2012
Tugas Bahasa Indonesia Meringkas buku non fiksi : “99 cahaya dilangit eropa” Nama : Ghinna Pretty Wardani Kelas : XI IPA 4
SMA NEGERI 1 PADANG 4/17/2012
99 CAHAYA DI LANGIT EROPA
Judul Buku : 99 Cahaya di Langit Eropa: Menapak Jejak Islam di Eropa Penulis : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra Halaman : 424 Ukuran : 13,5 x 20 cm Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Genre : Non Fiksi, Novel Perjalanan, Novel Sejarah Islam ISBN-13 : 9789792272741 Tanggal Terbit : 29 Juli 2011
Ringkasan cerita : Cerita dalam novel ini dimulai jauh sebelum novel ini dibuat. Dulu ketika perang salib antara kaum muslim menghadapi kaum kristen si sebuah daerah di benua Eropa, ada seorang panglima tua yang memimpin pasukan muslim. Waktu itu, panglima tua tersebut yakin bahwa hari itu adalah hari kemenangan dia dan pasukan muslim. Dia yakin akan memenangi pertempuran ini karena telah menyiapkan berbagai macam strategi. Namun takdir berkata lain. Hari itu pasukan muslim sedang diambang kekalahan, segala macam strategi yang telah dibuat panglima tua itu tidak berjalan dengan sukses. Pasukan kristen mendapat bala bantuan dari berbagai negara. “Allah bersama kita...” Itulah kata -
kata terakhir yang diucapkan panglima tua itu kepada pasaukannya. Sayangnya setelah berabad-abad tahun kemudian, dia dikenal sebagai penjahat perang. Dia menyebarkan Islam bukan dengan sikap dan tutur laku yang baik, tetapi dengan pedang dan per isai....
Pertengahan Maret 2008 Hari itu adalah hari pertama Hanum (tokoh utama dalam novel ini) dan Rangga (suaminya) menginjakkan kaki di Eropa. Mereka kesana karena Rangga mendapat beasiswa untuk studi Doktoralnya di Wina, Austria. Sambil menunggu panggilan kerja di tempat Rangga sekolah, Hanum mengikuti les bahasa jerman di Wina. Disana, Hanum berkenalan dengan seorang wanita berkebangsaan Turki, Fatma namanya. Fatma bercerita bahwa di sini, Wina, wanita yang mengenakan jilbab kurang diapresiasi. Mungkin itulah alasan mengapa Fatma belum mendapat pekerjaan disana. Hari demi hari mereka habiskan bersama. Setiap ada kesempatan, Fatma selalu mengajak Hanum berkeliling kota Wina. Suatu hari Fatma mengajak Hanum pergi ke atas gunung di Wina. Disana mereka melihat seluruh isi kota Wina. Allahhuakbar, Allahuakbar... Suara Azan Magrib terdengar dari atas pegunungan. Hanum pun sontak kaget mendengarnya. Dia heran mengapa ada suara azan di nege ri yang sebagian besar penduduknya adalah non-muslim. Fatma memberitahu bahwa suara azan itu datang dari masjid Vienna Islamic Center . “Kau harus kesana.” kata Fatma. Keesokokan harinya, mereka pergi ke museum Schoenbrunn. Museum terkenal di Wina. Disana mereka melihat berbagai peninggalan sejarah tentang kota Wina. Fatma tertuju pada salah satu lukisan di tempat itu. Di lukisan itu tertulis: Kara Mustapha Pasha; Panglima Perang; pembunuh. Fatma menangisi lukisan itu, Kara Mustapha adalah kakek buyutnya. Fatma menyayangkan tindakan sang kakek yang menyebarkan Islam dengan cara yang salah. Dengan pedang dan perisai. Fatma kemudian meyakinkan dirinya untuk menjadi ‘agen muslim yang baik’. Hari berikutnya, mereka menonton pertandingan
sepakbola Piala Eropa antara Turki dengan Swiss. Dan Hari itu adalah hari terakhir Hanum bersama Fatma. Fatma mendadak kembali ke Turki. Hanum maaf, sekarang aku di bandara Schwechat. Sebentar lagi terbang kembali ke Turki. Ada hal mendesak yang harus kuselesaikan. Semoga kita bertemu lagi. Salam.
Hanum dan Rangga kemudian pergi Vienna Islamic Center . Disana mereka bertemu Imam Hashim, pengurus dan Imam besar di masjid itu. Imam Hashim memberikan sebuah kartu nama kepada Hanum dan menganjurkan mereka untuk pergi ke Paris, Prancis, dan menemui orang yang tertera di kartu nama itu yang akan membimbing mereka disana. Menurutnya, Paris menyimpan banyak misteri tentang Islam, tak terkecuali cerita bahwa Napoleon Bonaparte adalah seorang muslim.... “Paris, la ville-lumiere” ujar Rangga kepada Hanum.
Rangga akan menghadiri menghadiri sebuah konferensi di Paris. Dan itulah awal dari kisah Hanum dan Rangga di Paris. Setibanya disana, Hanum mengontak Marion Latimer, nama yang terete ra di kartu nama yang diberikan Imam Hashim. Tak lama menunggu, tibalah Marion. Tanpa basa-basi mereka langsung pergi ketempat yang sudah Marion rencakan namun Rangga tidak ikut karena harus menghadiri persiapan konferensinya. “Paris bukan hanya tentang eiffel , museum louvre, dan yang lainnya. Aku mengenal Islam justru dari sini, aku memeluk Islam karena...Paris.” begitulah kata -kata Marion mengawali perjalanan mereka.
Diperjalan, Marion menunjuk salah satu patung, patung St. Michel. St. Michel, atau Mikhail adalah dewa
perang bagi umat kristen. Hanum heran, mengapa malaikat Mikail yang terkenal sebagai malaikat pemberi rezeki diartikan lain oleh umat lain. Tampaknya malaikat Mikhail dite rima nilai-nilai kemalaikatnya secara berbeda oleh agama lain. Tibalah mereka di museum Louvre. Museum ini menyimpan berbagai macam karya maestro dunia. Museum ini juga menyimpan berbagai peninggalan dari zaman ke zaman, dari imperiun ke imperium yang tentunya bisa menambah pengetahuan. Hanum dan Marion masuk ke museum itu, dan seketika pula Hanum menunjuk salah satu papan penunjuk disana... Section Islamic Art Gallery
Disana Hanum melihat berbagai macam benda-benda pe ninggalan Islam beserta penjelasannya dalam kaligrafi. Hanum terharu karena benda-benda bersejarah bagi Islam ini ternyata disimpan di jantung pusat peradaban benua Eropa, Paris. Ada lukisan yang sangat aneh, yaitu lukisan bunda Maria. Dalam lukisan itu hijab yang digunakan oleh bunda Maria terdapat kaligrafi yang berbunyi La Illa ha Illalah. Anehnya lukisan itu dibuat oleh seorang seniman kristen. Tampaknya seniman itu hanya meniru tulisan yang mungkin sedang tren pada masa itu, tentunya pada masa keemasan Islam. Namun Hanum sedih karena dari sekian banyak nama seniman Islam disana, tak satupun yang dia kenali. Hanum sedih karena dia hanya mengenal seniman Barat seperti Picasso, Van Gogh, dan lainnya tanpa mengenal satupun nama seniman Islam yang tertera disana. Marion mulai mengeluarkan bakatnya sebagai guide bagi Hanum. Marion sendiri adalah lulusan di bidang sejarah, tepatnya sejarah Islam di abad pertengahan. Marion bercerita bahwa Eropa sesungguhnya baru maju pada 5 abad terakhir saja. Jauh sebelum sekarang, Eropa adalah bangsa terbelakang dalam hal teknologi, budaya, dan ilmu pengetahuan. Pada abad itu, Islamlah peradaban yang paling maju, paling terang benderang diantara peradaban yang lainnya. Tanpa adanya ilmu pengetahuan dari kaum muslim, Eropa tidak akan semaju sekarang. Mereka kemudian keluar dari Louvre. Tepat di pintu depan Louvre, Marion memberitahu fakta yang menarik lagi kepada Hanum. Dibelakang museum ini terdapat 5 bangunan bersejarah bagi Paris: Arc de Triomphe du Carrousel , Obelisk , Champ Elysees, Arc de Triomphe du I’Evoil e dan la Defense. Jika ke 5
bangunan ini ditarik garis lurus melewati Louvre, maka akan sampai pada sebuah tempat yang sangat agung. Mekah. Arti dari dari I’Evoile sendiri adalah jalan kemenangan, dan bangunan Arc de Triomphe du I’Evoile dan Arc de Triomphe du Carrousel ini dibangun pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte.
Inilah yang membuat Marion beranggapan bahwa Napoleon Bonaparte, sosok pahlawan besar bagi masyarakat Prancis, adalah seorang Muslim. Benar atau tidak, setidaknya susunan bangunan bersejarah yang bergaris lurus menuju Mekah ini adalah bukti bahwa ini semua bukan ‘kebetulan belaka’.... Dan
inilah yang mengakhiri perjalanan Hanum dengan Marion. Setelah selesai dengan konferensinya, Rangga dan Hanum menghabiskan sisa waktu mereka di Paris dengan berkeliling ke tempat-tempat yang ‘lumrah’ dikunjungi setiap turis pada umumnya. Disela -sela perjalan, mereka menyempatkan diri untuk solat di sebuah mesjid yang berada di Paris. Sungguh perasaan yang sangat luar biasa bagi Hanum dan Rangga bisa menunaikan solat di pusat peradaban Eropa. Mereka ingin mengunjungi Notre Dame, sebuah gereja yang sangat terkenal di Paris. Notre Dame mempunyai kesamaan bentuk dengan Mezquita, sebuah gereja (dulunya masjid) yang sangat terkenal di
Cordoba. Alasan mengapa Notre Dame memiliki kesamaan bentuk mungkin karena arsitek Eropa dulu ingin menyaingi masjid Mezquita yang sangat bagus pada masa itu. Sayangnya hari itu Notre Dame tutup, dan itu adalah hari terakhir mereka di P aris karena keesokan harinya mereka harus kembali ke Wina untuk melanjutkan studi Rangga. Rangga bergumam pada dirinya sendiri jika tidak bisa memasuki Notre Dame, dirinya harus berhasil ke Cordoba.
Malam harinya di Wina, Amien Rais (ayah Hanum) menelponnya. Hanum menceritakan semua perjalanannya kepada ayahnya. Namun, ayahnya berpesan bahwa bukan pe rjalannya yang penting, melainkan makna apa yang bisa dipetik dari perjalanan itu. Sang ayah juga berpesan bahwa dirinya sudah tidak mungkin untuk berkeliling dunia, oleh karena itu, dia meminta kepada Hanum untuk mewakili dirinya mengunjungi kota peradaban Islam ter maju di Eropa, Cordoba... Seketika itu pula Hanum membuka komputer tabletnya, berburu tiket paling murah pada Juni 2010, saat libur musim panas di kampus Rangga. “Cordoba, kami datang....”
Kota yang penuh dengan hal yang sangat Islami, setidaknya itulah yang ada di benak Hanum dan Rangga saat tiba di Cordoba. Namun setibanya mereka disana, lagi-lagi mereka harus menghapus khayalan mereka akan kota yang dipenuhi dengan orang-orang sopan, wanita memakai jilbab, dan sebagainya. Disana mereka melihat Cordoba tidak lain hanyalah seperti kota-kota Eropa pada umumnya. Wanita yang memperlihatkan auratnya, sepasang kekasih yang berciuman di jalan umum, dan hal lainnya yang umum seperti di kota-kota Eropa lainnya. Di Cordoba mereka langsung menuju ke tujuan utama mereka, Mezquita . Kali ini giliran Sergio, seorang lelaki tua, yang menjadi pemandu mereka di Cordoba dengan upah tiga puluh euro selama dua jam. Sergio mulai bercerita bahwa sesungguhnya ada rantai sejarah yang terputus di Eropa ini. Yaitu berkembang pesatnya peradaban Islam di Eropa dan tempat itu adalah Cordoba. Saat itu pada masa kegelapan, Cordobalah yang menjadi kota paling terang diantara semua negara Eropa. Maksud terang disini adalah terang dalam artian yang sesungguhnya. Eropa dulu adalah wilayah yang gelap, sedangkan pada masa itu Cordoba sudah menggunakan lampu dari minyak untuk menerangi kota dengan Mezquita sebagai pusat kota. Dahulu di Cordoba, Islam, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan. Mereka tidak saling singgung dalam hal keyakinan, mereka menjunjung tinggi keadilan sosial dan Mezquita representasi dari semua itu. Mihrab yang ada di Mezquita tidak mengarah ke Mekah, bila memaksakan kesana, maka harus menghancurkan sebuah gereja yang berada di sebelahnya, dan itu tidak diinginkan oleh Al Rahman, raja Cordoba saat itu. Hanum dan Rangga sangat serius memperhatikan apa yang diucapkan oleh Sergio. Sergio berpikir seharusnya Mezquita dijadikan museum saja seperti Hagia Sophia yang ada di Turki. Sergio melanjutkan penjelasannya tentang Cordoba. Averroes (Ibnu Rushd) , Bapak Renaissance, adalah seseorang yang sangat dihormati oleh masyarakat Eropa sebagai seorang filsuf yang sangat bijaksana dan dia adalah seorang muslim. Averroes berpendapat bahwa hanya dua kekuatan utama untuk menjalani hidup dengan baik, yaitu agama dan ilmu pengetahuan. Sayangnya ilmu pengetahuan lebih mengena pada masyarakat Eropa kini. Sergio terus bercerita hingga tak terasa waktu dua jam yang dijanjikan telah hampir habis. Hanum dan Rangga m erasa itu saja belum cukup untuk menuntaskan dahaga akan Islam, tetapi mereka harus kembali karena sudah berhari-hari mer eka berada di Cordoba.
Dalam setiap perjalanannya, Hanum selalu menyempatkan diri untuk mengirim pesan kepada Fatma. Namun tak ada satupun surat balasan dari Fatma untuk Hanum. Suatu ketika Hanum kaget ketika ter nyata ada surat dari Fatma, Fatma Pasha. Fatma mengatakan bahwa dirinya senang mendengar kisah perjalanan Hanum. Fatma mengajak Hanum dan Rangga untuk berkunjung ke Turki, tanah kelahirannya. “Sebagai wilayah terakhir dari usaha ekspansi agama Islam di Eropa dan sebagai akhir tujuan perjalan
Islamimu di Eropa, kau harus be rkunjung kesini.....Turki” Goodbye Asia, welcome to Europe again...” bisik Rangga kepada Hanum setelah mereka menyebrangi
jembatan Bosphorus, jembatan yang sangat terkenal di Turki. Jembatan ini adalah jembatan pemisah antara benua Asia dan benua Eropa. Setelah menunggu sekitar dua jam, akhirnya orang yang ditunggu datang juga, Fat ma Pasha. Kali ini Fatma lagi yang akan menjadi pemandu untuk Hanum dan Rangga. Perjalanan mereka diawali dengan mengunjungi Hagia Sophia. Kebalikan dari Mezquita, Hagia Sophia dulunya adalah sebuah gereja. Setelah konstantinopel (Istanbul) ditaklukkan oleh Ottoman, Hagia Sophia dialihfungsikan menjadi masjid. Namun kini telah menjadi museum atas kebijakan pemerintahan Turki sekarang. Fatama bercerita bahwa keberhasilan pasukan muslim menaklukkan Konstantinopel adalah se buah keberhasilan yang besar, terutama berhasil menaklukkan Hagia Sophia. Pada masa itu Hagia Sophia adalah simbol kebesaran kekaisaran Romawi. Dengan direbutnya Hagia Sophia, maka runtuhlah kewibawaan bangsa Romawi. Walaupun dialihfungsikan menjadi masjid, atas perintah Sultan Mehmed, lukisan-lukisan dan seni arsitekurnya tidak dihapus. Lukisan-lukisan seperti Bunda Mar ia, Yesus Kristus, dan lainnya masih ada di Hagia Sophia. Ini untuk membuktikan pada dunia bahwa Islam bukanlah agama perusak. S ampai sekarang sisa-sisa karya seni itu masih bisa dinikmati oleh manusia zaman sekarang dan keasliaan masih terpelihara meskipun ada beberapa bagian yang rusak. Setelah mengunjungi Hagia Sophia, me reka kemudian mengunjungi Blue Mosque. Fatma bercerita bahwa Blue Mosque ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Me hmed. Ini dibangun untuk menyaingi Hagia Sophia. “Tahukah kau Hanum, bahwa Islam dulu pernah berjaya untuk waktu yang cukup lama, dan sekarang
kejayaan masa lalu itu sudah mulai pudar. kini banyak kalangan yang m enilai bahwa Islam adalah agama yang radikal. Sulit untuk mengantisipasi itu, tapi aku sebagai seorang muslim akan berusaha sekuat mungkin untuk memberitahukan kepada mereka bahwa anggapan mereka semua salah. Karena itu akan mencoba menjadi seorang....” “Agen muslim yang baik !!!” sambut Hanum.
Akhir cerita ini diakhiri dengan pergi hajinya Hanum Salsabiela Rais. Hanum pergi tidak dengan Rangga karena Rangga tidak mendapat izin dari tempat ia st udi Doktoralnya. Hanum beranggapan bahwa pergi haji adalah undangan spesial dari Tuhan. Disanalah Hanum me ngakhiri perjalanan Islaminya di Eropa. Pergilah, jelajahi dunia, lihatlah dan carilah kebenaran dan rahasia-rahasia hidup; niscaya jalan apapun
yang kau pilih akan mengantarkanmu ke titik awal. Sumber ke benaran dan rahasia hidup akan kau temukan di titik nol perjalanmu. ”Perjalan panjangmu tidak akan mengantarkanmu ke ujung jalan, justru akan membawamu kembali ke titik permulaan.”
-Hanum Salsabiela Rais-