TAX PLANNING PPH PASAL 22, PASAL 23/26 DAN PPH FINAL
TUGAS RMK KELOMPOK
Nama Anggota: 1. Theresia Laraswati Seran
1533121009
2. Idalia Margarida A. Ximenes
1533121463
3. Emanuel Jabur
1533121274
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS WARMADEWA WARMADEWA 2018
A. PENDAHULUAN
Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Dirjen Pajak) untuk memungut pajakadalah dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan pemungutan dan pemotonganata s pa jakn ya , da ri pi ha k lai n (pi ha k ke tiga ), ses ua i de ng an kewajiban pajak untukmelakukan pemotongan atau pemungutan pajak, dan selanjutnya menyetorkan danmelaporkannya ke kantor pajak setiap bulan berdasarkan ketentuan perpajakan.C ara seperti ini dikenal dengan nama sistem withholding tax. Dengan cara ini,pemerintah akan lebih mudah dan hemat mengumpulkan pajak tanpa upaya dan biayabesar. Berbeda dengan self assessment, yang memberi kepercayaan penuh kepada wajibpajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajaknnya sendiri.Dalam praktiknya, masih saja kita
temukan
banyak
wajib
pajak
yang
tidakmemiliki
informa si
lengkap mengenai pajak apa saja yang harus dipotong ataudipungut. Sehingga
ketika
tidakmelakukan
wajib
pajak
melaksanakan
pemotongan
atau
transaksi
pemungutan
pembayaran PPh,
dan
maka
k o n s e k u e n s i y a n g h a r u s d i h a d a p i n ya a d a l a h , w a j i b p a j a k t e r s e b ut a k a n dikenai tagihan atas pajak yangtidak/kurang dipungut/dipotong, ditambah dengan sanksi administrasi.
B. PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 1. Tax Management Pemotongan dan Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK No.08/PMK.03/2008, pajak ini meyangkut PPh Pasal 22 impor, PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD atas pembayaran untuk pembelian dan penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/APBD, PPh Pasal 22 atas kegiatan usaha lain (hasil penjualan: produksi pertamina, produksi rokok, semen, otomotif, baja, kertas, dan lain-lain), PPh Pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah (PMK No.253/PMK.03/2018). Di sini yang akan dibicarakan adalah masalah PPh pasal 22 impor. Sebetulnya bidang PPh pasaal 22 impor ini menyangkut pemungutan pajak di sektor impor, yang berhubungan dengan penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukan barang dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean. Kalau perusahan mengimpor barang, harus membayar PPh pasal 22 impor pada saat pembayaran bea masuk, dan yang memungut adalah Ditjen Bea
Cukai atau bank devisi. PPh pasal 22 impor merupakaan kredit pajak yang dapat dikurangkan dari PPh yang terutang di akhir tahun pajak. PPh Pasal 22 impor ini menyangkut pemungutan pajak di sekotr impor, yangberhubungan dengan penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukan barang dariluar daerah pabean. Dal am hal impor, tarif f PPh Pasal 22 berv ariasi , dimana kalaumempunyai API tarifnya 2,5% dari nilai impor dan kalau tidak mempunyai API tarifnya7,5% dari nilai impor. Rate yang berb eda ini mendorong a danya tax planning,
sehingga
dalam
melakukanimpor,
tax
plannersering
merekomendasikan impor dengan API. Akibatnya banyak orangyang memfasilitasi
penggunaan
(“peminjaman”)
API,
dengan
m e n g gu n ak a n AP Ipengusaha yang seharusnya menggunakan tarif pajak 7,5% menjadi 2,5%. Hal ini dapatmenghemat cash flowperusahaan selama masa tertentu, walaupun pada akhirnya PPh Pasal22 ini akan menjadi kredit pajak dari PPh Badan yang terutang dalam SPT Tahunan PPhbadan (bila perusahaan dapat profit).Da lam du ni a sh ip pi ng (laut dan udara), ada i stilah “hadling fee”, ya kni jum la h feeyang harus dibayar berdasarkan perjanjian handling feeantara importir yang mempun yai API dengan pemilik barang atas jasa yang diberikan. Atas pengenaan handling feetersebut,dipo ton g PP h Pa sal 23. Cara ini dapat dipakai oleh orang atau perusahaan yang tidakmempunyai API dengan “meminjam” bendera perusahaan yang punya API untukmengeluarkan barang impornya dengan kompensasi pemberian “hadling fe e” . Bilabenefitnya (5%) lebih bes ar dari cost of handling feeyang dikeluarkan (misalnya 1,5% -2%), maka si pemil ik barang masi h bisa memper oleh tax savingdalam PPh Pasal 22sebesar 3% - 3,5% dari harga barang impor. Cara ini juga dapat menghemat cash flowuntuk masa tertentu, karena kredit p a j a k d a r i P P h P a s a l 2 2 t e r s e b u t h a n y a a k a n menyebabkan lebih bayar.
2. Pengecualian-Pengecualian (Tax Exemption) Pengecualian-Pengecualian
PPh
Pasal
22Ada
juga
pengecualian-
pengecualian pajak yang juga harus diperhatikan oleh tax planner. Misalnya untuk impor barang yang bebas bea masuk yang juga dikecualikan dari PPh impor, begitu juga barang untuk keperluan pameran, atau keperluan yang bersifat sementara. Di sini beda penggunaan sudah bisa dimanfaatkan. Tax lanner akan selalu memnafaatkan beban pajak yang minimal.Dikecualikan dari pemunggutan pajak penghasilan pasa 22, adalah (a) impor barang dan penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan tidak terutang pajak penghasilan, (b) Impor Barang yang dibebaskan dari punggutan bea masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; sebagaimana ditetapkan dalam keputusan Menteri Keuangan no. 254/KMK.03/2001 yang telah diubah dengan KMK No. 392/KMK.03/2001 dan 236/KMK.02/2003 dan 154/PMK.02/2007 dan terakhir diubah dengan PMK No. 08/PMK.03/2008.Contoh kasus: suatu perusahaa katakanlah PT A (BUMN) yang mempunyai fasilitas bebas impor barang (impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN (PP No. 12 tahun 2001) sebagaimana telah diubah ketigakalinya terakhir dengan PP No. 7 tahun 2007) dan dibebaskan dari punggutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai KMK No. 54/KMK.03/2001 yang terakhir diubah dengan PMK No. 08/PMK.03/2008, artinya sesuatu yang menyangkut pajak-pajak impor, dibebaskan yaitu, Bea Masuk, PPh Impor, dan PPN Impor. PT A mempunyai rekanan kontraktor yaitu PT B (kontraktor) sebenarnya PT B ini juga mempunyai API tapi dia tidak memanfaatkan API nya sendiri, tapi menyuruh PT A menggunakan API nya, jadi segala sesuatu yang melaksanakan impor seolah-olah PT A, padahal dalam pelaksanaanya dilapangan yang mengeksekusi adalah PT B, kenapa demikian? Karena kalau API dari PT B yang digunakan untuk mengeluarkan barang impor tersebut, pasti akan terkena Bea Masuk, PPN impor, dan PPh pasal 22 Impor, karena PT B tidak memiliki fasilitas Impor Barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Jadi disini PT B dapat menghemat cash flow-nya. seandainya kontrak perjanjian antara PT A dan PT B mensyaratkan PT B yang mengimpor barang dan harus melakukan pembayaran di muka atas biaya-biaya Impor (dengan asumsi bebas Bea Impor, PPN Impor, PPh pasal 22 Impor) maka bagi PT B (kontraktor) tekanan beban cash flow-nya sudah agak ringan.Dalam hal ini tax planner atau tax manager PT B masih harus bekerja sama dengan tax manager PT
A mengajukan permohonan tertulis pada Ditjen Pajak untuk mendapat surat keputusan bahwa barang yang diimpor tersebut didefinisikan sebagai barang strategis yang mendapat pembebasan Bea Masuk, PPN Impor, PPh pasal 22 impor, karena pengajuan surat permohonan tersebut harus dibuar secara formal atas nama PT A, bukan atas nama PT B.
3. Pengajuan SKB PPh Pasal 22
Sesuai dengan keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemunggutan PPh pasal 22 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak karena;a. Wajib pajak yang dalam pajak berjalan dapat menunjukan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal.b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang kerugian tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan.c. Pajak penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari pajak penghasilan yang akan terutang.Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan surat permohonan surat keterangan bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memnuhi kriteria, seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen Pajak di atas, dan tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum kapan permohonan SKB PPh pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.Ketentutan Pasal 22 UU No. 36 tahun 2008, menyatakan bahwa menteri keuangan dapat menetapkan bendahara pemerintah untuk memunggut pajak, sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, badan-badan tertentu untuk memunggut pajak dari wajib pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, dan wajib pajak badan tertentu unutuk memungggut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. a. PPh Pasal 22 Impor
Besarnya PPh Pasal 22 Impor adalah 1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API); -
Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir, dikenal tarif sebesar 0,5% dari nilai impor.
-
Selain impor gandum, tepung terigu oleh importir yang memiliki API tetap dikenai 2,5% dari nilai impor.
2. Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor 3. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang. Catatan:
-
Nilai impor harga patokan impor (nilai CIF) + bea masuk + bea masuk tambahan (jika ada).
-
Kurs yang digunakan untuk menghitung nilai impor adalah kurs berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
b. PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD
Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/APBD, besarnya PPh pasal 22 yang harus dipunggut adalah sebesar 1,5% dari harga beli yang dipunggut pada saat pembayaran. Pemunggutan dilakukan oleh Dirjen Anggaran, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau BUMN/D yang dananya berasal dari APBN/D.PPh pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus disetor oleh pemunggut dengan menggunakan SSP atas nama Wajib Pajak yang dipungggut (penjual).
c. PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah
Sesuai dengan PMK No.253/PMK.03/2008 tentang Wajib pajak badan tertentu sebagai pemungut PPh dari pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong sangat mewah, pemungut pajak adalah Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah yang diwajibkan memungut Pajak Penghasilan pada saat melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Besarnya Pajak Penghasilan adalah sebesar 5% dari harga jual, tidak termasuk PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
C. PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
Pajak adalah punggutan. Suka atau tidak, itu adalah suatu pemaksaan yang dilegalisasi melalui undang-undang. Undang-undang ini tujuannya untuk memberi kesan bahwa punggutan ini tidak sama dengan perampasan. Bagaimanapun juga itu adalah suatu pengeluaran yang tidak ada direct benefit-nya. Oleh karena itu sepanjang tidak ada aturannya, sah saja kalau tidak dibayar. Kalau ada pemotongan dari punggutan, masyarakat cenderung berusaha untuk shifti ng dari yang objek-objek yang kena pemotongan atau pemunggutan, melakukan shifting hingga menjadi tidak kena pajak atau shifting dari tarif yang besar ke tarif yang kecil. mereka akan bermain dengan kata-kata atau terminologi, hingga muncul istilah yang aneh-aneh. Setiap ada terminologi yang kena pajak, mereka akan mencari te rminologi lain yang tidak tercakup dalam ketentuan.Tidak jarang terjadi dispute dalam bisnis tentang kewajiban memunggut PPh pasal 23, di mana perusahaan pemilik proyek atau penerima jasa mengharuskan adanya pemunggutan dan pemotongan PPh Pasal 23 dari pihak ketiga, sedangkan pihak pemberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong pajaknya karena tidak ada pasal pemotongannya dalam kontrak perjanjian. Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, maka perusahaan pemilik proyek akan dikenai kewajiban untuk membayar PPh Pasal 23 (withholding tax) yang terutang ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
Solusinya:
a. Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp. 72 juta, di gross up menjadi 100/90 x Rp 72 juta= Rp 80 Juta. Bila jumlah transaksi dalam kontrak sudah termasuk pajak yang harus dipunggut, maka atas jumlah pajak yang dibayarkan (Rp 80 juta – Rp 72 juta = Rp. 8 juta) boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh final dan dividen. b. Namun bila perusahaan pemilik proyek membayarkan sendiri PPh Pasal 23 yang terutang (PPh ditanggung) tanpa di gross up (jadi 10% x Rp. 72 juta = Rp. 7,2 juta), maka pajak yang dibayarkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
1. Pengenaan Pajak Atas Dividen
UU PPh No. 10 Tahun 1994 menyebutkan, bahwa dividen yang diterima oleh Perseroan dalam negeri (selain bank ataulembaga keuangan lainnya) tidak termasuk objek pajak PPh Badan dengan syarat bahwa: -
Dividen berasal dari laba yang ditahan
-
Kepemilikan sahan Perseroan yang menerima dividen tersebut paling sedikit memiliki 25% dari nilai saham yang disetor dari badan yang membayar dividen.
2. Perubahan Tarif PPh Pasal 23
UU PPh yang baru No. 36 tahun 2008 telah menurunkan tarif PPh Pasal 23 yang semula 15% menjadi:1. 15% dan peredaran bruto atas dividen, bunga, royaliti, dan hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya.2. 2% peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya.
3. Pengajuan SKB PPh Pasal 23
Pengajuan SKB PPh Pasal 23Seperti pengajuan SKB PPh pasal 22 yang telah dibahas di atas, ketentuan yang sama berlaku juga pada PPh pasal 23 dengan dasar peraturan pelaksanaan yang sama, yakni sesuai dengan keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, di mana wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan pemotongan dan atau pemunggutan PPh Pasal 23 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak dengan kriteria seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen Pajak. Tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum pengajuan permohonan SKB PPh pasal 23 tersebut agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.PPh pasal 23 merupakan pemotongan atas pajak penghasilan yang diperoleh pajak dalam negeri dan BUT (bentuk usaha tetap) yang berasal dari modal, penyarahan jasa, atau penyelanggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.Sampai akhir tahun 2008, ketentuan mengenai jenis jasa yang dipotong PPh pasal 23, sesuai dengan ketentuan PER-70/PJ/2007 yang mulai berlaku sejak 9 APRIL 2007 sebagai pengganti PER-178/PJ./2006 (yang mencabut KEP-170/PJ./2002). Mulai tahun 2009, ketentuan lebih lanjut mengenai jasa lain diatur dalam PMK No.244/PMK.03/2008. a. Pemotong PPh Pasal 23/26
1. Badan Pemerintah 2. Subjek Pajak Dalam Negeri 3. Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri.
4. Orang Pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP yaitu:
Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali camat), pengacara, konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.
Orang pibadi yang menjalankan usaha dan menyelenggarakan pembukuan.
b. Subjek Pajak PPh Pasal 23/26 1.
Wajib Pajak Dalam Negeri
2.
Bentuk Usaha Tetap
3.
Wajib Pajak Luar Negeri
c. Objek Pajak PPh Pasal 23/26
Adalah penghasilan yang berasal dari: 1. Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi 2. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak badan 3. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi selain yang telah dipotong PPh pasal 21. d. Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 23 1.
15% dari penghasilan bruto, meliputi: -
Dividen, kecuali yang diterima oleh PT. BUMN/D, koperasi, dengan syarat kepemilikan saham nominal 25% (kecuali koperasi) dan dividen tersebut diambil dari laba ditahan.
-
Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
-
Royalti
-
Hadiah dan penghargaan lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
2.
15 % dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan menteri keuangan.
3.
2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh final.
4.
Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
D. PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
Objek pengenaaan PPh pasal 26 mirip dengan PPh pasal 23. Perbedaannya adalah PPh pasal 26 ini dikenakan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Aspekaspek yang mempengaruhi misalnya adalah rate-nya. Dalam PPh pasal 26 ini tariff pemotongan atas pembayaran kepada WPLN adalah 20%, dengan memperhatikan ada tidaknya tax treaty (P3B, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda). Kalau tax treaty nilai efektifnya 10%, tetapi bisa juga 5% dan bisa juga 0%. Kita sebagai tax planner harus melakukan treaty shopping dengan mencari rate yang terendah. 1. Pasal 26 ayat (1) d Imbalan Sehubungan dengan Jasa, Pekerjaan, dan Kegiatan a.
Bila ada tax treaty
Jika ada pemberian jasa oleh WPLN kurang dari uji waktu: tidak ada BUT, maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WPLN.
Syarat: Agar pemotongan bisa dilakukan sesuai tax treaty, WPLN harus dapat
menunjukkan atau memberikan Certificate of Residence Tax Payer (CRT) atau Certificate of Domicile (COD) dari Competent Authority di negara bersangkutan.
Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi uji waktu: ada BUT, maka Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh WPLN bersangkutan, yang berupa:
b.
Corporate Tax (tarif PPh Pasal 17)
Branch Profit Tax (tarif PPh Pasal 26)
Bila tidak ada tax treaty
Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari uji waktu: Tidak ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak:
basis bruto dan tarif tunggal 20%.
Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi uji waktu: ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak : basis neto dan tarif Pasal 17 UU PPh.
2. Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 26
PPh pasal 26 dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia. Pengenaan PPh pasal 26 tersebut adalah:
Dikenakan sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas penghasilan WPLN yang berupa:
a. Bunga, dividen, royalty, sewa, dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta. b. Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi PPh dari suatu BUT kecuali ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi pajak penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan diindonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri
Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan diindonesia sebagaimana yang dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akta pendiriannya, paling lama satu tahun sejak perusahaan tersebut didirikan
Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling lama tahun pajak berikur=tnya dari tahun pajak diterimma atau diperolehnya penghasilan tersebut.
Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali paling singkat dalam jangka waktu dua tahun sesudah perusahaan baru tersebyt telah berproduksi komersial.
Dikenakan sebesar 20% dari perkiraan penghasilan netodan bersifat final atas penghasilan WPLN berupa:
Penghasilan dari penjualan harta diindonesia ( 20% x 25% x harga jual).
Premi asuransi yang dibayarkan keluar negeri: a. Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi diluar negeri oleh tertanggung (20% x 50% x Jumlah premi). b. Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri pada perusahaan asuransi yang berkedudukan diindonesia( 20% x 10% x J umlah premi). c. Premi yang dibayarkan kepada asruansi luar negeri oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan diindonesia ( 20% x %5 x jumlah premi).
E. PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT (2) FINAL
Penjualan saham di bursa efek dikenai PPh final dengan tariff 0,1%. Final ini secara prinsip selalu meringankan. Dalam hal ini bagaimana dengan obligasi? Jadi menjual obligasi, secara aspek pajak tidak favourable, karena bayar pajaknya lebih banyak (pajak bunga 15%). Bursa pasar modal berusaha agar obligasi diperlakukan sama dengan saham, supaya pasar obligasi bergairah. Usaha mereka berhasil dengan dikeluarkannya PP 16 Tahun 2006 yang berlaku efektif 1 Januari 2009. Dengan demikian bunga obligasi dan Surat Utang Negara dikenai PPh final tetapi tariff pajak bunganya sebesar 15% bagi wajib dalam negeri dan BUT, dan tariff 15% diberlakukan bagi bunga/diskonto obligasi dengan kupon dan diskonto obligasi tanpa bunga. 1. Pokok Perubahan UU PPh No.36 Tahun 2008 Atas Objek Pajak Pasal 4 Ayat (2)
Menegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang baru, yang selama ini tidak secara eksplisit diatur dalam ketentuan, seperti bunga obligasi dan Surat Utang Negara. Berbeda dengan reksadana yang terdaftar pada badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan sehingga pasar obligasi reksadana bargairah; bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak secara gradual mengenai dikenai PPh pasal 4 ayat (2) final sebagai berikut:
0% untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010.
5% untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.
15% untuk tahun 2014 dan seterusnya.
Tax Planner bisa membandingkan dan menarik keuntungan dari perbedaan tariff bunga diatas, dengan segala kelebihan dan kekurangan dari reksadana dibanding dengan obligasi yang dipasarkan di bursa efek. Karakteristik PPh Final Pasal 4 ayat (2)
Pengenaannya diatur khusus dengan peraturan pemerintah.
Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabung dengan penghasilan lainnya (dianggap selesai/rampung).
Jumlah PPh final baik yang telah dipotong sendiri atau dipotong oleh pihak lain tidak dapat dikreditkan.
Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan yang dikenai PPh final tidak dapat dikurangkan.
2. Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2)
Diskonto atau bunga obligasi dan surat negara.
Penghasilan dari transaksi penjualan saham, obligasi, dan sekuritas lainnya yang diperdagangkan di bursa efek.
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI.
Penghasilan berupa hadiah atas undian.
Penghasilan atas sewa tanah dan/atau bangunan.
Penghasilan dari usaha jasa konstruksi.
Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
Bunga dan/atau diskonto obligasi dan Surat Berharga Negara (SBM).
Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
Penghasilan atas dividen yang diterima oleh WP orang pribadi dalam negeri.
Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
F. PPH PASAL 15
Merupakan PPh yang dikenakan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus (NPK) atau deem profit , yang meliputi: 1. PPh atas sewa pesawat udara dalam negeri, tarif pajaknya 1,8% dari peredaran bruto dan bersifat tidak final 2. PPh Final Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, tarif pajaknya 1,2% dari peredaran bruto bersifat final 3. PPh Final Perushaan Pelayaran/Penerbangan Luar Negeru, taif pajaknya 2,64% dari peredaran bruto bersifat final 4. PPh Final atas Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia, tarif pajaknya 0,44% dari nilai ekspor bruto bersifat final.
5. Penghasilan neto Wajib Pajak BUT dari kegiatan usaha pen geboran minyak dan gas bumi, tarifnya 15% dari peredaran bruto, bersifat tidak final.
G. TAX PLANNING PPH PASAL 22/23/26 DAN PPH FINAL
Dalam praktik, kewajiban memotong, menyetor, dan melaporkan PPh sesuai mekanisme with holding tax pada umumnya memiliki kuantitas yang cukup besar. Apalagi sejak adanya perluasan objek with holding tax sejak tahun 2000. Beberapa hal krusial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh final : 1.
Masalah Pembuatan Kontrak. Pada transaksi yang merupakan objek PPh Pasal 23/26/final, hal pokok yang harus diperhatikan adalah masalah pembuatan kontrak. Kontrak bisa dibatalkan sebagai cikal bakal terjadinya transaksi atas pihak-pihak yang terkait. Jika kontrak tidak ada, dapat digantikan oleh SPK (Surat Perintah Kerja), atau PO (Purchase Order). Oleh karena itu kesepakatan yang dibuat di dalam kontrak harus mencakup kesepakatan yang memengaruhi hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak.Jika di dalam kontrak jelas disebutkan nilai jasa dan nilai materialnya, maka PPh Pasal 23/26 hanya akan dikenakan atas jasa yang diberikan saja, kecuali untuk jasa konstruksi dan jasa catering (termasuk nilai materialnya). Sebaliknya, jika di dalam kontrak tidak ada pemisahan antara nilai jasa dengan nilai material maka PPh Pasal 23 dikenakan atas keseluruhan nilai kontrak.Di samping itu juga harus terdapat kejelasan atas hak dan kewajiban masing-masing pihak agar dalam implementasinya tidak menimbulkan masalah perbedaan penafsiran. Makin jelas dan detail pengaturan klausul perpajakannya, akan makin baik karena akan mendukung implementasi kewajiban perpajakannya. Jadi kata kuncinya adalah “Ingat with holding tax, ingat kontrak”.
2.
Konflik dalam withholding tax
Jika perusahaan memiliki transaksi yang menimbulkan kewajiban untuk memungut with holding tax maka penting bagi perusahaan untuk melaksanakan kewajibannya itu sebaik-baiknya. Konflik dalam with holding tax akan terjadi jika penerima penghasilan tidak bersedia dipotong pajaknya atau adanya perbedaan penafsiran mengenai jenis pajak dan besarnya tarif pajak yang akan dipotong. Celakanya konflik ini juga sering terjadi antara bagian keuangan atau pajak dengan bagian lain dalam satu perusahaan.Oleh karena kewajiban pemotongan, penyetoran, dan pelaporan ada pada pemberi penghasilan maka konflik dapat diat asi dengan cara negosiasi ulang dengan pihak pemberi jasa. Jika pemberi jasa tetap tidak bersedia dipotong pajaknya, maka perusahaan dapat melakukan salah satu dari dua cara berikut ini, membayarkan sendiri pajak yang terutang (PPh ditanggung) atau
melakukan gross up atas nilai kontrak (diberikan tunjangan PPh). Jika perusahaan membayarkan sendiri pajak yang terutang, maka pajak tersebut tidak boleh dikurangkan. Sementara itu jika perusahaan melakukan groos up maka pajak yang terutang boleh dibiayakan, kecuali dividend an PPh final. 3.
Rekonsiliasi Objek withholding tax dengan laporan keuangan Kewajiban wajib pajak dalam kedudukan sebagai pemotongan atau pemungutan (with holder) perlu mendapat perhatian serius dari perusahaan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian perpajakan untuk memastikan bahwa seluruh objek with holding tax sudah dilakukan pemotongan atau pemungutannya. Caranya adalah melalui rekonsiliasi atau ekualisasi antara SPT Masa dengan objek PPh yang terdapat dalam laporan keuangan komersial.Dalam hal ini terdapat akunakun yang sepenuhnya merupakan objek with holding tax dapat langsung diperbandingkan. Akan tetapi atas akun-akun yang didalamnya hanya terdapat sebagian saja yang merupakan objek with holding tax, maka perlu dilakukan pemisahan antara yang objek dan yang bukan objek with holding tax. Bila diperlukan dapat dibuat buku pembantu untuk mencatat rincian objek with holding tax dikaitkan dengan buku besarnya, mulai dari na ma akun, tanggal transaksi, nomor journal voucher, jenis transaksi, jumlah objek, masa pelaporan, dan nomor serta tanggal bukti pemotongan PPh yang dibuat.
4.
Klausal Kontrak dengan WPLN Di samping harus mengatur klausul perpajakan secara jelas dan terperinci, khusus kontrak dengan pihak Wajib Pajak Luar Negeri harus memperhatikan beberapa hal, antara lain:
Negara asal WPLN tersebut, sehingga perusahaan mengetahui apakah perlu melihat pada ketentuan tax treaty atau tidak
Jika kontrak dilakukan dengan WPLN memberikan CRT ( certificate of residence taxpayer ) kepada perusahaan sebelum dilakukan pembayaran atau penagihan. Dan hal ini diakomodasi di dalam kontrak dengan WPLN tersebut.
H. TAX PLANNING PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 ORANG PRIBADI
Sesuai
Per-Menkeu
No.
255/PMK.03/2008,
besarnya
angsuran
Pajak
Penghasilan Pasal 25 untuk wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, Ref.Per-Dirjen Pajak No.35/PJ/2009), ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut. Sedangkan untuk wajib pajak masuk bursa dan wajib pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan tiharuskan membuat laporan keungan berkala, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilann Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, diagi 12 (dua belas). Hanya karena kealpaan tax planner yang tidak menghitung atau merencanakan angsuran PPh Pasal 25 dengan benar, khususnya untuk wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu yang mestinya didasarkan pada laporan keuangan berkala, akan bisa berimplikasi pada timbulnya lebih bayar pajak pada SPT Tahunan PPh Badan yang ujung-ujungnya akan mengakibatkan perushaan menghadapi pemeriksaan pajak oelh fiskus. Dampaknya tax planning harus disesuaikan kembali karena “terganggu” oleh pemeriksaan pajak (bila efeknya signifikan terhadao jumlah pajak yang hatus dibayar perusahaan).