4 " Autism Spectrum Disorder (ASD)
AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD)
Latar Belakang
Menurut Sugiyanto (2008), peningkatan kemampuan gerak terjadi sejalan dengan peningkatan koordinasi mata, tangan dan kaki. Perkembangan gerak dapat terjadi dengan baik jika anak mendapat kesempatan cukup besar untuk melakukan aktivitas fisik dalam bentuk gerakan-gerakan yang melibatkan seluruh bagian anggota-anggota tubuh, tapi bagaimana dengan perkembangan gerak pada anak autis apakah sama dengan anak normal. Sedangkan pada anak autis terdapat gangguan pada tingkat emosi, sosial dan komunikasinya serta terjadi pengulangan pada perilakunya. Jika dilihat dari pertumbuhan fisik seorang anak autis tidak mengalami suatu gangguan (Sugiyanto, 2008).
Autisme adalah suatu sindroma gangguan perkembangan anak yang sangat kompleks dan berat, dengan dugaan penyebab yang sangat bervariasi, serta gejala klinik yang biasanya muncul pada tiga tahun pertama dari kehidupan anak tersebut (Peeters T, 1997 ; Rimland B, 2001). Saat ini dilaporkan bahwa insidensi autisme di USA, Inggris, Timur Tengah dan Asia mencakup 1 : 250 anak, suatu angka yang cukup besar (Rimland B, 2001 ; Bradstreet JJ, 2002 ).
Autistik ini menarik untuk dipelajari mengingat jumlah anak yang didiagnosis sebagai autistik meningkat dari tahun ke tahun. Frugteveen (2000) mengemukakan pada awalnya hanya terdapat 1 : 10.000, pada tahun 2000 terdapat 1 : 1.500 anak dengan autistik. Walaupun belum ada data resmi mengenai jumlah anak yang didiagnosis sebagai autistik, namun lembaga sensus Amerika Serikat melaporkan bahwa pada tahun 2004 di Indonesia terdapat 475.000 anak dengan ciri-ciri autistik (Kompas, 2005). Sedangkan menurut Widodo (2006), perbandingan penderita autis antara laki-laki dan perempuan adalah 2,6 - 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat. Jika benar demikian, sungguh sudah mulai saatnya pemerintah Indonesia memberikan perhatian serius terhadap fenomena tersebut demi menjaga kualitas generasi bangsa (Widodo, 2006).
Tinjauan Pustaka
Anak yang didiagnosa dengan autisic spectrum disorder (ASD) dapat berasal dari berbagai kalangan sosioekonomi, suku, ras dan etnis. Semakin banyak anak dengan ASD akan ditemukan dalam setiap komunitas dan lingkungan seiring meningkatnya identifikasi dari gangguan tersebut. Estimasi biaya tahunan untuk pendidikan dan penanganan individu dengan ASD adalah sekitar 90 milyar dolar berdasarkan Autism Society of America. Diagnosa dan penanganan yang lebih awal adalah faktor utama untuk mengurangi biaya penanganan anak-anak dengan ASD (Levy, 2009).
Di Pakistan, hasil penelitian yang dilakukan oleh Imran et al (2011) yang dilakukan oleh 247 responden (154 dokter ahli psikiatri dan 93 non ahli psikiatri) didapatkan hasil bahwa para profesional saat ini di lapangan memiliki pemahaman yang tidak seimbang mengenai autisme karena adanya beberapa kesalahpahaman tentang banyak gejala yang menonjol dari penderita autisme (Imran et al, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh El-Ansary et al (2011) di Saudi Arabia yang menggunakan sampel 26 anak autis dan 26 anak normal, didapatkan bahwa data yang diperoleh membuktikan bahwa asam lemak yang diubah dalam plasma pasien anak autis, khususnya menunjukkan peningkatan di sebagian besar asam lemak jenuh kecuali untuk asam propionat, dan penurunan di sebagian besar polyunsaturated fatty acid. Profil asam lemak yang diubah dibahas dalam kaitannya dengan stres oksidatif, disfungsi mitokondria dan tingginya konsentrasi timbal (Pb) yang dilaporkan sebelumnya terdapat pada pasien autisme di Saudi Arabia (El-Ansary et al, 2011).
Patofisiologi dari autistik belum jelas sampai saat ini. Baru-baru ini penelitian yang dilakukan oleh Ghanizadeh (2010) mendapatkan hasil bahwa tingkat neurotensin serum pada anak dengan gangguan autistik ditemukan lebih tinggi dibandingkan anak normal. Neurotensin dikenal untuk mengintensifkan neuronal NMDA-dimediasi glutamat sinyal, yang dapat menyebabkan apoptosis pada autisme. Penargetan neurotensin mungkin menjadi pendekatan baru untuk pengobatan autisme (Ghanizadeh, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al (2010) mendapatkan bahwa semakin banyak bukti menunjukkan ASD dapat berhubungan dengan beberapa
disregulasi kekebalan tubuh, dan mungkin memiliki komponen neuroimmune. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa peptida neurotensin (NT) meningkat pada anak-anak autis (Zhang et al, 2010).
Autoimunitas ke otak mungkin memainkan peran patogenik dalam autisme. Dalam gangguan autoimun, pembentukan kompleks antigen-antibodi memicu respon inflamasi dengan menginduksi infiltrasi dari neutrofil. Administrasi lokal progranulin rekombinan, yang merupakan faktor neurotropik anti-inflamasi, menghambat peradangan neutrophilik in vivo, menunjukkan bahwa progranulin penting dalam peradangan untuk menekan mediator. Progranulin plasma diukur dengan menggunakan ELISA pada 40 anak pasien autis, berusia antara 3 dan
12 tahun, dan 40 anak normal. Pada anak-anak autis memiliki tingkat progranulin plasma secara signifikan lebih rendah dibandingkan anak normal. Penelitian mengenai progranulin plasma merupakan penelitian yang pertama yang dihubungkan pada penderita autisme. Maka dari itu perlu penelitian lebih lanjut (Al-Ayadhi dan Mostafa, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Al-Ayadhi dan Gehan Mostafa (2012) merupakan penelitian yang pertama yang membahas mengenai hubungan antara
serum kadar protein S100B, penanda kerusakan saraf, dan antibodi protein antiribosomal P pada anak dengan autis. S100B adalah protein-pengikat kalsium yang diproduksi terutama oleh astrosit. Peningkatan serum S100B mencerminkan kerusakan neurologis. Autoimunitas mungkin memiliki peran dalam patogenesis autisme di beberapa pasien. Autoantibodi dapat melintasi sawar darah otak dan bergabung dengan antigen jaringan otak, membentuk kekebalan kompleks dan mengakibatkan kerusakan saraf (Al-Ayadhi dan Mostafa, 2012).
Etiologi dari autisic spectrum disorder (ASD) belum jelas diketahui. Tetapi stres oksidatif memainkan peran patologis. Penelitian oleh Al-Ayadhi (2012) melaporkan bahwa tingkat serum dari protein Sonic hedgehog (SHH) dan brain derived neurotrophic factor (BDNF) dapat dihubungkan terhadap stres oksidatif di ASD. Dengan menggunakan plasma darah atau leukosit polimorfonuklear, penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak autis menghasilkan oksigen radikal bebas (OFR) lebih tinggi secara signifikan. Penelitian ini juga menemukan meningginya tingkat protein serum SHH dan menurunnya serum BDNF pada autis (Al-Ayadhi, 2012).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bronsard et al (2010) menunjukkan bahwa dalam situasi stres, individu dengan autisme melepaskan stres mereka melalui perilaku seperti OIB (other injuries behavior), sedangkan individu biasanya berkembang mengatur dan mengekspresikan mereka stres melalui keterampilan kognitif seperti strategi mengatasi mental, simbolisasi keterampilan dengan representasi dan mengantisipasi situasi stres, interaksi sosial dan komunikasi verbal atau non-verbal (Bronsard et al, 2010).
Williams-Beuren sindrom (WBS) merupakan gangguan perkembangan langka yang disebabkan oleh penghapusan gen di 7q11.23 yang ditandai oleh berlebihan dalam sosialisasi (overfriendliness) dan komunikasi yang berlebih (excessive talkativeness). Hasil penelitian menunjukkan bahwa autisme komorbid dan WBS menunjukkan bahwa delesi dari WBS dapat mengakibatkan sebuah kontinum dari gangguan komunikasi sosial, mulai dari komunikasi yang berlebih (excessive talkativeness) dan overfriendliness (Tordjman et al, 2012).
Gejala
Menurut DSM-IV autistic spectrum disorder (ASD) merupakan bagian dari pervasive developmental disorder (PDD) atau Gangguan Perkembangan Pervasif (GPP), Pervasif artinya meresap atau yang mendasari sehingga mengakibatkan gangguan lain dan GPP adalah suatu gangguan perkembangan pada anak, dimana terutama terdapat 3 bidang perkembangan yang terganggu, yaitu: komunikasi, interaksi sosial dan perilaku. Gejala-gejala tersebut harus sudah ada sejak sebelum usia 3 tahun, walaupun demikian diagnosis ditegaskan saat anak berusia 3 tahun (Levy, 2009).
Gangguan di bidang komunikasi meliputi (1) tidak ada gestur ataupun mimik, (2) tidak bisa mempertahankan bicara yang lama, (3) bahasa stereotipik dan repetitif dan (4) tidak bisa bemain berpura-pura (sandiwara). Gangguan di bidang interaksi sosial meliputi (1) menghindari tatap mata, (2) gagal dalam hubungan pertemanan, (3) kurangnya spontanitas dalam bermain, (4) hilangnya rasa emosional. Gangguan di bidang perilaku meliputi (1) pola perilaku stereotipik tertentu, (2) melakukan rutinitas secara ritual, (3) mannerisme seperti finger flapping dan (4) preokupasi terhadap bagian benda tertentu saja.
Namun secara klinis di lapangan, gangguan tersebut ditemukan secara spectrum (berbeda kadar/derajat keparahannya). Bila gangguan tersebut memenuhi kriteria lengkap seperti di atas maka disebut dengan autistic disorder, sedangkan bila tidak lengkap maka disebut sebagai autistic spectrum disorder. Terminologi Gangguan Perkembangan Pervasif ini melingkupi beberapa sindroma atau gangguan perkembangan yang mempunyai ciri seperti tersebut di atas. Kondisi yang dapat diklasifikasikan kedalam Gangguan Perkembangan Pervasif, menurut ICD-10 (International Classification of Diseases, WHO 1993), maupun menurut DSM-IV (American Psychiatric Association, 1994) adalah :
Autisme Masa Kanak (Childhood Autism)
Autisme Masa Kanak adalah gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya sudah tampak sebelum anak tersebut mencapai umur 3 tahun. Perkembangan yang terganggu adalah dalam bidang :
Komunikasi : kualitas komunikasinya yang tidak normal, seperti ditunjukkan dibawah ini:
Perkembangan bicaranya terlambat, atau sama sekali tidak berkembang.
Tidak adanya usaha untuk berkomunikasi dengan gerak atau mimik muka untuk mengatasi kekurangan dalam kemampuan bicara.
Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan atau memelihara suatu pembicaraan dua arah yang baik.
Bahasa yang tidak lazim yang diulang-ulang atau stereotipik.
Tidak mampu untuk bermain secara imajinatif, biasanya permainannya kurang variatif.
Interaksi sosial : adanya gangguan dalam kualitas interaksi sosial:
Kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan ekspresi fasial, maupun postur dan gerak tubuh, untuk berinteraksi secara layak.
Kegagalan untuk membina hubungan sosial dengan teman sebaya, dimana mereka bisa berbagi emosi, aktivitas, dan interes bersama.
Ketidakmampuan untuk berempati, untuk membaca emosi orang lain.
Ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.
Perilaku : aktivitas, perilaku dan interesnya sangat terbatas, diulang-ulang dan stereotipik seperti dibawah ini :
Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku yang tidak normal, misalnya duduk dipojok sambil menghamburkan pasir seperti air hujan, yang bisa dilakukannya berjam-jam.
Adanya suatu kelekatan pada suatu rutin atau ritual yang tidak berguna, misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki dulu, sikat gigi, pakai piyama, menggosokkan kaki dikeset, baru naik ketempat tidur. Bila ada satu diatas yang terlewat atau terbalik urutannya, maka ia akan sangat terganggu dan nangis teriak-teriak minta diulang.
Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti misalnya mengepak-ngepak lengan, menggerak-gerakan jari dengan cara tertentu dan mengetok-ngetokkan sesuatu.
Adanya preokupasi dengan bagian benda/ mainan tertentu yang tak berguna, seperti roda sepeda yang diputar-putar, benda dengan bentuk dan rabaan tertentu yang terus diraba-rabanya, suara-suara tertentu. Anak-anak ini sering juga menunjukkan emosi yang tak wajar, temper tantrum (mengamuk tak terkendali), tertawa dan menangis tanpa sebab, ada juga rasa takut yang tak wajar. Kecuali gangguan emosi sering pula anak-anak ini menunjukkan gangguan sensoris, seperti adanya kebutuhan untuk mencium-cium/ menggigit-gigit benda, tak suka kalau dipeluk atau dielus. Autisme Masa Kanak lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 3 : 1 (Levy, 2009).
Gangguan Perkembangan Pervasif yang tak tergolongkan (GPP-YTT), (Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD-NOS)
PDD-NOS juga mempunyai gejala gangguan perkembangan dalam bidang komunikasi, interaksi maupun perilaku, namun gejalanya tidak sebanyak seperti pada Autisme Masa Kanak. Kualitas dari gangguan tersebut lebih ringan, sehingga kadang-kadang anak-anak ini masih bisa bertatap mata, ekspresi fasial tidak terlalu datar, dan masih bisa diajak bergurau (Levy, 2009).
Sindroma Rett (Rett's Syndrome)
Adalah gangguan perkembangan yang hanya dialami oleh anak wanita. Kehamilannya normal, kelahiran normal, perkembangan normal sampai sekitar umur 6 bulan. Lingkaran kepala normal pada saat lahir. Mulai sekitar umur 6 bulan mereka mulai mengalami kemunduran perkembangan. Pertumbuhan kepala mulai berkurang antara umur 5 bulan sampai 4 tahun. Gerakan tangan menjadi tak terkendali, gerakan yang terarah hilang, disertai dengan gangguan komunikasi dan penarikan diri secara sosial. Gerakan-gerakan otot tampak makin tidak terkoordinasi. Seringkali memasukkan tangan ke mulut, menepukkan tangan dan membuat gerakan dengan dua tangannya seperti orang sedang mencuci baju. Hal ini terjadi antara umur 6-30 bulan. Terjadi gangguan berbahasa, perseptif maupun ekspresif disertai kemunduran psikomotor yang hebat. Yang sangat khas adalah timbulnya gerakan-gerakan tangan yang terus-menerus seperti orang yang sedang mencuci baju yang hanya berhenti bila anak tidur.
Gejala-gejala lain yang sering menyertai adalah gangguan pernafasan, otot-otot yang makin kaku, timbul kejang, skoliosis tulang punggung, pertumbuhan terhambat dan kaki makin mengecil (hypotrophik). Pemeriksaan EEG biasanya menunjukkan kelainan (Levy, 2009).
Gangguan Disintegratif Masa Kanak (Childhood Disintegrative Disorder)
Pada Gangguan Disintegrasi Masa Kanak, hal yang mencolok adalah bahwa anak tersebut telah berkembang dengan sangat baik selama beberapa tahun, sebelum terjadi kemunduran yang hebat. Gejalanya biasanya timbul setelah umur 3 tahun. Anak tersebut biasanya sudah bisa bicara dengan sangat lancar, sehingga kemunduran tersebut menjadi sangat dramatis. Bukan saja bicaranya yang mendadak terhenti, tapi juga ia mulai menarik diri dan ketrampilannya pun ikut mundur. Perilakunya menjadi sangat cuek dan juga timbul perilaku berulang-ulang dan stereotipik. Bila melihat anak tersebut begitu saja , memang gejalanya menjadi sangat mirip dengan autism (Levy, 2009).
Sindroma Asperger (Asperger's Syndrome)
Seperti pada Autisme Masa Kanak, Sindrom Asperger (SA) juga lebih banyak terdapat pada anak laki-laki daripada wanita. Anak SA juga mempunyai gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial maupun perilaku, namun tidak separah seperti pada Autisme. Pada kebanyakan dari anak-anak ini perkembangan bicara tidak terganggu. Bicaranya tepat waktu dan cukup lancar, meskipun ada juga yang bicaranya agak terlambat. Namun meskipun mereka pandai bicara, mereka kurang bisa komunikasi secara timbal balik. Komunikasi biasanya jalannya searah, dimana anak banyak bicara mengenai apa yang saat itu menjadi obsesinya, tanpa bisa merasakan apakah lawan bicaranya merasa tertarik atau tidak. Seringkali mereka mempunyai cara bicara dengan tata bahasa yang baku dan dalam berkomunikasi kurang menggunakan bahasa tubuh. Ekspresi muka pun kurang hidup bila dibanding anak-anak lain seumurnya. Mereka biasanya terobsesi dengan kuat pada suatu benda/ subjek tertentu, seperti mobil, pesawat terbang, atau hal-hal ilmiah lain. Mereka mengetahui dengan sangat detil mengenai hal yang menjadi obsesinya. Obsesi inipun biasanya berganti-ganti. Kebanyakan anak SA cerdas, mempunyai daya ingat yang kuat dan tidak mempunyai kesulitan dalam pelajaran disekolah. Mereka mempunyai sifat yang kaku, misalnya bila mereka telah mempelajari sesuatu aturan, maka mereka akan menerapkannya secara kaku, dan akan merasa sangat marah bila orang lain melanggar peraturan tersebut. Misalnya: harus berhenti bila lampu lalu lintas kuning, membuang sampah dijalan secara sembarangan. Dalam interaksi sosial juga mereka mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Mereka lebih tertarik pada buku atau komputer daripada teman. Mereka sulit berempati dan tidak bisa melihat/ menginterpretasikan ekspresi wajah orang lain.
Perilakunya kadang-kadang tidak mengikuti norma sosial, memotong pembicaraan orang seenaknya, mengatakan sesuatu tentang seseorang didepan orang tersebut tanpa merasa bersalah. Anak Sindrom Asperger jarang yang menunjukkan gerakan-gerakan motorik yang aneh seperti mengepak-ngepak atau melompat-lompat atau stimulasi diri (Levy, 2009).
Penatalaksanaan
Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai, telah dilakukan penelitian dan didesain khusus untuk anak-anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/ pujian). Jenis terapi ini bisa diukur kemajuannya. Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia (Levy, 2009).
Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistik yang non verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/ berinteraksi dengan orang lain. Dengan hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong (Levy, 2009).
Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pensil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan ke mulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot-otot halusnya dengan benar (Levy, 2009).
Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Terkadang tonus ototnya kurang kuat, sehingga jalannya pun kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya (Levy, 2009).
Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam keterampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama di taman bermain (Levy, 2009).
Terapi Bermain
Seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi, dan interaksi sosial (Levy, 2009).
Terapi Perilaku
Anak autistik seringkali mengalami frustasi. Teman-temannya seringkali tidak memahami mereka, mereka merasa sulit untuk mengekspresikan kebutuhannya. Mereka banyak yang merasa hipersensitif terhadap suara, cahaya, dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan (Levy, 2009).
Terapi Perkembangan
Floortime, soon rise, dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional, dan intelektualnya (Levy, 2009).
Terapi Visual
Salah satunya adalah PECS (Picture Exchange Communication System) (Levy, 2009).
Terapi Biomedik (Levy, 2009).
Terapi Hiperbarik
Penelitian yang dilakukan oleh Rossignol (2009) di USA, didapatkan bahwa anak-anak dengan autisme yang mendapatkan terapi hiperbarik dengan 1,3 atm dan 24% oksigen selama 40 sesi memiliki perbaikan yang signifikan secara keseluruhan, kemampuan berkomunikasi, berinteraksi sosial, kontak mata, dan kesadaran kognitif/ sensorik dibandingkan dengan anak pemberian terapi bertekanan rendah (1,03 atm dan 21% oksigen) (Rossignol, 2009).
Terapi Musik
Terapi musik adalah terapi dengan menggunakan musik sebagai stimulus terapi. Dari hasil penelitian mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara pidato dan perilaku bernyanyi, ritme dan motor, memori untuk lagu dan memori untuk materi akademik, dan secara keseluruhan kemampuan musik yang lebih disukai untuk meningkatkan suasana hati, perhatian, dan perilaku untuk mengoptimalkan kemampuan siswa untuk belajar dan berinteraksi. Oleh karena itu, salah satu tujuan dari terapi musik bagi penyandang autisme adalah untuk membantu dalam generalisasi dan mentransfer ke lingkungan lainnya (American Music Theraphy Association, 2010).
Paliperidone adalah metabolit aktif risperidone dan disetujui oleh FDA untuk mengobati skizofrenia dan gangguan schizoafektif pada orang dewasa. Stigler et al (2010) baru-baru ini menggambarkan efektivitas dari paliperidone dalam mengobati iritasi pada dua individu dengan autisme. Seorang pasien 16 tahun perempuan dan laki-laki 20 tahun pasien, yang didiagnosis dengan autisme, diobati dengan paliperidone (3 dan 12 mg/ hari masing-masing). Keduanya dinilai memiliki peningkatan signifikan dalam gejala mereka, termasuk agresi dan mania dengan pengobatan paliperidone. Kejadian buruk tidak dilaporkan. Kedua orang tersebut kehilangan berat badan dan mengalami perbaikan dalam profil lipid puasa (Kowalski et al, 2011).
Daftar Pustaka
Al-Ayadhi, Laila. 2012. Relationship Between Sonic Hedgehog Protein, Brain-Derived Neurotrophic Factor and Oxidative Stress in Autism Spectrum Disorders. Neurochem Res (2012) 37:394–400. DOI 10.1007/s11064-011-0624-x.
Al-Ayadhi, Laila dan Gehan A.Mostafa. 2011. Low plasma progranulin levels in children with autism. Journal of Neuroinflammation 2011, 8:111 http://www.jneuroinflammation.com/content/8/1/111.
Al-Ayadhi, Laila dan Gehan A.Mostafa. 2012. A lack of association between elevated serum levels of S100B protein and autoimmunity in autistic children. Journal of Neuroinflammation 2012, 9:54 http://www.jneuroinflammation.com/content/9/1/54.
American Music Theraphy Association. 2010. Autism Spectrum Disorders: Music Therapy Research and Evidence Based Practice Support. www.musictherapy.org.
Bradstreet JJ. 2002. Response to the national academy of science, institute of medicine request for original research on thimerosal safety. In : The First Open Windows Essential Training by ICDRC.Palm Bay, January, 2002.
Bronsard, Guillaume; Michel Botbol, Sylvie Tordjman. 2010. Aggression in Low Functioning Children and Adolescents with Autistic Disorder. PLoS ONE 5(12): e14358. doi:10.1371/journal.pone.0014358.
El-Ansary, et al. 2011. Plasma fatty acids as diagnostic markers in autistic patients from Saudi Arabia. Lipids in Health and Disease 2011, 10:62. http://www.lipidworld.com/content/10/1/62.
Ghanizadeh, Ahmad. 2010. Targeting neurotensin as a potential novel approach for the treatment of autism. Journal of Neuroinflammation 2010, 7:58. http://www.jneuroinflammation.com/content/7/1/58.
Hartley, S L; D.M. Sikora, R McCoy. 2008. Prevalence and risk factors of maladaptive behaviour in young children with Autistic Disorder. J Intellect Disabil Res. 2008 October; 52(10): 819–829. doi:10.1111/j.1365-2788.2008.01065.x.
Imran et al. 2011. A survey of Autism knowledge and attitudes among the healthcare professionals in Lahore, Pakistan. BMC Pediatrics 2011, 11:107. http://www.biomedcentral.com/1471-2431/11/107.
Kowalski et al. 2011. Paliperidone Palmitate in a Child with Autistic Disorder. JOURNAL OF CHILD AND ADOLESCENT PSYCHOPHARMACOLOGY. Volume 21, Number 5, 2011. ª Mary Ann Liebert, Inc. Pp. 491–493 DOI: 10.1089/cap.2011.0035.
LeBlanc, Jocelyn J dan Michela Fagiolini. 2011. Autism: A "Critical Period" Disorder?. Hindawi Publishing Corporation Neural Plasticity Volume 2011, Article ID 921680, 17 pages. Doi:10.1155/2011/921680.
Levy, Susan E; David S. Mandell; Robert T. Schultz. 2009. Autism. National Institutes of Health, 374 (9701): 1627-1638, doi:10.1016/S0140-6736(09)61376-3.
Mandell et al. 2010. Age of Diagnosis Among Medicaid-Enrolled Children With Autism, 2001–2004. Psychiatr Serv. 2010 August; 61(8): 822–829. doi:10.1176/appi.ps.61.8.822.
Peeters T. 1997. Autism, from theoritical understanding to educational intervention. London: Whurr Publishers Ltd.
Rimland B. 2001. Background and introduction to the position paper of the consensus conference on the mercury detoxification of autistic children. San Diego : Autism Research Institute.
Rossignol, et al. 2009. Hyperbaric treatment for children with autism: a multicenter randomized, double-blind, controlled trial. BMC Pediatrics 2009, 9:21 doi:10.1186/1471-2431-9-21.
Sugiyanto. 2008. Perkembangan dan Belajar Motorik. Jakarta: Universitas Terbuka.
Tordjman et al. 2012. Autistic Disorder in Patients with Williams-Beuren Syndrome: A Reconsideration of the Williams-Beuren Syndrome Phenotype. PLoS ONE 7(3): e30778. doi:10.1371/journal.pone.0030778.
Zhang et al. 2010. Mitochondrial DNA and anti-mitochondrial antibodies in serum of autistic children. Journal of Neuroinflammation 2010, 7:80 http://www.jneuroinflammation.com/content/7/1/80.
Kompas, 20 Juli 2005
http://www.ychicenter.org/index.php?option=com_content&view=article&id=110:jumlah-anak-autis-meningkat-pesat. Autism Care Indonesia. 2006 (diakses pada tanggal 1 Desember 2012).