LAPORAN MONITORING DAN EVALUASI KINERJA PONEK RSUD LARANTUKA SEBAGAI PENERIMA ASISTENSI PROGRAM SISTER HOSPITAL George Adriaansz dan Irene Davidz 29 Oktober 2012
Upaya menurunkan Kematian Ibu dan Neonatus di RSUD Larantuka
Jumlah kasus kematian bayi dan ibu di Kabupaten Flores Timur sejak bulan Januari hingga Oktober 2012 adalah 49 (25 neonatal dan 24 stillbirth) dan 6 kasus. Dengan kondisi seperti ini maka kematian ibu pada tahun 2012 akan sama atau mendekati jumlah kematian ibu pada tahun 2010 yaitu 10 kasus. Dari 6 kematian ibu hingga bulan Oktober 2012, separuhnya terjadi di RSUD Larantuka yaitu 3 kasus dengan penyebab utama kematian ibu adalah eklampsia (2 kasus) dan sepsis (1 kasus). Mengacu pada 3 terlambat pada kematian ibu maka ketiga kasus kematian di RSUD Larantuka akan menjadi tanggung jawab pihak rumah sakit karena pasien sudah memutuskan untuk mencari pertolongan (terlambat 1), menggunakan alat transportasi untuk dirujuk (terlambat 2), dan mendapat pertolongan yang adekuat (terlambat 3). Setelah sampai di rumah sakit, 3 pasien ini distabilkan dan persalinan untuk ketiga kasus ini diterminasi dengan seksio sesaria, dan kemudian diberikan asuhan pascaoperatif. Kasus sepsis terjadi setelah pasien di seksio sesaria atas indikasi eklampsia, kemudian terjadi atonia uteri yang diatasi dengan histerektomi, dan karena masih terjadi perdarahan pascahisterektomi kemudian dipasang kassa besar untuk kompresi bagian tujuh yang mengalami rembesan perdarahan. Pada hari ketiga pascabedah ulangan untuk tindakan histerektomi terjadi demam tinggi yang mengindikasikan adanya bakteriemia pada 24 jam dan septikemia pada 3 x 24 jam pascabedah. pasca bedah. Setelah mendapat asuhan untuk mengatasi sepsis, ternyata pasien tidak dapat diselamatkan. Pasien eklampsia pertama meninggal dalam 24 jam pascaseksio-sesaria tanpa ada penjelasan tentang penyebab akhir kematian ibu. Satu kasus pascaseksio-sesaria atas indikasi eklampsia yang kemudian mengalami komplikasi sistem kardiovaskuler di rujuk ke RSUD Maumere karena memerlukan memerlukan perawatan intensif 3 hari pascaoperasi. RSUD Larantuka Kabupaten Flores Timur
Tim Monev Klinis mencapai kota Larantuka dengan menggunakan pesawat Trans-Nusa (Fokker 50) dengan kapasitas tempat duduk 48-50 penumpang dengan waktu sekitar 1.5 jam. Kunjungan ini adalah monitoring dan evaluasi PONEK melalui program sister hospital di RSUD Larantuka yang juga merupakan rumah sakit rujukan kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten Flores Timur. RSUD Larantuka terletak di sisi kanan jalan Soekarno-Hatta (jika dilihat dari arah bandar udara Larantuka). Pada Oktober 2012, RSUD Larantuka memiliki kapasitas 100 tempat tidur secara keseluruhan, di gedung UPF Obstetri-Ginekologi terdapat sekitar 10 tempat tidur, dan tersedia 4 tempat tidur di Kamar Bersalin. Unit Gawat Darurat (UGD)
Sejak monitoring dan evaluasi atau supervisi fasilitatif oleh tim klinis pada bulan Februari 2012 (monev pertama) hingga bulan Oktober 2012 (monev ketiga), Unit Gawat Darurat RSUD Larantuka belum ditata dan digunakan sebagai triage gawat-darurat maternal maupun neonatal. Pada bulan Juni 2012 (monev kedua), UGD sedang mengalami sedikit renovasi untuk menyambut kegiatan akreditasi rumah sakit. Di area/bagian belakang UGD terdapat gedung PONEK yang akan menangani gawat-darurat obstetrineonatal di UGD sebelum ditransfer ke kamar bersalin dan unit perinatologi yang memiliki sumber daya
manusia yang cukup memadai, yang terdiri dari bidan dan perawat terlatih, residen obgin, residen residen anak, dan dokter spesialis obstetri-ginekologi (mulai bekerja di UPF Obgin RSUD Larantuka sejak Agustus 2012) dan peralatan serta medikamentosa yang lebih memadai. Peralatan/emergency trolley maternal maternal dan neonatal masih juga belum tersedia di UGD hingga monev ketiga pada bulan Oktober 2012, mungkin karena UGD belum dianggap sebagai unit yang terlibat langsung dalam penanganan gawat-darurat maternal maupun neonatal. Walaupun UGD memiliki akses langsung dari tempat transfer pasien ke koridor tetapi jaraknya sekitar 25-30 langkah. Dari aspek waktu tanggap-darurat, jarak ini akan mengurangi waktu sekitar 1 menit dari standar waktu yang telah ditetapkan. Hingga bulan Oktober 2012, penanganan gawat-darurat obstetri-neonatal dilakukan oleh UPF Obgin yaitu Kamar Bersalin (seharusnya ruang tindakan gawat-darurat obstetri-ginekologi obstetri-ginekologi atau area resusitasi-stabilisasi) resusitasi-stabilisasi) dan Ruang Perinatologi. Jarak dari UGD ke Kamar Bersalin adalah 120 - 130 langkah atau 2 - 3 menit jika 1 langkah dikonversikan menjadi 1 detik. Walaupun telah disiapkan 2 ruangan baru (maternal dan neonatal) tetapi Ruang PONEK tersebut belum dapat difungsikan. Jika kedua ruangan ini dapat difungsikan maka jarak tempuh ke Kamar Bersalin dan Ruang Perinatologi bukan menjadi kebutuhan utama untuk memenuhi syarat waktu tanggap-darurat karena jarak yang semula 120-130 langkah, dapat dipangkas menjadi 20-30 langkah atau hanya 30 detik. Setelah penanganan awal di Gedung UGD PONEK dan pasien telah distabilkan, baru pasien dikirim ke UPF Obgin atau Ruang Perinatologi. Jika pasien gawat-darurat maternal yang telah distabilisasi dan membutuhkan tindakan operatif maka dapat segera ditransfer ke Instalasi Bedah Sentral yang memiliki dua kamar operasi (obstetri dan bedah umum). Hingga bulan Oktober 2012, area resusitasi-stabilisasi yang baru dibelakang gedung UGD belum juga difungsikan dan alasan utama terkait dengan hal tersebut adalah keterbatasan tenaga yang tersedia untuk melaksanakan pelayanan karena tenaga terlatih untuk menangani gawat-darurat obstetri dan neonatal belum tersedia dan tenaga kesehatan yang terdapat di ruangan juga sangat terbatas. Keadaan ini perlu mendapatkan perhatian secara khusus dari manajemen rumah sakit, oleh karena berpotensi menurunkan kinerja UGD. Pada saat monev bulan Oktober 2012, belum juga tersedia peralatan medis khusus untuk tindakan pada kegawatdaruratan kegawatdaruratan maternal dan neonatal di gedung UGD PONEK yang baru. Untuk sementara ini, perpanjangan waktu tanggap darurat di UGD akan masih tetap terjadi dan belum terlihat adanya rencana pelatihan khusus bagi petugas atau penyediaan tenaga terlatih gawat-darurat obstetri-neonatal obstetri-neonatal untuk ditempatkan ditempatkan di gedung UGD PONEK. Fungsi dan Alur Triase di UGD
Gambar 1: Area Resusitasi dan papan alur triase
Gambar 2: Papan alur triase telah terpasang (26/10/12)
Dari gambar 1 terlihat kondisi area resusitasi dan papan alur triase pada tanggal 25 Juni 2012. Pada waktu yang sama, belum terlihat adanya alur triase di lantai, mulai dari pintu masuk UGD hingga ke area yang sesuai untuk penanganan kasus gawat-darurat pada umumnya dan maternal-neonatal pada khususnya. Area yang terlihat pada gambar 1 ternyata berubah drastis pada tanggal 29 Oktober 2012 karena ranjang untuk penanganan pasien gawat-darurat ternyata sudah tidak ada ditempatnya lagi dan digantikan dengan brandcart yang ditempatkan di dekat parkir ambulans kemudian akan dibawa ke area resusitasi dan ditangani langsung diatas brandcart . Pertanyaannya apakah jumlah brandcart memadai untuk menjamin sejumlah pasien dapat ditangani diatas brancart dan bagaimana kondisi kemananan terhadap paparan mikroorganisme jika brandcart yang ditempatkan dekat tempat parkir ambulans? Debu dapat menjadi perantara air-borne dan soil-borne microorganism yang dapat menularkan penyakit berbahaya sehingga paparan debu pada brandcart yang banyak dapat mengancam keselamatan pasien. Jika jawabannya adalah “iya” maka menempatkan brandcart di dekat area parkir ambulans, bukanlah pilihan yang baik. Jika jawabannya adalah “tidak” maka pihak direksi RSUD Larantuka harus memiliki
atau dapat menunjukkan bukti terkait dengan keamanan brandcart yang dipenuhi debu.
Gambar 3: Belum ada alur triase (25/06/12)
Gambar 4: Alur triase banyak yang sudah terkelupas (29/10/12)
Pada tanggal 25 Juni 2012, koridor UGD belum memiliki alur triase dan papan petunjuk arti kode warna dari masing-masing alur masih terletak di atas lantai area resusitasi. Pada saat paparan hasil monev ke pihak direksi dan petugas dari masing-masing unit RSUD Larantuka, tim monev menganjurkan adanya alur triase pada lantai UGD. Hal ini sudah terpenuhi dan pada Oktober 2012, tim monev melihat papan alur triase sudah terpasang di depan koridor, di sisi kanan akses masuk UGD. Mulai dari pertengahan koridor, alur triase di lantai sudah tampak dan ini seharusnya diartikan sebagai mulainya proses triase atau penyortiran pasien. Meja yang ada di koridor seharusnya menjadi tempat petugas yang kompeten untuk melakukan penyortiran dan memberikan kartu dengan warna tertentu dan meminta pasien yang datang untuk mengikuti alur yang sesuai dengan warna kartu yang diberikan.
Gambar 5: Area Triase
Tim monev tidak menemukan adanya petugas, atribut, dan status pasien di meja yang ada di koridor. Area triase UGD justru berada di sebelah dalam dari pintu masuk, dimana terdapat petugas, loket dan atributnya, status pasien UGD atau pasien ke unit yang lain, dsb. Jika loket ini adalah area penyortiran maka alur triase harus dimulai dari sini (gambar 5). Jika meja di koridor luar merupakan tempat penyortiran maka area ini harus terlindung dari paparan angin, hujan, terik matahari, dan khalayak di sekitar koridor.
Dengan persyaratan seperti ini maka tidak mungkin meja di koridor adalah tempat penyortiran pasien UGD. Dapat dipastikan meja di sebelah dalam pintu masuk adalah loket administratif yang juga merangkap sebagai area penyortiran pasien. Dengan kata lain, mulainya alur triase adalah benar tetapi area penyortiran saat ini, tidak benar.
Gambar 6: area resusitasi (kosong)
Gambar 7: dua ujung ke satu ruangan
Gambar 8: rol steril tanpa penutup
Seperti yang telah diusulkan oleh tim monev pada bulan Februari 2012 tentang efisiensi waktu tanggap darurat dapat dilakukan melalui komunikasi prarujukan ternyata belum juga terlaksana karena metoda pendekatan seperti ini hanya efektif untuk fasilitas kesehatan yang berada disekitar Larantuka saja dan tidak efektif untuk rujukan pasien antar pulau. Upaya pencegahan infeksi yang memadai, belum terlaksana dengan baik walaupun instalasi waastafel di area kamar mandi patut diberi penilaian positif. Salah satu contoh belum memadainya upaya preventif atau pencegahan infeksi adalah tidak adanya penutup rol benang steril seperti yang tampak di gambar 8. Penggunaan perlengkapan pelindungan diri, juga belum menjadi budaya kerja yang secara konsisten dilaksanakan setiap hari. Kondisi seperti ini dapat dilihat dari gambar 7 dimana ada dua orang petugas yang akan melayanani paien dengan luka sayat ternyata tidak menggunakan perlengkapan proteksi diri. Usulan penempatan seorang dokter umum dalam manajemen triage sepertinya sudah dilaksanakan karena pada saat monev kali ini, terlihat seorang dokter sedang bekerja di area triase tetapi tidak dapat dipastikan apakah dokter tersebut terlatih dan terampil PONED/ACLS sehingga layak ditugaskan di UGD.
Gambar 9: ruang resusitasi maternal-neonatal
Gambar 10: Gedung UGD PONEK belum operasional
Apakah dokter yang terlihat di area triase tersebut juga melayani proses penyortiran? Tim monev tidak dapat memberikan jawaban pasti karena selama berada di area ini selama 2 jam, tidak terlihat adanya pasien yang datang untuk mendapatkan pertolongan gawat-darurat dan dokter ini hanya memeriksa status atau catatan pasien masuk dan pertolongan apa yang diberikan. Area resusitasi yang tampak pada gambar 12 sepertinya jarang digunakan. Melihat keterbatasan jenis peralatan dan jumlah obat-obatan yang tersedia, dalam kesehariannya diperkirakan tidak banyak kasus gawat-darurat yang ditangani oleh petugas di area resusitasi UGD RSUD Larantuka.
Gambar 11: Area Resusitasi (25/06/12)
Gambar 12: Area Resusitasi (29/10/12)
Seperti telah diuraikan sebelumnya, area resusitasi pada saat monev Juni 2012 terlihat lebih lengkap dan operasional tetapi pada Oktober 2012, justru terlihat kosong dan tidak siap untuk menangani pasien gawat-darurat (gambar 11 vs. gambar 12). Penanganan diatas brancart terkesan kurang etis dan tidak siap untuk menghadapi kasus gawat-darurat. Lagi pula brandcart fungsinya untuk memindahkan pasien dari ambulans atau satu unit ke unit lainnya, bukan tempat untuk menangani pasien.
Gambar 13: Isi laci no.1 minim (25/06/12)
Gambar 14: Isi laci no. 1 tidak sesuai (29/10/12)
Penempatan peralatan dan obat-obatan emergensi juga belum sesuai, baik pada saat monev 1, 2, dan 3 karena pada Juni 2012 laci utama (warna merah) hanya berisi bag and mask serta laringoskop dan pada Oktober 2012 berisi obat-obatan tanpa diberi label nama obat, alat suntik (hanya satu), dan guedel (alat untuk menekan lidah dan alur udara di mulut). Peralatan laringoskop yang sebelumnya ada, pada monev Oktober 2012 ini ternyata tidak ada. Demikian pula peralatan untuk bagging yang sebelumnya disimpan di dalam kotak plastik. Jika sebelumnya tidak tersedia plastic box maka kali ini terlihat keranjang obatobatan untuk menyimpan obat. Warna keranjang obat ternyata tidak ada kaitannya dengan jenis dan urgensi penggunaan obat. Obat-obatan di dalam keranjang hijau atau merah, ternyata tak ada bedanya. Sebaiknya warna keranjang, juga menunjukkan jenis dan kegunaan obat di masing-masing keranjang.
Gambar 15: Laci kedua hanya berisi i.v. cath
Gambar 16: Isi laci ketiga amburadul
Laci utama seharusnya berisi obat-obatan emergensi seperti adrenalin atau nor-epinefrin, dopamin, dobutamin, kortiko steroid, antibiotika, anti konvulsi, naloxone, sulfas atropin, anti hipertensi, aquadest, anti histamin, anti emetika, dsb. Di laci yang sama juga ditempatkan ETT, NGT, laringoskop, alat suntik 2,5-30 ml. DI laci kedua berisi kateter, infus/transfusi set, kassa, plester, dan peralatan pendukung lainnya. Di laci ketiga ditempatkan berbagai jenis cairan infus. Jika melihat dari apa yang ditampilkan di gambar 14, 15, dan 16, jelas tidak terlihat kemajuan yang cukup berarti terkait dengan penyusunan atau penyediaan peralatan, bahan, dan obat-obatan di trash cart area resusitasi UGD RSUD Larantuka.
Gambar 17: Label Ruangan Tindakan Anak
Ruang yang terletak di depan area triase dan menjadi akses ke gedung PONEK UGD diberi label Ruang Tindakan dan Observasi Anak. Pada saat kunjungan tim monev memang ada seorang anak berusia setahun yang sedang ditangani di ruangan ini tetapi pasien ini jauh dari kesan sedang ditindak atau diobservasi. Pasien anak ini sedang diinfus dan lebih sesuai sedang diterapi seperti halnya pasien anak di ruang rawat inap. Jika dikaitkan dengan alur triase, pasien ini tidak masuk di jalur merah/kuning dan tak layak berada di UGD.
Gambar 18: Tempat merawat pasien anak
Kondisi pasien stabil, tenang, dan berada dalam gendongan ayahnya. Pasien yang akan ditindak, seharusnya ditangani dalam waktu 5-15 menit (tergantung urgensinya) dan pasien yang diobservasi, sebaiknya tidak lebih dari 3 jam dan bukan seperti pasien ini yang telah dirawat lebih dari 24 jam. Jika lokal ini diberi judul ruang tindakan maka harus digunakan sesuai dengan judulnya. Jika gedung baru belum mungkin digunakan, ruang ini sepantasnya adalah area resusitasistabilisasi neonatus yang statusnya lebih tegas dan jelas.
Perubahan yang cukup berarti terjadi di area kamar mandi dimana sebelumnya dipasang ember dengan kran sebagai alternatif waastafel (25 Juni 2012) yang sekarang sudah diganti dengan waastafel dari jenis saniter rumah tangga. Sayangnya waastafel ini tidak dilengkapi dengan pengering tangan atau handuk pribadi, pipa saluran air sudah mulai berkarat, dan lantai di sudut ruangan terlihat kotor sehingga nilai positif dari pemasangan waastafel menjadi berkurang. Ember merah yang lama, ternyata tidak dibuang tapiditempatkan di bagian dinding sebelah luar, berubah fungsi sebagai wadah penampungan air dan bagian tutupnya menjadi tempat untuk meletakkan sabun batang, sabun cair, dan botol larutan klorin.
Gambar 19: ember
Gambar 20: waastafel
Sebagai gambaran, beberapa perubahan akan membawa konsekuensi biaya tetapi sebagian besar justru hanya memerlukan komitmen dan rasa memiliki. Jika waastafel rusak, tidak serta merta harus diganti atau membeli yang baru. Sebagian besar gangguan pada waastafel adalah soal pasokan air, saluran air, dan kran dan semua gangguan ini sangat mudah ditanggulangi oleh IPSRS. Kalaupun IPSRS terlalu sibuk dengan urusan lain maka sudah selayaknya diperbaiki sendiri karena prosedur perbaikannya termasuk sederhana.
Berbicara tentang kebersihan maka di setiap hari krida (Jumat) dapat dilakukan perawatan/pembersihan berbagai peralatan yang ada, termasuk waastafel dan salurannya seperti yang terlihat pada gambar 19 dan 20, lantai dan dinding di sudut ruangan serta pipa saluran air di bawah waastafel sepertinya tidak pernah dibersihkan selama berbulan-bulan sehingga tampak kotor dan berkarat. Penggosokan dengan larutan pembersih keramik atau porselen pada bagian-bagian yang kotor atau mengalami perubahan warna akibat endapan mineral yang terlarut di air (pada waastafel, dinding, dan lantai) dapat dengan segera memulihkan kebersihan perlengkapan .
Gambar 21: Wadah sampah dan pispot
Gambar 22: spoelhoek
Gambar 23: Bak mandi
Prinsip kewaspadaan standar masih menjadi tantangan yang sulit untuk segera diatasi karena hal ini tidak saja terkait dengan masalah pemahaman konsep tentang pencegahan infeksi, tetapi juga soal perilaku dan komitmen. Gambar 21 menunjukkan wadah sampah tanpa pelapis kantong plastik dan penempatan pispot yang bukan pada tempatnya. Hal ini lebih terkait dengan kebiasaan, bukan masalah kemampuan. Persoalan sederhana seperti ini akan jadi rumit jika upaya penyelesaian masalah terbentur soal budaya dan perilaku Contoh lainnya adalah perbedaan antara spoelhoek dan area cuci-bilas di UGD. Gambar 22 memperlihatkan area cucibilas tetapi digunakan juga untuk membuang limbah. Pada gambar 23, terlihat kamar mandi dengan bak airnya dimana fasilitas ini lebih banyak dipakai oleh petugas daripada oleh pasien. Ini terjadi karena UGD bukan bangsal rawat inap, jadi pasien atau keluarganya lebih jarang memakai kamar mandi karena keberadaan mereka di UGD jauh lebih singkat jika dibandingkan dengan di bangsal rawat inap. Jadi, UGD lebih memerlukan area cuci-tangan dibandingkan kamar mandi
Rekomendasi Perbaikan untuk UGD
1. Segera selesaikan loket sortir, alur dan ruang triase 2. Fungsikan ruang PONEK UGD yang telah selesai dibangun. Sementara menunggu ruang PONEK, bangun dan gunakan area Resusitasi-Stabilisasi Maternal-Neonatal di UGD sekarang 3. Latihan PONED/PONEK/ACLS untuk petugas IGD 4. Wastafel di setiap ruangan dan perbaiki tata-letak dan fungsi area cuci-bilas 5. Lengkapi peralatan dan obat-obatan emergensi di setiap area tindakan/observasi di IGD
Rekomendasi 1-5 untuk UGD, sejak 25 Juni hingga 29 Oktober 2012, belum satupun terlaksana
KAMAR BERSALIN
Tampilan luar UPF Obstetri pada tanggal 29 Oktober 2012 adalah potret dari tampilan tanggal 25 Juni 2012. Tidak banyak perubahan yang terjadi. Memasuki area depan UPF, tampak bahwa nurse station yang semula berada di depan Kamar Bersalin, telah dipindahkan ke area di sisi kiri jalan masuk ke ruang dalam. Setelah melewati area ini, di sisi kanan terdapat ruang tindakan dan ruang periksa dan di sisi kiri terdapat ruang dokter (sejak bulan Agustus 2012, RSUD Larantuka telah memiliki dokter SpOG yang baru menyelesaikan pendidikannya di PPDS FK Udayana) dan ruang tindakan khusus yang sebenarnya adalah ruang diagnostik karena lebih banyak perlatan diagnostik daripada peralatan dan obat-obatan untuk melaksanakan tindakan khusus. Tidak terdapat laringoskop, bag and mask, gas wall outlet atau tabung oksigen, dan obat-obatan untuk pertolongan kasus gawat-darurat di ruangan dan lemari instrumen atau obat-obatan. Yang terlihat justru peralatan USG diagnostik dan ruangan ini diposisikan di depan ruangan dokter SpOG.
Gambar 24: Akses dan Koridor UPF Obstetri
Gambar 25: Nurse Station pindah ke depan
Kondisi ruang Periksa seperti yang terlihat pada tanggal 25 Juni 2012 (gambar 26) tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan tanggal 29 Oktober 21012. Jika pada sebelumnya tidak tampak pasien maka pada kali ini ada seorang pasien baru yang dibawa dengan kursi roda dan akan diperiksa oleh dokter (bukan pasien yang akan ditindak atau perlu ditolong segera). Pasien ini, tidak akan segera diperiksa oleh SpOG yang pada saat monev dilakukan ternyata sedang berada di Denpasar-Bali sehingga mungkin akan ditangani oleh residen obstetri-ginekologi dari PPDS FK Unhas. Di ruang sebelahnya (ruang periksa) tampak seorang pasien sedang menunggu untuk diperiksa oleh dokter terkait dengan prosedur evakuasi mola hidatidosa sekitar 2 minggu yang lalu. Pasien ini telah menunggu sejak pukul 09.00 pagi tetapi hingga pukul 11.000 siang, dokter belum datang karena sedang melaksanakan tindakan seksio sesaria di Kamar Operasi. Ruang Periksa ini tidak memiliki peralatan yang memadai untuk melakukan pemeriksaan
Gambar 26: Ruang Tindakan (25 Juni 2012)
Gambar 27: Ruang Tindakan (29 Oktober 2012)
Di dalam lemari di sudut kanan ruangan, tak terdapat peralatan medik yang memadai untuk melakukan tindakan gawat-darurat. Tidak ada laringoskop, peralatan untuk pemeriksaan obstetri-ginekologi, obatobatan pertolongan gawat-darurat, dan pengaturan obat serta peralatan yang memadai (gambar 28). Pada gambar 28 terlihat obat suntik calcium gluconas bercampur dengan slang nasogastrik, scalpel, silet dan sekrup. Pada gambar 29 terlihat bag and mask di luar kotak penyimpanan sehingga dipenuhi debu dan tidak ada konektor ke slang oksigen, obat-obatan termolabil yang seharusnya disimpan di kulkas, dan cairan dalam jumlah dan jenis yang tidak lengkap.
Gambar 28: Penempatan Obat bercampur baur
Gambar 29: Bag & Mask di luar kotak dan obat termolabil
Ada sedikit kemajuan di dalam menata ulang ruangan khusus, pemindahan nurse station, dan lokasi autoclave di depan Kamar Bersalin. Ruangan Khusus yang dimaksud adalah yang sekarang diberi judul Ruang Observasi Khusus dan ditempati oleh pasien eklampsia. Jika ruang ini diberi judul dan kemudian dilengkapi dengan perlengkapan yang memadai untuk difungsikan sebagai Ruang Perawatan Khusus maka RSUD Larantuka memperoleh nilai tambah untuk kelengkapan standar masukan (input) PONEK. Dimensi ruangan cukup memadai untuk 1 ranjang pasien dan yang masih perlu dilengkapi agar syarat Ruang Perawatan Khusus terpenuhi adalah pasokan oksigen (dengan wall outlet akan lebih sesuai), bag and mask , laringoskop, monitor tanda vital atau pulse o xymetri, infant warmer , obat-obatan emergensi, waastafel , dan inkubator.
Gambar 30: Ruang Observasi Ruang Perawatan Khusus
Gambar 31: Pasien Eklampsia yang selamat (near-miss)
Pasien pada gambar 31 merupakan hasil kerjasama (kolaborasi perbaikan) antara Puskesmas dan Rumah Sakit Larantuka yang dapat menyelamatkan pasien dari kematian. Pasien ini hamil cukup bulan dan mengalami kejang berulang di rumah kemudian dirujuk ke Puskesmas. Dokter di Puskesmas tersebut adalah alumni program dokter dengan kewenangan tambahan yang dilatih di Surabaya dan memiliki kompetensi untuk melakukan resusitasi-stabilisasi gawat-darurat obstetri. Setelah diberi anti konvulsan dan pemeliharaan (MgSO4), pasien di rujuk ke RSUD Larantuka karena masih mengalami koma.
Gambar 32: Peralatan di Ruang Khusus UPF Obstetri
Gambar 33: Obat dan alat masih berserakan
Dengan peralatan dan obat-obatan yang terbilang sederhana (gambar 32 dan gambar 33), pasien dan bayinya dapat diselamatkan oleh tim PONEK RSUD Larantuka. Peristiwa ini membuktikan bahwa jika pasien gawat-darurat obstetri di luar rumah sakit rujukan dapat diresusitasi-stabilisasi oleh tim medik Puskesmas PONED atau bidan terlatih PPGDON di polindes atau klinik Bidan Praktik Swasta (BPS) maka upaya penyelamatan ibu dan bayi akan memberi hasil yang lebih memuaskan jika dibandingkan dengan segera merujuk pasien (karena takut meninggal di tempat kerja) tanpa diberikan penanganan awal yang sangat esensial bagi keselamatan pasien sebelumnya. Melalui kolaborasi dengan Puskesmas dan Bidan di Desa atau BPS maka sudah selayaknya Ruang Observasi Khusus ini segara diubah menjadi Ruang Perawatan Khusus PONEK. Pada tanggal 30 Oktober 2012, tim monev bertemu dengan dokter Puskesmas Adonara yang mengirim pasien tersebut diatas dan ingin melihat hasil pelayanan yang telah mereka berikan di Puskesmas dan bagaimana hasil kelanjutan penanganan oleh Tim PONEK RSUD Larantuka. Jika RSUD Larantuka dapat menjalin kerjasama dan membangun jejaring pelayanan dan komunikasi emergensi melalui kolaborasi perbaikan seperti yang pernah dilaksanakan oleh RSUD Tangerang, RSUD Serang, RSUD Cilegon, dan RSUP Fatmawati maka akan lebih banyak ibu dan bayi terhindar dari risiko fatal gawat-darurat obstetrineonatal.
Gambar 34: Nurse Station (25/10/12)
Gambar 35: Nurse Station pindah, sekarang area parkir kursi roda
Pada gambar 34 terlihat nurse station yang pada tanggal 25 Juni 2012 berada di area depan VK sekarang telah pindah ke area depan (setelah pintu masuk) dan area ini berganti menjadi tempat ranjang pasien transit dan tempat parkir kursi roda. Autoclave yang pada gambar 34 berada di depan nurse station telah berganti dengan top load refrigerator untuk menyimpan vaksin hepatitis B. Refrigerator ini juga dapat dipakai untuk oksitosin. Sayangnya, kurva temperatur belum dilengkapi untuk 3 hari terakhir.
Di belakang area pasien transit dan parkir kursi roda terdapat satu ruang observasi yang seharusnya dijadikan ruang inpartu (labor room) atau kamar bersalin 2 (delivery room) karena kamar bersalin yang ada sekarang ini, dimensinya terlalu sempit untuk 4 ranjang ditambah dengan area resusitasi neonatus. Belum lagi jika diperhitungkan jumlah orang yang menunggu pasien (pada saat monev 29 Oktober 2012 terlihat satu pasien ditunggui oleh 2 atau lebih anggota keluarga), lemari instrumen dan obat, peralatan medik, dan waastafel. Dimensi ruang yang sempit juga diperparah dengan tidak jalannya alat pengatur suhu ruangan sehingga udara di dalam ruangan menjadi panas dan oleh sebab itu, semua jendela kamar bersalin dalam keadaan terbuka. Kondisi ini mungkin baik untuk keluarga pasien dan petugas tapi tidak baik untuk bayi. Jendela yang terbuka dapat menimbulkan efek konveksi pada bayi baru lahir sehingga tubuhnya akan cepat kehilangan panas tubuh dan berisiko terjadi hipotermia.
Gambar 36: Area Resusitasi (25/06/12)
Gambar 37: Area Resusitasi (29/10/12)
Gambar 38: 1 pasien, 2 pendamping
Seperti pada monev sebelumnya, langkah dalam APN telah dikerjakan dengan baik tetapi tidak demikian untuk Inisiasi Menyusu Dini (IMD) karena hal ini tidak dikerjakan segera dan tidak ada bonding dalam 1 jam pertama. Tidak dilaksanakannya IMD, jelas merugikan perkembangan naluri untuk bertahan hidup pada bayi-bayi baru lahir dan mulainya produksi dan pengeluaran ASI segera. IMD sebenarnya sesuai dengan perilaku menyusukan bayi dikalangan ibu-ibu di wilayah Nusa Tenggara Timur. Manajemen Aktif Kala III sudah dilakukan dengan baik untuk mencegah perdarahan postpartum dan mengurangi retensio plasenta. Penggunaan partograf untuk memantau kemajuan persalinan dan pengenalan dini persalinan patologis, telah dijalankan tapi sayangnya tidak dilaksanakan secara benar dan lengkap. Beberapa kasus persalinan yang terjadi saat tim monev datang, tidak dibuat secara lengkap dan tepat waktu. Persalinan telah selesai tetapi partograf belum selesai. Pada gambar 36 terlihat kondisi meja resusitasi atau asuhan bayi baru lahir pada monev 25 Juni 2012 dimana hanya terdapat lampu yang difiksasi pada dinding ruangan dan kursi (sedang ditata ulang). Pada tanggal 29 Oktober 2012, terlihat meja kantor (office table) yang diberi alas busa dan lapisan kain di dekatkan dengan sumber panas (lampu 60 watt dengan jarak sekitar 60 cm dari bagian atas meja) yang ini merupakan alternatif dari infant warmer. Walaupun upaya ini sudah cukup memadai tetapi sebaiknya Kamar Bersalin RSUD Larantuka memiliki minimal 1 infant warmer dan 1 inkubator. Ketersediaan dua peralatan standar untuk asuhan neonatus ini menjadi penting karena saat monev 29 Oktober 2012, sebagian besar jendela Kamar bersalin dalam keadaan terbuka dan fungsi termoregulasi jika AC hidup.
Tersedia 2 waastafel di Kamar Bersalin, satu terletak di depan pintu masuk dan satu lagi di ruang bagian kanan (berisi 2 ranjang bersalin) tetapi kedua waastafel ini dari jenis saniter rumah tangga (bukan jenis waastafel medik), kran air berupa kran putar (bukan sentuh siku), dan “bersih” alias tidak tersedia sabun cair untuk cuci tangan, dan handuk pribadi atau tissue untuk mengeringkan tangan. Walaupun tersedia petunjuk cara mencuci-tangan tetapi tak semua petugas dapat memperagakan langkah-langkah tersebut secara benar. Karena posisi waastafel berada di bagian dalam Kamar Bersalin (baik yang ada di depan pintu masuk maupun di ruang bagian kanan) maka dapat dipastikan para petugas tidak akan mencucitangan sebelum memegang pasien.
Gambar 39: waastafel 1 “bersih” di VK
Gambar 40: waastafel 2 “bersih” di VK
Gambar 41: sapu dan wadah sampah
Rekomendasi perbaikan dari tim monev bulan Februari 2012 ternyata belum dapat dipenuhi karena peralatan resusitasi lengkap di kamar bersalin, termasuk laringoskop dan endotracheal tube . Peralatan untuk prosedur resusitasi dan obat-obatan emergensi belum ditempatkan pada emergency trolley yang siap pakai dan terjamin fungsinya. Upaya pencegahan infeksi atau penerapan standard precautions belum berjalan baik karena selain area cuci tangan kurang memenuhi syarat, wadah sampah tidak ada petunjuk untuk sampah medis atau non-medis yang konsisten dengan warna kantong plastik pelapis, dan alat pembersih tidak disimpan pada tempatnya (gambar 41). Selain itu, temuan tim monev bulan Februari 2012 masih juga belum diperbaiki yaitu instrumen yang sudah diproses hingga tahap steril atau Disinfeksi Tingkat Tinggi (DTT) dan kemudian disimpan dalam wadah ternyata tidak diberi label tentang isi kontainer dan waktu kedaluarsa jaminan sterilitas/DTT peralatan sehingga memerlukan proses ulang. Beberapa peralatan sudah digolongkan menurut jenis penggunaan (mis., partus set, tindakan ekstraksi forseps, tindakan ekstraksi vakum, dsb) tetapi sebagian lagi belum (mis., biopsi, kuretase, PE/E, dsb). Peralatan yang disterilkan dalam keadaan terbungkus sebaiknya diproses ulang jika tidak digunakan dalam waktu 2 minggu. Peralatan steril/DTT yang tidak dibungkus, sebaiknya diproses ulang jika tidak digunakan lebih dari 1 minggu. Penggolongan peralatan sangat penting agar pengambilan satu atau beberapa alat, tidak mengganggu tingkat sterilitas/DTT dari peralatan lain yang secara kebetulan berada di dalam satu wadah. Contoh yang paling nyata dari kondisi ini adalah set ekstraksi forseps yang tidak pernah digunakan dalam satu tahun terakhir, tidak pernah diproses ulang, dan masih diposisi awal semenjak disimpan di dalam lemari instrumen.
Gambar 42: Obat belum terssusun sistematik dan FIFO
Gambar 43: Bag & Mask dewasa, untuk bayi saling pinjam
Seperti pada monev bulan Juni 2012, obat-obatan termolabil seperti oksitosin dan metergin injeksi tetap disimpan di lemari obat atau meja instrumen di dekat pasien pada suhu ruangan. Temuan seperti ini sudah dimasukkan dalam saran perbaikan oleh tim monev bulan Februari 2012. Sangat disayangkan belum juga terjadi perbaikan padahal masalah ini juga masuk di dalam saran perbaikan tim monev bulan Juni 2012. Lemari es atau kulkas yang ada di depan Kamar Bersalin, ternyata isinya juga masih sama dengan temuan pada bulan Februari 2012 yaitu makanan dan minuman petugas sehingga tidak ada lagi ruang untuk obat-obatan termolabil (gambar 44) yang efektifitasnya sangat esensial bagi pertolongan kasus gawat-darurat obstetri.
Gambar 44: obat termolabil di kulkas?
Gambar 45: persiapan pasien partus
Gambar 46: alat, obat, bahan jadi satu
Apa yang diuraikan berikut ini adalah temuan tim monev bulan Februari 2012 yaitu penyimpanan obat dan cairan infus memang harus mudah terjangkau dan diambil, tetapi juga harus cukup aman dari mereka yang tidak berhak untuk menggunakan atau tidak memiliki kewenangan untuk mengambil dari penyimpanan. Pemrosesan alat menggunakan larutan dekontaminasi klorin 0.5% telah dilakukan dengan baik untuk memberikan perlindungan pada petugas oleh karena angka kejadian HIV/AIDS dan Hepatitis B yang cukup tinggi di daerah ini. Kualitas air bersih yang digunakan cukup baik, tetapi kebersihan pada area pemrosesan alat perlu mendapatkan perhatian secara khusus. Di area ini justru pemisahan sampah biasa dan sampah terkontaminasi tidak dilakukan dengan baik. Hingga bulan Oktober 2012, belum ada perbaikan yang berarti terkait dengan laporan monev bulan Februari 2012 tersebut diatas.
Gambar 47: Lembaran Obstetri kosong
Gambar 48: Partograf tidak lengkap
Gambar 49: Kepuasan pasien kosong
Kelengkapan data di status pasien masih merupakan masalah kronis yang sulit dipecahkan. Pada bulan Juni 2012, masalah ini sudah dibahas secara panjang-lebar dan dimasukkan sebagai saran perbaikan. Nilai standar proses yang terkait dengan kelengkapan rekam medik yang pada saat itu hanya terpenuhi 2 indikator (66,67%) dari yang seharusnya 3 ternyata belum mengalami perbaikan. Pada gambar 47 jelas terlihat sebagian besar data yang diminta untuk dilengkapi, hampir sebagian besar tidak diisi. Partograf belum terselesaikan walaupun persalinan telah selesai dan resume belum juga dilengkapi (gambar 48). Pada gambar 49, lembar kepuasan klien belum terisi tetapi pada bagian bawah kanan ternyata sudah ditanda-tangani. Tingkat kepatuhan petugas terhadap pelaksanaan SOP atau standar pelayanan yang telah ditetapkan hanya mencapai 63,33% dari yang seharusnya 100%. Nilai tingkat kepatuhan ini lebih rendah dari ratarata RSUD di provinsi NTT yang memperoleh pengampuan dari RS Mitra A karena SOP yang dipakai saat monev pada bulan Oktober 2012 ternyata mengalami penurunan yaitu pemberian obat anti konvulsan MgSO4 dari yang sebelumnya diberikan secara intravena, ternyata sejak Agustus 2012 berubah menjadi intramuskuler. Menurut Panduan Nasional Pelayanan Klinik (PNPK) Fetomaternal POGI pemberian MgSO4 untuk Preeklampsia/Eklampsia yang direkomendasikan adalah secara intravena dan pemberian secara intramuskuler hanya diperbolehkan jika fasilitas kesehatan setempat tidak memiliki sarana untuk melakukan pemberian MgSO4 secara intravena atau jika petugas pelaksana tidak kompeten melakukan pemberian MgSO4 secara intravena. Rekomendasi Perbaikan untuk Kamar Bersalin
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Beri label nama dan tentukan fungsi ruangan Siapkan ruang Resusitasi-Stabilisasi Maternal di SMF Obgin karena pasien tidak melalui IGD Fungsikan ruang dan pelayanan High Care di SMF Obgin Lengkapi area cuci-tangan dengan sabun cair dan pengering tangan serta minimalisasi percikan air Susun tata letak ruang fungsional termasuk memindahkan autoclave ke ruang tersendiri Pelatihan PONEK untuk semua staf Gunakan protokol klinik atau SPM yang terkini (update) karena sebagian besar pelayanan, tidak menggunakan protokol klinik (SOP tidak menjelaskan secara rinci tentang tindakan klinik)
8. Susun ulang komposisi dan jumlah ranjang di Kamar Bersalin (untuk 6-7 ranjang terlalu sempit) 9. Siapkan infant warmer (baik pabrikan maupun yang dibuat sendiri) agar asuhan dan resusitasi neonatal berjalan baik 10. Siapkan, susun, dan fungsikan peralatan dan obat untuk pertolongan gawat-darurat 11. Perhatikan upaya pencegahan infeksi (standard precautions) di semua ruang dan area VK 12. Gunakan AVM (alatnya tersedia) untuk penanganan kasus abortus tanpa anestesia 13. Seleksi lebih ketat indikasi SC karena sebagian besar pasien di SC a/i bekas SC dan tindakan SC akan menambah tindakan SC di persalinan berikutnya 14. Bangun sistem pelayanan asuhan persalinan normal dan penanganan kasus emergensi karena program sister hospital hanya mengisi kesenjangan pelayanan spesialistik tanpa adanya pengembangan kapasitas staf lokal 15. Perlu penyelia (supervisor) untuk menjaga kualitas pelayanan dan patient’s safety 16. Buat catatan lengkap dan tepat waktu untuk setiap kasus, termasuk kelengkapan data pendukung untuk setiap tindakan atau penanganan kasus obstetri 17. Buat rekapitulasi dan analisis data triwulan, bahas kasus mortalitas/morbiditas ibu dan bagaimana upaya perbaikan kualitas pelayanan/proporsi kesembuhan pasien 18. Lakukan persiapan pemberdayaan lokal sebelum program sister hospital selesai/ berakhir Dari 18 rekomendasi yang diberikan tim monev bulan Juni 2012 hanya rekomendasi 1, 3,5, dan 9 yang dapat dilaksanakan sedangkan yang lain, belum dapat dilaksanakan seperti yang diharapkan. Kamar Operasi
Gambar 50: OK RSUD Larantuka
Kamar Operasi merupakan penolong RSUD Larantukan dari nilai yang dibawah rata-rata pada komponen standar input PONEK. Nilainya yang 71,64% memperbaiki nilai rata-rata standar input. Walaupun demikian, tidak semua bagian OK telah sesuai dengan standar. Pengaturan obat yang kurang sistematik dan tidak mengikuti jenis, tingkat, dan prioritas urgensi masih perlu diperbaiki. Wadah sampah yang tidak ada penutupnya dan warna kantong plastik pelapis yang sama untuk sampah medis dan non-medis, sangat perlu untuk segera diperbaiki. Pemeliharaan dan tera ulang peralatan elektro medik (monitor, pulse oxymetri, kauter), mesin anestesi, dan AC belum dilaksanakan secara baik.
Gambar 51: Area Cuci Tangan perlu perbaikan
Bagian lain yang memerlukan perbaikan segera adalah area cuci-tangan dan cuci-bilas. Gambar 51 menunjukkan kran air jenis putar, dispenser sabun dan alkohol yang kurang berfungsi, sisa pipa air yang tidak ditutup atau diperbaiki dan diganti dengan yang baru, slang air, slang NGT yang digantungkan pada kran, endapan mineral yang terlarut dalam air dan melapisi permukaan waastafel yang terbuat dari bahan logam, dan cairan pembersih keramik dan lantai yang ditempatkan pada tepi bak cuci air, perlu untuk dirapikan dan dibersihkan. Jam dinding yang tidak terlihat atau membelakangi petugas resusitasi/operator, perlu segera diposisikan secara benar
Rekomendasi Perbaikan untuk Kamar Operasi
1. Perbaiki waastafel cuci tangan dan waastafel cuci-bilas, kran, dan saluran pembuangan di area proses peralatan dan pembuangan limbah 2. Lengkapi peralatan monitoring pasien, termasuk portable pulse oxymetry 3. Lengkapi dan susun sesuai prioritas dan frekuensi penggunaan obat-obatan emergensi 4. Terapkan upaya standard precautions secara benar dan efektif 5. Pelatihan petugas di OK (anestesi, ACLS, PONEK, resusitasi-stabilisasi, instrumentalis, dsb 6. Perbaiki topografi alat (termasuk jam dinding) sehingga penggunaan peralatan menjadi efektif 7. Perbaiki area resusitasi-stabilisasi neonatus di OK Dari 7 rekomendasi perbaikan yang telah disampaikan pada bulan Juni 2012 ternyata hanya ada dua rekomendasi yang dapat dipenuhi yaitu nomor 2 dan nomor 7. Rekomendasi perbaikan yang lainnya masih belum dapat dipenuhi sesuai dengan yang diharapkan. Intensive Care Unit (ICU)
Belum terdapat unit perawatan intensif untuk mendukung IGD, kamar operasi dan unit perawatan lain yang terkait dengan penanganan kasus-kasus gawat-darurat. Kasus yang memerlukan perawatan ICU dirujuk ke RSUD Maumere yang berjarak lebih kurang 3 jam perjalanan darat. Pengembangan ruang ICU disarankan berada berdekatan dengan UGD, kamar bersalin, kamar operasi dan unit perinatologi. Untuk saat ini, UPF Obstetri disarankan agar meningkatkan Ruang Observasi Khusus menjadi Ruang Perawatan Khusus (atau Ruang Isolasi menurut terminologi Komite Akreditasi Rumah Sakit atau KARS) sehingga tidak perlu lagi merujuk pasien gawat-darurat obstetri atau pasien yang memerlukan perawatan intensif ke RSUD Maumere. Selain melengkapi sarana-prasarana, siapkan juga petugas terlatih PONEK/ICU. Unit Tranfusi Darah Rumah Sakit
Unit Tranfusi Darah Rumah Sakit (UTD-RS) telah dilengkapi dengan sarana pemeriksaan yang cukup memadai, walaupun belum sepenuhnya dapat menyelesaikan semua pemeriksaan dan kebutuhan darah di rumah sakit. Kebutuhan darah secara cepat juga memerlukan pemeriksaan yang akurat dan cepat, yang antara lain dapat dipenuhi dengan pemeriksaan Gel test. Dengan statusnya sebagai rumah sakit rujukan kabupaten, sudah selayaknya RSUD Larantuka memiliki Bank Darah mengingat operasi seksio sesaria mencakup 30-40% dari total persalinan, belum lagi ditambah dengan berbagai tindakan/operasi ginekologi dengan adanya dokter SpOG di RSUD ini. Hasil Penilaian Standar Masukan, Kinerja Dan Indikator Mutu Pelayanan Ponek Standar Masukan (Input) PONEK
Standar Masukan PONEK adalah kelengkapan infrastruktur dan sumberdaya untuk menyelenggarakan PONEK sesuai dengan standar atau baku mutu yang telah ditetapkan. RSUD Larantuka memiliki besaran atau nilai kesesuaian standar masukan PONEK dengan pendekatan fungsional seperti yang tertera pada tabel 1: Standar Masukan PONEK RSUD Larantuka. Pendekatan fungsional dilakukan jika dengan pendekatan fisik (infrastruktur) dan standar kinerja terdapat komponen dengan nilai: 0 yang berarti tidak dapat dinilai karena memang tak ada/sarana yang ada, tidak memadai untuk melaksanakan pelayanan
Tabel 1: Standar Masukan Fungsional PONEK RSUD Larantuka (25/06/2012) No
Area
1 2 3 4 5
Cuci Tangan & PI Resusitasi dan Stabilisasi Kamar Bersalin Unit Perawatan Khusus Kamar Operasi Total
Nilai Input
STD
50,00% 59,38% 61,90% 51,85% 71,64% 62,89%
100% 100% 100% 100% 100% 100%
Penilaian aktual dilakukan menggunakan pendekatan fisik dan standar kinerja yang mengacu pada standar input yang telah ditetapkan dan mempunyai nilai tertentu jika terpenuhi dan tidak ada nilainya apa bila secara fisik dan kinerja, tidak terpenuhi Tabel 2: Standar Masukan Aktual PONEK RSUD Larantuka (25/06/2012) No
1 2 3 4 5
Area
Cuci Tangan & PI Resusitasi dan Stabilisasi* Kamar Bersalin Unit Perawatan Khusus* Kamar Operasi Total
Nilai Input
STD
50,00% 0% 61,90% 0% 71,64% 36,71%
100% 100% 100% 100% 100% 100%
Tabel 3: Standar Masukan Aktual PONEK RSUD Larantuka (29/10/2012) No
Area
1 2 3 4 5
Cuci Tangan & PI Resusitasi dan Stabilisasi * Kamar Bersalin Unit Perawatan Khusus* Kamar Operasi Total
Nilai Input
STD
50.00% 59.38% 66.67% 48.15% 70.15% 62.26%
100% 100% 100% 100% 100% 100%
Standar Kinerja PONEK
Standar Kinerja adalah kemampuan manajemen dan kompetensi sumberdaya manusia yang ada di suatu rumah sakit untuk melaksanakan prosedur standar dan menjaga mutu PONEK sehingga mampu memberi keluaran seperti yang diharapkan (pasien selamat/sembuh atau masalah kesehatan mereka dapat diatasi)
Tabel 4: Standar Pengelolaan PONEK RSUD Larantuka (25/06/2012) No
Pengelolaan
1 2 3 4 5
Referensi/Protokol Rekam Medik Manajemen SDM Manajemen Kualitas Manajemen Pemeliharaan Total
Nilai Mng
STD
60,00% 66,67% 52,94% 60,00% 33,33% 54,55%
85% 85% 85% 85% 85% 85%
Tabel 5: Standar Pengelolaan PONEK RSUD Larantuka (29/10/2012) No
Pengelolaan
1 2 3 4 5
Referensi/Protokol Rekam Medik Manajemen SDM Manajemen Kualitas Manajemen Pemeliharaan Total
Nilai Mng
STD
40,00% 66,67% 41,18% 60,00% 66,67% 48,48%
85% 85% 85% 85% 85% 85%
Tabel 6: Tingkat Kepatuhan terhadap Standar PONEK RSUD Larantuka (29/10/2012)
Number of live-birth in health facility or population 2011 䦋㌌㏒㧀좈琰茞ᓀ㵂Ü
130 260 520 715 910 1300 2600 5200 13000
No
Indikator Kinerja
Kepatuhan
1 2 3 4 5 5
Melengkapi Riwayat Medik Melengkapi Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Tambahan Pemantauan Selama Asuhan Ketepatan Penanganan Awal Tatalaksana Aktif
STD
60% 100% 80% 100% 60% 100% 60% 100% 60% 100% 60% 100% 63,3% 100% Tabel 7: Maternal Mortality Ratio di RSUD Larantuka (Jan-Sep 2012)
Number of maternal death in the health facility or population and estimation of MMR per 100,000 livebirth annually
MMR 200
0.5 1.0 1.4 1.8 2.6 5.2 10.4 25.6
MMR 300
0.3 0.7 1.3 2.0 2.6 3.6 5.4 15.6 31.2
MMR 400
0.5 1.0 2.1 2.8 3.6 5.2 10.4 20.8 52
MMR 500
0.7 1.3 2.6 3.1 3.7 6.5 13 26 63
MMR 600 MMR 700
1.0 1.6 3.1 3.7 5.4 7.8 15.6 31.2 77.6
1.3 1.8 3.7 4.7 6.5 8.6 18.7 36.4 80.5
MMR 800
1.6 2.1 4.2 5.6 7 10.4 20.8 41.6 104.3
Tabel 8: Neonatal Mortality Ratio di RSUD Larantuka (Jan-Sep 2012) Number of live-birth in Number of neonatal health facility or birth annually population 䦋㌌㏒㧀좈琰茞ᓀ㵂Ü
NMR 10
death in the health facility or population and estimation of NMR per 100,000 live-
NMR 20
NMR 30
NMR 40
NMR 60
NMR 80
NMR 100
3
5
10
16
21
5
7
10
16
21
26
130 260 520
5
10
15
21
31
42
52
715
10
14
21
28
37
56
72
1015
13
21
28
37
56
72
89
1300
16
26
37
52
78
104
130
2600
21
52
78
104
156
208
260
5200
31
104
156
208
312
416
520
13000
42
256
385
520
776
1043
1299
Untuk pengamatan pelayanan maternal-perinatal, penilaian standar masukan belum mendapat nilai maksimal (3) karena tak ada Tim PONEK dan SK Direktur. Untuk aspek kinerja, nilai rendah terkait door to needle dan door to emergency C-Section. Nilai maksimal juga terkendala oleh manajemen PONEK pada level UGD, kesiapan tim pelaksana secara purnawaktu, alur lintas klien dan persiapan tindakan gawat darurat. RSUD Larantuka sempat berprestasi baik untuk MMR yang hingga bulan Juni 2012 tidak ada kematian maternal. Pada bulan Agustus dan September ternyata terjadi 2 dan 1 kematian maternal sehingga MMR menjadi 300/100.000 KH ( treshold PONEK 300/100.000 KH), SC Rate 36.4% dari treshold PONEK sebesar 20%. Nilai total kinerja perinatal RSUD Larantuka adalah 22 ( fair ). Dengan MMR 300/100.000 KH di RSUD Larantuka, estimasi MMR di populasi adalah 100/100.000 KH dan proksimasi cakupan Linakes di Kabupaten Flores Timur dengan MMR di populasi 100/100.000 KH adalah sekitar 90%. MMR di RSUD Larantuka masih merupakan akibat dari tidak tercapainya response time dan masih tingginya pertolongan oleh dukun serta tidak dilakukannya resusitasi dan stabilisasi awal pasien gawatdarurat saat di rujuk dan saat berada di UGD/Kamar Bersalin/Ruang Perinatologi RSUD Larantuka. Statistik Vitalis • •
• •
Persalinan rata-rata 136 per bulan atau 1356 persalinan pada Januari-Juni 2012 3 kematian maternal dari 1356 kelahiran hidup atau rasio kematian maternal (MMR): 300/100.000 kelahiran hidup (Standar PONEK: 300/100.000 KH) 49 kematian neonatal: NMR 40/1.000 KH (Standar 30/1.000 KH) SC Rate: 29-46% atau rata-rata 36,04% (Standar 20%)
Tabel 9: SC Rate and Maternal Death in Larantuka Hospital (Jan-Sep 2012) Month Jan Febr Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep
Total
Normal 97 93 125 137 109 126 115 79 93 974 351 1325
SC 43 43 40 40 54 37 36 26 32 351 36,04% 226,4
Death
Cause
2 1
Eclampsia Sepsis
3
% 44,33 46,24 32 29,20 49,54 29,36 31,30 32,91 34,41 36,04
Tabel 10: Indikasi dan Proporsi SC di RSUD Larantuka (Jul-Sep 2012) Indikasi Disproporsi KP Bekas SC Gawat Janin Plasenta Previa PEB/Eklampsia Gagal Drips Letak Lintang Bokong Presentasi Muka Gemeli Riwayat Kista Anak Mahal Atas Permintaan Presentasi Kaki Arrest of Dilatation Prolong Latent Phase HPP Varises Vagina Edema Vulva Post-term Floating Head
Jumlah
Persentasi
23 19 18 16 14 11 10 8 3 3 3 2 2 2 2
15% 13% 12% 11% 9% 7% 7% 5% 2% 2% 2% 1% 1% 1% 1%
2 1 1 1 1 1
1% 1% 1% 1% 1% 1%
KPD Hidrops Fetalis Gagal Vakum Riwayat Sesak Cacat pada Ibu PJT
1 1 1 1 1 1 149
1% 1% 1% 1% 1% 1% 100%
Nilai Komposit Kinerja RS dalam Pelayanan Risiko Tinggi Maternal -Perinatal Instruksi: Berikan nilai : 3 - baik, 2 - sedang , 1- kurang, 0 - tidak tahu SKOR : baik > 28; sedang 27-20; buruk < 20
NAMA RS : RSUD Larantuka – Flores Timur - NTT MASUKAN Infrastruktur, kebijakan dan logistik: standar fisik, peralatan, SDM PI, air bersih, listrik, finansial,SK TimPONEK, SDM-Sp, pelayanan purna waktu
2 2
PROSES Pelayanan antenatal : standar ANC, KB Pelayanan intranatal : response time < 5 menit, seksio darurat < 30 menit Partograf, SOP Eklampsia, sepsis, perdarahan, asfiksia, bayi BLR, MAK III, dsb. Pelayanan postnatal : mampu melayani bayi <2000 g, Rawat gabung 24 jam, delayed cord clamping, IMD dan ASI ekslusif, resusitasi. Pelatihan dokter/bidan/perawat dan pembinaan Puskesmas di wilayah kerja Audit Maternal perinatal, Manajemen Risiko, Audit Klinik, Kajian Laporan Rutin Jaga Mutu dan Pemeliharaan Peralatan Medik
2 2 2
KELUARAN Rasio kematian ibu atau MMR < 300/100.000 KH AKPerinatal < 60/1000, AKNeonatal < 30%o, Rasio Lahir mati < 30%o Angka Seksio Sesaria atau CS Rate < 20%
2 2 2 Total
29/10/2012
2 2 2
[ 22 ]