ARTHUR SCHOPENHAUER 2.1. Mengenal Artur Schopenhauer Shopenhauer dapat disebut sebagai seorang filsuf yang masih mempunyai hubungan erat dengan idealisme Jerman dan murid ideal dari Kant. Tetapi Schopenhauer merupakan satu figur yang asing dalam deretan filsuf Eropa, teristimewa karena keperibadian dan karena filsafat India. Ia lahir dari sebuah keluarga pedagang di kota Danzig pada tanggal 22 Februari 1788. Ketika kota Danzig diserahkan kepada Prusia tahun 1793, keluarganya turut berimigrasi ke Hamburg dan menetap di sana sampai ayahnya meninggal tahun 1805. Ibunya adalah seorang Novelis yang kemudian mendirikan sebuah salon di Weimar. Di tempat inilah Schopenhauer kemudian berkenalan dengan Göthe yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya selanjutnya. Masa pendidikan Schopenhauer ditempuhnya selama dua tahun di Prancis, beberapa bulan di London dan juga di Swiss dan Austria. Selepas kematian ayahnya, ia masuk Universitas Göttingen sebagai mahasiswa kedokteran sebelum belajar fisika, kimia dan botani. Secara khusus pada kesempatan ini untuk pertama kali ia membaca karya-karya Plato dan Kant. Kedua tokoh ini kemudian menjadi tokoh yang sangat berpengaruh dalam pemikirannya dalam bidang filsafat. Di Universitas Berlin, Schopenhauer sengaja meminta mata kuliahnya diberikan pada jam sama seperti Hegel, dengan harapan bahwa orang akan membanjiri kuliahnya dan menjauhkan Hegel yang terlalu berbelit-belit. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Selama dua puluh tahun pertama, karya utamanya tidak banyak dikenal. Kalau kemudian filsafat Scopenhauer diperhatikan, itu lebih karena kekecewaan di Jerman dan Eropa pada umumnya setelah revolusi pada tahun 1848. Revolusi dipandang tidak mendatangkan perubahan seperti yang dibicarakan oleh Kant dan Hegel. Karena itu, sikap pesimistis menemukan pada Schopenhauer penjelasan filosofisnya. 2.2. Dasar Pemikiran Schopenhauer Pandangan filosofis Schopenhauer terungkap dalam karya utamanya: Die Welt Wille und Vorstellung (Dunia sebagai kehendak dan gambaran). Dunia adalah gambaran, itulah satu-satunya kebenaran a priori yang kita miliki. Kita memiliki gambaran tentang dunia dan kita hanya mengenal dunia seturut gambaran yang sudah terbentuk itu. Sebuah benda an sich tidak dapat kita kenal. Yang dapat kita kenal adalah benda dalam penampilannya kepada kita. Untuk dapat masuk dan mengenal dunia, kita tidak menemukan jalan dari luar. Dari luar, kita tidak menemukan pintu untuk masuk ke dalam rumah dunia ini. Yang ada hanya satu pintu dan pintu itu ada dalam diri kita sendiri yaitu kehendak. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang lahir dari kehendak. Bagi Schopenhauer
1
kebenaran tidak tidak lahir dari pemikiran, kesadaran atau rasio melainkan datang dari lapisan yang lebih mendalam. Manusia sebenarnya didorong untuk hidup dan kehendak itu menggunakan ratio sebagai budaknya. Filsuf Jerman Immanuel Kant berkutat dengan putusan-putusan atas cita rasa. Objekobjek dinilai indah, sarannya, ketika mereka memuaskan a disinterested desire: hasrat yang tidak melibatkan kepentingan atau kebutuhan personal. Ia [pernyataan tersebut] merupakan turunan dari bahwa objek-objek yang indah tidak merupakan ekspresi dari semata-mata preferensi personal tapi adalah universal. Meski orang tidak dapat merasa pasti bahwa orang lain akan terpuaskan oleh benda-benda yang dia pandang sebagai indah, ia sedikitnya dapat mengatakan bahwa orang lain seharusnya puas. Dasar bagi respon seseorang atas keindahan terdapat dalam struktur pikirannya. Seni
harus
memberikan
kepuasan
disinterested
yang
sama
seperti
[yang
diberikan/disediakan] keindahan alam. Secara paradoks, seni dapat mencapai sesuatu yang tidak dapat dilakukan alam. Ia dapat menawarkan keindahan dan ketakindahan dalam objek yang sama. Sebuah lukisan dari wajah yang buruk meski demikian tetap indah. Menurut filsuf Jerman abad 19 G.W.F. Hegel, seni, agama, dan filsafat merupakan dasar dari perkembangan spiritual tertinggi. Keindahan dalam alam merupakan segala sesuatu yang spirit manusia dapati menyenangkan dalam pengejawantahan kebebasan intelektual dan spiritual. Hal-hal tertentu dalam alam dapat dibuat lebih congenial dan menyenangkan, dan adalah objek-objek alam ini yang direorganisir oleh seni untuk memuaskan tuntutan-tuntutan estetis. Filsuf Jerman Arthur Schopenhauer percaya bahwa bentuk-bentuk dalam alam semesta, seperti bentuk-bentuk abadi Platonis, eksis di luar dunia pengalaman, dan bahwa kepuasan dicapa melalui kontemplasi atasnya demi mereka sendiri, sebagai suatu cara membebaskan diri dari dunia pengalaman sehari-hari yang memilukan. Schopenhauer (1788-1860) selalu menyebut-nyebut filsafat Kant sebagai sumber dari filsafatnya dan Plato sebagai orang yang sangat digemarinya. Segala seni mempunyai tempat tertentu di dalam idea yang dibentangkan dalam bukunya yang berjudul “World as Will and Idea”. Keindahan barang yang indah, menurut Schopenhauer, mempunyai dua segi, yaitu membebaskan dari kemauan. Kemauan untuk hidup di segi lain mengisi pikiran dengan suatu “gagasan”, suatu obyektifikasi kemauan hingga mencapai suatu tingkat dimana kita melihat obyek khusus dari pengamatan estetis. Sebagaimana segala sesuatu pada taraf tertentu merupakan suatu obyektifikasi dari kemauan, maka segala sesuatu adalah juga karateristis dalam taraf tertentu indah. Tidaklah ada perbedaan yang lebih jauh antara seni dan alam selain bahwa di dalam seni, seniman meminjamkan matanya kepada kita untuk melihat, karena
2
seninya dapat memahami bahasa alam yang diucapkan setengah-setengah, sehingga dapat melahirkan apa yang ingin dilahirkan oleh alam tapi belum berhasil. Menurut Schopenhaure, seni yang tertinggi ialah musik. Alam adalah musik yang telah terjelma di dalam barang-barang. Musik adalah seni yang terselinap di dalam dunia ini, dan ia merupakan sesuatu yang sangat menenangkan tapi tidak dapat dinyatakan, ia mirip dengan surga yang telah kita kenal tapi tidak pernah dapat diketahui, sangat masuk akal tapi tidak dapat sama sekali diterangkan. Arsitektur adalah seni yang paling rendah, setingkat dengan seni mencangkul kebun, karena sangat dekat dengan hajat jasmani manusia. Tingkat di atasnya adalah seni lukis dan seni patung, kemudian lebih tinggi dari itu seni sastra (puisi), dan menyusul seni drama, tragedia dan komedia. Tragedia dapat membawa kita untuk mengikuti perasaan “manusia mutlak”, kata Schopenhaure, dan hal itu terjadi dengan perantaraan rasa belas kasihan. Belas kasihan adalah indera yang keenam, karena manusia tidak akan dapat mengetahui barang-barang kecuali bila ia menaruh simpati kepada mereka dan menaruh rasa belas kasihan kepada kemanusiaan. Rasa simpati adalah tujuan terakhir dari semua filsafat. Menurut Schopenhaure, seni adalah jalan yang terbagus untuk mencapai pengetahuan murni tentang dunia, karena seni adalah “mekarnya segala yang ada”. Kalau kemauan itu memilukan, untuk hidup itu menyedihkan, maka seni adalah hiburan yang terbaik, dan merupakan tempat istirahat yang terjamin. Disatu pihak, seni membangkitkan kekuatan dan menghilangkan rasa lelah tapi dipihak lain ia juga mendatangkan semangat keindahan yang menghapuskan krisis-krisis dalam hidup. Schopenhaure mempunyai pandangan mengenai kecantikan yang berlainan dari pandangan kita. Kalau Kant menganggap lelaki bersifat agung dan wanita bersifat cantik, maka Schopenhaure memandang kedua-duanya adalah cantik. Akan tetapi, kata dia, lelaki adalah justru lebih cantik daripada wanita. Kelabihan pada jenis laki-laki ini tidak terbatas pada manusia, tapi bahkan dibuktikan oleh jenis binatang-binatang. Ayam jantan adalah labih cantik dari ayam betina; bulunya, potongan tubuhnya, geraknya dan sebagainya. Kuda jantan lebih cantik dari kuda betina, burung, ikan, binatang-binatang lainnya yang berjenis kelamin,laki-laki adalah lebih cantik dari yang betina. Akan tetapi seni tidaklah merupakan surga yang terakhir karena kesenangan yang terdalam menghendaki ketenangan mutlak, dan keindahan adalah mirip dengan kemusnahan. Di sini Estetika berubah menjadi mistika, dan orang yang mencapai pemusnahan dirinya dan inilah Nirvana. Dan memang Schopenhaure adalah banyak terpengaruh oleh filsafat India. Meskipun mempunyai pengaruh besar dikemudian hari,
3
namun hasil karyanya lebih mirip kepada karya pujangga dari pada karya seorang ahli filsafat. Munculnya pemikiran Schopenhaure habislah warisan sumbangan pikiran para pengikut Kant, dan jaman baru dewasa ini adalah kelanjutan dari jaman filsafat kritika (Wadjiz 1985: 38-41). Dalam buku The World as Will and Idea (1909), filsuf Jerman yang memegang teguh
tradisi
Kantianism
dan
idealism,
Arthur
Schopenhauer
(1788-1860),
mengemukakan bahwa hidup manusia dijalani dalam tatanan ganda sekaligus, yakni “makrokosmos” (dunia) dan “mikrokosmos” (diri sendiri). Tetapi, kematian itu unik. Meski terjadi di tatanan mikro, kematian bukan suatu pengalaman, tetapi “akhir” yang menutup seluruh pengalaman. Dalam hal ini, pintu pemahaman tertutup bagi manusia. Ia tidak diberkahi kemampuan (faculty) untuk memahaminya (Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysic of Morals, 1785). 2.3. Penderitaan dan Keselamatan Schopenhauer melihat kehidupan sebagai penderitaan karena menurutnya kehendak itu terbatas, sementara kemungkinan pemenuhan kehendak terbatas pula. Kita tidak akan pernah menemukan pemenuhan dan pemuasan semua dorongan keinginan nafsu kita. Kalau demikian, sumber penderitaan adalah diri kita sendiri. Penderitaan mengungkapkan kehendak sebagai daya yang terbesar pada manusia. Kekuatan kehendak menjadi nyata dalam penderitaan, sebab penderitaan lahir dari perbedaan antara kehedak dan kemampuan untuk memenuhinya. Manusia selalu merasa tidak puas, mengalami munculnya keinginan yang satu sesudah pemuasan yang lain. Sebuah penderitaan muncul setelah penderitaan yang lain diatasi. Penderitaan itu adalah realitas yang biasa di dunia, sedangkan kebahagiaan hanyalah sebuah negativitas, yakni ketiadaan dari penderitaan. 3.DUA
JALAN
PELEPASAN
KEHENDAK
DALAM
DIRI
MANUSIA
MENURUT
PANDANGAN ARTUR SCHOPENHAUER 3.1. Memaknai Arti Pelepasan Kehendak Kata “pelepasan” berasal dari kata dasar lepas: dapat bergerak (lari) ke manamana: tidak tertambat, bebas dari ikatan; tidak terikat lagi, melarikan diri, bebas dari hukuman. Kata ini kemudian mendapat awalan ke- dan akhiran –an menjadi kata “pelepasan”: proses, cara, perbuatan, pemecatan (dari tugas), dubur, anus. Dari arti kata di atas kata pelepasan mengandung arti suatu proses lepas dari sesuatu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kehendak berasal dari kata dasar hendak: mau; akan; bermaksud akan. Kata ini kemudian mendapat awalan ke- menjadi “kehendak”: kemauan; keinginan dan harapan yang keras. Dari arti kata ini, kata kehendak mengandung arti kemauan atau keinginan dan harapan yang keras untuk dapat
memiliki
sesuatu
atau
dapat
4
mencapai
sesuatu.
Dalam Kamus Filsafat, kata kehendak mengandung beberapa pengertian. Istilah ini mengacu pada suatu potensi, fakultas atau daya di dalam manusia yang terlibat di dalam pengambilan keputusan. Hal ini berhubungan dengan ratio seseorang dalam mengambil suatu keputusan. Kamus Filsafat melihat kehendak sebagai: Mengetahui dan menghendaki merupakan dua bentuk fundamental kegiatan spiritual. Menghendaki tidak mutlak dalam arti bahwa menghendaki lebih mengacu pada usaha untuk mencapai yang baik yang akan dicapai atau dihasilkan. Kegiatan dasar kehendak adalah afirmasi terhadap nilai atau cinta. Objek khusus kehendak mutlak adalah nilai mutlak atau kebaikan pada dirinya. Kehendak itu sendiri merupakan suatu keinginan akan sesuatu hanya kalau kebaikan tidak disamakan dengan kehendak atau sama sekali tidak dihubungkan dengan kehendak. Sedangkan objek khusus kehendak sama dengan objek khusus kehendak mutlak yaitu nilai pada diri sendiri. Objek dari kegiatan kehendak diinginkan
karena
kebaikannya
sedikit
banyak
memberikan
sumbangan
bagi
penyempurnaan seseorang yang menghendakinya. 3.2.3. Menurut Pandangan Para Filsuf Para filsuf melihat arti kehendak secara berbeda-beda menurut pandangan mereka masing-masing: Nietzsche (1844-1900), melihat kehendak sebagai kehendak untuk berkuasa. Kehendak untuk berkuasa adalah kharakter dari segala yang ada. Ini merupakan jawaban atas pertanyaan apa artinya “berada”. Berada berarti berada seturut kehendak untuk berkuasa. Segala sesuatu yang ada selalu berada dalam proses menjadi. Kehendak memberi jawaban dalam dirinya “ya atas kehidupan”. Karena ia menghendaki sesuatu yang lain maka ia terbuka terhadap apa yang lain itu. Tidak ada pemisahan antara kehendak dan yang dikehendaki. Dalam kehendak kita menemukan diri kita sebagaimana diri kita berada. Dengan demikian kehendak selalu ada dalam diri manusia sekalipun manusia kadang tak menyadari akan eksistensi kehendak itu sendiri. Sedangka Kant, (1724-1804) melihat kehendak sebagai bagian dari keinginan yang beraksi dalam bentuk konsep. Ia hampir menyamakan kehendak dengan ratio. Fakultas kehendak dapat bekerja tanpa memperhitungkan keinginan dan kecendrungan dan penentu kegiatan-kegiatan kehendak adalah ratio praktis sendiri . Dikatakan bahwa prinsip-prinsip praktis adalah proposisi-proposisi yang berisi ketentuan umum kehendak, yang memiliki beberapa aturan praktis. Prinsip-prinsip itu bersifat subjektif, atau berupa maksim-maksim, ketika kondisi ini oleh subjek dianggap sahih hanya bagi kehendaknya sendiri. Prinsip-prinsip itu bersifat objektif, atau merupakan hukum praktis, ketika kondisi tersebut oleh subjek diketahui objektif, yakni sahih untuk kehendak setiap mahluk rasional . Dengan mengasumsikan bahwa akal budi murni mempunyai sebuah dasar praktis yang mencakupi untuk menentukan kehendak, maka dijumpai adanya hukumhukum praktis. Namun, semua prinsip praktis hanyalah maksim-maksim. Di dalam
5
kehendak makhluk rasional yang dipengaruhi oleh perasaan, mungkin saja terjadi konflik antara maksim dan hukum praktis yang diketahui oleh makhluk tersebut. Misalnya, seorang dapat menganggap sebagai maksimnya sikap untuk tidak toleren terhadap tindakan balas dendam, tetapi pada saat yang sama mengetahui bahwa sikap ini hanya maksimnya sendiri, bukan hukum praktis, dan bahwa jika dianggap sebagai aturan untuk kehendak setiap makhluk rasional, sikap itu inkonsisten dengan dirinya sendiri. Hegel,
1770-1854)
mengaitkan
kehendak
dengan
apa
yang
disebut
pengetahuan. Roh absolut “Geist” yang mewujudkan diri dalam kehendak dan dalam sapere/ pengetahuan. Unsur yang paling dominan dalam kehendak adalah intelek. Intelek membimbing pengetahuan untuk menunjukkan dirinya sebagai sesuatu yang berada. Ia kemudian melihat kehendak dalam konteks kekuasaan. Menghendaki adalah kemampuan untuk memimpin atau menguasai. Kehendak untuk lebih kuat berarti kehendak untuk lebih di atas, melampaui yang lain. Dalam proses tertentu ia menjadi sangat kreatif dan pada waktu yang lain lebih destruktif sebagai penyebab kehancuran. Dalam doktrin Aristoteles dan Plato tentang tiga bagian jiwa, kehendak terletak antara ratio dan nafsu-nafsu. Bagi keduanya, kehendak lebih dekat dengan yang pertama daripada yang terakhir. Ratiolah yang berfungsi mengontrol kehendak. Manusia berkewajiban membangun kebiasaan-kebiasaan yang baik yang memungkinkan kontrol macam ini. Aquinas mengikuti garis yang sama. Kehendak didefinisikan sebagai nafsu intelektual yang dipengaruhi dan mempengaruhi ratio. Bagi Hobbes, (1588-1679) kehendak berhubungan dengan nafsu-nafsu. Malahan ia menganggap kehendak sebagai mata rantai terakhir dari rangkaian nafsu-nafsu yang menuju tindakan. Ia memandang tenaga kehendak sebagai hampir tak terbatas dibandingkan dengan keterbatasan yang dilalui ratio. Baginya, kekuatan kehendaklah yang memungkinkan kebebasan manusia. 3.3.Dua Jalan Pelepasan dari Penderitaan Adakah jalan keluar dari lembah penderitaan ini? Dikatakan bahwa pengetahuan bukanlah jalan keluar yang tepat, sebab semakin tinggi derajat sebuah mahluk yang ditandai kesanggupan pengetahuan, semakin besar pula kesanggupannya untuk menderita. Pada tahap ini, Schopenhauer melihat adanya sebuah jalan keluar yang ditawarkan oleh kesenian. Kesenian adalah permenungan tentang sesuatu terlepas dari relasi kausalitas dan terpisah dari penentuan kehendak. Kesenian adalah kemampuan untuk hanya memperhatikan, untuk membiarkan yang ada berbicara, untuk menjadi sangat objektif, dan dari pengamatan itu dapat mengulangi yang diamat dalam karya seni. Bagi Schopenhauer individu-individu dapat mengatasi dunia dan penderitaannya dengan kontemplasi filosofis, transendensi melalui pengalaman estetis dan belas kasihan . Inilah yang dinamakan jalan pelepasan kehendak. Manusia semestinya tidak
6
bergembira karena manusia hidup, sebaliknya harus meratapi fakta tersebut. Lebih baik tiada daripada ada, lebih baik tiada daripada hidup. Bagi Schopenhauer kehidupan adalah sesuatu yang seharusnya tidak ada. Kalau seorang individu memilih, dia akan menolak kehidupan sebab dia telah mengerti bahwa dunia ini sia-sia. Semua keadaan dalam kehidupan berakhir sebagai frustrasi, tidak bahagia, ilusi atau menyakitkan. Hal ini disebabkan
hidup
di
dunia
selalu
diliputi
oleh
penderitaan,
keputusaasaan,
ketidakpastian, kekecewaan, ketidakberdayaan, kehilangan harapan dan kematian. Schopenhauer kemudian menyimpulkan bahwa dunia ini merupakan kemungkinan yang terburuk, tidak ada yang lebih buruk yang dapat diciptakan atau dibayangkan. Dunia dilihat sebagai ungkapan dari kehendak yang buta serta irasional. Segala sesuatu memiliki kehendak untuk hidup dan konsekuensinya ialah adanya penderitaan. Di alam yang bebas, kehendak yang demikian menampakkan diri dalam berbagai wujud makhluk hidup yang hanya akan melihat dan menyantap makhlukmakhluk lain. Dunia dan manusia menurut dasarnya yang terdalam merupakan kehendak. Dorongan untuk mempertahankan hidup dan memperoleh kesejahteraan adalah dua hal yang juga merupakan kemauan kehendak yang memaksa orang untuk melakukan apa yang disebut dosa. Menurutnya, setiap keinginan yang sudah dipuaskan menghasilkan keinginan baru yang juga harus dipuaskan lagi, dan begitu seterusnya tanpa berhenti. Namun kemungkinan-kemungkinan untuk memuaskannya terbatas, sehingga tidak ada yang bisa benar-benar memuaskan. Kenyataan untuk terus memuaskan diri secara terus-menerus semacam ini, pada suatu taraf orang akan merasa bosan dan frustrasi. Hal ini dilihat oleh schopenhauer sebagai penderitaan. Apabila telah ada
satu
penderitaan
maka
akan
muncul
penderitaan
baru.
Apakah penyebab dari semua penderitaan ini? Hal ini disebabkan oleh kehendak itu sendiri. Menurutnya, seperti yang dikutip oleh Simon Petrus, “karena disiksa dan didorong oleh tuntutan-tuntutan kehendak untuk hidup. Kehendak untuk hidup itu adalah Dosa Asal. Maksudnya, sama seperti dosa asal yang membawa penderitaan bagi semua keturunan Nabi Adam, demikian juga kehendak untuk hidup menjadi sebab bagi banyak malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa manusia”. Dalam mengatasi kenyataan di atas ia menawarkan dua jalan. Kedua jalan itu adalah kontemplasi estetis dan jalan etis. Untuk dapat mendalami ajarannya tentang dua jalan pelepasan ini, maka pada uraian selanjutnya
akan
dilihat
dan
diuraikan
lebih
jelas
tentang
dua
jalan
ini.
3.3.1.Kontemplasi Estetis Dengan kontemplasi estetis, manusia dapat memadamkan hasrat-hasratnya. Karya seni atau hal yang berhubungan dengan seni bisa menimbulkan gairah. Kesenian adalah jalan permenungan tentang sesuatu terlepas dari relasi kausalitas dan terpisah dari penentuan kehendak. Kesenian adalah kemampuan untuk hanya memperhatikan, untuk membiarkan yang ada berbicara, untuk menjadi sangat objektif, dan dari
7
pengamatan itu dapat mengulangi yang diamat dalam karya seni. Dan hal ini hanya ada pada orang-orang jenius. Yang jenius adalah yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada sesuatu. Schopenhauer memberi tempat istimewa bagi seni. Dalam seni orang dapat mengenal aspek pembentukkan ulang dari kenyataan. Bidang itu adalah musik . Musik adalah ungkapan langsung dari kehendak dan dengan demikian ia berasal dari hakekat dunia. Di dalamnya seluruh dunia dan manusia menunjukkan dirinya. Melalui musik kehendak semesta langsung berbicara kepada kita. Musik adalah realitas di belakang konsepkonsep yang menawarkan diri secara langsung. Agendi atau aksi dilihat Schopenhauer sebagai kehendak dari sang seniman. Tugas seni harus memimpin subjek untuk membebaskan diri dari objektivitas tertentu untuk menggapai idea murni. Musik adalah ungkapan langsung dari kehendak dan dengan demikian ia berasal dari hakekat dunia. Di dalamnya seluruh dunia dan manusia menunjukkan dirinya. Melalui musik kehendak semesta langsung berbicara kepada kita. Musik adalah realitas di belakang konsepkonsep yang menawarkan diri secara langsung. Agendi atau aksi dilihat Schopenhauer sebagai kehendak dari sang seniman. Tugas seni harus memimpin subjek untuk membebaskan diri dari objektivitas tertentu untuk menggapai idea murni Namun ini dilihatnya sebagai suatu hal yang bukan merupakan kehendak estetis. Sebuah pengalaman estetis adalah usaha memandang objek keindahan bukan sebagai objek nafsu. Sebuah kontemplasi estetis adalah usaha menemukan makna keindahan dalam objek itu. Baru dengan sikap kontemplatif ini manusia tanpa pamrih, lalu bebas dari perbuatan kehendak atau penderitaan. Kontemplasi estetis memang hanya mungkin untuk sementara waktu saja. Ia dapat seakan-akan untuk sementara melindungi kita terhadap keresahan dorongan dan keinginan, tetapi kita tak dapat mengunci diri di dalamnya untuk selamanya. Saat kontemplasi manusia lupa akan penderitaannya, jiwanya tentram, tapi sesudah itu dia akan mengalami penderitaan lagi. Pelarian yang dilakukannya ini hanya bersifat sementara waktu saja. Hal ini bukanlah suatu hal yang kekal, yang dapat memberikan ketenangan abadi kepada manusia. 3.3.2.Jalan Etis Jalan etika adalah jalan yang baik menuju pembebasan. Pelepasan yang langgeng adalah pelepasan yang dapat diperoleh lewat jalan etis. Kehendak adalah suatu tuntutan dalam diri yang harus dipenuhi. Kehendak dapat menjadi cambuk yang mematikan dalam hidup seseorang. Oleh karena itu kehendak dapat menghasilkan penderitaan yang dapat disimpulkan juga bahwa kehidupan itu adalah suatu hal yang buruk atau jahat. Schopenhauer melihat penderitaan itu seperti orang Kristen yang harus memikul salib sebagai penderitaan dan seruan untuk menolak dunia sebagai jalan keluar dari penderitaan. Penolakan terhadap dunia, itulah jalan lain untuk membebaskan diri dari
8
kehendak. Dengan demikian kalau manusia mau lepas dari penderitaan dan kejahatan hidup ini dia harus menolak kehendak untuk hidup. Namun hal yang tak menyenangkan dari pandangan ini bahwa orang harus bunuh diri. Ini berarti bahwa tindakan bunuh diri adalah suatu tindakan moral yang tinggi. Hal itu juga berarti bahwa orang enggang berhadapan dengan suatu perkara yang dianggap tidak dapat ditangani. Menghadapi kenyataan ini, Schopenhauer berhasil menjawabnya dengan mengatakan bahwa tindakan bunuh diri justru merupakan sikap tunduk kepada kehendak untuk hidup itu, bukan penolakan atasnya. Keinginan untuk bunuh diri menurutnya seperti yang dikutip oleh Hardiman merupakan ungkapan tersembunyi dari kehendak untuk hidup. Jadi, dengan bunuh diri orang malah melakukan kejahatan. Jalan yang harus ditempuh bukannya bunuh diri, melainkan moralitas. Moralitas adalah suatu hal yang sangat khas dalam filsafatnya. Manusia merasa bebas hanya dari tampak luarnya saja (secara fenomenal), padahal secara hakiki (numenal) manusia adalah budak kehendak. Pada kenyataan ini, manusia berusaha keluar dari kenyataan fenomena ini dengan berusaha untuk menemukan sebuah simpati etis terhadap manusia lain. Hal yang dilakukan adalah dengan melakukan kebaikan. Dengan kebaikan manusia berharap dapat menemukan cinta kasih yang dapat melepaskan dirinya dari sikap egoisme dan kelekatan manusia pada hasrat-hasrat rendah dan dengan itu dia telah berusaha untuk menolak kehendak. Bila orang telah sampai pada taraf ini, dunia dianggapnya sebagai sebuah ketiadaan dan akan mencapai Nirvana. Nirvana adalah pemadaman total kehendak; dan karena kehendak itu lenyap, dunia juga menjadi ketiadaan (banyak dipengaruhi oleh ajaran Buddha) . Dengan mencapai Nirwana orang akan mengalami ketiadaan eksistensi individualnya. Dengan itu pula keinginan tidak akan ada lagi, tidak ada kehendak dan tidak ada dunia. 3.4.Catatan Kritis Atas Pandangan Schopenhauer Tentang Dua Jalan Pelepasan Dari uraian diatas, penulis dapat melihat bahwa pada dasarnya Schopenhauer memusuhi hidup ini. Hidup ini dilihatnya sebagai belenggu yang terus melilit diri. Hal-hal lahiriah dalam diri manusia/ dorongan-dorongan (Keinginan, nafsu, insting, hasrat dan kemauan) merupakan unsur yang selalu ada dan selalu mewarnai diri manusia. Bila manusia mengelak akan keberadaan hal-hal di atas berarti manusia telah menyangkal diri dan hidupnya sendiri, apalagi kalau keinginan seseorang tak dapat dipenuhi. Keadaan menderita dan kecewa akan terus mewarnai perilaku manusia yang kemudian akan menyengsarakan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dalam bertindak dan berpikir. Hal ini didorong oleh kehendak akal yang ada pada diri manusia. Kesenangan dilihat sebagai sesuatu yang sangat diinginkan
9
dalam kodrat alami kita. Namun tak dapat disangkal pula bahwa kehendak dapat menyebabkan
kesengsaraan
pada
diri
manusia.
Kehendak
yang
berakibatkan
kesengsaraan ini dilihat oleh Schopenhauer sebagai hal yang tak baik dan harus dihindari. Itu berarti, ia tidak mengakui kodrat manusia lagi. Oleh karena itu ia harus melihat kembali kebelakang bagaimanakah manusia itu diciptakan menurut kodratnya. Manusia telah dianugerahi Tuhan seperti yang ada sekarang. Itu berarti manusia juga punya kehendak. Jalan yang ditawarkannya memang dapat mengurangi penderitaan manusia tapi tak dapat menghilangkannya. Mati bukanlah jalan keluar yang tepat karena yang dapat mengambil nyawa seseorang hanyalah Tuhan. Bunuh diri adalah perbuatan yang menamatkan hayat atau perbuatan memusnahkan diri karena enggan berhadapan dengan suatu perkara yang dianggap tak dapat ditangani. Tindakan bunuh diri lazimnya berlaku kepada mereka yang menghadapi tekanan. Mereka ini akan bertindak di luar akal pemikiran yang waras. Penulis lebih mendukung pemikiran Kant bahwa dalam kehendak ada kesesuaian secara menyeluruh keinginan dengan hukum moral yang merupakan kondisi paling tinggi dari kebaikan tertinggi. Kesesuaian ini pasti dimungkinkan sebagaimana objeknya, karena dia termasuk didalam perintah yang mengharuskan kita untuk lebih mementingkan objeknya. Kesesuaian antara kehendak dengan hukum moral adalah kesucian yang merupakan kesempurnaan di mana tidak ada makhluk rasional di dunia indra yang mampu memisahkannya. 4.PENUTUP Manusia adalah makhluk berkehendak. Sebagai manusia yang berkehendak, ia dapat melakukan apa saja untuk memenuhi dirinya. Keadaan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup yang terus-menerus dan sulit untuk dihindarkan adalah sebuah penderitaan. Hal ini yang dilihat oleh Schopenhauer. Penderitaan ini sangat menyiksa hidup manusia. Sehubungan dengan hal di atas, ia menawarkan dua jalan pembebasan. Kedua jalan itu adalah jalan kontemplasi estetis dan jalan etis. Jalan kontemplasi estetis ditempuh melalui musik. Lewat musik atau seni orang dapat melepaskan penderitaan yang dideritanya karena unsur kehendak. Dengan kontemplasi estetis, manusia dapat memadamkan hasrat-hasratnya. Karya seni atau hal yang berhubungan dengan seni bisa menimbulkan gairah. Cara pertama ini meliputi semua bidang kesenian dengan memuncak pada seni musik sebagai suatu penghentian ‘tekanan’ kehendak umum dan buta, tetapi hanya selama pengalaman akan seni itu ada. Kesenian adalah jalan permenungan tentang sesuatu terlepas dari relasi kausalitas dan terpisah dari penentuan kehendak.
Kesenian
adalah
kemampuan
untuk
hanya
memperhatikan,
untuk
membiarkan yang ada berbicara, untuk menjadi sangat objektif, dan dari pengamatan itu
10
dapat
mengulangi
yang
diamat
dalam
karya
seni.
Jalan etis adalah jalan kedua yang ditawarkan olehnya ditempuh dengan cara menolak hidup ini. Jalan yang kedua ini tetap pada pengingkaran diri (askese). Hidup yang penuh penderitaan harus dilalui atau dilewati dengan penderitaan. Namun itu tidak berarti baginya untuk menghalalkan kematian. Hal itu telah melanggar hukum moral. Tindakan bunuh diri hanya merupakan suatu sikap tunduk kepada kehendak yang akan tetap membawa penderitaan. Orang harus berbuat baik dalam terang cinta kasih yang kemudian membawanya pada kehidupan di Nirvana. Kedua jalan diatas dilihat oleh penulis bukanlah suatu jalan yang baik sebab menghindar dari kenyataan yang hanya sementara waktu bukanlah cara yang paling baik apalagi harus bunuh diri. Kematian dengan cara bunuh diri bukanlah suatu cara yang halal dan itu melanggar moral. Hal itu juga berarti bahwa ia tak menghendaki hidup ini. Hidup hanya bisa diakhiri oleh Tuhan.
CLIVE BELL Biografi Clive Bell •
Clive Bell lahir tanggal 16 September 1881, di Shefford Timur, Berkshire, Inggris. Dia adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari William Heward Bell (18491927) dan Hannah Cory Taylor (1850-1942).
•
Ia dididik di Marlborough dan di Trinity College, Cambridge, di mana ia belajar sejarah. Pada tahun 1902 ia menerima Earl of Derby beasiswa untuk belajar ke Paris, dimana minatnya pada seni berasal. Setelah kembali ke Inggris, ia pindah ke London, ia bertemu dan menikah dengan artis Vanessa Stephen pada tahun 1907. Dan mempunyai dua anak laki-laki bernama Julian dan Quentin.
Teori Clive Bell Teori Bell ada tiga, yakni : 1. Emosi estetik. 2. Bentuk signifikan (significant form). 3. Esensialisme. 1. Emosi Estetik Emosi Estetik adalah
emosi yang timbul ketika melihat sebuah karya seni yang
mengandung nilai emosi spesifik (emosi yang muncul bukan seperti perasaan seharihari). Seperti teori disinterestedness (ketidakpamrihan) dari Immanuel Kant, contohnya :
11
Ketika melihat iklan karena tidak adanya kebutuhan terhadap iklan tersebut, tetapi membuat kita ingin mengetahui lebih lanjut maksud dari iklan tersebut maka muncul perasaan 2. Bentuk Bermakna Bentuk bermakna muncul dari adanya keselarasan bentuk garis, warna, tekstur, irama, dan nuansa-nuansa lain dalam suatu karya seni yang memunculkan emosi estetik pada pengamat. Sebuah karya seni memiliki bentuk bermakna apabila karya seni tersebut memunculkan efek emosi tertentu (emosi estetik) yang mampu membawa manusia melepaskan diri dari dunia aktivitasnya dan memasuki dunia kegembiraan estetik. 3. Esensialisme Esensialisme adalah seni yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme memandang bahwa seni harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Seni Menurut Clive Bell •
Clive Bell filsuf seni ‘klasik modern’ dengan bukunya yang terkenal, Art (1913). Teori Bell yang terkenal yakni “significant form” (bentuk bermakna) tentang ‘bentuk indah’ yang seolah-olah berada di luar bentuk karya itu sendiri.
•
Teori Bell turunan dari teori Plato, mirip dengan teori disinterestedness, Kant dan filsuf moral Inggris, G.E. Moore jauh lebih kuat.
•
Menurutnya, semua sistem estetik dimulai dari pengalaman pribadi subjek yang dirasakan
oleh seorang pribadi dan khusus mengenai
rasa keindahan
(rasa estetis). •
Bell, menjelaskan perbedan antara bentuk bermakna dengan bentuk dalam seni representasi (mimesis) seperti dalam teori Plato.
•
Dalam seni representasi, ‘bentuk’ bukan hanya objek emosi, dimaksudkan untuk membangkitkan emosi tertentu terhadap ‘informasi’ yang direpresentasikan. Misalnya, lukisan potret atau lukisan sejarah diciptakan dengan maksud utama untuk menyampaikan informasi. Emosi yang ditimbulkannya adalah emosi patriotik, emosi kemegahan, dan lain-lain.
•
Berbagai emosi semacam ini masih mengandung interest, dan dengan demikian tidak membangkitkan emosi estetik karena tidak memberikan bentuk bermakna.
12
Baru memiliki bentuk bermakna apabila lukisan itu bukan hanya menawarkan informasi dengan efek emosi tertentu, tetapi
juga mampu membawa manusia
melepaskan diri dari dunia aktivitasnya. •
Dunia seni bermakna dunia transendental, yang menawarkan suatu pengalaman emosi estetik yang belum kita kenal dalam kehidupan emosi sehari-hari. Itulah emosi murni yang membebaskan diri dari pengalaman emosi sehari-hari kita,
•
Seni yang mementingkan interest tertentu sebenarnya hanya memberikan atau memenuhi emosinya sendiri.
•
Yang sering dipermasalahkan dari bentuk bermakna ini adalah apakah yang dimaksud oleh Bell sebagai kualias semacam itu bersifat ‘hubungan-hubungan’ atau ‘karakteristik’? Apakah dalm sebuah karya seni, kualitas ‘bentuk bermakna’ itu didapatkan setelah adanya aktivitas menyusun, menghubung-hubungkan unsur-unsurnya, yang memang bersifat sangat subjektif, atau memang karya itu punya
karakteristik
dalam
dirinya
sedemikian
rupa
sehingga
sanggup
membangkitkan emosi estetik? •
Bell
mengatakan,
bahwa
bentuk
bermakna
diperoleh
setelah
aktivitas
menghubung-hubungkan itu, setelah terjadi pembangunan struktur yang menghasilkan bentuk bermakna. Bahwa bentuk bermakna itu adalah karakteristik karya itu sediri, sekalipun karakteristiknya berupa esensi – signifikansi – konstan, dalam pilihan-pilihan bentuk eksis terjadi perubahn perseptual.
Buku Karya Clive Bell •
Art (1914)
•
Peace at Once (1915)
•
Ad Familiarities (1917)
•
Pot-Boilers (1918)
•
Poems (1921)
•
Since Cézanne (1922)
•
On British Freedom (1923)
•
Landmarks in Nineteenth-Century Painting (1927)
•
Civilization: An Essay (1928)
•
Proust (1928)
•
An Account of French Painting (1931)
•
Enjoying Pictures: Meditations in the National Gallery and Elsewhere (1934)
•
Warmongers (1938)
•
Old Friends: Personal Recollections (1956)
13
GUSTAV THEODOR FECHNER (1801-1887) BIOGRAFI Gustav Fechner lahir pada 19 April 1801 di Gross-Sarchen, Lower Lusatia. Dia mendapatkan gelarnya dalam bidang pengetahuan biologi pada tahun 1822 di University of Leipzig dan mengajar disana sampai ia meninggal pada tahun 1887. Dia mengembangkan
ketertarikannya terhadap matematika dan psikologi. Dia diangkat
menjadi profesor psikologi pada tahun 1834. Pada tahun 1839, Fechner jatuh sakit karena matanya terluka saat melakukan eksperimen dengan menatap matahari. Akibatnya dia mengisolasi diri dari dunia selama 3 tahun. Selama periode ini Fechner memiliki ketertarikan yang lebih pada bidang filsafat. Fechner percaya, “segala sesuatunya diberkahi dengan jiwa, tidak ada yang tanpa bahan dasar, pikiran dan materi adalah esensi yang sama, tapi dilihat dari berbagai sisi yang berbeda.” Dia menulis banyak buku dan monograf tentang subjek yang berbeda. Seperti ilmu kedokteran, estetika dan eksperimen psikologi.
EKSPERIMEN FECHNER Fechner dikenal sebagai pakar estetika eksperimental .Disebut demikian karena ia menolak konsep deterministik terhadap objek esensi seni dan keindahan. Ia menyebut estetika demikian itu sebagai estetika dari atas. Fechner adalah orang yang berjasa dalam merintis penggunaan eksperimen yang sistematis untuk membentuk estetika formil yang ilmiah. Ia menyebut estetik yang dikembangkan oleh para filsuf adalah estetika dari atas, karena membuat kesimpulan-kesimpulan dengan deduksi-deduksi, sedangkan estetikanya sendiri adalah dihampiri dari bawah karena mempergunakan pengamatan secara empiris dan percobaan seperti laboratorium terhadap suatu hal yang nyata. Dalam mempelajari pemikiran estetika, ia membagi estetika menjadi : 1.
Estetika atas
2.
Estetika bawah atau eksperimental
3.
Estetika masa sekarang atau dari bawah ke atas
ESTETIKA ATAS Estetika atas adalah penyelidikan estetika yang murni. Pemikiran estetika atas merupakan penyelidikan estetika yang menggunakan pendekatan metafisika atau dari
14
segi filsafat murni. Estetika atas bertitik tolak dari pengertian – pengertian / definisi – definisi yang berwujud konsep. Model pendekatan lebih bersifat komprehensif. Ciri – ciri pemikiran estetika atas antara lain adalah bahwa banyak masalah estetika/ penghayatan, penilaian, ide, selera perasaan yang merupakan hal – hal yang bersifat subjektif. Artinya, sangat sulit untuk dikaji secara ilmiah/induktif/dicari objektivitasnya. Jadi, pengembangan estetika dari segi pendekatan filosofis tidak dapat ditinggalkan ESTETIKA BAWAH Estetika bawah mendasarkan pada eksperimental dengan Fechner sebagai perintisnya. Dan ia yang mengusulkan nama Estetika Induktif “von outen” sebagai hal yang berlainan dari estetika metafisis lama “von oben” untuk menentukan konsepsi yang tepat mengenai hakikat keindahan yang objectif. Untuk merumuskan keindahan dengan bereksperimen menemukan istilah-istilah baru seperti : tangga estetik, keseragaman dalam variasi, tidak ada kontradiksi, kejelasan, pertautan, pertentangan dan sebagainya. Fechner membuat langkah-langkah awal di bidang seni yang menyangkut bidang geometri dengan metode induksi komparasi yaitu dimulai dengan karya – karya yang kemudian dibanding-bandingkan dan dirumuskan. Fechner berhasil menemukan kecenderungan-kecenderungan manusia dalam penerapannya, Misalnya, bentuk segiempat dengan perbandingan 21:34 paling disukai, dan warna-warna yang paling disenangi adalah merah dan biru. Dari eksperimen-eksperimennya, salah satu eskperimen yang terkenal adalah Eksperimen Proporsi Segiempat Emas ( The Golden Rectangle) Penggunaan
metode
kuantitatif
dalam
estetik
berupa
pengukuran
dan
perhitungan yang cermat dilakukan untuk menentukan ukuran estetis yang dapat menyatakan besarnya nilai keindahan atau kadar perasaan estetis. Hasil perumusan itu menumbuhkan cabang pengetahuan yang disebut estetik matematis. Psikologi estetis dan psikologi seni fechner mengembangkan estetik dengan memakai metode psikologis.
Hal ini menumbuhkan bidang pengetahuan baru yang disebut
psikologis estetis. Estetika dari Bawah ke Atas Pada tahap ini dimaksudkan agar estetika keluar dari daerah ilmu-ilmu normatif dan memasuki ilmu-ilmu positif.
15
Estetika dari bawah ke atas memadukan antara tuntutan pemikiran filosofis dan keharusan metode penyelidikan secara positif yang terdapat dalam jiwa dan ilmu-ilmu masyarakat. Eksperimen Segiempat Emas (The Golden Rectangle) Eksperimen Fechner yang paling terkenal adalah “segi empat kertas karton putih” yang memiliki luas permukaan sama tapi memiliki perbandingan sisi yang berbeda. Fechner meminta kepada para sample responden memilih bidang yang paling harmonis dari berbagai segi empat dengan perbandingan sisi-sisinya, 1:1 ; 5:6; 4:5; 3:4; 7:10; 2:3; 21:34; 13:23; 1:2; 2:5. Hasil dari eksperimen itulah yang menghasilkan “The Golden Section” dari persegi panjang yang perbandingannya 21:34. MAKNA KEINDAHAN Makna keindahan menurut Fechner dari berbagai eksperimennya adalah sebagai berikut : (hasilnya masih spekulatif) 1.
Dalam arti luas, bahwa seni adalah segala yang menyenangkan secara umum.
2.
Arti lebih sempit, bahwa keindahan memberikan kesenangan yang lebih tinggi, tapi masih bersifat inderawi.
3.
Arti paling sempit, bahwa keindahan sejati tidak hanya menyenangkan, tetapi juga kesenangan yang sesungguhnya, yakni memiliki nilai – nilai dalam kesenangan tersebut yang didalamnya terkait konsep keindahan dan konsep moral, kebaikan.
16