Anriany, Drajat Martianto, Estimasi Sisa Nasi Konsumen di Beberapa Jenis Rumah Makan di Kota Bogor, Bogor 16680 Jurnal Gizi dan Pangan, 2013
90