BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjang kira-kira 10 cm dan berpangkal di sekum, lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab nyeri akut abdomen yang paling sering. Pada masyarakat umum,sering juga disebut dengan istilah radang usus buntu. Akan tetapi, istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus 8
buntu sebenarnya adalah sekum (caecum).
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendiks. Fekalit merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan rontgen, diet rendah serat, dan cacing ca cing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena kolonoscopy dapat mencetetuskan inflamasi pada apendiks. Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus apendiks akut, sekitar 65% merupakan apendiks gangrenous tanpa rupture dan sekitar 11
90 % kasus apendiks gangrenous dengan rupture.
Bila ditinjau dari data yang diperoleh pada tahun 2010 terdapat 176 kasus Apendiktomi. Insiden pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding , kecuali pada umur 20-30 tahun, insiden lelaki lebih tinggi. Apendisitis dapat ditemukan pada 10
semua umur, hanya pada anak kurang 1 tahun masi jarang dilaporkan.
Apendiks sendiri hingga saat ini fungsinya masi belum diketahui dengan pasti namun sering menimbulkan masalah dan menjadi penyebab paling umum dari inflamasi yang terdapat pada kuadran kanan bawah rongga abdomen dimana bila terjadi harus segera dilakukan Apendiktomi yaitu suatu tindakan operasi yang dilakukan untuk mengangkat apendiks untuk mencegah adanya komplikasi seperti 10
perforasi pada apendiks, peritonitis, bahkan juga kematian.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah sebagai berikut ini : 1. Memahami anatomi, fisiologi, definisi, klasifikasi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, komplikasi, serta penatalaksanaannya. 2. Sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Bedah Umum RSUP Haji Adam Malik Medan.
1.3. Manfaat
Makalah ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umumnya. Diharapkan dengan makalah ini pembaca dapat lebih mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai Apendisitis sehingga penanganan yang lebih cepat dan tepat dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi lanjutan.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fisiologi dan Biokimia Bilirubin
Cairan empedu adalah substansi yang diproduksi di hati dan mengandung garam-garam empedu, kolesterol, elektrolit, dan bilirubin, yang merupakan hasil dari pemecahan hemoglobin. Pembentukan bilirubin dari heme penting karena merupakan salah satu cara terpenting untuk mengeliminasi heme dari tubuh. 80% dari bilirubin bilirubin didalam sirkulasi berasal dari heme hemoglobin yang berasal dari sel-sel darah merah yang dihancurkan sistem retikuloendotelial dari sumsum tulang, limfa, dan hati. 1020% berasal dari sumber-sumber lainnya seperti myoglobin, sitokrom, dan protein protein mengandung heme lainnya yang dihasilkan oleh hati. Pada awalnya, heme akan dioksidasi pada posisi alpha menjadi pigmen hijau biliverdin, yang selanjutnya dioksidasi pada posisi gamma menjadi bilirubin. Secara virtual, bilirubin tidak dapat larut pada solusi cair. Didalam darah, bilirubin terikat secara reversibel dan kuat pada albumin plasma dengan rasio 1:1. Bilirubin yang baru terbentuk kemudian 1
dikeluarkan dari sirkulasi secara cepat oleh hati.
Proses pengangkutan serum bilirubin oleh hepatosit terjadi dalam 4 tahap, yaitu uptake, pengikatan cytosolic, konjugasi, dan sekresi. Masuknya bilirubin ke hati dimulai oleh disosiasi kompleks albumin-bilirubin yang difasilitasi oleh protein membran plasma dengan translokasi bilirubin ke dalam hepatosit melalui karier protein yang juga terikat pada anion-anion organik lainnya, tetapi tidak terikat pada garam empedu. Didalam hepatosit, bilirubin terikat pada dua protein sitosolik, yaitu ligandin dan protein Z. Pengikatan ini mencegah terjadinya refluks bilirubin kembali ke dalam plasma dan mengantarkan ke retikulum endoplasma untuk proses konjugasi. Konjugasi bilirubin berupa proses esterifikasi dengan asam glukoronat sehingg a membentuk monoglukoronida yang kemudian diubah lagi menjadi diglukoronida. Enzim utama yang terlibat adalah uridine phospatase (UDP)-glucuronyl transferase.
Konjugasi mengubah bilirubin menjadi larut dalam air dan berperan penting dalam proses eliminasinya dari tubuh pada cairan empedu dan urin. Kebanyakan bilirubin terkonjugasi yang dieksresikan ke dalam cairan empedu pada manusia adalah diglukoronida. Sekresi bilirubin terkonjugasi dari hepatosit kedalam kanalikuli 1
empedu membutuhkan karier tertentu karena harus melawan gradien konsentrasi.
Bilirubin terkonjugasi dieksresikan dalam cairan empedu, sebagai suatu kompleks misel dengan kolesterol, fosfolipid, dan garam empedu, melalui duktus bilier dan sistikus untuk memasuki kandung empedu, dimana bilirubin terkonjugasi ini disimpan, atau melalui ampula Vateri untuk memasuki duodenum. Didalam usus, sebagian bilirubin dieksresikan melalui feses, dan sebagian akan dimetabolisme oleh flora usus menjadi urobilinogen dan kemudian direabsorbsi. Sebagian besar dari urobilinogen kemudian disaring dari darah oleh ginjal dan dieksresi melalui urin. Sebagian kecil urobilinogen tersebut kemudian direabsorbsi di usus halus dan 1,2
dieksresikan kembali ke dalam cairan empedu melalui sirkulasi enterohepatik.
-
Penyebab Ikterus Obstruktif Pre-hepatik yaitu akibat peningkatan bilirubin 5
yang unconjugated, dapat disePbabkan oleh beberapa hal sebagai berikut : 1. Peningkatan produksi :
- akibat hemolysis yang dapat disebabkan oleh beberapa factor seperti G6PD deficiency, infeksi dan lain lain - akibat pengunaan obat obatan seperti vitamin K. 2. Defek transport bilirubin unconjugated ke hati akibat kekurangan albumin
3. Pengurangan uptake unconjugated bilirubin ke hati akibat kekurangan ligandin (Y-Z protein = GLUTHATHIONE – S – TRANSFERASE) disebut juga gilberts syndrome. 4. Defek konjugasi akibat kekurangan enzim glucoronyl transferase ( Crigler Najjar syndrome. 5. Thalasemia 6. Keracunan timbal
-
4
Penyebab Ikterus Obstruktif Intrahepatik : 1. Virus Hepatitis, peradangan intrahepatik mengganggu transport bilirubin
terkonyugasi
dan
menyebabkan
ikterus.
Hepatitis
A
merupakan penyakit self-limited dan dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak menimbulkan pada tahap awal (akut), tetapi bisa berjalan kronik dan menahun dan mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati. 2. Alkohol, bisa mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya,dan mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alkohol secara terus menerus bisa menimbulkan perlemakan (steatosis), hepatitis, dan sirosis dengan berbagai tingkat ikterus. Hepatitis karena alkohol biasanya memberi gejala ikterus sering timbul akut dan dengan keluhan dan gejala yang lebih berat. Jika ada nekrosis sel hati ditandai dengan peningkatan transaminase yang tinggi. 3. Infeksi bakteri Entamoeba histolitica, terjadi reaksi radang dan akhirnya terjadi nekrosis jaringan hepar. 4. Adanya tumor hati maupun tumor yang telah menyebar ke hati dari bagian tubuh lain.
-
Penyebab Ikterus Obstruktif Post-hepatik
3,5
:
1. Atresia bilier, ditandai dengan penghapusan atau diskontinuitas dari sistem bilier ekstrahepatik, sehingga obstruksi aliran empedu. Atresia bilier merupakan penyebab kolestasis ekstrahepatik tersering pada bayi baru lahir. Gangguan tersebut merupakan ikterus obstruktif yang paling sering dilakukan pembedahan yang ditemukan selama periode baru
lahir.
Jika
tidak
dikoreksi
melalui
pembedahan,
akan
bermanifestasi menjadi sirosis bilier sekunder. Pasien dengan atresia bilier dapat dibagi lagi menjadi 2 kelompok yang berbeda: mereka dengan atresia bilier terisolasi (bentuk postnatal), yang menyumbang 65-90% kasus, dan pasien dengan asosiasi Situs inversus atau polysplenia / asplenia dengan atau tanpa kelainan kongenital lain (janin / embrio bentuk), yang terdiri dari 10-35% kasus. 2. Kolelitiasis, (kalkuli/kalkulus,batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesika felea) yang memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis jarang pada anak-anak, lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu : obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik. 3. Kolesistitis, adalah peradangan dari dinding kandung empedu, biasanya merupakan akibat dari adanya batu empedu didalam duktus sistikus, yang secara tiba-tiba menyebabkan serangan nyeri yang luar biasa. 4. Kista duktus kholedokus, koledukus adalah dilatasi kongenital pada duktus empedu yang dapat menyebabkan obstruksi bilier progresif dan sirosis bilier. Kista silinder dan bulat dari duktus ekstrahepatik adalah
jenis yang paling sering. Sekitar 75% kasus munculselama masa anakanak. 5. Tumor Pankreas, Sekitar 95% tumor yang bersifat kanker (malignant ) pada pankreas adalah adenocarcinoma. Adenocarcinoma biasanya berasal dari sel kelenjar yang melapisi saluran pankreas. Kebanyakan adenocarcinoma terjadi di dalam kepala pankreas, bagian
yang
paling dekat bagian pertama usus kecil (duodenum). 6. Adanya batu pada saluran empedu (choledocolithiasis), misalnya terdapat batu pada common bile duct, cystic duct, pancreatic duct dan lain-lain).
2.2. Anatomi Apendiks
Apendiks merupakan suatu organ limfoid yang rumit seperti tonsil, memiliki payer patch yang berfungsi membentuk immunoglobulin. Apendiks adalah suatu struktur kecil seperti tabung yang menempel pada bagian awal dari sekum, yang pangkalnya terletak pada posteromedial sekum. Panjang apendiks beukuran 7-10 cm, dan berdiameter 0,7 cm. lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar di distal. Apendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen tepatnya di ileosaekum dan merupakan pertemuan ketiga taenia yakni, taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum. Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks berada pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari 9
SIAS kanan.
Apendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus. Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis, cabang dari a. ileosaekalis, cabang dari a. mesenterica superior, a. apendikularis merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan 9
mengalami gangren.
2.3. Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lender 1-2 ml per hari, Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke saekum. Hambatan aliran lender di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Dinding apendiks terdiri dari jaringan limfe yang merupakan bagian dari sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gutassociated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil sekaliu jika dibandingkan dengan jumlahnya disaluran cerna dan di seluruh tubuh. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah
usia 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid lagi di apendiks dan terjadi obliterasi lumen 9
apendiks komplit.
2.4. Apendisitis 2.4.1. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab inflamasi abdomen akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyakit yang paling sering untuk memerlukan bedah abdomen darurat. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun. Jadi, dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan 8
penyakit yang memerlukan bedah abdomen segera.
2.4.2. Etiologi
Berbagai hal berperan sebagai faktor penyebab terjadinya apendisitis. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing 8
askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan.
Penyebab dari appendisitis pada umumnya karena infeksi bakteri atau kuman. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus. Penyebab lain yang diduga menimbulkan appendisitis adalah ulserasi mukosa 10
appendiks oleh parasit E. Histolytica.
Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen.
Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar 10
umbilikus.
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada 10
dalam keadaan perforasi.
2.4.3. Klasifikasi Apendisitis
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan 8
apendisitis kronik .
1. Apendisitis akut. Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik Mc Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik 8
setempat.
2. Apendisitis kronik Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik . Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding appendiks, sumbatan parsial atau total lumen appendiks, adanya jaringan parut dan ulkus l ama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden 8
apendisitis kronik antara 1-5%.
2.4.4. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks karena
hiperplasia limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
perdangan sebelumnya atau neoplasma – yang akan mempersempit lumen apendiks sehingga menyebabkan obstruksi luminal. Setelah obstruksi terjadi, sekresi mukus dan inflamasi yang terjadi akan menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal dan menghalangi drainase limfatik. Edema dan
ulserasi mukosa kemudian diiukuti
dengan translokasi atau perpindahan dari bakteri ke submukosa. Perbaikan dapat terjadi saat ini baik secara spontan atau sebagai tanggapan terhadap terapi antibiotik. Jika kondisi berlangsung, akan terjadi distensi dari appendiks
yang dapat
menyebabkan obstruksi vena dan iskemiknya dinding appendiks. Pada kondisi ischemia, invasi bakteri berlanjut ke muskularis propria dan submukosa sehingga 6
terjadilah apendisitis akut.
Akhirnya, ischaemic nekrosis dari dinding apendiks akan menjadi apendisitis gangrenous diikuti kontaminasi bakteri secara bebas pada rongga peritoneum. Selain itu,
omentum dan lipatan usus kecil akan terikat ke dinding appendiks yang
mengalami peradangan. Selanjutnya dari penyebaran kontaminasi pada peritoneal yang mengakibatkan sebuah massa phlegmonous atau paracaecal abses. Keadaan ini selanjutnya berpotensi menjadi peritonitis yang merupakan komplikasi serius dari Appendicitis akut. Peritonitis terjadi sebagai akibat dari
migrasi bakteri secara bebas melalui dinding apendikular yang iskemik,
sebagai
akibat langsung dari perforasi Apendiks gangrenous atau sebagai tahap lanjut dari perforasi abses apendiks . Faktor yang tutur berperan juga dalam hal ini termasuk umur, imunitas yang menurun, , diabetes melitus , obstruksi fekalit ,appendix yang terletak di pelvis, riwayat pembedahan perut yang membatasi kemampuan omentum besar membentengi ini,keadaan
peritoneal dari penyebaran kontaminasi. Dalam situasi
klinis dengan cepat memburuk disertai dengan tanda-tanda diffuse
peritonitis dan SIRS Gejala klasik dari apendisitis akut dimulai dengan nyeri yang tidak begitu terlokalisir di perut yang merupakan nyeri visceral dan mirip dengan nyeri pada obstruksi ileus dengan frekuensi yang lebih jarang. Nyeri pada perut ini berkaitan dengan nafsu makan yang menurun, terutama pada anak-anak, dan mual muntah yang terjadi setelah timbulnya nyeri Ketika inflamasi berlanjut, peritoneum parietal pun mengalami iritasi, dan memproduksi lebih banyak mucus. Pada saat ini, pasien akan merasaka perpindah nyeri yang mulai terlalisir (nyeri somatic) di region fossa iliaka kanan. Namun pada sebagian kasus seperti pada apendiks yang terletak di pelvis nyeri di perut jarang terjadi dan malah lebih menunjukkan nyeri pada daerah suprapubik dan tenesmus.
6.
Dalam 6 jam pertama, jarang ada perubahan pada temperature tubuh, namun setelah itu, biasanya pada pasien appendicitis akut akan dijumpai demam dan takikardi. Jika terdapat bakteri intraperitoneal, akan terjadi proses peradangan dan lekosit granuler (neutrofil) akan melingkari daerah yang meradang untuk menyerang bakteri, kemudian dalam 24 jam pertama netrofil akan diganti oleh leukosit agranuler (monosit) yang juga akan memakan baktri. Monosit setelah memakan bakteri akan mensintesa substansi pirogen endogen yang kemudian dilepaskan ke sekitar peradangan. Substansi pirogen tersebut ada yang masuk ke sirkulasi sistemik dan 6,7
dibawa ke hipotalamus sebagai pusat regulasi pan as sehingga terjadilah demam.
Proses
patofisiologi
diatas
juga
berhubungan
erat
dengan
gambaran
histopatologi apendisitis akut. Secara mikroskopis, derajat peradangan appendisitis akut digolongkan sebagai berikut 1. Apendisitis akut mukosa : apabila terdapat fokus peradangan atau inflamasi sel polimorfonuklear pada mukosa dan submukosa saja, dan bisa juga didapat dalam lumen appendix verivormis 2. Apendisitis akut kompleta simplek : bilamana terdapat sel polimorfonuklear pada seluruh dinding apendiks vermiformis atanpa nanah di dalam lumen maupun dinding dan tanpa fibrin purulen di lapisan serosa 3. Apendisitis akut purulenta; dijumpai infiltrasi sel polimorfonuklear pada seluruh lapisan dinding apendiks vermiformis dengan nanah pada lumen disertai adanya fibrin purulentadi lapisa serosa 4. Apendisitis akut gangrenosa : jika terdapat area nekrosis yang ditandai dengan daeran non-vital kehitaman, dan 5. Apendisitis akut perforate : baik secara makroskopis Maupun mikroskopis dijumpai adanya perforasi dinding apendiks vermiformis.
Derajat peradangan apendisitis akut dengan manifetasi klinis yang terjadi
2.4.5. Manifestasi Klinis
Gejala utama terjadinya apendisitis adalah adanya nyeri perut. Nyeri perut yang klasik pada apendisitis adalah nyeri yang dimulai dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam akan dirasakan berpindah ke daerah perut kanan bawah (sesuai lokasi apendiks). Namun pada beberapa keadaan tertentu (bentuk apendiks yang lainnya), nyeri dapat dirasakan di daerah lain (sesuai posisi apendiks). Ujung apendiks yang panjang dapat berada pada daerah perut kiri bawah, punggung, atau di bawah pusar. Anoreksia (penurunan nafsu makan) biasanya selalu menyertai apendisitis. Mual dan muntah dapat terjadi, tetapi gejala ini tidak menonjol atau berlangsung cukup lama, kebanyakan pasien hanya muntah satu atau dua kali. Dapat juga dirasakan keinginan 10
untuk buang air besar atau buang angin.
Demam juga dapat timbul, tetapi biasanya kenaikan suhu tubuh yang terjadi 0
0
tidak lebih dari 1 C (37,8 – 38,8 C). Jika terjadi peningkatan suhu yang melebihi 0
38,8 C. Maka kemungkinan besar sudah terjadi peradangan yang lebih luas di daerah perut (peritonitis). Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila apendiks pecah, nyeri dan demam 8,10
bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok .
Ada beberapa hal yang penting dalam gejala penyakit apendisitis yaitu: 1. Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Nyeri berhubungan dengan anatomi ureter yang berdekatan dengan apendiks oleh inflamasi. 2. Muntah dan mual oleh karena nyeri viseral. Nutrisi kurang dan volume cairan yang kurang dari kebutuhan juga berpengaruh dengan terjadinya mual dan muntah. 3. Suhu tubuh meningkat dan nadi cepat (karena kuman yang menetap di dinding usus). 4. Rasa sakit hilang timbul
5. Diare atau konstipasi 6. Tungkai kanan tidak dapat atau terasa sakit jika diluruskan 7. Perut kembung 8. Hasil pemeriksaan leukosit meningkat 10.000 - 12.000 /ui dan 13.000/ui bila sudah terjadi perforasi 9. Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan. Selain gejala tersebut masih ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut. 1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh sekum). Tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal. 2.
Bila apendiks terletak di rongga pelvis a. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare). b. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya. Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
10
1. Pada anak-anak Gejala awalnya sering menangis dan tidak mau makan. Umumnya anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntahmuntah dan anak menjadi lemah. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. 2. Pada orang tua berusia lanjut Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi. 3. Pada wanita Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi 8,10
lebih ke regio lumbal kanan.
2.4.6. Pemeriksaan
8
1. Pemeriksaan Fisik a. Inspeksi,
pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut. b. Palpasi, pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing ( Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan
terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg ( Blumberg Sign). c. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator , pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di M. Psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika. d. Pemeriksaan colok dubur , pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
2. Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. b. Radiologi,
terdiri
dari
pemeriksaan
ultrasonografi
dan
CT-scan.
Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
2.4.7. Diagnosis
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis apendisitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi ada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering mengalami gangguan yang mirip apendisitis. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan akurasi diagnosis 10
pada kasus yang meragukan.
Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat adalah segera dilakukan apendektomi. Apendektomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan
adalah
pemberian/terapi
antibiotik
kombinasi
terhadap
penderita.
Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendisektomi. Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk 10
membatalkan tindakan bedah.
2.4.8. Diagnosa Banding
11,
Walaupun apendisitis akut merupakan kegawat daruratan dari operasi abdomen, diagnosis dari penyakit ini bisa sangat sulit untuk di tegakkan. Ada beberapa keadaan
yang harus di pertimbangkan dan jika memungkinkan, harus diabaikan. Diagnosa banding dari penyakit ini berbeda pada pasien anak dan dewasa. Pada wanita, beberapa diagnosa banding adalah penyakit yang berhubungan dengan saluran genital wanita.
Pada anak-anak, penyakit yang paling sering disangka sebagai apendisitis akut adalah
gastroenteritis
akut
dan
mesenteric
lymphadenitis.
Pada
mesenteric
limfadenitis, terdapat nyeri kolik dan nodus lymph servikal mungkin membesar. Hampir tidak dapat dibedakan antara Meckel’s diverticulitis dari apendisitis akut. Nyeri yang menyerupai apendisitis akut, tetapi, tandanya bisa di sentral atau pada bagian kiri. Pernah terjadinya nyeri antecedent abdomen atau perdarahan intermitten gastrointestinal bagian bawah kadang dapat dijumpai. Penting untuk membedakan antara apendisitis akut dan intussusepsi. Apendisitis jarang terjadi pada umur di bawah 2 tahun, dimana pada intusussepsi usia rata-ratanya terjadi pada 18 bulan. Pada wanita usia hamil penyakit pelvis gejalanya sangat mirip dengan apendisitis akut. Pemeriksaan dengan anamnesa ginekologi harus dilakukan dengan wanita yang dicurigai dengan apendisitis, terutama masalah menstruasi, sekret vagina dan kemungkinan terjadinya kehamilan. Diagnosa yang paling menyerupai adalah pelvic inflammatory disease (PID), Mittleschmerz, torsi atau perdarahan pada kista ovarium dan kehamilan ektopik.
a. Pelvic Inflammatory Disease
PID terdiri dari beberapa penyakit yang dimana terdapat salpingitis, endometritis dan tubo ovarian sepsis. Insiden dari penyakit-penyakit ini meningkat dan diagnosanya harus di pertimbangkan pada setiap wanita dewasa muda. Biasanya, nyeri lebih rendah daripada apendisitis dan bilateral. Anamnesa pada sekret vagina, dismenorea dan nyeri terbakar merupakan poin yang dapat membantu dalam diagnosis. Transvaginal ultrasound bisa digunakan juga sebagai penunjang dalam penegakan diagnosa.
b. Torsi / Perdarahan dari Kista Ovary
Penyakit ini terbukti sebagai diagnosis banding yang sulit. Jika dicurigai terdapat penyakit ini, ultrasound pelvis dan opini dari sudut pandang ginekologikal harus lakukan. Visualisasi dari ovary kontralateral pada medikolegal yang penting sebelum oophorectomy sebagai tindakan pencegahan.
c. Kehamilan Ektopik
Ruptur kehamilan ektopik, dengan haemoperitoneum sebagai gejala khasnya, tidak akan dikelirukan dengan apendisitis akut, tetapi hal yang sama tidak dapat dikatakan pada right sided tubal abortion, atau untuk right sided unruptured tubal pregnancy. Pada keduanya, Gejala yang ditimbulkan sangat mirip dengan apendisitis akut, hanya saja nyerinya menetap pada sisi kanan. Nyeri hebat dan tidak berkurang sampai tindakan operasi. Biasanya, ada periode menstruasi yang terlewatkan atau ada tes kehamilan yang positip. Nyeri hebat di rasakan saat servix di gerakkan pada pemeriksaan vagina. Tanda dari perdarahan intraperitoneal biasanya akan tampak dan pasien harus di tanyakan terdapatnya nyeri pada bahu. Ultrasonografi pelvis harus di lakukan pada semua kasus yang dimana kehamilan ektopik disangka sebagai diagnosa
2.4.9. Penatalaksanaan
11
Apendiktomi harus dilakukan menggunakan anastesi general, dengan posisi pasien supine di meja operasi. Bila teknik laparoskopik digunakan, kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu. Sebelum membersihkan seluruh bagian abdomen dengan cairan antiseptik, fossa iliac kanan dipalpasi terlebih dahulu terdapatnya massa atau tidak. Jika dirasakannya ada massa, ada baiknya pengambilan langkah selanjutnya dengan metode konservatif.
a. Apendiktomi konvensional
Insisi yang paling sering digunakan untuk apendiktomi disebut dengan insisi gridiron. Pada insisi gridiron dibuat dari sudut kanan ke garis yang menyatukan anterior superior iliac spine ke umbilicus, dengan sentralnya di sepanjang garis poin McBurney. Jika akses yang lebih mudah diperlukan maka penggunaan insisi gridiron dapat dirubah dengan menggunakan insisi Rutherford Morison, dengan memotong oblique internal dan otot transverses pada garis insisi.
Saat ini, insisi transverse skin crease (Lanz) menjadi popular, dikarenakan eksposur dan ekstensi jika dibutuhkan, lebih mudah. Insisinya, sesuai dalam panjang dan besarnya, dibuat kira-kira sepanjang 2 cm dibawah umbilicus dengan garis tengahnya di garis midclavicular-midinguinal Jika diperlukan, insisinya bisa di perluas secara medial, dengan retraksi atau kecocokan dari bagian otot rectus abdominalis.
Jika ditemukan kesulitan dalam diagnosis, khususnya pada kejadian obstruksi intestinal, insisi garis tengah bawah abdomen lebih baik digunakan daripada insisi kanan bawah paramedian. Keduanya, walaupun dulunya sering
digunakan,
penggunaan metode insisi ini terdapatnya kesulitan dalam melebarkan insisi, kesulitan dalam menutup insisi dan kesulitan dalam akses ke pelvis dan kavitas peritoneal. b. Pembuangan apendiks
Caecum di identifikasi dengan ditemukannya taeniae coli dan dengan menggunakan jari atau swab, caecum dapat ditarik. Apendiks dapat dirasakan pada dasar caecum. Adhesi inflamasi harus di hancurkan secara perlahan dengan menggunakan jari, yang dimana selanjutnya disambungkan ke apendiks. Pengaturan apendiks memakai forsep Babcock atau Lane, digunakan sedemikian
rupa agar dapat melingkari apendiksnya tanpa merusak apendiks. Dasar mesoapendiks di klem dengan forsep arteri, dibagi dan di ligasi. Prosedurnya dilakukan dengan menggunakan 2 forsep, atau (jarang) dengan 3 forsep.
Setelah apendiks bebas, dengan menggunakan forsep arteri di jepit pada ujung yang berhubungan dengan caecum, di buang di ligasi ulang pada bagian distal yang dibuang. Benang jahit 2/0 yang dapat diserap di ikatkan pada daerah yang dekat dengan caecum. Bisa juga dengan menggunakan benang 3/0 dengan teknik jahitan “Z” pada caecum sekitar 1.25 cm dari dasar.
2.4.10. Komplikasi
12
a. Abses Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila apendicitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum. b. Perforasi Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 0
jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5 C, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis. c. Peritonitis Peritonitis
adalah
peradangan
peritoneum,
merupakan
komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.
BAB 3 LAPORAN KASUS
3.1. Rekam Medis Pasien Identitas Pasien
Nama Pasien
: Ms. YBM
Umur
: 18 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jl. Asahan kec dolok marlawan, Asahan
Status
: Belum menikah
Pekerjaan
: Pelajar
Tanggal Masuk
: 08 Mei 2014
Anamnesis
Keluhan utama
: Nyeri perut kanan bawah
Telaah
: Hal ini dialami pasien sejak ± 5 hari yang lalu. Awalnya nyeri dirasakan pasien di ulu hati lalu menetap di perut kanan bawah pasien. Demam dijumpai sejak 5 hari yang lalu, demam tidak bersifat naik turun. Mual dijumpai sejak 2 hari yang lalu. muntah dijumpai. BAK dalam batas normal. BAB dalam batas normal. Badan kuning dialami sejak 5 tahun yang lalu. Riwayat BAB seperti dempul tidak dijumpai. Riwayat BAK seperti teh pekat tidak dijumpai. Sebelumnya pasien telah dirawat di rumah sakit luar dan didiagnosa dengan usus buntu.
RPT : Tidak Jelas
RPO : Tidak Jelas Status presens
Sensorium
: Compos mentis
Keadaan Umum : Sedang
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 86 x/i
Keadaan Gizi
: Sedang
Pernafasan : 20x/i Suhu
: 37.8 C
Pemeriksaan Fisik
Kepala :
Leher :
- Mata
: Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+)
- Pupil
: Isokor, diameter 3 mm, RC (+/+)
- T/H/M
: Tidak dijumpai kelainan.
- Pembesaran KGB (-) - Trakea Medial
Toraks :
- Inspeksi : Simetris fusiformis - Palpasi
: Stem fremitus kanan = kiri, kesan : normal
- Perkusi
: Sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi: + Paru
: SP vesikuler, ST tidak dijumpai
+ Jantung : S1 (N), S2 (N), murmur (-)
Abdomen
:
- Inspeksi : Simetris, distensi (-) - Palpasi
: Soepel, nyeri tekan (+) di titik McBurney, Rovsing sign (+), Blumberg sign (+) Defans muskular (-)
- Perkusi
: Timpani
- Auskultasi: peristaltik (+) normal.
Ekstrimitas : - Superior
: Pols 86x/i,reg, T/V Kuat/cukup, akral hangat, CRT <3’’, Fraktur (-), Edema (-)
- Inferior
: Fraktur (-), Edema (-)
Genitalia
: Perempuan, Dalam Batas Normal
DRE
: Perineum normal, spinchter ani ketat, mukosa licin, nyeri tekan pada arah jam 9. Sarung tangan: feses(+) Lendir (+) Darah(-)
Hasil Laboratorium Darah Lengkap
Satuan
Hasil
Rujukan
Hb
g%
11,80
11,7 - 15,6
Eritrosit
10 /mm
3,95
4,20 - 4,87
Leukosit
10 /mm
10,16
4,5 - 11,0
Hematokrit
%
34,60
38 – 44
Trombosit
10 /mm
223
150-450
Albumin
g/dl
3,0
3,2-4,5
Glukosa darah
Mg/dl
89,00
<200
Na
Mg/dl
137
135-155
K
Meq/dl
4,4
3,6-5,5
Cl
Meq/dl
104
96-106
Elektrolit
Ureum
Mg/dl
15,00
<50
Kreatinin
Mg/dl
0,50
0,24-0,85
A
: Appendicitis Akut + Jaundice
P
: IVFD RL 20gtt/i Enteral : sementara puasa NGT ukuran 18 Urine Catheter -
Inj. Ceftriaxone 1 g/ 12jam
-
Inj. Ranitidine 50 mg/12jam
-
Inj. Ketorolac 30 mg/8jam
Follow Up Tanggal 08 Mei 2014
S
: Nyeri Perut Kanan Bawah
O
: Kesadaran : CM, TD: 120/80 mmHg, Nadi: 70x/i, RR: 20x/i, T : 37,8 C
o
Kepala :
- Mata
: Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+)
- Pupil
: Isokor, diameter 3 mm, RC (+/+)
- T/H/M
: Tidak dijumpai kelainan.
Leher : - Pembesaran KGB (-) - Trakea Medial
Toraks :
- Inspeksi
: Simetris fusiformis
- Palpasi
: Stem fremitus kanan = kiri, kesan : normal
- Perkusi
: Sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi : + Paru + Jantung
Abdomen
: - Inspeksi
: SP vesikuler, ST tidak dijumpai : S1 (N), S2 (N), murmur (-)
: Simetris, distensi (-)
- Palpasi
: Soepel, nyeri tekan (+) perut kanan bawah,
- Perkusi
: Timpani
- Auskultasi
: peristaltik (+) normal.
Ekstrimitas : - Superior
: Pols 70x/i,reg, T/V Kuat/cukup, akral hangat, CRT <3’’, Fraktur (-), Edema (-)
- Inferior
Genitalia
: Fraktur (-), Edema (-)
: Perempuan, Dalam Batas Normal
A
: Apendisitis Akut + Jaundice
P
: - IVFD RL 20gtt/i - Ceftriaxone 1 g/12jam - Ranitidine 50mg/12jam - Ketorolac 30mg/8jam
R
: Appendectomy Emergency
Tanggal 09 Mei 2014
S
: Nyeri luka operasi (+), Demam (-)
O
: Kesadaran : CM, T : 36,5 C
o
Kepala :
- Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+) - Pupil : Isokor, diameter 3 mm, RC (+/+) - T/H/M
: Tidak dijumpai kelainan.
Leher : - Pembesaran KGB (-) - Trakea Medial
Toraks :
- Inspeksi
: Simetris fusiformis
- Palpasi
: Stem fremitus kanan = kiri, kesan : normal
- Perkusi
: Sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi : + Paru + Jantung
Abdomen
: - Inspeksi
: SP vesikuler, ST tidak dijumpai : S1 (N), S2 (N), murmur (-)
: Simetris, , distensi (-), Luka Operasi: Kering
- Palpasi
: Soepel, nyeri tekan (+) pada luka operasi,
- Perkusi
: Timpani
- Auskultasi
: peristaltik (+) normal.
Ekstrimitas : - Superior
: Pols 82x/i,reg, T/V Kuat/cukup, akral hangat, CRT <3’’, Fraktur (-), Edema (-)
- Inferior
Genitalia
: Fraktur (-), Edema (-)
: Dalam Batas Normal
A
: Post Appendectomy d/t Appendicitis akut
P
: - IVFD RL 20gtt/i - inj. Ceftriaxone 1 g/12jam - inj. Metronidazole 500mg/8jam - inj. Gentamicin 80mg/12jam
- Ranitidine 50mg/12jam - Ketorolac 30mg/8jam - mobilisasi miring kanan-kiri - Diet MII rendah lemak - Rencana USG Liver dan Gallbladder - Cek LFT ( SGOT, SGPT, ALP, bilirubin direct, bilirubin total)
Tanggal 10 Mei 2014
S
: Nyeri luka operasi (+), Demam (-)
O
: Kesadaran : CM, T : 36,7 C
o
Kepala :
- Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+) - Pupil : Isokor, diameter 3 mm, RC (+/+) - T/H/M
Leher :
: Tidak dijumpai kelainan.
- Pembesaran KGB (-) - Trakea Medial
Toraks :
- Inspeksi
: Simetris fusiformis
- Palpasi
: Stem fremitus kanan = kiri, kesan : normal
- Perkusi
: Sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi : + Paru
: SP vesikuler, ST tidak dijumpai
+ Jantung
Abdomen
: S1 (N), S2 (N), murmur (-)
: - Inspeksi : Simetris, Luka Operasi: Kering, distensi (-) - Palpasi
: Soepel, nyeri tekan (+) pada luka operasi,
- Perkusi
: Timpani
- Auskultasi: peristaltik (+) normal.
Ekstrimitas : - Superior
: Pols 80x/i,reg, T/V Kuat/cukup, akral hangat, CRT <3’’, Fraktur (-), Edema (-)
- Inferior
Genitalia
: Fraktur (-), Edema (-)
: Perempuan, Dalam Batas Normal
A
: Post Appendectomy d/t Appendicitis akut
P
: - IVFD RL 20gtt/i - inj. Ceftriaxone 1 g/12jam - inj. Metronidazole 500mg/8jam - inj. Gentamicin 80mg/12jam - Ranitidine 50mg/12jam - Ketorolac 30mg/8jam - mobilisasi duduk-berdiri-jalan - aff kateter urine - Diet MII rendah lemak
Hasil Laboratorium Darah Lengkap
Satuan
Hasil
Rujukan
Hb
g%
11,5
11,7 - 15,6
Eritrosit
10 /mm
3,96
4,20 - 4,87
Leukosit
10 /mm
11,36
4,5 - 11,0
Hematokrit
%
34,10
38 – 44
Trombosit
10 /mm
282
150 - 450
Albumin
g/dl
3,1
3,2 - 4,5
Glukosa darah
Mg/dl
89,00
<200
Na
Mg/dl
134
135-155
K
Meq/dl
3,4
3,6-5,5
Cl
Meq/dl
100
96-106
Elektrolit
Ureum
Mg/dl
16,10
<50
Kreatinin
Mg/dl
0,49
0,24-0,85
Bilirubin direct
Mg/dl
3,76
0-0,2
Bilirubin Total
Mg/dl
4,17
<1
Fosfatase
U/L
62
35-104
SGOT
U/L
18
<32
SGPT
U/L
13
<31
Albumin
g/dl
3,1
<3,2- 4,5
LFT
Alkali
(ALP)
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab inflamasi abdomen akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyakit yang paling sering untuk memerlukan bedah abdomen darurat. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun. Apendisitis biasanya disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks karena
hiperplasia limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
perdangan sebelumnya atau neoplasma – yang akan mempersempit lumen apendiks sehingga menyebabkan obstruksi luminal. Setelah obstruksi terjadi, sekresi mukus dan inflamasi yang terjadi akan menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal dan menghalangi drainase limfatik. Edema dan
ulserasi mukosa kemudian diiukuti
dengan translokasi atau perpindahan dari bakteri ke submukosa. Perbaikan dapat terjadi saat ini baik secara spontan atau sebagai tanggapan terhadap terapi antibiotik. Jika kondisi berlangsung, akan terjadi distensi dari appendiks
yang dapat
menyebabkan obstruksi vena dan iskemiknya dinding appendiks. Pada kondisi ischemia, invasi bakteri berlanjut ke muskularis propria dan submukosa sehingga terjadilah apendisitis akut Gejala utama terjadinya apendisitis adalah adanya nyeri perut. Nyeri perut yang klasik pada apendisitis adalah nyeri yang dimulai dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam akan dirasakan berpindah ke daerah perut kanan bawah (sesuai lokasi apendiks). Namun pada beberapa keadaan tertentu (bentuk apendiks yang lainnya), nyeri dapat dirasakan di daerah lain (sesuai posisi apendiks). Apendektomi harus dilakukan sebagai tatalaksana yang paling efektif dalam menangani apendisitis akut, dengan menggunakan teknik general anestesi pasien
diposisikan secara supine di meja operasi. Apabila teknik laparoskopik yang akan digunakan, kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu.
4.2. Saran
Seorang klinisi harus mengetahui pola manajemen yang benar dalam menghadapi pasien yang datang dengan kejadian appendisitis yang disertai penyakit penyerta seperti jaundice. Hal ini penting untuk dapat mengenali tanda-tanda kegawatdaruratan pada pasien dengan appendisitis yang memiliki penyakit penyerta sehingga penanganan dan pentalaksanaan yang akan dilakukan efisien dan tepat indikasi. Sebelumnya resusitasi awal dan perbaikan status hemodinamik harus terlebih dahulu dilakukan sebelum menetukan pola penanganan yang sesuai dengan kasus.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Nakanuma Y, Hoso M, Sanzen T, Sasaki M. Microstructure and Development of the Normal and Pathologic Biliary Tract in Humans, Including Blood Supply. Microscopy Research and Technique 38, 552-570. 1997
2.
Roche SP, Kobos R. Jaundice in the adult patient.[see comment]. [Review] [20 refs]. American Family Physician 69(2):299-304, 2004
3.
Richard
A
Weisinger.
Conjugated
hyperbilirubinemia
Available
:
http://emedicine.medscape.com/article/178757-overview. Accessed 15 th May 2014 4.
Hisham Najer. Differential diagnose of unconjugated hyperbilirubunemia. Available: http://emedicine.medscape.com/article/178841-differential Accessed : 15 th may 2014.
5.
Aono. S Yamada Y, Keino H, et al. Identification of defect in the genes for bilirubin UDP-glucoronyltranferase in a patient with Crifler-Najar syndrome type II. Biochem Biophys Kes Commun. 1993:197: 1239-1244.
6.
Mann CV. The Vermiform Appendix In : Mann Russel RCG, Williams NS.Bailey & Love’s Short Practice Of Surgery. 27th Edition. London: ELBS With Chapmann & Hall, 1995,1201-1203
7.
Kalesaran, lauren. Sistem Skor pada Apendicitis akut. Bagian Ilmu Bedah Universitas Diponegoro. Semarang.
8.
Pieter, John, 2005. Usus Halus, Appendiks, Kolon, dan Anorektum. Sjamsuhidajat.R, De Jong,Wim. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
9.
Snell RS. Abdomen : bagian II cavitas abdominalis. Anatomi Klinik. Jakarta : EGC, 2006. P.210-218
10.
Erik,
Prabowo.
2009.
http://www.bedah.info/bedah_digestif/usus_buntu_
_apendiks_tercipta_bagi_ahli_bedah/ (diunduh tangal 15 Mei 2014).