7 unsur kebudayaan dari mandailing natal 7 UNSUR KEBUDAYAAN DARI MANDAILING NATAL Orang Mandailing Natal didefenisikan sebagai mereka yang bermarga Nasution, Lubis, Pulungan, Batubara, Rangkuti, Daulae, dan Matondang. Orang Mandailing adalah berbead dengan orang Batak yang tinggal di Mandailing atau disebut Batak Mandailing yang terdiri dari pada marga seperti Hasibuan, Harahap, dan Siregar. Mereka berasal dari pedalaman pantao barat Sumatera dan Tapanuli Selatan dan Utara Sumatera Indonesia. Biasanya orang mandailing boleh dikenal melalui pemakaian marga pada namanya. Seperti kebanyakan masyarakat di dunia, masyarakat mandailing mengikuti nasib atau keturunan bapak. Hal ini menyebabkan hanya anak lelaki saja yang akan menjadi penyambung marga bapanya, yakni akan mewariskan marga tersebut kepada anak-anaknya. 1. SISTEM MATA PENCAHARIAN Pada umumnya mata pencaharian masyarakat batak adalah bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Selian pertanian, peternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak mandailing. Hewan yang di ternakan antara lain kerbau, sapi, ayam,kambing, dan bebek. Selain bercocok tanam dan berternak mata pencaharian mereka juga ada sebagai supir angkot dan juga tukang becak. Tapi akhir-akhir ini di mandailing ada tambang emas jadi orang berbondong-bondong bekerja di tambang emas yang kata mereka penghasilannya lebih banyak di banding narik becak dan juga supir angkutan. Lingkungan hidup mereka meliputi gunung-ganang dengan sistem perairan dan dataran rendah persawahan. Mata pencarian mereka termasuk getah, kulit kayu manis, kopi dan melombong emas. Mereka terkenal dengan tradisi persuratan dan sembilan gendang besar yang disebut Gordang Sambilan.
2. SISTEM PERALATAN DAN TEKHNOLOGI Masyarakat batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sedarhana yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, mesin bajak, parang, sabit (sabi-sabi) dll. Dulu masyarakat batak masih menggunaka tenaga kerbau untuk membajak sawah tapi di zaman sekarang orang menggunakan mesin pembacak. Untuk mempercepat pekerjaannya. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur
(sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya yaitukain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.
3. BAHASA Bahasa yang di gunakan sehari-hari dalam batak mandailing adalah bahasa mandailing. Tetapi sekarng orang mandailing juga menggunakan bahasa indonesia dalm sehari-hari. Tapi kebanyakan masayarakat mnadailing masih menggunakan bahasa mandailing. Misalnya : dalam bahasa mandiling ulang martongkari : jangan berantem.. aha dei karejomu : lg ngerjain apa?.. ke ma ita : yuuuukk... olo : he'eh, iya, yups mangece' sajo : ngemeng ajje.. inang goinang...???? aha??
4. KESENIAN Diantara unsur kebudayaan yang dimiliki suku batak adalah kesenian. Tari tor-tor merupakan kesenian yang dimiliki suku batak. Batak mandailing juga mmeliki hordang sambilan. Gordang sambilan kadang di pakai pada waktu penikahan keturuna kerajaan dan juga di lakukan pada saat malam lebaran. Orang- orang berbondong-bondong melihat atraksi mereka. Alat Musik tradisional : Gong; Saga-saga. Hasil kerajinan tenun dari suku batak adalah kain ulos. Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara menari Tor-tor. Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang.
Seni Tarian Seni tari Batak pada zaman dahulu merupakan sarana utama pelaksanaan upacara ritual keagamaan. Menari juga dilakukan dalam acara gembira seperti sehabis panen, perkawinan, yang waktu itu masih bernapaskan mistik (kesurupan). Acara pesta adat yang membunyikan gondang sabangunan (dengan perangkat musik yang lengkap), erat hubungannya dengan pemujaan para Dewa dan roh-roh nenek moyang (leluhur) pada zaman dahulu. Contohnya seni Tari Tor-tor (bersifat magis). Didalam menari setiap penari harus memakai Ulos.
Orang Batak mempergunakan alat musik/ Gondang yaitu terdiri dari: Ogung sabangunan terdiri dari 4 ogung. Kalau kurang dari empat ogung maka dianggap tidak lengkap dan bukan Ogung sabangunan dan dianggap lebih lengkap lagi kalau ditambah dengan alat kelima yang dinamakan Hesek. Kemudian Tagading terdiri dari 5 buah. Kemudian Sarune (sarunai harus memiliki 5 lobang diatas dan satu dibawah. Menari juga dapat menunjukkan sebagai pengejawantahan isi hati saat menghadapi keluarga atau orang tua yang meninggal, tariannnya akan berkat-kata dalam bahasa seni tari tentang dan bagaimana hubungan batin sipenari dengan orang yang meninggal tersebut. Juga Menari dipergunakan oleh kalangan muda mudi menyampai hasrat hatinya dalam bentuka tarian, sering taruian ini dilakukan pada saat bulan Purnama. Kesimpulannya bahwa tarian ini dipergunaka sebagai sarana penyampaian batin baik kepada Roh-roh leluhur dan maupun kepada orang yang dihormati (tamu-tamu) dan disampaikan dalam bentuk tarian menunjukkan rasa hormat. Seni arsitektur Rumah adat Siwaluh Jabu, rumah adat Batak Karo. Rumah ini bertiang tinggi dan satu rumah biasanya dihuni atas satu keluarga besar yang terdiri dari 4 sampai 8 keluarga Batak. Di dalam rumah tak ada sekatan satu ruangan lepas. Namun pembagian ruangan tetap ada, yakni dibatasi oleh garis-garis adat istiadat yang kuat, meski garis itu tak terlihat. Masing-masing ruangan mempunyai nama dan siapa yang harus menempati ruangan tersebut, telah ditentukan pula oleh adat.
Fungsi utama dari ujung atap yang menonjol ini adalah untuk memungkinkan asap keluar dari tungku dalam rumah. Pada bagian depan dan belakang rumah adalah panggung besar yang disebut ture, konstruksinya sederhana dari potongan bambu melingkar dengan diameter 6 cm. Panggung ini dugunakan untuk tempat mencuci, menyiapkan makanan, sebagai tempat pembuangan (kotoran hewan) dan sebagai ruang masuk utama. Jalan masuk menuju ture adalah tangga bambu atau kayu.
5. SISTEM KEKERABATAN Sistem kekerabatan di mandailing masih sangat bagus kekerabatannya. Masyarakat mandailing sangat ramah-ramah terhadap orang. Masyarakatnya saling tolong menolong satu sama lain. Misalnya ada keluarga kita yang mau menikah orang-orang berbondong bondong datang untuk membantu. Kaum perempuan membantu pada siang hari dan kaum laki-laki membantu pada malam hari merka yang memasak. Jasi masyarakatnya masih kental dengan keramah tamahannya. Kekerabatan pada masyarakat Batak memiliki dua jenis, yaitu kekerabatan yang berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada sosiologis. Semua suku bangsa Batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan kekerabatan berdasarkan geneologis. Sementara kekerabatan berdasarkan sosiologis terbentuk melalui perkawinan. Sistem kekerabatan muncul di tengah-tengah masyarakat karena menyankut hukum antar satu sama lain dalam pergaulan hidup. 6. SISTEM RELIGION
Bangsa batak mandailing masih memegang teguh kepercayaanya sendiri terutama pada pedesaan. Namun pada saat ini agama yang mendominasi bangsa batak adalah Islam dan Kristen. Tetapi masyarakat mandailing mayoritas islam walaupun ada yang beragama kristen. orang yang berama kristen di mandailing tidak terlalu banyak. Karena mayoritas di mandailing adalah orang yang berama islam.
7. SISTEM PENGETAHUAN Sistem pengetahuan di batak mandailing masih kental dengan hal-hal kuno seperti masyarakatnya masih percaya dengan dukun. Tetapi bersosialisasi sangat tinggi seperti gotong royong dan saling membantu satu sama lain. Tetapi tidak semua orang mandailing percaya dengan dukun.misalnya ada keluarga yang sakit mereka berobat ke dokter walaupun ada masyarakat yang mengajurkan untuk berobat ke dukun, karena meraka percaya terhadap ilmu ke dokteran. Seni Tari yaitu Tari Tor-tor (bersifat magis); Tari serampang dua belas (bersifat hiburan).
Suku Batak
7 unsur budaya “Suku Batak”
A. Suku Batak Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah terma kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Suku Batak Toba, karo, papak, dan simalungun kebanyakan penduduknya beragama nasrani. sedangkan untuk suku Batak angkola dan Mandailing lebih banyak beragama islam. karena berada di perbatasan daerah sumatera Barat. B. Unsur Budaya
Sistem Bahasa
Dalam, kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang batak menggunakan beberapa logat, ialah : logat karo (yang dipakai oleh orang Karo), logat pakpak (yang dipakai oleh Pakpak), logat simalungun (yang dipakai oleh Simalungun), logat toba ( Yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing)
Sistem IPTEK
Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam bahasa karo aktifitas itu disebut Raron, sedangkan dalam Bahasa Toba hal itu disebut Marsiurupan. Sekolompok orang tetangga atau kerabat dekat bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran. Raron itu merupakan satu pranata yang keanggotaannya sangat sukarela dan lamanya berdiri tergantung kepada persetujuan pesertanya.
Sistem Peralatan Hidup
Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani. Masyarakat
Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya yaitu kain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.
Sistem Kekerabatan
- Perkawinan Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda klan sehingga jika ada yang menikah dia harus encari pasangan hidup dari marga lain selain marganya. Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan). Acara Tersebut dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang dilakukan di gereja karena mayoritas penduduk Batak beragama Kristen. Untuk mahar perkawinan-saudara mempelai wanita yang sudah menikah.orang Batak biasanya mengharuskan untuk menikah dengan paribannya, menurut mereka hal ini dilakukan agar garis ketrunannya tidak terputus.Pariban adalah sebutan untuk orang yang memiliki ibu yang marganya sama dengan wanita yang akan dijadikan istrinya. - Kekerabatan Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak berdiam di daerah pedesaan yang disebut Huta atau Kuta menurut istilah Karo. Biasanya satu Huta didiami oleh keluarga dari satu marga. Ada pula kelompok kerabat yang disebut marga taneh yaitu kelompok pariteral keturunan pendiri dari kuta. Marga tersebut terikat oleh symbol-simbol tertentu misalnya nama marga. Klen kecil tadi merupakan kerabat patrilineal yang masih berdiam dalam satu kawasan. Sebaliknya klen besar yang anggotanya sudah banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama kecilnya, Stratifikasi sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip yaitu : perbedaan tingkat umur, perbedaan pangkat dan jabatan, perbedaan sifat keaslian dan , status kawin.
Sistem Mata Pencaharian
Pada umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap keluarga mendapat tanah tadi , tetapi tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapaun tanah yang dimiliki perseorangan. Peternakan juga salah satu mata pencaharian suku Batak antara lain peternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan yang berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitannya dengan pariwisata.
Sistem Religi
Pada abad 19 agama islam masuk daerah penyebarannya meliputi batak selatan. Agama Kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebarannya meliputi batak utara. Walaupun demikian banyak sekali masyarakat didaerah pedesaan yang masih mempertahankan konsep asli religi penduduk batak. Orang batak mempunyai konsepsi bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debata Mula Jadi Na Bolon dan bertempat tinggal diatas langit dan mempunyai nama-nama sesuai dengan tugasnya dan kedudukannya: 1). Debata Mula Jadi Na Bolon : bertempat tinggal diatas langit dan merupakan maha pencipta; 2). Siloan Na Bolon : berkedudukan sebagai penguasa dunia makhluk halus. Dalam hubungannya dengan roh dan jiwa. Orang Batak mengenal tiga konsep yaitu : a) tondi (adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.) , b) jiwa, atau c) roh;
3). Sahala : jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang, Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula. 4). Begu : tondinya orang yang sudah mati, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam. Orang batak juga percaya akan kekuatan sihir dari jimat yang disebut Tongkal.
Sistem Kesenian
Seni Tari yaitu Tari Tor-Tor (bersifat magis); Tari Serampang dua belas (bersifat hiburan). Alat music tradisional : Gong; Saga-saga. Hasil kerajinan tenun dari suku batak adalah kain ulos.
Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara Tor-tor. Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang.
Orja di Mandailing
UPACARA ADAT (ORJA) DI MANDAILING: SUATU PENGAMATAN AWAL PROLOG Perkataan 'adat-istiadat' adalah bentuk jamak dari kata 'adat', sementara kata 'adat' itu sendiri diserap ke dalam Bahasa Indonesia dari Bahasa Arab. Pengertian dari 'adat-istiadat' (adat) adalah "segala aturan, ketentuan, tindakan, dan sebagainya yang sudah menjadi kebiasaan hidup secara turun temurun" (tradisi).1 Di tanah air kita (Indonesia), 'adat-isiadat' ini merupakan 'warisan leluhur' yang masih eksis di tengah-tengah masyarakat kita yang majemuk hingga sampai sekarang, karena ia ('adat istiadat') itu merupakan suatu tatanan yang mengatur kehidupan bermasyarakat secara tradisional, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di dalam 'adat-istiadat' (adat) itu terkandung 'sistem nilai budaya', 'pandangan hidup' dan 'ideologi' yang dianut oleh setiap 'kelompok etnik' (suku-bangsa). 'Upacara' adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat-istiadat, dan sistem kepercayaan (agama). Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat antara lain upacara kematian, perkawinan, dan pengukuhan kepala suku, kelahiran anak, dan sebagainya. Dengan demikian ‘upacara adat’ adalah suatu upacara yang dilakukan secara turun-temurun yang berlaku di suatu daerah. Dalam hal ini, setiap daerah memiliki upacara adat sendiri-sendiri, dan biasanya erat kaitannya dengan unsur sejarah. Karena itu, upacara adat pada dasarnya merupakan bentuk perilaku masyarakat yang menunjukkan kesadaran terhadap masa lalunya. Masyarakat menjelaskan tentang masa lalunya melalui upacara. Melalui upacara, kita dapat melacak tentang asal usul baik itu tempat, tokoh, sesuatu benda, kejadian alam, dan sebagainya.
'Sistem nilai budaya' merupakan tingkatan yang paling tinggi dan abstrak di dalam setiap 'kebudayaan' (culture).2 Hal ini disebabkan oleh karena 'nilai-nilai budaya' merupakan "konsep mengenai apa yang hidup di alam pikiran sebagian besar masyarakat yang dianggap bernilai, berharga dan penting bagi hidup mereka", sehingga 'sistem nilai budaya' tersebut berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan 'arah dan orientasi' pada kehidupan setiap kelompok etnik (suku-bangsa). Oleh karena 'konsep' dari suatu 'nilai budaya' biasanya bersifat umum, maka ia (nilai-nilai budaya) memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan terkadang sulit dijelaskan secara rasional. Justru karena sifatnya yang umum, luas dan abstrak itulah sehingga 'nilai-nilai budaya' tersebut berada dalam emosional dari jiwa para individunya. Itulah sebabnya mengapa 'nilai-nilai budaya' pada suatu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok etnik (sukubangsa) tidak dapat digantikan begitu saja dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh kelompok etnik (suku-bangsa) lain. Dalam kebudayaan kelompok etnik, baik yang kompleks maupun sederhana, terdapat sejumlah 'nilai-nilai budaya' yang saling berkaitan dan membentuk suatu sistem (sistem nilai budaya) yang merupakan pedoman dari konsep-konsep ideal dari 'kebudayaan' (culture)3 yang dimiliki oleh suatu kelompok etnik. Menurut seorang ahli antropologi terkenal yaitu C. Kluckhohn (1953), bahwa dalam 'sistem nilai budaya' terdapat 5 (lima) 'masalah dasar' dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut: 1. Mengenai hakekat hidup manusia (MH) Terdapat kebudayaan yang memandang hidup manusia adalah suatu hal yang buruk dan menyedihkan, oleh karena itu harus dihindari. Namun ada juga kebudayaan lain yang memandang hidup manusia adalah suatu hal buruk, tetapi manusia dapat mengusahakan untuk menjadikannya hal yang baik dan menyenangkan. 2. Mengenai hakekat karya manusia (MK)
Kebudayaan yang memandang bahwa karya manusia adalah bertujuan untuk memungkinkan hidup dan memberikan suatu kedudukan dan kehormatan. Namun ada juga kebudayaan lain yang menganggap sebagai gerak hidup yang harus mengahsilkan karya lebih banyak lagi. 3. Mengenai hakekat kedudukan manusia di ruang dan waktu (MW) Kebudayaan yang memandang penting kehidupan manusia di masa lampau dan mengambil pedoman sebagai tindakannya. Sebaliknya banyak juga kebudayaan dimana orang mempunyai satu pandangan waktu yang sempit. Ada juga kebudayaan lain yang berorientasi sejauh mungkin pada masa yang akan datang yang dianggap penting. 4. Mengenai hakekat hubungan manusia dengan alam (MA) Kebudayaan yang memandang alam sebagai suatu yang dashyat dan manusia hanya menyerah saja tanpa berusaha banyak. Selain itu, ada kebudayaan yang memandang bahwa alam itu dapat dilawan oleh manusia untuk berusaha menaklukkan alam. 5. Mengenai hakekat hubungan manusia dengan sesama (MM) Kebudayaan yang sangat mementingkan hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya. Sedangkan ada kebudayaan lain yang mementingkan hubungan horizontal manusia dengan sesamanya. Serta ada juga yang beranggapan bahwa hidup manusia tidak bergantung pada orang lain di hidupnya. Individualisme beranggapan tinggi jika manusia harus berdiri sendiri dalam hidupnya. Berambisi mendapat tujuannya dengan seminimal mungkin bantuan dari orang lain.
Ke lima masalah dasar tersebut di atas dapat dipahami dengan terlebih dahulu mengamati bagaimana kebudayaan-kebudayaan yang ada di dunia ini mengkonsepsikannya. Dalam hal ini, 'pandangan hidup' (world view) sebaiknya dipisahkan dari konsep 'sistem nilai budaya' yang mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut suatu kelompok etnik (sukubangsa) karena dipilih secara selektif oleh individu dan golongan dari warganya. Berbeda dengan konsep 'ideologi' yang merupakan suatu 'sistem pedoman hidup dan cita-cita' yang ingin dicapai oleh masing-masing individu di dalam masyarakat. Namun yang lebih khusus sifatnya daripada 'sistem nilai budaya' dan 'ideologi' tidak digunakan dalam hubungannya dengan individu. Masyarakat yang beradat cenderung hidupnya lebih tertib dalam menjalankan berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat. Demikian pula halnya 'adat-istiadat' (adat) yang masih digunakan dalam kelompok-kelompok etnik kita di berbagai 'daerah', termasuk di Mandailing sebagai salah satu kelompok etnik di Indonesia. Secara umum, 'upacara adat' (orja) di Mandailing dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian utama, yaitu (1) Siriaon yaitu 'kegembiraan' (seperti pelaksanaan 'upacara adat perkawinan' disebut maringanan atau marbagas), (2) Siluluton yaitu 'kesedihan' (seperti pelaksanaan 'upacara adat kematian' yang disebut mambulungi), dan (3) Siulaon yaitu 'kekaryaan' (seperti 'membuka perkampungan baru' yang disebut mamungka huta).
Di samping 'nilai-nilai budaya', hal penting lain yang perlu dipahami dalam setiap kebudayan 'kelompok etnik' adalah adalah 'wujud kebudayaan'. Dalam hal ini, pengertian 'wujud kebudayaan' adalah merujuk pada bahasa latin dari kata 'colere' yang artinya adalah mengerjakan, mengolah, dan memelihara tanah atau ladang (Soerjanto Poespowardojo, 1993). Namun ada pendapat lain mengatakan, bahwa kata 'budaya' adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk 'budi-daya', yang berarti daya dan budi. Karena itu mereka membedakan antara 'budaya' dan 'kebudayaan'. Dalam hal ini, 'budaya' adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa; sementara 'kebudayaan' adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. Pengertian yang bersifat agraris ini kemudian mulai diterapkan pada hal-hal yang sifatnya ruhaniah (Langeveld, 1993). Pengertian 'budaya' dalam arti lain dinyatakan oleh Ashley Montagu dan Christopher Dawson (1993) yang mengartikan 'budaya' atau 'kebudayaan' sebagai way of life, yaitu terkait dengan suatu cara atau 'mode hidup' tertentu yang dianut oleh suatu bangsa yang di dalamnya terpancar 'identitas tertentu' dari bangsa tersebut. Sedangkan menurut The American Herritage Dictionary (dalam Kotter dan Heskett, 1992), 'kebudayaan' diartikan secara formal yaitu sebagai sebuah keseluruhan pola perilaku yang dicerminkan dalam kehidupan sosial, agama, seni, maupun kelembagaan, serta semua hasil dari pikiran dan kerja manusia pada suatu entitas manusia tertentu. Sementara itu, Koentjaraningrat (1981) memberikan pengertian 'budaya' secara sistemik yaitu keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Dalam hal ini, 'kebudayaan' memiliki 3 (tiga) wujud, yaitu: 1. Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide-de, gagasan, nilai-nilai, normanorma, peraturan dan sebagainya. Wujud pertama adalah wujud ideal kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba dan difoto. Letaknya dalam alam pikiran manusia. Sekarang kebudayaan ideal ini banyak tersimpan dalam arsip kartu komputer, pita komputer, dan sebagainya. Ide-ide dan gagasan manusia ini banyak yang hidup dalam masyarakat dan memberi jiwa kepada masyarakat. Gagasan-gagasan itu tidak terlepas satu sama lain melainkan saling berkaitan menjadi suatu sistem, disebut sistem budaya atau cultural, yang dalam bahasa Indonesia disebut adat istiadat. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kedua adalah yang disebut sistem sosial atau sosial sistem, yaitu mengenai tindakan berpola manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi satu dengan lainnya dari waktu ke waktu, yang selalu menurut pola tertentu. Sistem sosial ini bersifat konkrit sehingga bisa diobservasi, difoto dan didokumentir. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ketiga adalah yang disebut kebudayaan fisik, yaitu seluruh hasil fisik karya manusia
dalam masyarakat. Sifatnya sangat konkrit berupa benda-benda yang bisa diraba, difoto dan dilihat. Ketiga wujud kebudayaan tersebut di atas dalam kehidupan ideal dan adat-istiadat mengatur dan mengarahkan tindakan manusia baik gagasan, tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan secara fisik. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk lingkungan hidup tertentu yang makin menjauhkan mansia dari lingkungan alamnya sehingga bisa mempengaruhi pola berpikir dan berbuatnya.
Adat istiadat (adat), norma-norma4 dan hukum merupakan 'nilai-nilai budaya' yang berguna sebagai pedoman untuk mengarahkan dan berorientasi pada hidup yang sifatnya umum. Mengingat 'nilai-nilai budaya' termasuk nilai yang tertinggi di dalam masyarakat, yang bentuknya abstrak serta sifatnya umum, maka 'nilai-nilai budaya; itu tidak dapat dioperasikan secara mudah. 'Nilai-nilai budaya' itu masih harus dijabarkan dalam bentuk 'norma' yang sifatnya operasional. Namun apabila 'norma' itu terlampau umum dan luas, maka 'norma' tersebut, maka tidak dapat mengatur tindakan individu dan dapat pula membingungkan individu tersebut. 'Norma' ini dapat digolongkan dalam pranata ilmiah, pranata estetik, pranata keagamaan, dan lain-lain. Ada juga norma pendidikan, norma politik, norma peradilan, norma ekonomi, dan sebagainya. Dalam tiap pranata ada macam-macam kedudukan di tiap individu yang bertindak dalam peranan interaksi sosialnya. Suatu pranata dan sub-sub pranatanya sangat erat berkaitan merupakan sistem yang terintegrasi pula. Sistem-sistem yang jangkauan lebih luas dapat disebut 'unsur kebudayaan universal'. Dalam hubungan ini, di Mandailing ada 2 (dua) 'istilah lama' (ungkapan tradisional) yang cukup relevan dalam pembahasan topik ini, yaitu Adat Dohot Ugari (adat dan norma) dan Patik Dohot Uhum (peraturan dan hukum).
JENIS DAN BENTUK UPACARA ADAT (ORJA) Sepanjang yang diketahui ada 3 (tiga) jenis upacara adat (orja) di Mandailing: (1) siriaon ('kegembiraaan'); (2) siluluton ('kesedihan'); dan (3) siulaon ('kekaryaan'). Sedangkan berdasarkan bentuk penyelenggaraannya terbagi atas 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (1) orja godang, dimana ternak yang dipotong adalah kerbau (longit), dan pihak-pihak yang diundang cukup banyak yaitu kelompok kekerabatan dalian na tolu (mora, kanggi, dan anak boru), raja-raja torbing balok ('para pemimpin huta tetangga'), namora natoras, dan raja panusunan bulung; (2) orja manonga, dimana ternak yang dipotong adalah kambing, dan pihak-pihak yang diundang adalah kelompok kekerabatan dalian na tolu (mora, kahanggi, dan anak boru), namora natoras dan raja pamusuk di huta ('kampung') tempat pelaksanaan orja; dan (3) orja menek, dimana ternak yang dipotong adalah ayam, dan orang-orang yang diundang terbatas yaitu hanya koum-sisolkot (kaum-kerabat) yang terdekat saja. Apabila seseorang (sebuah 'keluarga batih') hendak menyelenggarakan suatu upacara adat (orja), maka ia harus terlebih dahulu memusyawarhkannya dengan kelompok kekerabatan se-marga-nya, yaitu kahanggi, untuk mencapai domu ni tahi ('kesepakatan bersama') agar niat untuk melaksanakan upacara adat (orja) itu terwujud. Untuk itu, mereka biasanya terlebih dahulu melaksanakan 'pokat menek' ('musyawarah kecil') untuk mufakat melaksanakannya di tempat kediaman (rumah) dari saudara se-marga mereka (suhut) yang berkeinginan (berniat) untuk melaksanakannya upacara adat (orja) tersebur, dan dalam 'pokat menek' itulah mereka membicarakan berbagai hal penting tentang penyelenggaraannya untuk disepkati bersama. Dalam hal ini, ada ungkapan tradisional yang mengatakan: tampak do rantosna rim tahi do gogona. Maksudnya, "kesepakatan dan kebersamaan adalah sumber kekuatan". Sejalan dengan itu, ada pula ungkapan lain yaitu rukrek ni parau maroban tu rapotna. Maksudnya, "meskipun terjadi silang-pendapat dalam setiap musyawarah namun pada akhirnya akan dapat menciptakan kekompakan dan menghasilkan kesepakatan". Setelah beberapa hal pokok mengenai pelaksanaan upacara adat (orja) tersebut disepakati bersama (sapokat), maka beberapa hari kemudian barulah dilaksanakan musyawarah lanjutannya yang lebih besar, yaitu 'pokat godang' dengan mengundang kehadiran kelompok-kelompok kekerabatan dalian na tolu (mora, kahanggi, dan anak boru), kelompok kekerabatn lain ( seperti mora ni mora, anak boru ni anak boru/pisang raut), serta raja panusunan bulung dan namora natoras.5
Kegiatan pokat godang ini biasanya diselenggarakan pada malam hari setelah selesai sholat Isya, dan acara marpokat dimulai dengan terlebih dahulu manyurdu burangir adat (napuran)6 oleh anak boru atau pisang raut secara bergiliran ke hadapan raja panusunan bulung, namora natoras, dan seterusnya kepada mora ni mora, mora, suhut, dan yang lainlain. Setalah selesai manyurdu burangir adat, barulah mereka lakukan kegiatan markobar ('berpidato adat'), yang dimulai oleh kahanggi ni suhut sebagai 'pembuka' untuk menjelaskan niat mereka untuk menyelenggarakan upacara adat (orja) tersebut. Seterusnya yang markobar secara bergiliran adalah anak boru, pisang raut, mora ni mora, mora, dan diakhiri oleh hatobangon, yang kesemuanya menyatakan dukungan penyelenggaraan upacara adat (orja) tersebut, lalu kemudian acara marpokat itu ditutup dengan pembacaan do'a oleh seorang alim ulama.
Dalam acara 'pokat godang' ini telah disepakati dan ditetapkan pekerjaan (tugas) dari masingmasing kelompok kekerabatan dan pihak-pihak lain dalam rangka penyelengaraan upacara adat (orja) tersebut misalnya seperti naposo nauli bulung ('para muda-mudi') ditugaskan untuk pataonkon (mengundang para pemimpin masyarakat dan kaum-kerabat untuk menghadiri upacara adat tersebut, baik yang berdomisili di kampung tempat penyelenggaran upacara adat maupun ke kampung-kampung tetangga) dan mangoloi ('meladeni makan bersama para tamu undangan'), umak-umak ('kaum ibu') ditugaskan untuk mardahan ('menanak nasi') dan ama-ama ('kaum ayah') untuk marmasak ('memasak lauk-pauk').7
Koum-sisolkot (kaum-kerabat) yang berdomisili di kampung yang cukup jauh dari kampung tempat pelaksanaan upacara adat, yang telah ipataon (diundang) untuk datang menghadiri upacara adat (orja) tersebut, seringkali sudah datang lebih awal sebelum dilangsungkannya orja (upacara adat) tersebut. Untuk itu mereka menginap satu-dua malam di rumah saudara se-marga (kahanggi) mereka di kampung tersebut, dan ada kalanya mereka turut juga membantu persiapan pelaksanaan orja itu.
Pada hari 'H' pelaksanaan upacara adat (orja) yang biasanya berlangsung di pagi hari, penduduk kampung, kaum-kerabat, pemimpin dan tokoh masyarakat, serta para tamu undangan lainnya berdatangan secara beramai-ramai ke rumah tempat penyelenggaraan orja tersebut. Biasanya, umak-umak ('kaum ibu') datang dengan membawa satu 'muk' beras yang dimasukkan ke dalam wadah khusus untuk itu (baul-baul) sebagai tanda partisipasi untuk diberikan kepada 'tuan rumah' sebagai penyelenggara upacara adat (orja). Orja Siriaon (upacara adat perkawinan) dalam masyarakat Mandailing hingga kini masih berlangsung secara tradisional. Dalam hal ini, orang Mandailing menganut adat perkawinan manjujur, yang bersifat exogamy patriarchat, dimana setelah upacara adat perkawinan dilaksanakan, maka 'pengantin wanita' meninggalkan klannya dan masuk ke klan (marga) suaminya dan suaminya menjadi kepala keluarga dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu akan mengikuti klan (marga) dari ayahnyanya. Idealnya perkawinan dalam masyarakat Mandailing secara adat-istiadat adalah antara anak namboru dengan boru tulang-nya.8 Penerapan adat manjujur dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dari pihak keluarga wanita atas hilangnya seorang anggota keluarga mereka yang telah masuk menjadi anggota keluarga suami. Adapun 'materi' (benda) yang akan diberikan sebagai jujur adalah berupa sere sebagai 'mas kawin' (tuor) dan istilah menyerahkan jujur ini disebut manulak sere yang berarti untuk masa sekarang sebagai bantuan untuk melengkapi keperluan pihak gadis untuk barang bawaannya (seperti untuk membeli kasur, pakaian, dan lainnya) ataupun
untuk tambahan biaya penyelenggaraan upacara adat perkawinan (orja). Dalam proses manulak sere ini pihak calon mempelai pria diwajibkan membawa batang boban (mahar) yang besarnya telah disepakati sebelumnya ke rumah calon mempelai wanita. Bagan 1. Tutur ego (pemuda) berdasrkan hubungan perkawinan.9
Ketika duduk berdua di pelaminan, kedua mempelai (namora pule) mengenakan 'pakaian adat' seperti ampu sebagai 'topi' pengantin pria, serta bulang untuk pengantin wanita pada bagian kepala dan gajah meong dikalungkannya. Dalam perkawinan keturunan bangsawan (namora-mora), setelah kedua mempelai menjalani prosesi mangupa-upa dan
manabalkan goar harajaon (khusus bagi pengantin pria), lalu keduanya manortor diiringi ensambel musik gondang dua (gondang topap).
Di samping itu, manortor pula raja panusunan bulung bersama namora natoras, raja-raja tording balok, mora (dan mora ni mora) yang di-ayapi (isembar) oleh anak boru (pisang raut), suhut berama kahanggi dan naposo nauli bulung; sementara itu ensambel musik gordang sambilan dibunyikan di sopo godang ('balai sidang adat') dengan memainkan sejumlah repertoar, dan 'bendera-bendera adat' pun berkibar-kibar di halaman bagas godang ('istana raja').
Kemuanya itu membuat semarak suasana upacara adat perkawinan (orja siriaon) tersebut, yang ada kalanya berlangsung meriah selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut. Di siang hari setelah sholat zuhur, semua orang yang menghadiri upacara adat (orja) itu makan bersama di rumah-rumah penduduk huta yang diladeni oleh naposo nauli bulung. Orja Siluluton (upacara adat kematian) dalam masyarakat Mandailng hingga kini juga masih berlangsung secara tradisional yang disebut mambulungi. Menurut adat Mandailing, seorang yang pada waktu perkawinannya dilaksanakan dengan upacara adat perkawinan (orja), maka pada saat meninggalnya juga harus dilakukan dengan upacara adat
kematian, terutama bagi namora-mora (kaum bangsawan). Seorang anak keturunan raja di Mandailing, apabila ayahnya meninggal dunia maka diwajibkan untuk melaksanakan upacara adat mambulungi. Apabila upacara adat mambulungi tersebut belum terlaksana (disebut mandali), maka bagi turunan (keluarganya) akan tetap menjadi utang adat (kewajiban) selamanya. Sebagai konsekwensinya, apabila belum terlaksana juga, maka jika ada keturunannya yang akan menikah, tidak diperbolehkan mengadakan upacara adat perkawinanan (orja siriaon).
Upacara adat mambulungi dilaksanakan pada saat penguburan atau dapat dilaksanakan pada waktu yang akan ditentukan kemudian sesuai dengan kesempatan dan kemampuan keturunan (keluarganya) tersebut. Jika dalam orja siriaon, 'bendera-bendera adat' yang dipasang di halaman bagas godang (istan raja) menghadap keluar, maka sebaliknya pada orja siluluton, 'bendera-bendera adat' itu dibalik menghadap ke rumah sebagai pertanda berkabung. Sewaktu raja yang wafat akan dimakamkan dibawa dengan memakai tandu khusus bernama roto, dan kepergiannya itu dibunyikan pula ensemble musik adat gordang lima dengan memainkan repertoar khusus pula yaitu gondang roto. Orja Siulaon (upacara adat 'berkarya') adalah suatu upacara adat yang dilaksanakan untuk memulai suatu aktivitas (berkarya) secara bersama-sama dalam menyelesaikan suatu perkerjaan tertentu, seperti mendirikan rumah baru, mendirikan perkampungan baru (mamungka huta), membuka areal persawahan baru, dan sebagainya. Boleh dikatakan bahwa orja Siulaon ini merupakan 'kearifan-kearifan lokal' (local genius) yang membuat kebudayaan 'kelompok etnik' itu memiliki 'akar' (root) yang esensial dan karena itu setiap kebudayaan kelompok etnik tersebut seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi kreativitas baru (inovasi). Kearifan lokal Mandailing yang dapat dilihat dengan mata (tangible) hingga kini antara lain seperti seni pertunjukan godang sambilan dan tortor, rumah adat bagas godang dan sopo godang, serta yang lain-lainnya.
EPILOG Di tanah air kita (Indonesia) tercinta ini terdapat berbagai jenis dan bentuk upacara
adat yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok etnik, termasuk masyarakat Mandailing yang hidup dan berkembang di provinsi Sumatera Utara. Dengan adanya berbagai jenis dan bentuk upacara adat tersebut sudah pasti semakin menambah aneka warna kebudayaan nasional (Indonesia). Apalagi yang namanya upacara adat perkawinan, pada setiap kelompok etnik tersebut memiliki cara yang berbeda antara yang satu dengan yang lainya. Seperti upacara adat perkawinan misalnya sebagai peristiwa penting dalam siklus kehidupan umat manusia, dirasa perlu disakralkan dan dikenang. Untuk itu, dibuatlah ritusnya. Pelaksanaan upacara tradisional suatu masyarakat umumnya sangat menarik, karena memiliki keunikan, kesakralan, serta nilainilai budaya dan moral yang terkandung di dalamnya, adalah juga merupakan kearifan-kearifan lokal (local geneus) milik kita yang dapat menjadi sumber ide untuk melakukan kerja kreatif dan inovatif di berbagai bidang seni.[EN]
Gandoang, 20 Desember 2013
============================================================== FOOTNOTE 1 Lihat: http://www.organisasi.org/1970/01/arti-istilah-ungkapan-adat-istiadat-kamus-ungkapanbahasa-indonesia.html, diakses tgl. 18 Desember 2013. 2 Pengertian 'budaya' menurut The American Herritage Dictionary (dalam Kotter dan Heskett, 1992), kebudayaan diartikan secara formal yaitu sebagai sebuah keseluruhan pola perilaku yang dicerminkan dalam kehidupan sosial, agama, seni, maupun kelembagaan, serta semua hasil dari pikiran dan kerja manusia pada suatu entitas manusia tertentu. Sementara itu, Koentjaraningrat memberikan pengertian budaya secara sistemik yaitu keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Menurut B. Malinowski. Kebudayaan didunia mempunyai tujuh unsure universal, yaitu : (1) Bahasa; (2) Religi; (3) Kesenian; (4) Organisasi Sosial; (5) Sistem Teknologi; (6) Sistem Pengetahuan; dan (7) Sistem Mata Pencarian. 3 Konsep 'kebudayaan' menurut ahli antropologi dan sosiologi "is coming to be regarded asthe foundation stone of the social sciences. This recent statement by Stuart Chase1 willnot be agreed to, at least not without reservation, by all social scientists,2 but fewintellectuals will challenge the statement that the idea of culture, in the technicalanthropological sense, is one of the key notions of contemporary American thought. Inexplanatory importance and in generality of application it is comparable to suchcategories as gravity in physics, disease in medicine, evolutiou in biology. Psychiatristsand psychologists, and, more recently, even some economists and lawyers, have cometo- tack on the qualifying phrase "in our culture" to their generalizitions, even thoughone suspects it is often done mechanically in the same way that mediaeval men added aprecautionary "God Willing" to their utterances. Philosophers are increasinglyconcerned with the cultural dimension to their studies of logic, values, and aesthetics,and indeed with the ontology and epistemology of the concept itself. The notion hasbecome part of the stock in trade of social workers and of all those occupied with thepractical problems of minority groups and dependent peoples. Important research inmedicine and in nutrition is
oriented in cultural terms. Literary men are writing essaysand little books about culture. The broad underlying idea is not new, of course. The Bible, Homer, Hippocrates,Herodotus, Chinese scholars of the Han dynasty-to take only some of the more obviousexamples-showed an interest in the distinctive lifeways. Lihat A. L. Kroeber, Clyde Kluckhohn, & Wayne Untereiner, Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions, (New York: Vintage Books,1952), hlm. 3. 4 Norma ialah aturan-aturan tingkah laku yang dirumuskan secara jelas, terperinci, tegas dan tidak meragukan. Sedangkan 'tingkah laku' yang selalu berulang secara terpola dan terorganisir dinamakan 'kebiasaan'. 5 Dalam upacara-upacara adat sekarang di Mandailing, istilah Raja Panusunan Bulung dan Namora Natoras telag digantikan dengan istilah Hatobangon ('orang-orang yang dihormati/dituakan) dan alimulama (pemuka agama Islam). 6 Pada Napuran yang dipersembahkan oleh anak boru atau pisang raut tersebut adalah perlengkapan 'sirih adat' yang terdiri dari: (1) abit na so ra buruk ('kain adat'); (2) salipi yaitu sejenis wadah berupa anyaman pandan yang dihiasi dengan 'manik-manik' dan benang berwarna merah hitam, dan putih (salipi diletakkan di atas 'kain adat'); dan (3) burangir adat beserta kelengkapannya (daun sirih, buah pinang, tembakau, soda dan sontang) yang diletakkan di atas salipi yaitu buah pinang, tembakau, Menurut Raja Junjungan Lubis. Bahwa mengumpulkan kelima jenis kelengkapan sirih itu di atas lembaran daun sirih yang sifat, rasa, dan coraknya berlainan, serupa dengan mengumpulkan orang-orang yang berlainan pikiran dan pendapat untuk musyawarah untuk mufakat (marpokat). Kemudian mengunyah-ngunyah sirih itu sampai lumat yang berarti memadu dengan mempersatukan segala unsure itu sampai mencapai satu kesatuan pendapat (sapokat), seperti kata pepatah lama: "bulat air karena pembuluh bulat kata karena mufakat". Meleburnya segala jenis unsure-unsur yang berlainan dari kelengkapan sirih itu menjadi satu corak warna saja melambangkan "kebulatan tekad persatupaduan dan kegotongroyongan. Inti sari dari 'sirih adat' ialah melambangkan permusyawaratan, persatupaduan, dan kegotongroyongan. Dalam hubungan ini, budayawan Mandailing Z.Pangaduan Lubis mengatakan: "anggo inda tibal burangir inda dong dalian na tolu". Artinya, kalau tidak ada 'sirih adat', maka tidak ada pembicarakan adat, dan adat tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya Dalian Na Tolu. Lihat Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, (Penang-Malaysia: Areca Books, 2007), hlm. 132. 7 Deskripsi mengenai proses dan tahap-tahapan kegiatan markobar ('berpidato adat') lihat H. Armeyn Nasution, Hata Bou: Mandok Ulang Agoan, (Medan: Yayasan Bindu Nusantar, 2013); dan juga M. Bakhsan Parinduri, Pedoman Markobar Dalam Budaya Mandailing, (Medan: CV. Deli Grafika, 2013). 8 Anak namboru dan boru tulang adalah tutur (nama sebutan berdasarkan hubungan kekerabatan) dalam masyarakat Mandailing. Anak namboru adalah tutur dari wanita kepada anak laki-laki dari namboru (bou) dari si wanita tersebut berdasarkan hubungan kekerabatan, dan sebaliknya si laki-laki memangggil si wanita (anak gadis dari adik/kakak perempuan dar ayahnya itu) dengan tutur boru tulang.