BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang:
Tindak pidana pencucian uang atau dalam bahasa ingris sering di kenal dengan "money laundring" Merupakan suatu perbuatan yang bertujuan untuk mencuci atau membersihkan asal usul perolehan harta kekayaan seseorang dari suatu tindak pidana sehingga harta kekayaan berubah status, menjadi alat pembayaran yang sah. Tindak pidana pencucian uang ini bernuansa internasional, terorganisir dan berdampak luas pada perekonomian suatu negara. Semula tindak pidana pencucian uang dimunculkan sebagai suatu tindakan pidana (kejahatan) berasal dari tindak pidana narkotika dan psikotropika yang sangat pesat terjadi di negara maju termasuk negara di Amerika Selatan seperti Kolombia, Mexico, dan Afrika Selatan seperti Nigeria dan beberapa kepulauan di Pasific, seperti kepulauan Caymand dan Karibia. Tindak pidana pencucian uang (money laundering) adalah "derivatif" dari kejahatan narkotika dan psikotropika, kemudian diperluas meliputi seluruh harta kekayaan atau aset yang berasal dari semua tindak.
Negara indonesia merupakan sala satu negara yang relatif baru menanggapi tindak pidana pencucian uang melalui undang-undang No. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang yang telah di perbarui dengan undang-undang No 25 tahun 2003. Lalu dengan berjalannya waktu di kini telah di gantikan dengan Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.Tindak pidana pencucian uang yang menjadi perhatian oleh pemerintah indonesia ini berawal dari adanya daftar yang di keluarkan oelh Financial Action Task Force (FATF). Yang menyatakan indonesia bahwa negara indonesia tidak koorperatif dalam mencegah dan memberantas dan mencegah tindak pidana pencucian uang.
Indonesia pada tahun 2002 mengeluarkan Undang-undang No. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang namun undang-undang tersebut masih belum memenuhi standart internasional sebagai perangkat yuridis untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang , beberapa kelemahan undang-undang No.15 tahun 2002:
Adanya batasan Rp 500 juta pada definisi hasil kejahatan
Terbatasnya jumlah tindak pidana asal (predicate crime)
Penyampaian transaksi keuangan oleh penyedia jasa keuangan kepada PPATK selama 14 hari sejak transaksi dinilai terlalu lama
Belum terdapatnya larangan bagi penyedia jasa keuanngan (PJK) untuk memberitahukan transaksi keuangan sedang disusun atau atau telah dilaporkan ke PPATK
Kerjasama internasional belum diatu secara terperinci
Karena undang-undang No. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang dianggap belum memenuhi standart internasional, maka pemerintah merubahnya dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang- undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Yang sekarang telah di sempurnakan lagi menjadi Undang-undang No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Selain Undang-undang tersebut di atas, pemerintah juga membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau daam bahsa inggris dikenal dengan Financial Intellegence Unit (FIU). Lembaga ini merupakan lembaga yang independen yang melakukan kerjasama dengan Penyedia Jasa Keuangan (PJK), Kepolisian, Kejaksaan, dan Lembaga Pengadilan dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang. Presiden Juga telah mengeluarkan KEPRES No. 82 tahun 2003 tentang tata cara Pelaksanaan Kewenangan PPATK. Dalam melaksanakan tugasnya, PPATK mempuyai kewenangan yaitu meminta dan menerima laporan dari PJK, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan, melakukan audit terhadap PJK mengenai kepatuhan kewajiban, memberikan pengecualian terhadap kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai oleh PJK.
Berdasarkan harian kompas, sejak didirikannya lembaga PPATK hingga Tanggal 26 november 2015, disebutkan bahwa :
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) semakin banyak menerima laporan tentang transaksi mencurigakan. Laporan itu sebagian telah ditindaklanjuti lembaga penegak hukum, salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi. Kepala PPATK Muhammad Yusuf mengatakan tahun ini lembaganya menerima laporan sebanyak 46 ribu. Itu terhitung hingga Oktober 2015. "Data kami banyak, setiap tahun meningkat," kata Yusuf di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis, 26 November 2015. Menurut Yusuf, laporan itu berasal dari 294 penyedia jasa keuangan (PJK). Rinciannya, 56,1 persen dari PJK nonbank dan 43,9 persen disampaikan PJK bank. Mayoritas transaksi keuangan mencurigakan itu terjadi di Jakarta sebanyak 45,5 persen. Sisanya di Jawa Barat 11,7 persen, dan Jawa Timur 10,8 persen. Berdasarkan profilnya, Yusuf menambahkan, sebagian besar atau 91,9 persen terlapor merupakan perorangan, sisanya korporasi. Mayoritas terlapor perorangan adalah laki-laki sebesari 65,3 persen, pekerjaan utama sebagai pengusaha/wiraswasta 35,3 persen, dengan usia produktif 30-60 tahun. Dari jumlah laporan yang masuk tadi, kata Yusuf, hanya 22,4 persen laporan yang mampu diidentifikasi terkait dengan tindak pidana. Indikasi tindak pidana asal yang dominan adalah penipuan 50,3 persen, korupsi 17,2 persen, dan perjudian 8,1 persen.
Dengan adanya keterangan tersebut, maka lembaga PPATK telah menerima laporan dan menganilisa sejumlah laporan untuk di teruskan ke aparata yang berwenang. Namun adakalanya lembaga PPATK menemui kendala-kendala dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, yang di sebabkan karena Tindak Pidana Pencucian uang itu merupakan Tindak Pidana yang rumit dengan menggunakan cara yang canggih dan sulit untuk di lacak.
Terkait dengan adanya lembaga yaitu PPATK yanng ikut berperan dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang, maka peneliti tertarik untuk membuat penulisan hukum dengan judul: "Pelaksanaan Kewenangan PPATK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang"
Rumusan masalah:
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana pelaksanaan kewenangan PPATK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang?
Apa kendala-kendala yang di hadapi PPATK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang?
Tujuan penelitian
Adanya tujuan penelitian yang jelas dan terarah akan menghindarkan terjadinya ketidak jelasan arah penelitian, tujuan penulisan hukum ini adalah:
Untuk mengetahui pelaksanaan kewenangan PPATK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Untuk mengetahui kendala-kendala yang di hadapi PPATK dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Manfaat penelitian:
Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat yaitu:
Secara teoritis, diharapkan dapat memberi sumbangan terhadap perkembangan ilmu hukum pidana, khususnya dengan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
Secara praktis, untuk memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai keberadaan PPATK serta perkembangan tindak pidana pencucian uang di Indonesia
Tinjauan pustaka
Dalam Undang-undang No.8 tahun 2010, definisi dari pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sesuai dalam ketentuam undang-undang tersebut. Undang-undang No. 8 tahun 2010 juga telah mengatur lebih lanjut mengenai hal hal yang berhubungan dengan tindak pidana Pencucian Uang itu sendiri.
Romli atmasasmita dalam bukunya " Globalisasi dan kejahatan Bisnis" menjelaskan bahwa Tindak pidana pencucian uang (money laundering) selalu berhubungan dengan kejahatan yang dilakukan oleh suatu organisasi kejahatan, sehingga dapat disebut sebagai jantungnya organisasi kriminal ini yang memberikan darah segar ke dalam tubuh organisasi tersebut.
KEPRES No. 8 tahun 2003 dalam pasal-pasalnya telah menjelaskan tugas dan wewenang dari lembaga PPATK untuk kepolisian, kejaksaan, dan direktorat jenderal bea dan cukai maupun pihak-pihak lain guna mencegah dan memberantas penyebaran Tindak Pidana Pencucian Uang di negara Indonesia.
Metode penelitian
Untuk menjamin kebenaran ilmiah, maka dalam suatu penelitian harus mempergunkan metodologi penelitian yang tepat karena hal tersebut merupakan pedoman dalam rangka mengadakan analisis terhadap data hasil penelitian. Berikut beberapa metodologi yang akan dipergunakan dalam penulisan hukum ini:
Tipe penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian Yuridis Normatif, yakni penelitian yang di fokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah, norma-norma, teori-teori, dan konsep-konsep tentang hukum positif di negara indonesia
Pendekatan masalah
Oleh karena tipe penelitian yang digunkan adalah tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunkan dalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundangan-undangan yang dalam hal ini peneliti menelaah dan mengkaji pelaksanaan undang-undang No 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
Bahan hukum
Sumber-sumber hukum yang di pergunakan dalam penulisan hukum ini adalah sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder yaitu:
Sumber hukum primer yaitu bahan hukum yang di peroleh melalui peraturan perundangan-undangan yaitu undang-undang No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang di peroleh melalui studi kepustakaan baik berupa buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, maupun media internet.
Analisis Data
Sifat dari penulisan hukum ini bersifat Deskriptif, karenanya data-data yang di peroleh secara teoritis maupun normatif, dianilisis secara kualitatif
BAB II
KAJIAN DASAR TEORI
Sejarah dan Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang
Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang
Asal muasal money laundry dilakukan oleh organisasi criminal yang sering dikenal dengan sebutan mafia. Money laundry biasanya dilakukan atas beberapa alasan, seperti karena dana yang dimiliki adalah hasil curian/korupsi, hasil kejahatan (semisal pada sindikat kriminal), penjualan ganja, pelacuran, penggelapan pajak, dan sebagainya. Atas hal tersebut maka uang tersebut harus "dicuci" atau ditransaksikan ke pihak ketiga, lewat badan hukum, atau melalui negara dunia ketiga. Sehingga uang tersebut dapat diterima kembali oleh pemilik asal uang tersebut seolah-olah berasal dari hasil usaha yang legal.
Kemudian sesuai dengan dinamisnya perkembangan peradaban, cara-cara memperoleh uang kotor dikategorikan menjadi dua. Pertama, memperoleh uang melalui cara-cara yang melanggar hukum, yakni dengan drugs trafficking, bribery, prostitution, terrorism, dan lain-lain. Kedua, dengan pengelakan pajak, yakni memperoleh uang secara halal namun hanya sebagian yang dilaporkan kepada pemerintah
FATF (Financial Action Task Force) yang di bentuk oleh negara G-7, dalam perannya sebagai organ khusus yang membantu seluruh negara untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di dunia memiliki kedudukan yang strategis. Meskipun berbentuk gugus kerja, namun sifat dari setiap rekomendasi yang dikeluarkan oleh FATF sangat dipercaya dan memiliki legitimasi sehingga bagi negara yang tidak patuh terhadap rekomendasi-rekomendasinya, akan kehilangan kepercayaan bersama dan negara lain enggan melakukan hubungan ekonomi dan keuangan dengannya. Garis besar tugas FATF adalah:
Mengawasi, memonitori dan mengevaluasi capaian-capaian negara anggota FATF dalam upaya untuk patuh (complied) terhadap seluruh langkah-langkah strategis maupun rekomendasi yang telah dibuat dan disepakati;
FATF dituntut untuk menyelenggarakan penelitian dan kajian seputar trends (kecenderungan) pencucian uang, teknik-teknik pencucian uang (termasuk di dalamnya adalah tipologi baru), dan langkah-langkah untuk mencegah dan memberantasnya;
Mendorong dan mempromosikan kepada negara-negara anggota terhadap standar anti-pencucian uang kepada masyarakat luas.
Indonesia baru memandang praktek pencucian uang sebagai suatu tindak pidana dan menetapkan sanksi bagi pelakunya adalah ketika diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang (UUPU).kemudian pada tanggal 17 April 2002 diubah dengan UU No.25 Tahun 2003 dan kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pengertian pencucian uang (money laundering) adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari kejahatan, menyamarkan asal-usul uang haram dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system), sehingga uang tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal. Pasal 1 ayat 1 UU No 25 tahun 2003 berbunyi: Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan , atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau diduga (seharusnya "patut diduga") merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Tentu saja, tindak pidana pencucian uang ini tidak mungkin dihindari pada bidang perpajakan kita, oleh karena itu Pusdiklat Pajak bekerja sama dengan Kejaksaan Tinggi, Badan Reserse Kriminal POLRI, dan Direktorat Jenderal Pajak mengadakan DTSS Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pengertian Pencucian Uang
Secara etimologis, pencucian uang berasal dari bahasa Inggris yaitu money "uang" dan laundering "pencucian", jadi, secara harfiah money laundering merupakan pencucian uang atau pemutihan uang hasil kejahatan, yang sebenarnya tidak ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai money laundering, karena baik negara-negara maju dan negara-negara dunia ketiga masing-masing mempunyai definisi sendiri-sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda, namun para ahli hukum di Indonesia telah sepakat mengartikan money laundering dengan pencucian uang.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, mendefinisikan pencucian uang atau money laundering sebagai:
Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasaldari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (finacial system)sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal
Pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal (3), (4), dan (5) Undang-Undang No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pecucian Uang. Intinya adalah bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya
Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 yang kemudian di sempurnakan menjadi Undang-Undang No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang. mengamanatkan pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga sentral yang mengkoordinasikan pelaksanaan Undang-undang dimaksud guna mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia. PPATK adalah lembaga yang independen dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Keberadaan PPATK sebagai suatu lembaga intelijen di bidang keuangan, yang secara internasional nama generiknya adalah Financial Intelligence Unit (FIU) memiliki tugas dan kewenangan khusus.
Kewenangan PPATK adalah meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan; meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum; melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan; dan memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai. Berdasarkan UU TPPU dan Keppres No. 82 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Kewenangan PPATK dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, lembaga intelijen di bidang keuangan (FIU) Indonesia ini dapat melakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait baik secara nasional maupun internasional. Kerjasama dengan instansi pemerintah di dalam negeri terutama dilakukan agar rezim anti pencucian uang di Indonesia dapat diterapkan secara efektif sehingga PPATK dapat membantu upaya penegakan hukum dan menjaga stabilitas dan integritas sistem keuangan.
Macam- macam tindak pidana awal (Predicate Crime)
Pasal 2 UU 8/2010 menggunakan unsur "hasil tindak pidana", sementara Hagan (2013) menggunakan istilah "uang kotor" dalam definisinya tentang pencucian uang. Kedua definisi tersebut memiliki persamaan yang menggambarkan bagaimana uang yang diperoleh merupakan hasil dari kejahatan (ilegal)—kemudian uang hasil dari kejahatan tersebut diproses melalui pencucian uang, dimaksudkan agar menjadi legal. Kejahatan apa saja yang menjadi sumber dana untuk pencucian uang? Atau dengan kalimat lain, kejahatan apa yang merupakan tindak pidana asal (predicate crime) terjadinya pencucian uang?
Mengacu pada Pasal 2 UU 8/2010, yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana asal bagi terjadinya pencucian uang, antara lain: korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan, atau tindak pidana lain yang diancam dengan penjara 4 tahun atau lebih.
Tahapan –Tahapan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang
Mengacu pada UU 8/2010, pencucian uang didefinisikan sebagai kegiatan: menempatkan, mentransfer, mengalihkan membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan (Pasal 3); menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (Pasal 4); dan menerima, menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (Pasal 5).
Dari definisi menurut UU 8/2010 di atas, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam PPATK E-Learning (2014) mengelompokkan pelaku pencucian uang ke dalam 2 klasifikasi, yaitu pelaku pencucian uang aktif dan pelaku pencucian uang pasif. Pelaku pencucian uang aktif, yaitu pelaku yang memenuhi Pasal 3 dan Pasal 4 UU 8/2010, dimana pelaku pencucian uang adalah sekaligus pelaku tindak pidana asal dan merupakan pihak yang mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil tindak pidana. Pelaku pencucian uang pasif, yaitu pelaku yang dikenakan Pasal 5 UU 8/2010, dimana pelaku pencucian uang adalah pihak yang menikmati manfaat dari hasil kejahatan dan berpartisipasi menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.
Tidak mudah untuk membuktikan adanya suatu kejahatan pencucian uang, karena kita telah ketahui bahwa kegiatannya sangat kompleks sekali, namun para pakar telah berhasil menggolongkan proses pencucian uang (money laundering) ke dalam 3 (tiga) tahap, yaitu:
Tahap penempatan( placement ) merupakan upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana kedalam sistem keuangan ( financial sistem) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain–lain) kembali kedalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Dalam proses penempatan uang tunai kedalam sistem keuangan ini, terdapat pergerakan fisik uang tunai baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu Negara ke Negara lain, penggabungan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, atau cara–cara lain seperti pembukaan deposito, pembelian saham–saham atau juga mengkonversikannya ke dalam mata uang Negara lain.
Tahap (layering) merupakan upaya untuk menstransfer harta kekayaan, berupa benda bergerak atau tidak bergerak berwujud maupun tidak berwujud, yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk kedalam sistem keuangan melalui penepatan (placement). Dalam proses ini terdapat rekayasa untuk memisahkan uang hasil Placement ke beberapa rekening atau lokasi tertentu lainnya dengan serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber dana "haram" tersebut. Layering dapat pula dilakukan dengan transaksi jaringan Internasional baik melalui bisnis yang sah atau Perusahaan–perusahaan "shell"( perusahaan mempunyai nama dan badan hukum namun tidak melakukan kegiatan usaha apapun) Teknik lain dari layering ialah memberi efek (saham dan obligasi), kendaraan, dan pesawat terbang atas nama orang lain. Kasino sering juga digunakan karena kasino menerima uang tunai. Sekali uang tunai tersebut dikonversikan kedalam chips dari kasino tersebut, maka dana yang telah dibelikan chips tersebut dapat ditarik kembali dengan menukarkan chips tadi dengan cek yang dikeluarkan oleh kasino tersebut.
Tahap menggunakan harta kekayaan (intergration), suatu upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk kedalam sistem keuangan melalui placement atau layering sehingga seolah–olah menjadi harta kekayaan yang "halal". Proses ini merupakan upaya untuk mengembalikan uang yang telah dikaburkan jejaknya sehingga pemilik semula dapat menggunakan dengan aman. Disini uang yang di "cuci" melalui placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan–kegiatan resmi sehingga tampak seperti tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan yang menjadi sumber dari uang tersebut.
Sebagaimana dikemukakan oleh Jeffrey Robinson, tahap placement adalah tahap yang paling rentan (vulnerable) bagi pencuci uang karena apabila pencuci uang tidak dapat memasukkan uang haram tersebut kedalam proses pencucian, maka ia tidak akan dapat mencuci uang haram tersebut. Namun, sekali uang haram itu berhasil di konversikan ke dalam nomor–nomor (rekening bank) yang muncul di suatu layar komputer dan nomor–nomor tersebut berhasil dipindahkan mondar–mandir melintasi dunia, maka hal itu seperti halnya riak air sebagaimana digambarkan diatas lenyap dan batu tersebut terkubur di dalam lumpur di dasar kolam itu.
Tugas dan wewenang Lembaga PPATK
Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan atau PPATK adalah Lembaga yang terbentuk akibat dari lahirnya Undang-undang Tindak pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menetapkan PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Peran PPATK yang berfungsi sebagai financial intellegence unit (FUI) di Indonesia juga memiliki tugas dan wewenang khusus serta sumber daya manusia yang dimiliki. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU menetapkan bahwa tugas pokok PPATK yaitu:
Mengumpul, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan Undang-undang ini;
Memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan;
Membuat pedoman mengenai tatacara pelaporan transaksi keuangan mencurigakan;
Memberikan nasehat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini;
Mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukan dalam undang-undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;
Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
Melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
Membuat dan memberikan laporan mengenai analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara bekala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan; dan
Memberikan informasi kepada publik tentang kinerja kelembagaan sepanjang pemberian informasi tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Dalam melaksanakan tugasnya, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yaitu:
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;
pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor;
analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain (''predicate crimes'').
Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, PPATK mempunyai wewenang sebagai berikut berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yaitu :
Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, PPATK berwenang:
meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;
menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan;
mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait;
memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang;
mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang; dan
menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) angka 1 dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) angka 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengatur kewenangan PPATK sebagai berikut : Dalam melaksanakan fungsi pengelolaan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b, PPATK berwenang menyelenggarakan sistem informasi.
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengatur kewenangan PPATK sebagai berikut :
Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c , PPATK berwenang:
menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi Pihak Pelapor;
menetapkan kategori Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana pencucian uang;
melakukan audit kepatuhan atau audit khusus;
menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Pihak Pelapor;
memberikan peringatan kepada Pihak Pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan;
merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha Pihak Pelapor; dan
menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali Pengguna Jasa bagi Pihak Pelapor yang tidak memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur.
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengatur kewenangan PPATK sebagai berikut :
a. Dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 angka 4, PPATK dapat:
meminta dan menerima laporan dan informasi dari Pihak Pelapor;
meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait;
meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK;
meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan permintaan dari instansi penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri;
meneruskan informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta, baik di dalam maupun di luar negeri;
menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat mengenai adanya dugaan tindak pidana pencucian uang;
meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uang;
merekomendasikan kepada instansi penegak hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana;
meminta informasi perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana Pencucian Uang;
mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan
meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik.
b. Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) angka 9 harus segera menindaklanjuti setelah menerima permintaan dari PPATK.
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menegaskan bahwa dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaski Keuangan (PPATK) merupakan lembaga yang bertugas untuk melakukan pencegahandan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dalam melaksanakan fungsi fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang PPATK memiliki kewenangan meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan terhadap laporan hasil analisis atau pemeriksaan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang dihasilkan kepada penyidik yang diatur dalam Pasal 44 Ayat (1) huruf (l) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Muhammad Fadli,dkk. Tinjauan hukum tindak lanjut laporan hasil analisis pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan di tingkat penyidikan. ( Makasar, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makassar). hlm.10.
Dari bunyi pasal tersebut dapat diketahui bahwa laporan hasil analisis PPATK berupa adanya transaksi yang mencurigakan kemudian akan ditindaklanjuti oleh lembaga penegak hukum lain yakni Kepolisian dan kejaksaan. Dari sini terlihat bahwa kegiatan analisis yang dilakukan oleh PPATK bukanlah bertindak sebagai penyidik, tetapi hanya sebagai bahan bagi penyidik untuk ditindak lanjuti.
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari mengusulkan agar Pusat Pelaporan dan Analisi Transaksi Keuangan (PPATK) mendapat tambahan anggaran dan kewenangan untuk memiliki penyidik. Menurut Eva, dengan kewenangan itu, maka uapaya membongkar tindak pidana pencucian uang (TPPU) akan membawa hasil yang lebih signifikan.
Transaksi Keuangan yang Mencurigakan
Transaksi keuangan yang mencurigakan merupakan bahan utama yang dianilisa oelh PPATK. Dalam BAB 6, Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uangbagi PJK yang di keluarkan melalui keputusan Kepala PPATK No. 2/1/KEP.PPATK/2003 Menyebutkan bahwa ada Beberapa Pertayaan-pertanyaan pokok untuk mengalisis suatu transaksi antara lain:
Apakah jumlah nominal frekuensi transaksi konsisten dengan kegiatan normal selama ini dilakukan oleh nasabah?
Apakah transaksi yang dilakukan wajar dan sesuai dengan kegiatan usaha aktivitas dan kebutuhan nasabah?
Apakah ada pola transaksi yang dilakukan oleh nasabah tidak menyimpang dari pola transaksi umum untuk nasabah sejenis?
Apabila transaksi yang dilakukan sifatnya internasional, apakah nasabah memeliki alasan yang kuat untuk menjalin usaha dengan pihak luar negeri?
Apakah nasbah melakukan transaksi dengan nasabah beresiko tinggi? PJK harus membuat pedoman intern sebagai acuan untuk mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan?
Dengan pertayaan-pertayaan tersebut yang di keluarkan oelh PPATK sebagai pedoman untuk PJK dalam mengidentifikasi adanya indikasi transaksi pencucian uang maka PJK diharapkan dapat meningkatkan laporan transaksi keuangan yang mencurigakan.
8