BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi Gangguan Makan Gangguan makan ditandai dengan ekstrem. Gangguan makan hadir ketika
seseorang mengalami gangguan parah dalam tingkah laku makan, seperti mengurangi kadar makanan dengan ekstrem atau makan terlalu banyak yang ekstrem, atau perasaan menderita atau keprihatinan tentang berat atau bentuk tubuh yang ekstrem. Seseorang dengan gangguan makan mungkin berawal dari mengkonsumsi makanan yang lebih sedikit atau lebih banyak daripada biasa, tetapi pada tahap tertentu, keinginan untuk makan lebih sedikit atau lebih banyak terus menerus di luar keinginan (American Psychiatric Association [APA], 2005).
2.2.
Tipe Gangguan Makan Terdapat dua tipe utama bagi gangguan makan adalah anoreksia nervosa
dan bulimia nervosa. Kategori ketiga adalah “gangguan makan lain yang tidak ditetapkan” (EDNOS – eating disorders not otherwise specified) yang memasukkan beberapa variasi gangguan makan. Kebanyakannya adalah mirip dengan anoreksia atau bulimia tetapi dengan karakter yang berbeda sedikit. Bingeeating disorder, yang menerima peningkatan dalam jumlah penelitian dan perhatian media dalam beberapa tahun kebelakangan ini adalah salah satu tipe EDNOS (APA, 2005).
2.3.
Anoreksia Nervosa
2.3.1. Definisi Menurut DSM-IV, anoreksia nervosa (AN) dimaksudkan dengan “keengganan untuk menetapkan berat badan kira-kira 85% dari yang diprediksi, ketakutan yang berlebihan untuk menaikkan berat badan, dan tidak mengalami menstruasi selama 3 siklus berturut-turut.” AN terbagi kepada dua jenis. Dalam jenis restricting-tye anorexia, individu tersebut menurunkan berat badan dengan berdiet sahaja tanpa makan
Universitas Sumatera Utara
berlebihan (binge eating) atau muntah kembali (purging). Mereka terlalu mengehadkan konsumsi karbohidrat dan makan mengandung lemak. Manakala pada tipe binge-eating/purging, individu tersebut makan secara berlebihan kemudian memuntahkannya kembali secara segaja (APA, 2005)
2.3.2. Gambaran Klinis Kebanyakan orang dengan AN melihat diri mereka sebagai orang dengan kelebihan berat badan, walaupun sebenarnya mereka menderita kelaparan atau malnutrisi. Makan, makanan dan kontrol berat badan menjadi suatu obsesi. Seseorang dengan AN akan sentiasa mengukur berat badannya berulang kali, menjaga porsi makanan dengan berhati-hati, dan makan dengan kuantiti yang sangat kecil dan terhadap pada sebagian makanan (Wonderlich et al, 2005). Kebanyakan pasien dengan AN juga akan mempunyai masalah psikiatri dan macam-macam penyakit fisik, termasuk depresi, ansietas, perilaku terasuk (obsessive), penyalahgunaan zat, komplikasi kardiovaskular dan neurologis, dan perkembangan fisik yang terhambat (Becker et al, 1999). Gejala lain yang mungkin terlihat dari waktu ke waktu termasuk penipisan tulang (osteopenia atau osteoporosis), rambut dan kuku yang rapuh, kulit yang kering dan kekuningan, perkembangan rambut halus dikeseluruhan tubuh (misalnya, lanugo), anemia ringan, kelemahan dan kehilangan otot, konstipasi berat, tekanan darah rendah, pernafasan dan pols yang melemah, penurunan suhu tubuh internal; menyebabkan orang tersebut sering merasa dingin, dan kelesuan (Wonderlich, 2005) Sebagai akibat dari nutrisi buruk, gangguan endokrin yang melibatkan aksis hipotalamus-pituitari-gonad timbul, bermanifestasi pada wanita yaitu amenorrea dan pada laki-laki yaitu kurangnya minat berseksual dan kesuburan. Pada anak-anak yang prapubertas, pubertasnya lambat dan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya terbantut (Chavez dan Insel, 2007). Gejala metabolik lainnya, seperti lelah dan intoleransi terhadap kedinginan juga disebabkan oleh gangguan aksis hipotalamus-pituitari-gonad (Kiyohara et al, 1987). Selain itu, resiko untuk mengalami fraktur tulang berkaitan juga dengan pasien dengan AN
Universitas Sumatera Utara
karena saiz tulang yang berkurang dan densitas mineral tulang (Karlsson et al, 2000) Kadar serum leptin dalam AN yang tidak dirawat adalah rendah (Eckert et al, 1998). Pada AN juga dijumpai peningkatan kadar kortisol dan kegagalan deksametason untuk mensupresinya. Kadar thyroid-stimulating hormone (TSH) adalah normal, tetapi kadar tiroksin dan triiodotironin adalah rendah (Kiyohara et al, 1987). Growth hormone meningkat, tetapi insulin-like growth factor 1 (IGF-1) yang diproduksi oleh hati, menurun. Pengurangan densitas tulang diobservasi pada pasien dengan AN meningkatkan risiko untuk mengalami fraktur dan berkaitan dengan defisiensi berbagai nutrisi, penurunan sterois gonad dan peningkatan kortisol dan (Karlsson et al, 2000). Pada pasien dengan tipe tertentu AN, sering dilihat kadar serotonin total, yang menyokong hipotesis bahwa kadar serotonin otak yang tinggi dapat menyebabkan perbuatan kompulsif, atau mungkin menginhibisi pusat selera (Tecott, 1995).
2.4.
Bulimia Nervosa
2.4.1. Definisi Bulimia nervosa (BN) digambarkan dengan episode berulang makan berlebihan (binge eating) dan kemudian dengan perlakuan kompensatori (muntah, berpuasa, beriadah, atau kombinasinya). Makan berlebihan disertai dengan perasaan subjektif kehilangan kawalan ketika makan. Muntah yang dilakukan secara sengaja atau beriadah secara berlebihan, serta penyalahgunaan pencahar, diuretik, amfetamin dan tiroksin juga boleh terjadi (Chavez dan Insel, 2007). DSM-IV membagikan BN kepada dua bentuk yaitu purging dan nonpurging. Pada tipe purging, individu tersebut memuntahkan kembali makanan secara sengaja atau menyalahgunakan obat pencahar, diuretik atau enema. Pada tipe nonpurging, individu tersebut menggunakan cara lain selain cara yang digunakan pada tipe purging, seperti berpuasa atau beriadah secara berlebihan.
Universitas Sumatera Utara
2.4.2. Gambaran Klinis BN digolongkan pada orang yang mengalami episode konsumsi makanan dengan jumlah yang sangat banyak (misalnya, binge-eating) secara rekuren dan sering, dan merasakan kurangnya penguasaan terhadap makan. Perilaku bingeeating
diikuti
dengan
perilaku
yang
mengkompensasi
binge
dengan
menyingkirkan makanan yang dimakan (misalnya, muntah, penggunaan obat cuci perut atau diuretik yang berlebihan), berpuasa dan/atau senaman yang berlebihan (APA, 2005). Tidak seperti AN, orang yang menderita BN dapat jatuh kepada golongan dengan berat badan yang normal sesuai dengan umur mereka. Akan tetapi, seperti AN, mereka juga mempunyai ketakutan untuk pertambahan berat badan, dan sangat nekad untuk mengurangi berat badan, merasa ketidakbahagiaan hebat atas ukuran dan bentuk tubuh. Kebiasaannya, perilaku bulimik adalah rahasia, karena selalu disertai dengan perasaan jijik dan malu.
Siklus perilaku binging dan
penyingkiran ini selalunya berulang selama beberapa kali dalam seminggu (APA, 2005). Mirip dengan AN, orang yang menderita BN juga mempunyai penyakit psikologis seperti depresi, ansietas dan/atau permasalahan penyalahgunaan zat. Kebanyakan kondisi fisik adalah akibat dari aspek penyingkiran penyakit, termasuklah ketidakseimbangan elektrolit, masalah gastrointestinal, dan masalah berkaitan dengan rongga mulut dan gigi (APA, 2005). Gejala lain yang terkait termasuklah inflamasi kronis dan sakit tenggorokan, pembengkakan kelenjar di leher dan di bawah rahang, robekan enamel gigi dan meningkatnya kepekaan dan kerusakan gigi akibat daripada pemaparan terhadap asam perut, penyakit refluks gastroesofagus, intestinal distress dan iritasi akibat penyalahgunaan obat cuci perut, masalah pada ginjal akibat penyalahgunaan obat diuretik, dan dehidrasi berat karena kekurangan cairan dari tubuh (APA, 2005). Gangguan mood adalah sering pada pasien dengan BN dan simptom cemas dan tegang (tension) sering dialami (Chavez dan Insel, 2007). Kebanyakan pasien dengan BN mengalami depresi ringan dana sesetengah mengalami
Universitas Sumatera Utara
gangguan mood dan perilaku yang serius seperti cobaan membunuh diri dan penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang. Biasanya, pasien dengan BN merasa malu dengan perbuatannya sendiri dan cenderung untuk merahsiakannya daripada keluarga dan teman-teman. (APA, 2005)
2.5.
Binge-eating Disorder
2.5.1. Definisi Menurut DSM-IV, kriteria binge-eating disorder (BED) memerlukan episode makan berlebihan, sama seperti BN, tetapi yang membedakan BED dengan BN ialah BED tidak melibatkan perbuatan untuk melawan perilaku makan berlebihan, seperti memuntahkan kembali makanan, penggunaan pencahar dan beriadah berlebihan (Kay dan Tasman, 2006).
2.5.2. Gambaran Klinis BED digolongkan pada orang dengan episode binge-eating yang rekuren sewaktu seseorang merasakan hilangnya penguasaan terhadap perilaku makannya. Tidak seperti BN, episode binge-eating ini tidak diikuti dengan proses penyingkiran, olahraga yang berlebihan, atau puasa. Hasilnya, orang dengan BED adalah kebiasaanya kelebihan berat badan atau gemuk. Mereka juga merasa bersalah, malu dan/atau distress dengan
binge-eating yang dapat membawa
kepada lebih banyak episode binge-eating. Mereka juga sering mempunyai penyakit psikologis termasuklah ansietas, depresi, dan kekacauan kepribadian (APA, 2005).
2.6.
Etiologi Gangguan Makan Walaupun etiologi gangguan makan adalah kompleks, beberapa penelitian
nasional telah menjelaskan bahawa riwayat penderaan fisik dan seksual sebagai faktor risiko predisposisi bagi perkembangan gangguan makan (Rorty, 1994; Wonderlich, 1997). Terdapat bukti yang kukuh bahawa predisposisi genetik, kelahiran premature, trauma ketika lahir (Cnattingius et al, 1999) dan biokimia
Universitas Sumatera Utara
individual memainkan peranan yang signifikan yang akhirnya berkembang menjadi suatu gangguan makan. Kedua-dua AN dan BN secara statistiknya lebih umum dijumpai pada ahli keluarga penderita dibandingkan populasi umum dan terdapat transmisi menyilang bagi kedua-dua kondisi. Misalnya, seseorang dari ahli keluarga menderita AN mempunyai risiko untuk menjadi BN dari seseorang yang tidak mempunyai riwayat keluarga bagi gangguan makan. Penelitian yang sama juga menjumpai gangguan makan atipikal (seperti binge-eating) juga mempunyai riwayat keluarga (Strober et al, 2000). Akibat kesukaran untuk memisahkan antara genetik dari lingkungan dalam penelitian berhubungan dengan keluarga, penelitian tentang gangguan makan yang melibatkan kembar telah menyediakan data yang penting mengenai riwayat keluarga. Banyak penelitian yang dilakukan menunjukkan risiko untuk berkembang menjadi AN atau BN adalah lebih besar pada kembar identik berbanding kembar tidak identik dan efek genetik ini muncul hanya selepas pubertas (Bulik et al, 2000). Sebanyak 50 hingga 83% BN diteliti, keturunan telah ditentukan sebagai salah satu faktor (Strober dan Bulik, 2002). Komorbiditas, assosiasi kedua atau lebih patologi, juga berlaku pada mereka yang mempunyai gangguan makan dan ahli keluarga mereka. Ahli keluarga yang mempunyai gangguan makan akan mempunyai risiko 2.0 hingga 3.5 kali lebih besar untuk memiliki depresi bipolar atau unipolar (Strober et al, 2000). Pada contoh komorbiditas yang lain, terdapat peningkatan signifikan 3 hingga 4 kali lebih besar risiko untuk penyalahgunaan zat yang melibatkan penderita BN, keluarga penderita, atau penderita dengan binging anorexic apabila dibandingkan dengan ahli keluarga anoreksia atau kontrol yang tidak mempunyai gangguan makan atau riwayat keluarga gangguan makan (Lilenfeld et al, 1998). Disregulasi hormon serotonin telah menunjukkan faktor yang penting dalam gangguan makan. Penelitian klinis telah mencadangkan bahawa perubahan pada sistem serotonin akan mempengaruhi perilaku makan. Khususnya serotonin, yang meningkatkan respon kepuasan (satiety), lemah dalam pasien BN (Brewerton, 1995). Resistensi insulin, yang mungkin terdapat pada pasien AN dan
Universitas Sumatera Utara
BN, melemahkan kemampuan tubuh menghasilkan serotonin dari L-tryptophan (Goodwin et al, 1990). Olahraga yang mendorong (bersifat kompulsif) mungkin berhubungan dengan perubahan metabolisme serotonin yang diinduksi oleh restriksi makanan. Sebagai contoh, penelitian telah menunjukkan pengurangan gejala dalam orang-orang yang melakukan senaman yang kompulsif setelah diberikan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) fluoxetine (Altemus et al, 1993). Serotonin dengan kadar yang rendah telah dilaporkan pada pasien AN dengan berat badan rendah (Brewerton, 1990). Kurangnya kadar serotonin sebagai substrat telah diusulkan sebagai alasan mengapa pasien AN tidak respon pada terapi kelas antidepresant-SSRI (Walsh, 2002). Bukan semua penelitian pada kadar triptofan pada cairan serebrospinal pada pasien AN menunjukkan kadar serotonin rendah yang berarti, (Gerner et al, 1984) dan masih dalam penelitian dalam menentukan samada pasien AN tanpa perilaku purging mempunyai disfungsi serotonin yang berbeda dengan pasien AN dengan kecenderungan untuk menjadi BN. Pada sebagian besar penelitian, BN juga terdapat perubahan pada metabolisme serotonin (Brewerton, 1995). Pasien BN mempunyai respon yang kurang pada pemberian serotonin apabila serotonin agonist diberikan dan kadar metabolit serotonin mayor 5-hydroxyindolacetic acid (5-HIAA), merupakan indikasi pengurangan aktivitas serotonin (McBride et al, 1991). Disregulasi serotonin juga telah mejadi implikasi bagi beberapa penyakit psikiatri yang terjadi pada pasien BN dan ahli keluarga pasien BN seperti penyalahgunaan zat, alkoholism, penyakit depresif mayor, ansietas, perasaan ingin membunuh diri, dan impulsive (Coccaro et al, 1989). Perilaku binging dan muntah juga telah menunjukkan pengurangan sintesis serotonin, dan frekuensi binge telah secara kebalikan berhubungan dengan konsentrasi serotonin dalam cairan serebrospinal (Jimerson et al, 1992). Walaupun sembuh setelah satu atau beberapa tahun, wanita dengan BN dijumpai masih lagi memiliki peningkatan gejala inti gangguan makan apabila dibandingkan dengan kontrol (Kaye et al, 1998). Mereka mempunyai kadar
Universitas Sumatera Utara
dopamin dan norepinefrin yang normal tetapi peningkatan dalam kadar 5-HIAA, yang digunakan dalam menilai kadar serotonin. Peningkatan kadar 5-HIAA setelah sembuh juga dijumpai pada pasien AN. Fenomena ini belum dipahami dan telah digambarkan sebagai kemungkinan efek pantulan (‘rebound’ effect’) dalam proses penyembuhan. Literatur medis mendukung bahwa pasien yang didiagnosa BN respon terhadap pemberian antidepressant (Walsh, 2002). Walaupun begitu ia masih lagi tidak memberikan hasil sebaik terapi perilaku-kognitif dan hanya sedikit bukti yang menunjukkan keberhasilan terapi antidepressant (Atria, 1998). Masih lagi tidak diketahui sama ada mekanisme pengubatan antidepressant pada BN adalah sama pada pasien depresi. SSRI telah menunjukkan dampak hanya apabila diberikan pada dosis yang tinggi (60 mg fluoxetine) pada pasien BN – lebih tinggi daripada yang selalu diberikan pada terapi antidepressant. Pasien BN yang juga didiagnosis mempunyai depresi juga tidak dapat memprediksi sama ada antidepresan itu memberikan dampak dalam penatalaksanaan pasien dengan BN (Walsh, 2002).
2.7.
Faktor Risiko Gangguan Makan Gejala gangguan makan sama ada sepenuhnya atau sebagiannya telah
mempengaruhi 10% remaja perempuan dan telah menyebabkan ancaman yang bisa dipertanggungjawabkan pada kesehatan dan kegembiraan mereka (Agras, 2001). Adalah sangat membantu apabila dapat terdeteksi risiko yang paling banyak dalam terjadinya gangguan makan, sama ada untuk mencegah penyakit daripada berkembang atau agar dapat memulakan penatalaksanaan dengan awal. Ini adalah karena pengalaman klinis dan bukti penelitian telah menandai bahwa gangguan makan ini umumnya berawal dengan perilaku mirip diet yang normal (Jacobi et al, 2004), wanita muda yang berdiet merupakan kelompok penting dengan risiko yang tinggi, walaupun hanya minoritas yang berkembang menjadi gangguan makan (Patton et al, 1999). Suatu penelitian menjumpai faktor risiko lain yang juga dikatakan terlibat adalah wanita, ras yang kebanyakannya dari kelompok Hispanik, keinginan untuk
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan tubuh yang kurus dan tekanan sosial serta pengaruh psikologis umum yang berlaku pada waktu yang sama. Selain itu, perubahan perilaku akibat peristiwa hidup yang negatif pada seseorang merupakan faktor risiko independen karena tidak berkaitan langsung dengan variabel lain seperti jenis kelamin, ras dan sebagainya (Taylor et al, 2002). Pada suatu penelitian lain yang dijalankan, wanita Australia dan wanita Hong Kong mempunyai sikap yang sama terhadap pola makan, tetapi berbeda dalam persepsi bayangan tubuh dan peneliti beranggapan bahwa persepsi tubuh bukanlah faktor yang kuat bagi wanita Hong Kong. Hal ini konsisten dengan referensi DSM-IV di mana gangguan bayangan tubuh pada pasien gangguan makan non-barat adalah tidak jelas. Hal ini menyatakan bahwa ketidakhadiran faktor ini pada individual non-barat tidak menyingkirkan bahwa terdapatnya gangguan makan sekiranya gejala lain ada (Lake et al, 2000). Faktor risiko lain yang terkait dengan gangguan makan adalah ejekan yang berhubungan dengan berat badan yang sangat lazim di kalangan anak remaja. Remaja yang kelebihan berat badan melaporkan derajat frekuensi ejekan yang lebih tinggi berbanding kawan sebaya dengan berat badan sedang (NeumarkSztainer et al, 2002). Sembilan belas persen remaja perempuan dengan berat badan sedang dan 13% remaja lelaki dengan berat badan yang sedang dilaporkan telah diejek mengenai berat badan mereka sekurang-kurangnya beberapa kali dalam masa setahun, manakala >45% daripada remaja perempuan dan lelaki dengan kelebihan berat badan melaporkan frekuensi ejekan mengenai berat badan mereka. Permasalahannya yang muncul sekarang adalah akibat kemungkinan besar penganiayaan yang berhubungan dengan berat badan ini dapat mempengaruhi perilaku remaja terhadap berat badan. Penyakit gangguan makan adalah lebih umum mengenai kelompok usia remaja. Dari Sistem Pengawasan Risiko Perilaku Remaja 2003, suatu penelitian tingkat nasional telah dijalankan yang menyertakan 15240 orang pelajar dari kelas 9 hingga kelas 12, yang menjumpai hampir 60% pelajar perempuan dan 29% pelajar lelaki sedang berusaha untuk menurunkan berat badan (Grunbaum et al, 2004). Lebih dari 13% pelajar dilaporkan berpuasa
Universitas Sumatera Utara
dalam masa 24 jam atau lebih dalam beberapa bulan untuk mengurangi berat badan, dan >11% perempuan dan 7% lelaki dilaporkan mengambil pil diet, bubuk, atau cairan dalam beberapa bulan (Grunbaum et al, 2004). Delapan persen perempuan dan hampir 4% lelaki dilaporkan memuntahkan atau mengambil obat pencuci perut (laxative) dalam beberapa bulan untuk menurunkan berat badan (Grunbaum et al, 2004). Penelitian prospektif telah meneliti efek ejekan pada perkembangan penyakit gangguan makan yaitu menunjukkan hasil yang bercampur. Wetheim, Koerner, dan Paxton menunjukkan bahwa ejekan dapat memprediksi peningkatan pada perilaku bulimia di kalangan remaja perempuan. Gardner et al pula meninjau anak-anak yang berumur 6 – 14 tahun selama 3 tahun, dan melihat bahwa ejekan dapat memprediksi gangguan makan skor di kalangan lelaki bukan perempuan. Dua hasil penelitian prospektif lainnya menjumpai ejekan yang berhubungan dengan berat badan tidak berkait langsung dengan perilaku purging yang berlaku maupun perilaku membatasi atau bulimia di kalangan remaja perempuan, setelah perubahan pada faktor lain yang dianggap relevan.
2.8.
Eating Attitudes Test (EAT) EAT adalah suatu tes standard, laporan ukur sendiri untuk gejala dan
menyangkut sifat yang berkaitan dengan gangguan makan. Ujian ini diperbuat untuk menghemat kedua-dua administrasi dan masa scoring. EAT telah digunakan sebagai ujian penyaringan dan instrumen dalam menemukan kasus pada populasi yang non-klinis. Analisis faktor pada 40 soal yang asli oleh Garner dan Garfinkel pada tahun 1979 telah menghasilkan 26 soal ukuran yang disingkatkan, EAT-26 (Garner, Olmsted, Bohr, dan Garfinkel, 1982). Total skor pada EAT-26 ini adalah jumlah semua skor bagi individu yang melakukan ujian. EAT tidak memberi diagnosis spesifik bagi suatu gangguan makan tetapi penelitian telah menunjukkan bahwa EAT dapat menemukan kasus atau sebagai instrumen penyaringan untuk mengenal mereka yang berisiko tinggi untuk terjadinya suatu gangguan makan yang serius. Tiada instrumen penyaringan lain, termasuk EAT yang telah ditetapkan sebagai sangat efektif dan satu-satunya cara
Universitas Sumatera Utara
untuk mengidentifikasi gangguan makan. Hal ini disebabkan oleh prevalensi gangguan makan yang relatif rendah pada sebagian besar populasi yang menjadi kepentingan. Sehingga bahkan dengan uji yang sangat valid, hal ini masih lagi sukar untuk dicapai dengan efisiensi yang tinggi untuk menemukan gangguan makan yang mempunyai prevalensi antara 2 – 4% dalam populasi remaja atau wanita muda. Kejadian gangguan makan yang relatif rendah telah menyebabkan rekomendasi untuk membatasi pemutaran (screening) hanya pada kelompok “berisiko tinggi” dan terdapat “dua tahapan” metode yang dapat digunakan yaitu dengan menggunakan kuesioner penyaringan yang diadministrasi kepada sampel atau keseluruhan populasi dan hanya dengan skor tinggi yang diwawancara (Garner, 1999) Proses penelitian dua tahapan ini telah dijelaskan oleh King (1991) di lingkungan praktek umum yang meneliti laki-laki dan wanita yang berumur dari 16 sehingga 35 tahun yang diminta untuk melengkapi EAT-26 di beberapa ruang menunggu di beberapa praktek umum. Sebanyak 748 orang yang dihubungi, 96% melengkapi EAT-26. Dari 76 skor tertinggi, 7 tidak ingin diwawancara dan yang selebihnya, dijumpai 7 kasus bulimia nervosa (6 perempuan dan 1 laki-laki). King, (1991) menjumpai hanya segelintir yang mendapat skor pada atau di bawah batas EAT-26 mempunyai gangguan makan atau keprihatinan terhadap makan yang serius ketika wawancara (sebagian negatif palsu). Bagi yang skornya melebihi batas pada EAT, sepertiga mempunyai keprihatinan terhadap makan atau berat badan yang signifikan secara klinis. Pada tindak lanjut dari peraih skor tinggi 12-18 bulan kemudian, 20% dari mereka yang awalnya memiliki “sebagian” sindrom sekarang memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan makan. Selain itu, lebih dari 30% yang awalnya “pengamal diet normal” menjadi “pengamal diet yang obsesif” (King, 1991)
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1.
Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah mengenai hasil penapisan gejala gangguan makan menggunakan EAT-26 pada mahasiswi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU). Mahasiswi FK USU
Skor EAT-26
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
3.2.
Definisi Operasional Mahasiswi FK USU adalah pelajar yang terdaftar di Fakultas Kedokteran
di Universitas Sumatera Utara yang terdiri daripada angkatan ’07, ’08, dan ’09. Cara Ukur
: Data sekunder dari FK USU
Skala Pengukuran
: Ordinal
EAT-26 adalah metode yang digunakan untuk menilai kecenderungan gejala gangguan makan pada populasi terjangkau. Cara Ukur
: Metode angket
Alat Ukur
: Penggunaan kuesioner dengan pertanyaan yang diajukan adalah
sebanyak
26
soalan
beradsarkan
standard
kuesioner EAT-26 dengan 5 pilihan jawaban dan 5 soalan tambahan dengan 5 pilihan jawaban. Hasil Ukur
: Skor bagi EAT-26 adalah seperti berikut: Bagi kesemua soal kecuali soal 25, setiap respon akan mendapat nilai: Selalu
:3
Biasanya
:2
Sering
:1
Universitas Sumatera Utara
Kadang-kadang
:0
Jarang
:0
Tidak pernah
:0
Bagi soal 25, setiap respon akan mendapat nilai: Selalu
:0
Biasanya
:0
Sering
:0
Kadang-kadang
:1
Jarang
:2
Tidak pernah
:3
*Sekiranya skor melebihi 20, responden mempunyai gejala yang terkait dengan gangguan makan. *Sekiranya menjawab ya pada mana-mana 5 soalan tambahan di bawah EAT-26, juga dikatakan mempunyai gejala gangguan makan.
Skala Pengukuran
: Nominal
Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah hasil perhitungan:
Cara Ukur
: Wawancara
Alat Ukur
: Menggunakan timbangan bagi mengukur berat dan ukuran meter bagi mengukur tinggi.
Hasil Ukur
Skala Pengukuran
: Bagi IMT dalam kg/m2. Severely underweight
: <16,5
Underweight
: 16,5 – 18,4
Normal
: 18,5 – 23,0
Obese
: >23,0
: Ordinal
Universitas Sumatera Utara
3.3.
Hipotesis Berdasarkan penelitian ini, terdapat dua hipotesis yang terlibat yaitu: 1. Ada hubungan antara umur dan skor EAT-26. 2. Ada hubungan antara indeks massa tubuh dan skor EAT-26.
Universitas Sumatera Utara