HUBUNGAN AGAMA DAN BUDAYA DALAM KRISTEN PROTESTAN Pdt. Dr. A. Ginting Suka
Pertemuan Injil dan kebudayan Injil Injil diber diberita itaka kan n diten ditenga gah-t h-ten enga gah h duni dunia a yang yang penu penuh h kebud ebuday ayaa aan n yang yang bent bentuk ukny nya a dapa dapatt diumpamakan seperti kuelapis. Lapisan-lapisan kebudayaan itu misalnya di Indonesia terdiri dari lapisan lapisan yang diwarnai oleh agama pribumi, pribumi, Hinduisme, Hinduisme, Buddhisme, Buddhisme, Islam, Kristen dan terakhir modern modernism isme. e. Intens Intensitas itas pengar pengaruh uh itu berbeda berbeda satu satu dengan dengan lain lain bergant bergantung ung pada pada etnogra etnografis, fis, geografis dan sejarah masing-masing wilayah. Tetapi bagaimanapun Injil yang diberitakan itu tetap berhadapan dengan kebudayaan bangsa-bangsa dan suku-suku. Dalam Dalam pertemu pertemuan an injil injil dan kebudaya ebudayaan an tersebut tersebut,, secara secara khusus khusus adalah adalah dengan dengan unsur unsur-unsur -unsur kebuda kebudayaa yaan n yang yang pasti pasti terdap terdapat at dalam dalam semua semua kebud kebudaya ayaan an yang yang dinamai dinamai unsur unsur kebuda kebudayaa yaan n universal, terdiri dari : Sisten relegi dan upacara keagamaan, Sistem dan organisasi masyarakat, Sistem Sistem pengeta pengetahua huan, n, Sistem Sistem bahasa, bahasa, Sistem Sistem Kesenia esenian, n, Sistem Sistem Mata Mata pencah pencahari arian, an, dan Sistem Sistem teknologi Lapisa Lapisan-la n-lapis pisan an kebuda kebudayaa yaan n itu tidak tidak statis, statis, masingmasing-mas masing ing saling salingberp berpenet enetaras arasi, i, maka maka unsur unsur kebudayaan yang universal itu selalu berada dalam perobahan. Demikianlah Injil selalu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan membawa nilai Injil secara khusus dengan sistem religi,sistem pengetahuan, kesenian dan mata pencaharian. Sewaktu Yesus memberitakan Injil, Ia ditentang oleh Yudaisme dalam soal-soal doktrin dan kesucian, perkawinan perkawinan,sistem ,sistem ekonomi yang berlandaska berlandaskan n usaha kerja, sedang Injil menekanka menekankan n anugerah anugerah Allah sebagai jaminan kehidupan (Mattius 5 : 25-34); tentangkasih dan keadilan yang menentang hukum balas-membalas (Mattius 5 : 38-48). Hal yang sama terjadi setelah Injil dibawa keluar Israel ke masyarakat Hellenisme dan Romawi. Injil menentang absolutisme kekaisaran romawi dimana kaisar dianggap dan dipuja sebagai Tuhan dan agama agama rakyat rakyat yang yang polithe politheisti istiss dan hubunga hubungan n seksua seksuall termas termasuk uk dalam dalam sistem sistem religi religi yang yang membuat tata susila yang permissif, sini tari yang membangkitkan birahi dan bentuk-bentuk olah raga yang tidak tidak manusi manusiawi awi.. Oleh Oleh sebab sebab itu gereja gereja tidak tidak dapat dapat tidak tidak harus harus menent menentuka ukan n sikap sikap terhadap kebudayaan yang dihadapinya. Sikap Gereja terhadap kebudayaan H. Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika serikat telah membuat bagan tentang sikap Gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture atau Kristus dan kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap Gereja Gereja terhadap kebudayaan sepanjang zaman dalam 5 sikap, yaitu : 1. Gereja anti kebudayan 2. Gereja dari kebudayaan 3. Gereja diatas kebudayaan 4. Gereja dan kebudayaan dalam hubungan paradoks 5. Gereja pengubah kebudayaan Ini adalah gambaran –gambaran umum, sedang dapat kita benarkan pendapat yang mengatakan bahwa bahwa tidak tidak ada gereja gereja yang yang secara secara murni murni mengam mengambil bil salah salah satu satu sikap sikap tersebut tersebut.. Namun Namun ada baiknya kita membicarakan posisi-posisi itu satu persatu : 1. Posisi 1. Gereja memandang dunia di bawah kekuasaan si jahat sebagai kerajaan kegelapan. Warga Gereja disebut disebut oleh oleh Injil Injil adalah adalah anak-a anak-anak nak terang, terang, kare karena na itun itun tidak tidak hidup hidup dalam dalam kegela kegelapan pan.. Dunia Dunia kegelapan ini dikuasai oleh nafsu kedagangan, nafsu mata, kesombongan. Semua itu akan berlalu sebab mereka akan dikalahkan oleh iman kepada Kristus (Niebuhr, 56). Sikap menentang menentang kebudayaan kebudayaan ini telah dilancarkan dilancarkan oleh Tertull Tertullianus ianus tokoh Gereja Gereja abad ke 2. Ia mengatakan bahwa konflik-konflik orang percaya bukan dengan alam tetapi dengan kebudayaan. Dosa asal itu menurut Tertullianus disebarkan oleh kebudayaan melalui pendidikan anak. Olehn karena itu kata tertullianus tugas Gereja adalah menerangi semua orang yang sudah berada di bawah ilusi kebudayan, supaya mereka dibawa kepada pengetahuan akan kebenaran. Yang paling buruk dari kebudayaan adalah agama sosial, sosial, kafir atau politheisme, hawa nafsu dan kemaksiatan
(Nieb (Niebuhr uhr,, 60). 60). Tetapi etapi pada pada piha pihak k lain lain,, tertu tertull llia ianus nus meng mengan anju jurk rkan an agar agar Gere Gereja ja memu memupu puk k kebersamaan, tidak meninggalkan pertemuan umum, tempat pemandian, kede, penginapan, pasar mingguan tempat perdgangan sebab Gereja dengan semua itu numpang bersama dalam dunia. Selanjut Selanjutnya nya kata kata Tertulli ertullianu anus, s, kami kami berlay berlayar ar bersama bersama berjua berjuang ng dengan denganmu, mu, mengol mengolah ah tanah tanah denganmu bahkan dalam bidang seni untuk umum. Pada pihak lain Tertullianus mengajak orang menjau menjauhi hi keterl keterlibat ibatan an dalam dalam soal-so soal-soal al keneg kenegara araan, an, antara antara lain lain menola menolak k dinas dinas milite militerr sebab sebab melanggar perintah Injil yang melarang menggunakan pedang dan tidak ikut dalam sumpah setia kepada kaisar kaisar dan keturut sertaan dalam upacara kafir. kafir. Ia menolak bentuk kekristenan kekristenan yang berfusi dengan Stoa dan Plato. Menurut pendapatnya, tidak ada hubungan Kristus dengan filsafat. Walau Tertullianus tidak menolak seluruh kebudayaan, tapi Niebuhr menyebutnya termasuk dalam posisi Gereja lawan kebudayaan. 2. Posisi 2, Gereja dari kebudayaan Kelompok yang menganut paham ini merasa tidak ada ketegangan besar antara gereja dan dunia, antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya rahmat Illahi dengan karya manusia. Mereka menafsirkan menafsirkan kebudayaan kebudayaan melalui melalui Kristus danberpendapat danberpendapat bahwa pekerjaan pekerjaan dan pribadi Kristus adalah adalah sangan sangan sesuai dengan kebudaya kebudayaan. an. Dipihak Dipihak lain, kelompok kelompok ini berpendapat berpendapat jika Kristus ditafsirkan melalui kebudayaan, maka maka hal-hal yang terbaik dalam kebudayaan adalah cocok dengan ajaran dan kehidupan Kristus. Namun penyesuaian ini bukan sembarangan, sebab telah dilakukan juga penjungkiran bagian-bagian kebudayaan yang tidak sesuai dengan Injil dan bagian-bagian Injil yang tidak sesuai dengan adat istiadat sosial (Niebuhr : 94). Tetapi kaum Gnostik Kristen menafsirkan Kristus sepenuhnya sesuai dengan konsep kebudayaan, tidak tidak ada ada perte pertenta ntang ngan an anta antara ra kedua eduany nya. a. Denga Dengan n demi demiki kian an ada ada perd perdam amai aian an Injil Injil denga dengan n kebudayaan dan karena itu kekristenan telah menjadi sistem agama dan filsafat dan Gereja hanya sebagai perhimpunan religius bukan sebagai gereja atau masyarakat baru. Tokoh-tokoh penyesuaian ini dalam sejarah Gereja adalah Clemens (200) dan Origines (185-254)- (Fuklaan-Berkhof, 1981 : 41). Pada abad pertengahan posisi Gereja dari kebudayaan dilanjutkan oleh Petrus Abelardus (10791142) yang mengakui karya Filsuf Socrates dan Plato sebagai guru mendidik walaupun lebih rendah tingkatnya tyetapi bersesuaian dengan ajaran Yesus (Niebuhr, 100). Tokoh okoh yang yang lain lain adalah adalah Ritschl Ritschl yang yang mengga menggagas gasii untuk untuk merek merekonsi onsilia liasi si kekristen ekristenan an dengan dengan kebudayaan. Kelompok ini secara keseluruhan disebut Protestantisme kebudayaan melalui gagasan tentang kerajaan Allah yang telah disamakan dengan suatu kerajaan umat manusia yang terhimpun dalam suatu keluarga, di bawah ikatan kebajikan, perdamaian, keperluan bersama. Perhimpunan ini terbentuk melalui aksi moral secara timbal balik dari anggota-anggotanya yaitu suatu aksi melalui pertimb pertimbanga angan n alamia alamiah h (Niebu (Niebuhz, hz, 109). 109). Dalam Dalam gagasa gagasan n ini, keset kesetiaa iaan n orang orang kepada epada Kristus Kristus menentukan orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam karya kebudayaan (Niebuhr, 110). 3. Posisi 3. Gereja diatas kebudayaan. Pandangan ini berawal dari pandangan tingkatan hirarkis dari alam (natural) dan spiritual (rohani). Menurut Thomas Aquinas Aquinas (1225-12 (1225-1274), 74), kebudaya kebudayaan an menciptaka menciptakan n aturan suatu kehidupan kehidupan sosial yang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal oleh semua yang berakal sehat sebab bersifat hukum alam. Tapi disamping hukum alam ada hukum Ilahi yang dinyatakan Allah melalui para Nabi yang melampaui hukum alam. Sebagian hukum Ilahi adalah harmonis dengan hukum alam dan sebagaian lagi melampauinya dan itulah menjadi hukum dari hidup supernatural manusia (ordo supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah semua apa yang kamu miliki, berika berikan n kepad kepada a orang orang miskin miskin sedang sedang hukum hukum alam alam terdap terdapat at dalam dalam perintah perintah kamu kamu tidak tidak boleh boleh mencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh akal manusia dan didalam wahyu. Dari contoh itu Thomas Aquinas Aquinas menyimpilkan menyimpilkan bahwa hukum alam yang ditemui yang terdapat dalam kodrat kodrat hidup manusia berada dubawah ordo supernaturalis. Manusia dalam hidupnya sudah kehilangan ordo supernaturalis dan untuk dapat memulihkannya kembali hanyalah melalui sakraman. Gereja Gereja berada dalam ordo supernatulis. supernatulis. Oleh karena itu kebudaya kebudayaan an berada di bawah hirarkis hirarkis gwereja. Dengan itu pada abad pertengahan gereja menguasai seluruh kebudayaan dalam tatanan Corpus Christianum. 4. Posisi 4. Hubungan Gereja Gereja dan kebudayaan dalam paradoks. Dalam pandangan ini, iman dan kebudayaan dipisahkan. Orang beriman (Kristen) berada dalam
dua suasana yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus berada dalam anugerah Allah dalam Kristus. Oleh sebab itu orang beriman dihimpit oleh dua suasana yaitu hidup dalam iman dan hidup dalam kebudayaan. Dalam sejarah Gereja, Marcian seorang tokoh gereja abad ke 2 yang berpendirian bahwa dalam kebudayaan manusia di bawah Allah yang rendah derajadnya yang dinamainya domiurgos sedang dala dalam m pemb pembah ahar arua uan n cipta ciptaan an,, manu manusi sia a hidu hidup p di bawa bawah h Alla Allah h Rahm Rahman ani. i. Denga Dengan n itu itu ia tela telah h mempelopori hidup secara dualisme. Ajaran ini ditolak gereja pada masa itu dan dikategorikan sebagai ajaran sesat. Pandangan Pandangan dualisme kelihatan kelihatan juga secara samar dalam ajaran Marthin Luther yang mencetuskan mencetuskan reformasi pada tahun 1517 Menurut dia orang beriman hidup dalam dua kerajaan, yaitu kerajaan Allah Allah yang yang rohani rohani dan kerajaan erajaan duniawi duniawi.. Kerajaan erajaan Allah Allah adalah adalah suatu suatu keraja kerajaan an anugera anugerah h dan kemuli kemuliaan aan,, tetapi tetapi kerajaan erajaan duniawi duniawi adalah adalah suatu suatu kerajaan erajaan kemurka emurkaan an dan kekeras ekerasan. an. Kedua edua kerajaan kerajaan itu tidak dapat dicampur dicampur adukkan. adukkan. Masing-mas Masing-masing ing lingkungan lingkungan menurutaturannya. menurutaturannya. Jadi manusia hidup dalam dua tatanan yaitu tatanan kebudayaan berdasarkan hukum alam dan tatanan rohani rohani yaitu tatanan surgawi. Ada kesan kesan bahwa Marthin Luther tidak menghubungkan menghubungkan tatanan tatanan dunia duniawi wi deng dengan an yang yang surg surgaw awii sehi sehingg ngga a kehid ehidupa upan n dala dalam m kebud ebuday ayaa aan n dan dan surg surgaw awii tida tidak k berhubungnan. Dengan itu ada kemungkinan orang tidak lagi membawa imannya dalam kehidupan dalam kebudayaan (Niebuhr, 194). Pada abad ini pandangan itu dipertahankan oleh seorang Teolog bernama William Roger. Manusia menurut Roger, harus berbakti kepada Allah maupun raja, kendati ada ketegangan antara keduanya. Orang beriman seyogianya hanya berbakti kepada Allah tetapi tidak dapat tidak harus berbakti kepada kebudayaan. Kita tidak dapat tidak hidup seperti ampibi, yaitu hidup dalam rahmat Allah dan sekaligus dalam kebudayaan. Kedua lingkungan ini terpisah dan tidak saling berhubungan. Hal ini mungkin bahwa seorang dapat hidup berdasarkan imannya pada lingkungan rohani atau hidup menurut imannya pada lingkungan rahmat dan pada pihak lain ia hidup menurut aturan duniawi dalam lingkungan dunia (Niebuhr:207). 5. Posisi 5. Gereja pengubah kebudayaan Banya orang Kristen sepanjang abad tidak menyetujui keempat pendirian tersebut baik dalam teori maupun dalam politik. Mereka juga tidak bersedia menyerah kepadakebudayaan karena mereka memahami kebudayaan mempunyai kelemahan-kelemahan. Mereka juga menolak takluk kepada kebudayaan yang dipaksakan gereja sebab kebudayaan yang dipaksakan gereja selalu berbentuk sintesa antara kerajaan Allah dan kerajaan dunia dan ada kecenderungan memandang kebudayaan yang masih berdosa ini dianggap suci sebab berada di bawah gereja. Tapi adalah tidak benar, jika dikata dikataka kan n bahwa bahwa kerajaan erajaan Allah Allah telah telah diwujud diwujudka kan n dalam dalam kebudaya ebudayaan an yang yang diciptak diciptakan an gereja gereja (Verkugl, 1982 : 49). Sikap gereja yang tepat menurut H. R. Niebuhr adalah sikap gereja pengubah kebudayaan. Seoran Seorang g teolog teolog bernam bernama a August Augustinus inus (354-4 (354-430 30)) telah telah mempel mempelopo opori ri sikap sikap gereja gereja penguba pengubah h kebuda ebudaya yaan an.. Posis osisii ini ini bera berangk ngkat at dari dari pend pendiri irian an bahwa bahwa tidak tidak ada ada suat suatu u kodrat odrat yang yang tida tidak k mengandung kebaikan, karena itu kodrat setan sendiripun tidaklah jahat, sejauh itu adalah kodrat, tapi ia menjadi jahat karena dirusak (Niebuhr, 239). Tetapi Allah kata Augustinus, memerintah dan mengatasi manusia dalam pribadi dan sosial mereka yang rusak. Pandangan ini berasal dari pemahaman bahwa oleh sifat kreatifitas Allah maka Allah tetap menggunakan dengan baik kehendak manusia yang jahat sekalipun, sehingga m,anusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kebudayaannya. Sikap Allah ini mendapat wujudnya dalam Yesus Yesus Kristus yang telah datang kepada kepada manusia manusia yang telah rusak untuk menyembuhk menyembuhkan an dan memperbaharui apa yang telah ditulari melalui hidup dan kematiannya, ia mengatakan kebesaran kasih Allah dan tentang begitu dalamnya dosa manusia (241). Denganjalan Injilnya ia memulihkan apa yang telah rusak dan memberi arah baru terhadap terhadap kehidupan kehidupan yang telah rusak (242). Atas pemikiran teologis tersebut, Agustinus meletakkan gagasan Injil pengubah kebudayaan atau Injil adalah Conversionis terhadap kebudayaan. Pemikiran Augustinis ini dilanjutkan oleh Johanes Calvin pada awal abad ke 16. Titik tolak pikirannya berawal pada pandangannya bahwa hukum-hukum kerajaan Allah telah ditulis dalam kodrat manusia dan dapat terbaca dalam kebudayaannya. Dengan itu hidup dan kebudayaan manusia dapat ditransformasikan sebab kodrat dan kebudayaan manusia dapat dicerahkan, sebab mengandung kemungkinan itu pada dirinya sebagai pemberian Ilahi. Oleh seba sebab b itu itu Injil Injil harus harus diak diaktu tual alis isas asik ikan an dala dalam m kebuda ebudaya yaan an supay supaya a kebuda ebudaya yaan an lebi lebih h dapa dapatt mensejahterakan manusia (245-246). Gereja dan kebudayaan di Indonesia
Seperti telah disinggung sebelumnya, unsur-unsur kebudayaan yang dihadapi Injil di Indonesia sarat dengan dengan pengaru pengaruh h agamaagama-aga agama, ma, mulai mulai dari dari agama agama pribumi pribumi,, Hindu, Hindu, Buddha Buddha dan Islam Islam dalam dalam intensitasyang berbeda-beda. Pengaruh itu dalam bentuk lapisan-lapisan, namun saling berpenetrasi antar antara a satu satu denga dengan n yang yang lain lain.. Seca Secara ra umum umum dapa dapatt dika dikata taka kan n penga pengaruh ruh Hindu Hindu dan dan Isla Islam m berpengaruh dalam kebudayaan Jawa, sedang di Indonesia bagian timur terdapat pengaruh agama pribumi dan Islam. Di Sumatwera Utara khususnya diantara orang Batak terdapat pengaruh agama Hindu dan agama pribumi. Sewaktu Sewaktu Injil diberitakan diberitakan kepada suku-suku suku-suku bangsa di Indonesia Indonesia maka Injil berhadapan berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan setempat. Persoalan kita bagaimana sikap gereja terhadap kebudayaan setempat. Gereja-gere Gereja-gereja ja berlatar berlatar belakang belakang reformasi reformasi yang membawa Injil ke Indonesia menekankan menekankan sekali sekali kemurnian Injil dan disiplin kehidupan umat sesuai nilai-nilai yang termuiat dalam Injil. Oleh sebab itu geraja selalu mengawasi mengawasi agar unsur-unsur unsur-unsur yang bertentangan bertentangan dengan Injil tidak memasuki kehidupan umat Kristen. Oleh karena itu gereja menolak kultus roh nenek moyang dan semua ritusritus untuk menguatkan roh atau jiwa seseorang. Tujuan utama penolakan ini, agar tidak terjadi penyembahan kepada ilah-ilah selain dari Allah Jahweh (Keluaran 20 : 2-5). Tetapi gereja menyadari bahwa simbol-simbol yang digunakan masyarakat adalh bermuatan agama sedang bagi masyarakat pribumi suatu simbol selalu identik dengan yang disimbolkan. Oleh sebab itu gereja tidak saja menolak kultus kepada yang bukan Allah tetapi juga mendesakralisasikan suatu simbol sehingga dapat menjadi sarana untuk mencapai kesejahteraan manusia. Upaya ini nampak jelas dalam penerimaan gereja terhadap tatanan masyarakat Batak yang dinamai dilikan na tolu, yaitu tiga tungku (Batak toba, Angkola, Simalungun dan Dairi) atau sangkep si telu (Batak Karo). Karo). Tatanan ini bersumber bersumber dari kepercay kepercayaan aan orang Batak kepada kepada tiga Dewata, yang pertama berkediaman di dunia atas, yang kedua di dunia tengah dan ketiga di dunia bawah. Berdasarkan pandangnan kosmologis tersebut, maka masyarakat Batak dibagi atas unsur hula-hula atau kalimbubu (Karo) yaitu kelompok si pemberi dara, dongan atau senina (Karo) yaitu kelompok satu klan dan boru atau anak beru (Karo) yaitu kelompok si pengambil dara. Ketiga etiga dewata dewata itu diharap diharapka kan n selalu selalu harmon harmonis is agar agar kehidupa ehidupan n manusi manusia a di dunia dunia tengah tengah tidak tidak diganggu oleh dunia bawah dan atas. Harapan ini terungkap dalam doa orang Karo bunyinya : turunlah dewata diatas, naiklah dewata di bawah dan duduklah dewata ditengah. Sebagaimana harus ada keharmonisan antara dunia atas, tengah dan bawah, demikian juga ketiga unsur kerabat tersebut harus selalu bertindak dalam keserasian. (Ph. L. Tobing, the structure of Batak Belief in the High God: 1963:28-29) 1963:28-29) Bahwa orang batak memahami memahami seluruh kosmos sebagai keselueruhan dunia bawah, tengah dan atas. Dalam totalitas ini, masing-masing dunia yang tiga itu mempunyai fungsi, melalu melaluii mana mana keserasi eserasian an dan keberada eberadaan an manusi manusia a itu mungki mungkin. n. Pengha Penghapusa pusan n salah salah satu satu dari totalitas itu berarti pemusnahan jagad raya dan juga keberadaan masing-masing. Demikian juga kebera keberadaa daan n kosmo kosmoss yang yang menjadi menjadi bagian bagian dari pada pada ruang ruang adalah adalah kesatu kesatuan an totalit totaliter er.. Tanpa anpa memand memandang ang luas luas kecil ecil operasi operasinya nya,, ia adalah adalah kesatua esatuan n dari dari kuasa kuasa-k -kuas uasa a yang yang bertenta bertentanga ngan n (terjemahan : penulis). Gereja mengadopsi tatanan dalihan na tolu tau sangkep si telu tersebut dengan mencopot unsur mythologisny mythologisnya a dan menanamka menanamkan n nilai-nilai nilai-nilai etis agama Kristen kedalamn kedalamnya ya agar peran masingmasingmasing unsur lebih rasional dan fungsional. Hal yang sama dilakukan gerja-gereja dalam kebudayaan setempat di Indonesia antara lain gereja di Ambon mengadopsi tatanan “pela gandong” yaitu suatu ikatan sosial masyarakat berdasarkan ikrar nenek moyang pada waktu yang tidak diketahui diketahui lagi, tetapi tetap diteruskan diteruskan kepada kepada generasigenerasigenerasi seterusnya tanpa membedakan agama yang merekla anut. Kepatuha Kepatuhan n orang terhadap tatanan dalihan na tolu maupun pela gandong gandong tersebut bukan sematamata oleh ikatan ikatan hukum, hukum, tapi mengandung mengandung nilai-nilai moral dan oleh sebab itu kepatuhan tersebut bersifat devasi atau ibadah dan orang yang melanggarnya dikategorikan sebagai pelanggar moral. Dapatlah kita simpulkan bahwa sikap gereja terhadap kebudayaan adalah : 1. Gerej Gereja a menent menentang ang kebudaya ebudayaan an khusus khususnya nya terhad terhadap ap unsur unsur-unsur -unsur yang yang secara secara total total bertentangan bertentangan dengan Injil, umpamanya umpamanya terhadap terhadap kultus agama, suku dan tata kehidupan yang tidak membangun seperti poligami, perjudian, perhambaan. 2. Menerima unsur-unsur kebudayaan yang bersesuaian dengan Injil dan bermanfaat bagi kehidupan. 3. Meneri Menerima ma unsur unsur-un -unsur sur kebudaya ebudayaan an tertentu tertentu dan mentran mentransfor sformas masik ikanny annya a dengan dengan Injil Injil umpamanya tata perkawinan, seni tari dan lain-lain sehingga dapat menjadi sarana Injil untuk
membangun iman dan kehidupan. Kesimpulan Melalui pertemuan Injil dengan sub kultur-sub kultur di Indonesia timbullah kebudayaan sub kultur Kristen di Indonesia. Hal ini mengatakan tidak ada kebudayaan Kristen yang universal di Indonesia. Dengan itu agama Kristen telah menjadi salah satu sumber kekuatan untuk melahirkan kebudayaan. Oleh sebab kelokalan itu maka kebudayaan sub kultur Kristen itu tidak seluruhnya menyapa semua manusia disegala zaman dan tempat. Hal itu berarti Injil yang universal itu dijadikan menjadi Injil yang lokal, yang menjawab persoalan dan kebutuhan lokal. Proses ini dapat menjadi ancaman sebab Injil yang universal dikaburkan dalam kelokalannya. Tapi pada pihak lain hanya dengan cara demikian Injil yang universal menjadi fungsional dalam konteks lokalnya. Atas dasar itu Paul Tillich seorang teolog berkata :” theology move between eterna eternall truth truth of its foundatio foundation n and the tempora temporall situati situation on in which the eterna eternall truth truth must must be receiv received” ed” (Tillic (Tillich, h, System Systemati atic c Theolo Theology gy I . 3). Kata-k Kata-kata ata itu mengat mengatak akan an bahwa bahwa teolog teologii adalah adalah ungkapan dari kebenaran Injil dari situasi temporal, dimana kebenaran itu harus diterima. Ucapan Tillich membenarkan upaya menghubungkan Injil atau teks Alkitab dengan situasi lokal, sehingga timbul usaha berteologi yang menghasilkan teologi yang menjawab permasalahan atau answering theology. Teologi yang menjawab itu adalah fungsional yang diupayakan oleh manusia. Dengan cara inilah agama Kristen dapat melahirkan kebudayaan. Pada pihak lain perlu disadari bahwa cara bertheologi menghubungkan teks dengan situasi lokal (konteks) memerlukan kejelian: kejelian: pertama, agar teks tidak dikaburkan oleh konteks demi kepentingan kepentingan konteks, kedua, agar teologi yang menjawab permasalahan itu jangan dianggap telah final, tanpa menyadari keterbatasannya, ketiga agar menyadari bahwa konteks terus menerus berubah yang mengharuskan suatu usaha yang terus menerus. Perlu disadari bahwa teologi yang menjawab tersebut bukanlah Injil itu sendiri, melainkan suatu hasil yang diupayakan orang Kristen yang committed terhadap Injil. Hal ini juga berarti bahwa pelaku-pelaku teologi haruslah bergerak dari teks terhadap konteks dan teks itu tetap bergaung terhadap terhadap konteks konteks yang digumulinya digumulinya sehingga keuniversalan keuniversalan Injil itu bergema bergema dalam sub kultur kultur Kristen dimana sajapun. Dengan Dengan mengandalk mengandalkan an teologi teologi kontekstua kontekstuall yang menjawab menjawab permasala permasalahan, han, maka maka orang Kristen Kristen dapat mengadakan pendekatan sosial terhadap penganut agama lain, umpamanya melalui sub kultur Kristen batak ummat Kristen mendekati orang-orang Batak yang beragama Islam, Hindu dan Buddha dengan asumsi bahwa setiap penganut agama-agama di Indonesia sedikit banyaknya telah dimasuki oleh sub kultur etnis tertentu. Inilah salah satu point of contact yang dapat dipergunakan oleh penganut antar agama untuk mencapai kerukunan yang dinamis.
KEPUSTAKAAN Berkhof, I. H, Sejarah Gereja, Gereja, Jakarta, BPK G Mulia, 1986. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Antropologi, Jakarta, PT. Renaka Cipta, 1990. Niebuhr, Richard, H, Christand Culture, Culture, terj. Satya Karya, jakarta : Petra Jaya, tt. Tobing, Ph, L, The Stucture Of Toba Batak Belief In The High God, God , Amsterdam, Jacob Van Kanpen, 1963. Tillich,Paul, Systematic Theology I, I, Chicago, SCM Press, 1984.