1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Terkait Untuk memberikan arahan dalam penelitian ini, peneliti akan menguraikan landasan teori atau konsep terkait serta penelitian terkait tentang hubungan pengetahuan dan sikap keluarga tentang skizofrenia dengan kekambuhan pada pasien skizofrenia di Unit Rawat Jalan RS. Jiwa Pusat Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta.
1.
Konsep Pengetahuan Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu yang diperoleh melalui proses pengalaman dan proses belajar dalam pendidikan, baik yang bersifat formal maupun informal. (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek. Pengetahuan dapat diperoleh dengan berbagai cara, baik inisiatif sendiri atau orang
lain, dengan melihat atau mendengar sendiri tentang
kenyataan atau melalui alat komunikasi, seperti radio, televisi, buku, majalah, surat kabar dan lain-lain. Selain itu pengetahuan juga dapat diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar yang baik yang bersifat formal maupun informal. Jadi pengetahuan itu memang mencakup akan ingatan yang pernah dipelajari, baik langsung maupun tidak langsung dan disimpan dalam ingatan. Pengetahuan mengenai kekambuhan misalnya, dapat bermanfaat bagi
2
seseorang
dalam
mencegah
kekambuhan
pasien
skizofrenia
dengan
meningkatkan peran keluarga dan mengetahui perawatan yang benar bagi pasien (Soekidjo, 2003 : 128). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan individu (overt behaviour). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Jadi tanpa pengetahuan individu tidak akan mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menemukan tindakan terhadap permasalahan yang dihadapi. Selain itu kekambuhan pasien skizofrenia tidak akan terjadi atau dapat diminimalkan bila didasari dengan pengetahuan yang tinggi tentang perawatan skizofrenia seperti yang dikemukakan oleh (Roger, 1974 dalam Soekidjo, 2003 : 128) mengungkapkan bahwa sebelum individu mengadopsi perilaku baru, di dalam diri individu terjadi proses berurutan : a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap objek (stimulus). b. Interest, dimana orang mulai tertarik pada stimulus c. Evaluation, dimana orang menimbang baik buruknya stimulus d. Trial, dimana orang akan mencoba perilaku baru. e. Adaptation, orang yang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Demikian halnya dengan keluarga, jika proses tersebut diatas telah dilalui diharapkan keluarga mampu mengambil keputusan dan tindakan yang
3
tepat untuk anggota keluarga yang menderita skizofrenia agar kekambuhan tidak terjadi.
2. Sikap Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Newcomb (salah seorang ahli psikologi sosial) menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk menindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Dalam bagian lain, Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok, yakni: a. Kepercayan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave) Ketiga komponen ini secara bersamaan membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan,
dan
emosi
memegang peranan
penting.
Seperti
halnya
pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yakni: a. Menerima (receiving) Diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang di berikan (objek) b. Merespons (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap
4
c. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah d. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko
3. Konsep Keluarga a. Definisi Keluarga merupakan dua atau lebih dari dua individu yang tergabung
karena
hubungan
darah,
hubungan
perkawinan
atau
pengangkatan dan mereka hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain di dalaam peranannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan (Salvion G Baylon, et.al, 1989 dalam Dermawan, 2005 : 4). Keluarga merupakan suatu ikatan atau persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis, hidup bersama atau seorang laki-laki atau perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anak sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga. Dari penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa menurut peneliti, keluarga merupakan suatu ikatan atau persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis, hidup bersama,
5
berinteraksi satu sama lain di dalam peranannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
b. Fungsi keluarga 1) Fungsi biologis Fungsi
biologis
bukan
hanya
ditujukan
untuk
meneruskan
kelangsungan keturunan, tetapi juga memelihara dan membesarkan anak dengan gizi yang seimbang, memelihara dan merawat anggota keluarga juga bagian dari fungsi biologis keluarga. 2) Fungsi psikologis Keluarga menjalankan fungsi psikologisnya antara lain untuk memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan perhatian diantara anggota keluarga, membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga. 3) Fungsi sosialisasi Fungsi sosialisasi tercermin untuk membina sosialisasi pada anak membentuk nilai dan norma yang diyakini anak, memberikan batasan perilaku yang boleh dan tidak boleh pada anak, meneruskan nilainilai budaya. 4) Fungsi ekonomi Keluarga menjalankan fungsi ekonomisnya untuk mencari sumbersumber penghasilan keluarga, menabung untuk memenuhi kebutuhan
6
yang akan datang, misalnya pendidikan anak-anak dan jaminan hari tua. 5) Fungsi pendidikan Keluarga menjalankan fungsi pendidikan untuk menyekolahkan anak dalam rangka untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, membentuk prilaku anak, mempersiapkan anak untuk kehidapan dewasa, mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya.
c. Tugas-tugas keluarga dalam bidang kesehatan : Friedman (1998) membagi lima tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh keluarga yaitu : 1) Mengenal
gangguan
perkembangan
kesehatan
setiap
anggota
keluarganya. 2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat. 3) Memberikan perawatan kepada anggota keluarganya yang sakit dan tidak sakit. 4) Memodifikasi suasana rumah yang mendukung kesehatan keluarga serta perkembangan kepribadian anggota keluarga. 5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara anggota keluarga dan lembaga-lembaga kesehatan, yang menunjukkan kemanfaatan dengan baik fasilitas kesehatan yang ada.
7
d. Perawatan skizofrenia oleh keluaarga 1) Menurut (Setiadi 2006) beberapa hal penting yang harus dilakukan keluarga dalam upaya penyesuaian diri dengan kehadiran skizofrenia dalam sistem mereka dan cara mengatasinya adalah: a) Aktif mencari informasi/psikoedukasi. Informasi-informasi yang akurat tentang skizofrenia, gejalagejalanya, kemungkinan perjalanan penyakitnya, berbagai bantuan medis dan psikologis yang dapat meringankan gejala skizofrenia merupakan sebagian informasi vital yang sangat dibutuhkan keluarga. Informasi yang tepat akan menghilangkan saling menyalahkan satu sama lain, memberikan pegangan untuk dapat berharap secara realistis dan membantu keluarga mengarahkan sumber daya yang mereka miliki pada usaha-usaha yang produktif. Pemberian informasi yang tepat dapat dilakukan dengan suatu program psikoedukasi untuk keluarga. b) Sikap yang tepat adalah SAFE ( Sense of humor, Accepting the illnes, Familliy balance, Expectations which are realistic). c) Menurut Torrey (1988) dalam Iman Setiadi, keluarga perlu memiliki sikap yang tepat tentang skizofrenia, disingkatnya sikap-sikap yang tepat itu dengan SAFE. d) Support group Bilamana keluarga menghadapi skizofrenia dalam keluarga mereka
8
seorang diri, beban itu akan terasa sangat berat, namun bila keluarga-keluarga yang sama-sama memiliki anggota keluarga skizofrenia bergabung bersama maka beban mereka akan terasa lebih ringan. Mereka dapat saling menguatkan, berbagi informasi yang mutahir, bahkan mungkin menggalang dana bersama bagi keluarga yang kurang mampu. Upaya peredaan ketegangan emosional secara kelompok juga akan lebih efektif dan lebih murah. e) Family therapy(Object relations family therapy) Family therapy dapat menjadi bagian dari rangkaian upaya membantu
keluarga
agar
sebagai
suatu
sistem
meningkat
kohesivitasnya dan lebih mampu melakukan penyesuaian diri. f) Keluarga harus membantu menumbuhkan sikap mandiri dalam diri sipenderita seperti melibatkan dalam kegiatan sehari-hari dan mereka harus sabar dan menerima kenyataan. Dukungan keluarga dan teman merupakan salah satu obat penyembuh yang sangat berarti bagi penderita skizofrenia. Menerima kenyataan,
menurut
Suryantha
adalah
kunci
pertama
proses
penyembuhan atau pengendalian skizofrenia. Keluarga harus tetap bersikap menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, bentakan, atau mengucilkan malah akan membuat penderita semakin depresi bahkan cenderung bersikap kasar. Akan tetapi terlalu memanjakan juga tidak baik.
9
Pasca perawatan bisanya penderita akan dikembalikan pada lingkungan keluarga. Penerimaan kembali oleh keluarga sangat besar artinya, dalam berbicara tidak boleh emosional agar tidak memancing kembali emosi penderita. Yang penting usaha-usaha prevenif berupa hindari frusrtasi dan kesulitan psikis lainnya. Menciptakan kontakkontak sosial yang sehat dan baik. Membiasakan pasien memiliki sikap hidup positif dan mau melihat hari depan dengan rasa kebranian. Pada skizofrenia fase aktif penderita mudah terpukul oleh problem yang sederhana sekalipun. Kurangi pemberian tanggung jawab agar tidak membebani penderita dan dapat mengurangi stres jangka pendek. Penderita mungkin menggunakan kata-kata yang tidak masuk akal, agar lebih paham cobalah berkomunikasi dengan cara lain dan
mengajak
melakukan
aktivitas
bersama-sama.
Seperti
mendengarkan musik, melukis, nonton tv, atau menunjukkan perhatian tanpa bercakap-cakap. Keluarga menanggung beban dan tanggung jawab merawat anggota keluarga yang sakit terutama mengatasi perilaku kacau tanpa informasi, ketrampilan dan dukungan yang memadai. Akhir-akhir ini perhatian perhatian para ahli beralih kepada pengaruh keluarga terhadap timbulnya kekambuhan. Sikap keluarga terhadap penderita dapat ditentukan dengan apa yang disebut EE(Emotional Expresion) yang terdiri atas kritikan atau komentar negatif, emotional over involvment, permusuhan terhadap penderita, ketidak puasan dan
10
kehangatan. Bila keluarga EEnya tinggi maka kekambuhan akan tinggi, namun sebaliknya bila EEnya rendah maka kekambuhan pun akan rendah. 2) Menurut Nurhaeni dkk (2002) adalah fokus pada pencegahan kekambuhan klien gangguan jiwa antara lain: a) Mengenal adanya penyimpangan awal sedini mungkin b) Mengambil keputusan dalam mencari pertolongan atau bantuan keesehatan sedini mungkin c) Memberi perawatan bagi anggota keluarga yang sakit, cacat atau memerlukan bantuan dan menanggulangi keadaan darurat kesehatan d) Menciptakan lingkungan keluarga yang sehat e) Memanfaatkan sumber yang ada di masyarakat f) Melaksanakan program rekreasi misalnya: mengajak klien nonton bersama, jalan santai, pergi ketempat rekreasi g) Melaksakan kegiatan sosial dan keagamaan misalnya: mengajak klien arisan bersama,mengajak pergi ke Pura,pengajian dll. h) Mencegah stigma di masyarakat tentang gangguan jiwa seperti: pendekatan pada tokoh masyarakat atau orang yang berpengaruh dalam rangka mensosialisakan kesehatan jiwa dan gangguan jiwa. i) saling terbuka dan tidak ada diskriminasi j) Saling menghargai dan mempercayai k) Menghadapi ketegangan dengan tenang dan menyelesaikan masalah kritis/darurat secara tuntas dan wajar.
11
4. Skizofrenia a. Pengertian Ada beberapa pendapat tentang pengertian skizofrenia yaitu menurut (Gunadi, 2008) Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein”yang berarti “terpisah” atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Jadi, skizofrenia mengacu kepada perpecahan ego-aspek rasional dalam jiwa-sehingga penderitanya tidak lagi dapat membedakan antara alam khayal dan alam riil. (Kraepelin dalam Maramis 2005: 215) menyebutkan “dementia pre cock” karena skizofrenia mengalami kemunduran intelegensi sebelum waktunya. (Bleuler dalam Maramis 2005: 217) menggunakan istilah skizofrenia berarti pikiran/jiwa yang terbelah/terpecah. Bleuler lebih menekankan pola perilaku, yaitu tidak adanya integrasi otak yang mempengaruhi pikiran, perasaan, dan afeksi. Dengan demikian tidak ada kesesuaian antara pikiran dan emosi, antara persepsi terhadap kenyataan yang sebenarnya.
b. Penyebab skizofrenia Penyebab skizofrenia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, walaupun begitu banyak ahli yang mencoba mengemukakan beberapa teorinya. Fortinash (1996) membagi penyebab skizofrenia sebagai berikut :
12
1) Faktor biologi (teori-teori somatogenesis) Fakor
ini
meliputi
faktor
genetik
(keturunan),
Biochemistry
(ketidakseimbangan kimiawi otak), Neuroanatomy (abnormalitas struktur otak). a) Faktor-faktor genetik (keturunan) Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gen yang diwarisi seseorang sangat kuat mempengaruhi resiko seseorang mengalami skisofrenia. Hal ini dibuktikan dengan penelitian tentang keluargakeluarga tentang skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-16%; bagi kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%, bagi kembar dua telur (heterozygote) 2-15%; bagi kembar satu telur (monozygot) 61-86% (Maramis 2005: 215). b) Biochemistry (ketidakseimbangan kimiawi otak) Beberapa bukti menunjukkan bahwa skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmitter yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuronneuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak
13
cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain serotonin dan norephinephrine tampaknya juga memainkan peran. c) Neuroanatomy (abnormalitas struktur otak). Berbagai teknik imaging, seperti MRI telah membantu para ilmuwan untuk menemukan abnormalitas struktural spesifik pada otak klien skizofrenia. Misalnya, klien skizofrenia yang kronis cenderung memiliki ventrikel otak yang lebih besar. Mereka juga memiliki volume jaringan otak yang lebih sedikit daripada orang normal. Klien skizofrenia menunjukkan aktivitas yang sangat rendah pada lobus frontalis otak. Ada juga kemungkinan abnormalitas di bagian-bagian lain otak seperti di lobus temporalis, basal ganglia,thalamus,hippocampus, dan superior temporal gyrus.
*)
G ambar 2.1 : Struktur otak normal dan otak pasien skizofrenia
14
Sumber : http://www.sivalintar.com/skizofrenia.html
Gambar 2.2 : Gangguan Pada Struktur otak pasien skizofrenia
Magnitic
Resonance
Imaging
(MRI)
menunjukkan
perbedaan struktural antara otak orang dewasa normal di sebelah kiri dengan otak klien skizofrenia di sebelah kanan. Otak klien skizofenia menunjukkan pembesaran ventrikel, namun tidak semua klien skizofrenia menunjukkan abnormalitas ini. 2)
Teori Model Keluarga Memang tidak ada teori yang mendemonstrasikan bahwa atribut keluarga merupakan penyebab dari skizofrenia tetapi beberapa
pola
asuh
keluarga
menyebabkan
gangguan
15
perkembangan anak, seperti : keluarga dengan “double blind” bisa menyebabkan kecemasan, rasa bersalah dan kebingungan pada anak, pada anggota keluarga yang salah satu atau kedua orang tuanya menderita skizofrenia akan membuat anak tidak memiliki role model yang baik untuk perkembangannya. 3)
Teori budaya dan Lingkungan Skizofrenia dapat terjadi pada semua status sosial ekonomi tetapi seringkali lebih banyak ditemukan pada kelompok dengan kemampuan sosial ekonomi rendah. Seperti dikatakan
Kaplan
(2002) bahwa klien Skizofrenia lebih banyak ditemukan pada kelompok dengan kemampuan sosial ekonomi rendah dan mempunyai permasalahan yang komplek. Hal ini terjadi karena kelompok ini lebih banyak mengalami stress. 4) Teori Belajar Perilaku, perasaan dan cara berpikir seseorang diperoleh dari belajar. Jika dalam proses belajarnya sehari-hari, individu berinteraksi
dengan
klien skizofrenia
maka
hal
ini
bisa
mempengaruhi individu tersebut seperti dikatakan Sullivan dan Fortinash (1996) bahwa perasaan, cara berpikir, dan berperilaku tumbuh dari pengalaman individu dengan orang lain.
16
c. Gejala Skizofrenia Pada skizofrenia tidak terdapat gejala yang patognomik khusus. Untuk mempermudah pengenalan dalam praktik, (PPDGJ III, 2001 : 46) membagi dalam kelompok-kelompok : 1) Delusi (waham) Suatu delusi atau waham adalah suatu keyakinan yang salah yang tidak dapat dijelaskan oleh latar belakang budaya pasien atau pendidikannya; pasien tidak dapat diyakinkan oleh orang lain bahwa keyakinannya salah, meskipun banyak bukti kuat yang dapat diajukan untuk membantah keyakinan pasien tersebut (Arif, 2006 : 17). Ada beberapa jenis delusi : a) Grandeur (waham kebesaran) Pasien yakin bahwa mereka adalah seseorang yang sangat luar biasa,misalnya seorang artis yang terkenal, atau seorang nabi atau bahkan merasa dirinya adalah Tuhan. b) Guilt (waham rasa bersalah) Pasien merasa bahwa dirinya telah melakukan dosa yang sangat besar. c) Ill Health (waham penyakit) Pasien yakin bahwa dirinya mengalami penyakit yang sangat serius. d) Jealousy (waham cemburu) Pasien yakin bahwa pasangannya telah berlaku tidak setia.
17
e) Passivity (waham pasif) Pasien yakin bahwa mereka dikendalikan atau dimanipulasi dari berbagai kekuatan dari luar, misalnya oleh suatu pancaran sinyal radio makhluk Mars. f) Persecution (waham kejar) Pasien merasa dikejar-kejar oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mencelakainya. g) Poverty (waham kemiskinan) Pasien takut mereka mengalami kebangkrutan, dimana pada kenyataannya tidak demikian. h) Reference (waham rujukan) Pasien merasa mereka dibicarakan oleh orang lain secara luas misalnya menjadi pembicaraan masyarakat atau disiarkan di televisi. 2) Halusinasi Halusinasi adalah persepsi sensorik yang salah dimana tidak terdapat stimulus sensorik yang berkaitan dengannya. Halusinasi dapat berwujud pengindraan kelima indra yang keliru, tetapi yang paling sering adalah halusinasi dengar (auditory) dan halusinasi penglihatan (visual). Contoh halusinasi : pasien merasa mendangar suara-suara yang mengajaknya bicara padahal kenyataannya tidak ada orang yang mengajaknya bicara; atau pasien merasa ia melihat sesuatu yang pada kenyataanya tidak ada.
18
3) Disorganized speech (pembicaraan kacau) Dalam pembicaraan yang kacau, terdapat asosiasi yang terlalu longgar. Asosiasi mental tidak diatur oleh logika, tetapi atran-aturan tertentu yang hanya dimiliki oleh pasien. 4) Disorganized behaviour (tingkah laku kacau) Berbagai tingkah laku yang tidak terarah pada tujuan tertentu. Misalnya membuka baju depan umum, berulang kali membuat tanda salib tanpa makna, dan lain-lain. 5) Gejala-gejala negatif : apatis, pembicaraan yang terhenti, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar. Biasanya menarik diri dari pergaulan sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
Waham rasa bersalah
Halusinasi pendengaran Disorganized behavior
Disorganized speech
Gejala negatif: menarik diri Orang gila dikurung
Gambar 2.3: Gejala-gejala Skizofrenia.
19
d. Jenis- jenis skizofrenia Menurut (Twosend 1998: 143), skizofrenia dapat dibagi menjadi beberapa diantaranya: 1) Skizofrenia Katatonik Skizofrenia katatonik dimanifestasikan dalam bentuk stupor ditandai dengan retardasi psikomotor, multisme, kelenturan seperti lilin, negativisme egoiditas, atau kegaduhan (agitasi psikomotor) yang ekstern, yang dapat menyebabkan kelelahan/ kemungkinan melukai diri sendiri atau orang lain jika tidak segera di kontrol. 2) Skizofrenia paranoid Skizoprenia
paranoid
dikarakteristikan
dengan
adanya
kecurigaan ekstern, terhadap orang lain dengan halusinasi dan waham kejar/ kebesaran. 3) Skizofrenia tak terinci Dikarakteristikkan dengan adanya gejala psikosis (waham halusinasi, inkoherensi atau perilaku kacau yang sangat jelas) yang mungkin memenuhi lebih dari satu tipe/ kelompok kriteria skizofrenia. 4) Skizofrenia residual Perilaku pada skizofrenia adalah eksentrik tetapi gejala psikosis saat diperiksa/ dirawat tidak menonjol. Menarik diri dan efek yang tidak serasi merupakan karakteristik dari kelainan ini. Pasien
20
memiliki riwayat paling sedikit satu episode skizofrenia dengan gejala yang menonjol. 5) Skizofrenia hebifrenik Dimanifestasikan dengan perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan, mannerisme. Ada kecendrungan untuk selalu menyendiri. Perilaku menunjukkan hampa tujuan/ hampa perasaan, afek pasien dangkal, dan tidak wajar. Sering disertai cekikikan atau perasaan puas sendiri, senyum, sendiri, proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta inkoheren.
e.
Dampak Gangguan Jiwa Skizofrenia. Menurut Keliat (1995), dampak skizofrenia antara lain : 1) Aktifitas hidup sehari- hari Mengelami gangguan dalam melakukan fungsi dasar mandiri, misalnya kebersihan diri, penampilan dan sosialisasi yang kurang. 2) Hubungan interpersonal Klien digambarkan sebagai individu yang apatis, menarik diri, terisolasi dari teman-teman dan keluarga. Keadaan ini merupakan proses adaptasi klien terhadap klien dan lingkungan kehidupan yang kaku dan stimulus yang kurang. Klien yang aktif dalam kegiatan sosial, cendrung tidak kronis, bekerja, kawin dan berfungsi baik di masyarakat.
21
3) Sumber koping Isolasi sosial, kurangnya sistim pendukung dan adanya gangguan fungsi pada klien menyebabkan kurangnya kesempatan koping untuk menghadapi stress. Akibatnya koping klien melemah. 4) Harga Diri Rendah Klien menganggap dirinya tidak mampu untuk mengatasi kekurangannya tidak ingin melakukan sesuatu untuk menghindari kegagalan( takut gagal) dan tidak berani mencapai sukses. 5) Kekuatan Kekuatan adalah kemampuan, ketrampilan/interest yang dimiliki dan pernah digunakan klien pada waktu yang lalu atau sebelum sakit dan saat mengalami gangguan jiwa fungsi sebagai kekuatan atau ketrampilan yang dimiliki mengalami kemunduran akibat menurunnya fungsi otak 6) Motivasi Klien yang mengalami gagal yang berulang. Ia tak dapat memenuhi harapannya sendiri, maupun harapan teman, keluarga, dan masyarakat. Situasi ini akan bertambah berat jika lingkungan mengucilkan klien. 7) Kebutuhan terapi yang lama Fakta yang membantu klien tetap di masyarakat (keluarga) adalah pengobatan dan program after care.
22
f. Pengobatan Skizofrenia. Pengobatan skizofrenia terdiri dari farmakoterapi dan terapi elektrokonvulsi : 1) Farmakoterapi yaitu terapi yang diberikan pada klien skizofrenia berupa obat-obatan neuroleptika yang mempunyai efek anti psikosa dan anti skizofrenia serta efek anti cemas, anti depresi dan anti agitasi. Obat-obat anti psikosa tersebut adalah Chlorpromazine, haloperidol, perfenazin, flufenazin, levomepromazine, trifluoferazin, thioridazine, pimozide, risperidon (Maramis, 2005: 462). Dampak dari penggunaan obat di atas yaitu mulut kering, pendangan mengabur, sulit berkonsentrasi, sehingga banyak orang menghentikan pengobatan mereka. Selain itu juga terdapat dampak yang lebih serius dalam beberapa hal, misalnya tekanan darah rendah dan gangguan otot yang menyebabkan gerakan mulut dan dagu yang tidak disengaja 2) Terapi elektrokonvulsi yaitu terapi kejut listrik untuk memperpendek serangan skizofrenia dan mempermudah kontak dengan klien. Akan tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang. Biasanya setelah diberikan terapi ini klien menjadi tidak sadar seketika. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah kebingungan sesudah konvulsi kadang-kadang hebat, klien dapat menjadi sangat gelisah, agresif atau destruktif. Klien harus diawasi oleh beberapa orang dan biasanya sesudah beberapa menit atau paling lama 10 menit klien sudah tenang kembali. Jika seorang klien sesudah terapi
23
elektrokonvulsi yang pertama bereaksi tenang maka untuk selanjutnya ia akan tenang juga. Sebaliknya, jika klien mengalami kebingungan pre-konvulsi maka untuk selanjutnya ia akan gelisah juga sesudah terapi elektro konvulsi.
5. Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia a.
Pengertian Kekambuhan Kekambuhan adalah kembalinya suatu penyakit setelah nampaknya mereda. Kekambuhan menunjukkan kembalinya gejala-gejala penyakit sebelumnya cukup parah dan mengganggu aktifitas sehari-hari dan memerlukan rawat inap dan rawat jalan yang tidak terjadwal. Menurut Dorland ( 2002). Berbeda halnya dengan Suntannui, et all (1995) kekambuhan menunjukkan penderita yang telah mengalami penyembuhan atau perbaikan dari gangguan atau penyakit yang secara berurutan mengalami kembali gejala-gejala gangguan atau penyakit tersebut.
b. Penyebab kekambuhan Penyebab kekambuhan yaitu tidak teratur minum obat, dosis obat tidak sesuai, tidak ada dukungan dari keluarga, adanya masalah yang tidak teratasi (PKMRS, Dr. Soetomo Surabaya).
24
c. Faktor-faktor penyebab kekambuhan Menurut Keliat (1998) faktor-faktor penyebab kekambuhan terdiri dari : 1) Klien Sudah umum diketahui bahwa klien yang gagal meminum obat dengan teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Klien skizofrenia khususnya sukar mengikuti aturan minum obat karena adanya gangguan realitas dan ketidakmampuan membuat keputusan. 2) Penanggung jawab klien Setelah klien pulang ke rumah, maka perawat puskesmas tetap bertanggung jawab atas program adaptasi klien di rumah. Penanggung jawab kasus mempunyai lebih banyak kesempatan untuk bertemu klien sehingga dapat melihat gejala dini dan segera melihat tindakan. 3) Keluarga Penelitian yang sama di Inggris dan Amerika Serikat menyatakan bahwa keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, banyak
melibatkan
diri
dengan
klien),
diperkirakan
mengalami
kekambuhan dalam waktu 9 bulan. Hasilnya, 57 persen kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17 persen kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang rendah. Terapi keluarga dapat diberikan untuk menurunkan ekspresi emosi.
25
d. Tahap-tahap Kekambuhan Menurut Hertz Oit Stuart dan Sundeen ( 1999 ), kekambuhan dibagi menjadi 5 tahap, yaitu : 1) Overextension Tahap ini menunjukkan ketegangan yang berlebihan. Pasien mengeluh perasaannya terbebani. Gejala dari cemas intensif dan energi yang besar digunakan untuk mengatasi hal ini . 2) Restricted Consciousnes Tahap ini menunjukkan pada kesadaran yang terbatas. Gejala yang sebelumnya cemas, digantikan oleh depresi. 3) Disinhibition Penampilan pertama pada tahap ini adalah adanya hipomania dan biasanya meliputi munculnya halusinasi (halusinasi tahap I dan II) dan delusi, di mana pasien tidak lagi mengontrol defense mekanisme sebelumnya telah gagal disini. Hipomania awal ditandai dengan mood yang tinggi. Kegembiraan optimisme dan percaya diri. Gejala lain dari hipomania ini adalah rasa percaya diri yang berlebihan, waham kebesaran, mudah marah,senang bersukaria dan menghamburkan uang, euforia. 4) Psikotic disorganization Pada saat ini gejala psikotik sangat jelas dilihat. Tahap ini diuraikan sebagai berikut 1) Pasien tak lagi mengenal lingkungan/ orang yang familiar dan mungkin menuduh anggota keluarga menjadi penipu. Agitasi yang
26
ekstrim mungkin terjadi, fase ini dikenal sebagai penghancuran dari dunia luar. 2) Pasien kehilangan identitas personal dan mungkin melihat dirinya sendiri sebagai orang ke-3. Fase ini menunjukkan kehancuran pada diri. 3) Total
fragmentation
adalah
kehilangan
kemampuan
untuk
membedakan realitas dari psikosis dan kemungkinan dikenal sebagai loudly psychotik. 5) Psychotic Resolution Tahap ini biasanya terjadi di rumah sakit. Pasien diobati dan masih mengalami psikosis tetapi gejalanya berhenti atau diam.
B. Kerangka Teori Untuk lebih jelasnya kerangka konsep dapat digambarkan sebagai berikut : Karakteristik Keluarga: 1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Pendidikan 4. Pekerjaan 5. Penghasilan 6. Agama 7. Suku
Penanggung Jawab Klien SKIZOFRENIA Masalah Tidak Teratasi
Dukungan Keluarga: 1.Pengetahan 2. Sikap 3.Perilaku
Dosis Obat
Gambar 2.4: Skema Kerangka Teori
Keteraturan Minum Obat
27
Kerangka teori merupakan ringkasan dari tinjauan teoritis yang dibuat oleh peneliti. Pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, dan Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respons seseorang yanng masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Newcomb (salah seorang ahli psikologi sosial) menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk menindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Tanpa pengetahuan dan sikap, keluarga tidak akan mempunyai dasar dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan klien skizofrenia agar tidak mengalami kekambuhan. Pengetahuan dan sikap individu tentang skizofrenia dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan keinginan keluarga agar klien bisa sembuh. Pengetahuan dan sikap keluarga mempengaruhi kekambuhan pasien skizofrenia sehingga dikategorikan menjadi dua yaitu klien skizofrenia tidak kambuh dan klien skizofrenia kambuh ke Unit Rawat Jalan.
C. Penelitian Terkait Sepengetahuan peneliti, penelitian dengan judul ”hubungan tingkat pengetahuan dan sikap keluarga tentang skizofrenia dengan kekambuhan pasien skizofrenia di Unit Rawat Jalan Rs. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan
28
Jakarta” ini belum pernah dilakukan. Dalam penelusuran peneliti, beberapa penelitian yang berhubungan adalah : 1) Dalam penelitian Afif Udin (2001) dengan judul “Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian skizofrenia yang dirawat inap di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor” penelitian ini adalah penelitian diskriptif analitik dengan menggunakan desain crossetional. Jumlah populasi 1404 penderita dengan jenis skizofrenia sebanyak 1087 pendeita dan 317 penderita lainnya. Hasil penelitian adalah kecendrungan peningkatan kejadian skizofrenia yang dirawat inap dari tahun 1998 sampai 2001. Proporsi kejadian skizofrenia lebih tinggi pada kelompok umur 15-45 tahun, jenis klamin laki-laki, pendidikan SLTA kebawah dan tingkat ekonomi menengah kebawah. Seseorang yang mempunyai riwayat pekerjaan berpeluang lebih besar terhadap kejadian skizofrenia dibandingkan dengan tidak mempunyai pekerjaan. Faktor-faktor yang secara statistic bermakna terhadap kejadian skizofrenia adalah yang positif mempunyai riwayat faktor keturunan dan yang mempunyai riwayat pekerjaan sebagai faktor risiko. Untuk sosek yang rendah dan yang dirawat kurang dari 30 hari sebagai factor protektif. 2) Dalam penelitian Anindito Widyantoro (2003) dengan judul “faktorfaktor yang berhubungan dengan kepatuhan keluarga penderita skizofrenia membawa keluarganya yang sakit berobat jalan di RS jiwa Propinsi Lampung” Hasil penelitian adalah sebagai berikut : pertama keluarga penderita skizofrenia yang tidak patuh membawa penderita
29
berobat jalan di Rumah Sakit Jiwa Lampung sebesar 59,4% dan yang patuh 40,6%. Kedua faktor-faktor yang mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan berobat jalan adalah, bianya pengobatan p=0,012 dan kemudahan transportasi p=0,012. 3) Dalam
penelitian
Nurdiana
(2007)
dengan
judul
“Hubungan
pengetahuan dan Sikap Keluarga Dengan Tingkat Kekambuhan Klien Skizofrenia Di Rumah Sakit Dr. Moch. Ansyari Saleh Banjarmasin. yaitu diketahui bahwa 11 responden (36,7%) memiliki tingkat pengetahuan rendah tentang skizofrenia dan 19 responden (63,3%) mempunyai tingkat pengetahuan tinggi tentang skizofrenia serta 8 responden (26,7%) memiliki sikap negatif tentang skizofrenia dan 22 responden (73,3%) mempunyai sikap positif tentang skizofrenia. Pada studi ini penulis menggunakan desain Cross Sectional. Sampel yang penulis teliti adalah keluarga dari klien yang menderita skizofrenia di Rumah Sakit Dr. Moch. Ansyari Saleh Banjarmasin. Saat penulis melakukan penelitian seluruh sampel berjumlah 30 orang, pengambilan data dengan non Probabilty Samplng tipe Porposif Sampling, data yang diproses dengan menggunakan Chi-Square dengan angka signifikan(p) < 0,05. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan keluarga dengan tingkat kekambuhan klien skizofrenia (P = 0,006), terdapat hubungan sikap keluarga dengan tingkat kekambuhan klien skizofrenia (P = 0,012). Tingkat kekambuhan tinggi bila klien dalam satu tahun kambuh lebih dari atau
30
sama dengan 3,dan rendah bila kurang dari 2 kali atau sama dengan 2 pertahun Dari penjelasan studi ini penulis menyimpulkan bahwa pengetahuan yang tinggi dan sikap keluarga yang positif akan memperkecil tingkat kekambuhan klien skizofrenia. 4) Dalam penelitian Ni Luh Putu Titim Remiati (2008) dengan judul “Hubungan Pengetahuan dan motivasi keluarga dengan kepatuhan berobat pada klien skizofrenia di unit rawat jalan RS. Jiwa Pusat Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta”. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa responden dengan pengetahuan rendah dengan tidak patuh sebanyak 29 responden (64,4%) dan 16 responden (35,6%) dengan patuh. Sedangkan responden yang mempunyai pengetahuan tinggi sebanyak 26 responden (32,9%) dan 53 responden (67,1%) dengan patuh. Dari hasil uji statistik (Chi Square) di dapatkan P value adalah 0,001 yang berarti P value lebih kecil dari (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan responden dengan kepatuhan berobat pada klien skizofrenia. Populasi yang diambil pada penelitian ini adalah keluarga klien skizofrenia yang membawa anggota keluarganya untuk kontrol ke Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Pusat Dr. Soeharto Heerdjan dari bulan April sampai dengan bulan Juni 2008. Jumlah sampel sebanyak 124 responden. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan
31
keluarga dengan kepatuhan berobat (P = 0,001), hubungan motivasi keluarga dengan kepatuhan berobat (P = 0,008). 5) Dalam penelitian Indarini Dyah SS (2009) dengan judul “Hubungan Antara Bentuk Dukungan Keluarga Dengan Periode Kekambuhan Penderita Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang”. Sampel yang diambil adalah 86 responden. Pada studi ini penulis menggunakan desain Cross Sectional. Hasil penelitian menunjukan : 72,1% keluarga mempunyai tingkat dukungan keluarga yang baik dan 27,6% mempunyai bentuk dukungan yang buruk. 68,9% mempunyai periode kekambuhan yang jarang dan 31,4% penderita gangguan jiwa mempunyai periode kekambuhan yang sering. Ada hubungan antara bentuk dukungan keluarga dalam mencegah kekambuhan dengan periode kekambuhan penderita gangguan jiwa dengan signifikansi p value = 0,002.