MAKALAH BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT
Oleh : Dr. Linerin 20160309007
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRASI RUMAH SAKIT UNIVERSITAS ESA UNGGUL 2017
DAFTAR ISI
BAB I I.1. I.2. I.3. BAB II II.1. II.2. II.3. II.4. II.5.
PENDAHULUAN ……………………………………………………… Latar Belakang ………………………………………………………….. Rumusan Masalah ………………………………………………………. Tujuan …………………………………………………………………… TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… Definisi Keselamatan Pasien ……………………………………………. Sasaran Keselamatan Pasien ……………………………………………. Macam Kejadian Keselamatan Pasien ………………………………….. Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit ……………………. Budaya Keselamatan Pasien
BAB III
…………………………………………….. MEMBANGUN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH
BAB IV
SAKIT ………………………………………………………………….. KESIMPULAN …………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Hampir setiap tindakan medis menyimpan potensi resiko. Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf rumah sakit yang cukup besar, merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical errors). Menurut Institute of Medicine (1999), medical error didefinisikan sebagai: The failure of a planned action to be completed as intended (i.e., error of execusion) or the use of a wrong plan to achieve an aim (i.e., error of planning). Artinya kesalahan medis didefinisikan sebagai : suatu Kegagalan tindakan medis yang telah direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti yang diharapkan (yaitu., kesalahan tindakan) atau perencanaan yang salah untuk mencapai suatu tujuan (yaitu., kesalahan perencanaan). Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis ini akan mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien, bisa berupa Near Miss atau Adverse Event (Kejadian Tidak Diharapkan/KTD). Kesalahan tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnostik seperti kesalahan atau keterlambatan diagnosa, tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai, menggunakan cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai atau tidak bertindak atas hasil pemeriksaan atau observasi; tahap pengobatan seperti kesalahan pada prosedur pengobatan, pelaksanaan terapi, metode penggunaan obat, dan keterlambatan merespon hasil pemeriksaan asuhan yang tidak layak; tahap preventive seperti tidak memberikan terapi provilaktik serta monitor dan follow up yang tidak adekuat; atau pada hal teknis yang lain seperti kegagalan berkomunikasi, kegagalan alat atau system yang lain. Dalam kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan kesehatan mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumnya adalah adverse event yang ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian besar yang lain cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau justru luput dari perhatian kita semua. Pada November 1999, the American Hospital Asosiation (AHA) Board of Trustees mengidentifikasikan bahwa keselamatan dan keamanan pasien (patient safety) merupakan sebuah prioritas strategik. Mereka juga menetapkan capaian-capaian peningkatan yang terukur
untuk medication safety sebagai target utamanya. Tahun 2000, Institute of Medicine, Amerika Serikat dalam “TO ERR IS HUMAN, Building a Safer Health System” melaporkan bahwa dalam pelayanan pasien rawat inap di rumah sakit ada sekitar 3-16% Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/Adverse Event). Menindaklanjuti penemuan ini, tahun 2004, WHO mencanangkan World Alliance for Patient Safety, program bersama dengan berbagai negara untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit. Di Indonesia, telah dikeluarkan pula Kepmenkes Nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang tujuan utamanya adalah untuk tercapainya pelayanan medis prima di rumah sakit yang jauh dari medical error dan memberikan keselamatan bagi pasien. Perkembangan ini diikuti oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia(PERSI) yang berinisiatif melakukan pertemuan dan mengajak semua stakeholder rumah sakit untuk lebih memperhatikan keselamatan pasien di rumah sakit. Mempertimbangkan betapa pentingnya misi rumah sakit untuk mampu memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik terhadap pasien mengharuskan rumah sakit untuk berusaha mengurangi medical error sebagai bagian dari penghargaannya terhadap kemanusiaan, maka dikembangkan system Patient Safety yang dirancang mampu menjawab permasalahan yang ada. I.2. Rumusan Masalah a. Bagaimana cara membangun budaya keselamatan pasien di rumah sakit? b. Bagaimana penerapan budaya keselamatan pasien di rumah sakit masing-masing? I.3. Tujuan I.3.1. Tujuan Umum : meningkatkan budaya keselamatan pasien di rumah sakit I.3.2. Tujuan Khusus : mengetahui cara membangun budaya keselamatan pasien di rumah sakit.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi Keselamatan Pasien Keselamatan pasien didefinisikan sebagai layanan yang tidak mencederai dan merugikan pasien ataupun sebagai suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan keselamatan pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (IOM dalam Cahyono, 2008; Depkes RI, 2006). Jadi dapat disimpulkan bahwa keselamatan pasien adalah bentuk layanan yang diberikan oleh suatu rumah sakit yang mengacu pada pencegahan insiden dan keamanan tindakan, guna meningkatkan mutu pelayanan. II.2. Sasaran Keselamatan Pasien Sasaran keselamatan pasien menurut WHO (Permenkes RI, 2011) ada enam yang meliputi: (1) melakukan identifikasi pasien secara tepat, (2) meningkatkan komunikasi yang efektif, (3) meningkatkan keamanan penggunaan obat yang membutuhkan perhatian atau yang perlu diwaspadai, (4) mengurangi risiko salah lokasi, salah pasien, dan prosedur tindakan operasi, (5) mengurangi risiko infeksi nosokomial, (6) mengurangi risiko pasien cedera karena jatuh. II.3. Macam Kejadian Keselamatan Pasien Macam kejadian yang terkait dalam keselamatan pasien meliputi beberapa istilah menurut Cahyono (2008) dan Permenkes RI (2011) yaitu: a. Kejadian potensial cedera (KPC) KPC atau reportable circumstances adalah suatu kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, akan tetapi belum terjadi insiden. b. Kejadian nyaris cidera (KNC) KNC atau near miss didefinisikan sebagai kesalahan yang mungkin terjadi namun tidak sampai mencederai pasien. c. Kejadian tidak cedera (KTC) KTC atau no harm incident adalah suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien
akan tetapi tidak timbul cedera. d. Kejadian tidak diharapkan (KTD) Kejadian tidak diharapkan atau adverse event dapat diartikan sebagai cedera atau komplikasi yang tidak diinginkan, yang dapat mengakibatkan timbulnya kecacatan, kematian, atau perawatan yang lebih lama yang disebabkan oleh manajemen medis dan bukan karena penyakit yang diderita. e. Kejadian sentinel Kejadian sentinel didefinisikan sebagai suatu KTD yang mengakibatkan cedera serius bahkan kematian terhadap pasien. II.4. Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit Mengacu pada sasaran keselamatan pasien, maka rumah sakit harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Adapun tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit antara lain; (1) membangun budaya keselamatan pasien, (2) pimpinan dan dukungan terhadap staf, (3) integrasi aktivitas manajemen risiko. (4) membangun sistem pelaporan, (5) melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien dan publik, (6) belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien, dan (7) implementasi solusi untuk mencegah kerugian (Cahyono, 2008). II.5. Budaya Keselamatan Pasien II.5.1. Definisi Budaya Keselamatan Pasien Budaya keselamatan pasien merupakan kesadaran konstan dan potensi aktif oleh staf sebuah organisasi dalam mengenali sesuatu yang tampak tidak beres. Staf dan organisasi yang mampu mengakui kesalahan, belajar dari kesalahan, dan mau mengambil tindakan untuk mengadakan perbaikan dikatakan sudah melaksanakan budaya keselamatan (NHS, 2013). Budaya keselamatan pasien didefinisikan sebagai pola terpadu perilaku individu dan organisasi berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai bersama yang terus berusaha untuk meminimalkan
tindakan yang dapat membahayakan pasien yang mungkin timbul dari proses perawatan (Kizer, 1999 dalam Fleming, 2012). Organisasi dengan budaya keselamatan positif memiliki arakteristik bahwa ada komunikasi yang dibentuk dengan rasa saling percaya tentang pentingnya eselamatan, dan dengan keyakinan dalam tindakan pencegahan yang efektif, serta membangun organisasi yang terbuka (open), adil (just), informatif dalam melaporkan kejadian keselamatan pasien yang terjadi (reporting), dan belajar dari kejadian tersebut (learning) (Madden, 2008; NSPA, 2004). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa budaya keselamatan pasien merupakan produk dari nilai-nilai, sikap, kompetensi individu dan kelompok yang terbuka, adil, informatif dalam pelaporan insiden keselamatan pasien, serta belajar dari kejadian. Budaya keselamatan pasien menentukan komitmen dan gaya dari suatu organisasi serta dapat diukur dengan kuesioner. II.5.2 Dimensi Budaya Keselamatan Pasien James Reason dalam Reiling (2006) dan NPSA (2004) menyebutkan bahwa budaya keselamatan pasien dapat dibagi menjadi beberapa dimensi seperti: a. Budaya keterbukaan (open culture) Budaya keterbukaan dalam suatu organisasi merupakan proses pertukaran informasi antar perawat dan staf. Dimensi ini memiliki karakteristik bahwa perawat akan merasa nyaman membahas insiden yang terkait dengan keselamatan pasien serta mengangkat isu-isu terkait keselamatan pasien bersama dengan rekan kerjanya, juga supervisor atau pimpinan. Komunikasi terbuka dapat diwujudkan dalam kegiatan supervisi dan dalam kegiatan tersebut perawat melakukan komunikasi terbuka tentang risiko terjadinya insiden dalam konteks keselamatan pasien, membagi dan bertanya informasi seputar isu-isu keselamatan pasien yang potensial terjadi dalam setiap kegiatan keperawatan. Keterbukaan juga ditujukan kepada pasien. Pasien diberikan penjelasan akan tindakan dan juga kejadian yang telah terjadi. Pasien diberikan informasi tentang kondisi yang akan menyebabkan resiko terjadinya kesalahan. Perawat memiliki motivasi untuk memberikan setiap informasi yang berhubungan dengan keselamatan pasien. b. Budaya pelaporan (reporting culture) Budaya pelaporan merupakan bagian penting dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien. Perawat akan membuat pelaporan jika merasa aman. Aman yang dimaksud apabila membuat
laporan maka tidak akan mendapatkan hukuman. Perawat yang terlibat merasa bebas untuk menceritakan atau terbuka terhadap kejadian yang terjadi. Perlakuan yang adil terhadap perawat, tidak menyalahkan secara individu tetapi organisasi lebih fokus terhadap sistem yang berjalan akan meningkatkan budaya pelaporan. Menciptakan program evaluasi atau sistem pelaporan, adanya upaya dalam peningkatan laporan, serta adanya mekanisme reward yang jelas terhadap pelaporan merupakan langkah nyata dalam membangun dimensi budaya ini. c. Budaya keadilan (just culture) Perawat saling memperlakukan secara adil antarperawat ketika terjadi insiden, tidak berfokus untuk mencari kesalahan individu (blaming), tetapi lebih mempelajari secara sistem yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Aspek dalam budaya keadilan yang perlu mendapat perhatian adalah keseimbangan antara kondisi laten yang mempengaruhi dan dampak hukuman yang akan diberikan kepada individu yang berbuat kesalahan. Perawat dan organisasi bertanggung jawab terhadap tindakan yang diambil. Perawat akan membuat laporan kejadian jika yakin bahwa laporan tersebut tidak akan mendapatkan hukuman atas kesalahan yang terjadi. Lingkungan terbuka dan adil akan membantu untuk membuat pelaporan yang dapat menjadi pelajaran dalam keselamatan pasien. Budaya tidak menyalahkan perlu dikembangakan dalam menumbuhkan budaya keselamatan pasien. Cara organisasi membangun budaya keadilan dengan memberikan motivasi dan keterbukaannya terhadap perawat untuk memberikan informasi kejadian yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Hal ini juga termasuk kerjasama antar perawat sehingga mengurangi rasa takut untuk melaporkan kejadian berkaitan dengan keselamatan pasien. d. Budaya pembelajaran (learning culture) Budaya pembelajaran memiliki pengertian bahwa sebuah organisasi memiliki sistem umpan balik terhadap kejadian kesalahan atau insiden dan pelaporannya, serta pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Setiap lini di dalam organisasi, baik perawat maupun manajemen menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses belajar. Perawat dan manajemen berkomitmen untuk mempelajari insiden yang terjadi, mengambil tindakan atas insiden untuk diterapkan guna mencegah terulangnya kesalahan. II.5.3 Penerapan Budaya Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana
Penerapan budaya keselamatan bermanifestasi sebagai iklim keselamatan dan merupakan sebuah potret dari budaya keselamatan yang berlaku dalam individu dan kelompok, serta dapat diukur dengan kuesioner (Agnew et al, 2013). Organisasi yang menerapkan budaya keselamatan pasien berarti anggota dalam organisasi tersebut harus membangun organisasi yang terbuka (open), adil (just), informatif dalam melaporkan kejadian yang terjadi (reporting), dan belajar dari kejadian tersebut (learning). Penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana adalah tindakan yang dilakukan oleh perawat pelaksana yang mencerminkan dimensi budaya keselamatan pasien yaitu keterbukaan dan melaporkan ketika terjadi insiden keselamatan pasien, keadilan antar perawat ketika terjadi insiden keselamatan pasien, serta pembelajaran terhadap suatu kesalahan atau insiden keselamatan pasien (KBBI, 2013; NPSA, 2004; Reiling, 2006). Menerapkan budaya keselamatan pasien yang baik adalah ketika perawat secara aktif dan konstan menyadari potensial terjadinya kesalahan dan dapat mengidentifikasi serta mengenali kejadian yang telah terjadi, belajar dari kesalahan dan mengambil tindakan untuk memperbaiki kesalahan tersebut (NPSA, 2004). Penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana disimpulkan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh perawat pelaksana yang mencerminkan keterbukaan, pelaporan, keadilan, dan pembelajaran terhadap insiden keselamatan pasien yang dapat diukur dengan kuesioner.
II.5.4 Manfaat Penerapan Budaya Keselamatan Pasien Manfaat utama dalam penerapan budaya keselamatan pasien adalah organisasi menyadari apa yang salah dan pembelajaran terhadap kesalahan tersebut (Reason, 2000 dalam Cahyono, 2008). Fleming (2006) juga mengatakan bahwa fokus keseluruhan terhadap penerapan budaya keselamatan pasien dengan melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam organisasi akan lebih membangun budaya keselamatan pasien dibandingkan apabila hanya fokus terhadap programnya saja. Adapun manfaat dalam penerapan budaya keselamatan pasien secara rinci antara lain (NPSA, 2004): a. Membuat organisasi kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi atau jika kesalahan terjadi.
b. Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan yang terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian yang sama berulang kembali dan keparahan dari insiden keselamatan pasien. c. Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah error dan melaporkan jika ada kesalahan. d. Berkurangnya perawat yang merasa tertekan, bersalah, malu karena kesalahan yang telah diperbuat. e. Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang pernah mengalami insiden, pada umumnya akan mengalami perpanjangan hari perawatan dan pengobatan yang diberikan lebih dari pengobatan yang seharusnya diterima pasien. f. Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan terapi. g. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan pasien. II.5.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Budaya Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana a. Manajemen dan kepemimpinan (leadership) Transformasi atau perubahan penerapan budaya dari budaya yang negatif menuju budaya yang positif
memerlukan
pengkajian
manajemen
dan
pengarahan
kepemimpinan.
Ketika
kepemimpinan dan manajemen berkomitmen untuk budaya keselamatan pasien, seluruh anggota organisasi akan mengikuti dan dengan demikian dapat menemukan akar penyebab masalah dan menjadikan hal tersebut sebagai suatu proses dalam organisasi (Marquis & Huston 2010). Dalam suatu proses transformasi nilai (proses internalisasi nilai keselamatan pasien menjadi bagian dari budaya organiasai) pemimpin mulai mengajak perawat untuk melihat, percaya, bergerak dan menyelesaikan perubahan sehingga organisasi menemukan nilai-nilai kolektif dan memakai nilai-nilai tersebut sebagai perekat, menjadi tuntunan dalam membentuk kebiasaan dan perilaku setiap individu dan kelompok (Cahyono, 2008). Hal tersebut didikung oleh penelitian yang mengatakan ada hubungan yang positif antara kepemimpinan efektif oleh kepala ruang dengan penerapa budaya keselamatan pasien (Setiowati, 2010). Ada 3 domain perilaku kepemimpinan yang mampu menjadi agen perubahan (change agent) bagi perilaku anggota dalam suatu organisasi yakni pengarahan (direction), pengawasan (supervision), serta koordinasi (coordination) (Gillies, 1994).
1) Pengarahan Pengarahan mengacu pada penugasan, perintah, kebijakan, peraturan, standar, pendapat, saran, dan pertanyaan untuk mengarahkan perilaku bawahan. Kebijakan, prosedur, standar, dan tugas menjadi alat dalam memimpin orang lain untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan. Perintah dalam pengarahan dapat berupa perintah lisan atau tertulis oleh atasan organisasi yang membutuhkan untuk bawahan untuk bertindak atau menahan diri dari bertindak dengan cara tertentu (Gillies, 1994) 2) Supervisi Supervisi pelayanan keperawatan dikatakan sebagai kegiatan dinamis yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan kepuasan antara dua komponen yang terlibat yaitu supervisor atau pimpinan, orang yang disupervisi sebagai mitra kerja dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan keperawatan (Arwani & Supriyatno, 2006). Supervisi merupakan perilaku kepemimpinan yang berfungsi untuk memeriksa pekerjaan, mengevaluasi kinerja, memperbaiki kinerja staf, memberi dukungan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja (Gillies, 1994; Rowe & Haywood, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak dukungan yang diberikan oleh pemimpin atau supervisor untuk keselamatan pasien akan meningkatkan penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat, yakni meningkatkan frekuensi keterbukaan dan pelaporan atas insiden keselamatan pasien. Persepsi yang baik tentang keselamatan pasien juga dikatakan menjadi meningkat dan kemungkinan dapat menyebabkan meningkatnya keterbukaan dan pelaporan insiden keselamatan pasien (Jardali et al, 2011). 3) Koordinasi Koordinasi adalah kegiatan kepemimpinan yang mencakup semua kegiatan yang memungkinkan staf untuk bekerja bersama secara harmonis. Koordinasi penting dilakukan untuk keberhasilan suatu organisasi kesehatan. Umumnya koordinasi kegiatan staf terjadi selama pertemuan kelompok kerja utama karena beberapa anggota mengkhususkan diri dalam tugas terkait, seperti kegiatan menyempurnakan tujuan, identifikasi masalah, dan analisis data. Staf yang lain mengkhususkan diri dalam kegiatan perawatan. Pemecahan masalah dalam kegiatan koordinasi harus cukup panjang untuk memungkinkan diskusi lengkap dari topik masalah, dan dalam kegiatan ini staf yang wajib hadir dibebaskan dari tugas perawatan pasien (Gillies, 1994). b. Faktor kepegawaian (staffing)
Kepegawaian merupakan komponen utama dari faktor yang mengakibatkan perawat mau menerapkan budaya keselamatan pasien. Memiliki tenaga kerja yang kuat, mampu, dan termotivasi adalah salah satu tantangan terbesar dalam rumah sakit. Tenaga medis di rumah sakit sering mengalami stress dan sulit tidur akibat panjangnya jam kerja yang mungkin menyebabkan penyimpangan dalam kinerja sehingga mengarah pada penurunan kualitas dan kinerja perawat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat yang termotivasi akan meningkatkan persepsiperawat mengenai keselamatan pasien dan keamanan bekerja, sehingga akan melaporkan secara terbuka insiden keselamatan pasien yang terjadi (Jardali et al, 2011). c. Lingkungan fisik dan akreditasi rumah sakit Lingkungan fisik rumah sakit yaitu ukuran rumah sakit dan status akreditasi rumah sakit juga merupakan faktor yang mempengaruhi penerapan budaya keselamatan pasien. Rumah sakit kecil mencetak frekuensi pelaporan insiden keselamatan pasien lebih tinggi disbanding RS besar, serta memiliki persepsi yang tinggi mengenai keselamatan pasien. Rumah sakit besar biasanya selalu menerima menghadapi tantangan yang datang terutama untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih berkualitas, akibat birokrasi yang ada. Sebaliknya rumah sakit kecil memiliki budaya yang lebih homogen di mana anggotanya lebih mungkin dan mudah untuk membagi nilai-nilai yang sama terutama mengenai keselamatan pasien. Rumah sakit yang terakreditasi dikatakan memiliki anggota dengan persepsi dan frekuensi pelaporan insiden keselamatan pasien lebih tinggi dibandingkan rumah sakit non-akreditasi (Jardali et al, 2011). d. Karakteristik perawat pelaksana Kinerja atau performance dalam suatu organisasi kesehatan tergantung pada pengetahuan, keterampilan, dan motivasi pekerja kesehatan itu sendiri (Negussie, 2010). Karakteristik perawat merupakan ciri-ciri individu yang melekat pada dirinya yang memengaruhi performance. 1) Usia Kemampuan dan keterampilan seseorang seringkali dihubungkan dengan usia, sehingga semakin lama usia seseorang maka pemahaman terhadap masalah akan lebih dewasa dalam bertindak, dan berpengaruh terhadap produktivitas dalam bekerja (Depkes RI, 2002 dalam Hasmoko, 2008). Penelitan oleh Setiowati (2010) menyatakan usia perawat pelaksana berhubungan positif dengan penerapan budaya keselamatan pasien. Hal tersebut didukung oleh penelitian oleh Nurmalia (2012) yang menyatakan usia dewasa muda dianggap lebih mudah menerima perubahan sehingga mempengaruhi dalam mempersepsikan budaya keselamatan pasien.
2) Tingkat pendidikan perawat Pendidikan merupakan suatu metode pengembangan organisasi dimana staf mendapatkan pengetahuan dan keterampilan untuk tujuan positif dan staf mendapat pengetahuan yang penting untuk penampilan kinerjanya dalam hal kognitif, psikomotor, dan sikap. Pendidikan adalah indikator yang menunjukkan kemampuan individu untuk menyelesaikan pekerjan yang menjadi tanggung jawabnya (Hasibuan, 2008). Latar belakang pendidikan perawat berpengaruh terhadap penerapan keselamatan pasien. Survey berdasarkan evidence based di New Zealand, Amerika Serikat, dan Thailand menyebutkan ada kenaikan insidensi faktor penyebab kematian pasien di RS pada tenaga perawat dengan latar belakang pendidikan campuran dan terdapat penurunan pada ketenagaan yang sudah teregistrasi (Ridley, 2008). 3) Masa kerja Masa kerja adalah jangka waktu yang dibutuhkan seseorang dalam bekerja sejak mulai masuk dalam lapangan pekerjaan, semakin lama seseorang bekerja semakin terampil dan berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaannya (Siagian, 2000 dalam Zakiyah, 2012). Masa kerja akan memberikan pengalaman kerja yang lebih banyak pada seseorang. Pengalaman kerja berhubungan dengan kinerja seseorang. Hasil penelitian oleh Setiowati (2012) menunjukkan ada hubungan positif antara masa kerja dengan penerapan budaya keselamatan pasien. II.5.6 Mengukur Penerapan Budaya Keselamatan Pasien Salah satu alat untuk mengukur penerapan budaya keselamatan pasien adalah dengan instrument kuesioner The Hospital Survey of Patient Safety Culture (HSOPSC) yang dikembangkan oleh Agency for Health Care Research and Quality (AHRQ). Agency for Health Care Research and Quality merupakan suatu komite untuk kualitas kesehatan di Amerika yang memimpin lembaga Federal untuk peneltian tentang kualitas kesehatan, biaya, outcome, dan keselamatan pasien. AHRQ mendanai 100 penelitian untuk mengidentifikasi instrumen yang dijadikan alat untuk menilai budaya keselamatan pasien (Fleming, 2006). Pada dasarnya empat dimensi budaya keselamatan pasien yakni budaya keterbukaan, pelaporan, keadilan, dan budaya pembelajaran digunakan dalam menilai budaya keselamatan pasien dalam suatu organisasi kesehatan. The Hospital Survey of Patient Safety Culture yang dikembangkan oleh AHRQ menggunakan komponen-komponen sebagai indikator masing-masing dimensi
budaya keselamatan pasien. Indikator dimensi budaya keterbukaan antara lain (1) komunikasi terbuka, (2) kerjasama dalam unit, (3) kerjasama antar unit, (4) persepsi keselamatan pasien. Indikator dimensi budaya keadilan adalah (1) umpan balik (feedback) dan komunikasi, (2) staffing, (3) respon tidak menghukum. Indikator dimensi budaya pelaporan mengandung komponen (1) pelaporan kejadian, (2) hand over sedangkan indikator dari dimensi budaya pembelajaran mengandung komponen (1) pembelajaran oleh perawat, (2) ekspektasi manajer, dan (3) dukungan manajemen (Fleming, 2006).
BAB III MEMBANGUN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT
Keselamatan pasien rumah sakit merupakan suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk : asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Membangun budaya keselamatan pasien di RS dilakukan dengan prosedur sebagai berikut : 1. Seluruh personel RS memiliki kesadaran yang konstan dan aktif tentang hal yang potensial menimbulkan kesalahan. 2. Baik staf maupun organisasi RS mampu membicarakan kesalahan, belajar dari kesalahan tersebut dan mengambil tindakan perbaikan. 3. Bersikap terbuka dan adil / jujur dalam membagi informasi secara terbuka dan bebas, dan penanganan adil bagi staf bila insiden terjadi. 4. Pimpinan terkait menerangkan bahwa penyebab insiden keselamatan pasien tidak dapat dihubungkan dengan sederhana ke staf yang terlibat. Semua insiden berkaitan juga dengan sistem tempat orang itu bekerja. 5. Perubahan nilai, keyakinan dan perilaku menuju keselamatan pasien penting bukan hanya bagi staf, melainkan juga semua orang yang bekerja di RS serta pasien dan keluarganya. Tanyakan apa yang bisa mereka bantu untuk meningkatkan keselamatan pasien RS. 6. Penjelasan/pemahaman tentang aktivitas organisasi RS yang bersifat resiko tinggi dan rentan kesalahan. 7. Lingkungan yang bebas menyalahkan, sehingga orang dapat melapor kesalahan tanpa penghukuman. 8. Pimpinan wajib berkomitmen mendukung dan memberikan penghargaan kepada staf yang melaporkan insiden keselamatan pasien, bahkan meskipun kemudian dinyatakan salah. 9. Komunikasi antar staf dan tingkatan harus sering terjadi dan tulus.
10. Terdapat keterbukaan tentang kesalahan dan masalah bila terjadi pelaporan. 11. Pembelajaran organisasi. Tanggapan atas suatu masalah lebih difokuskan untuk meningkatkan kinerja sistem daripada untuk menyalahkan seseorang. 12. Seluruh staf harus tahu apa yang harus dilakukan bila menemui insiden: mencatat, melapor, dianalisis, memperoleh feed back, belajar dan mencegah pengulangan. Kegiatan yang dilakukan di rumah sakit kami dalam membangun budaya keselamatan pasien sebagai berikut : 1. Memberlakukan motto rumah sakit “Mengutamakan mutu dalam pelayanan dan keselamatan pasien”. Dengan motto ini diharapkan para karyawan yang bekerja di rumah sakit mengingatnya dan menerapkan dalam pekerjaan sehari-hari. 2. Melakukan diklat patient safety pada perawat dan karyawan yang baru masuk. Diklat dibawakan oleh Manajer Pelayanan Medis yang sudah mengikuti berbagai seminar atau symposium mengenai patient safety. 3. Melakukan diklat berkelanjutan mengenai patient safety kepada para karyawan lama. 4. Manajemen melakukan ronde keselamatan pasien setiap hari selama 30 menit sampai dengan 1 jam. Ronde ini dilakukan oleh semua manajer yang terlibat, berkeliling ruangan mencari dan melakukan identifikasi resiko. 5. Memberlakukan pemberian penghargaan kepada karyawan yang melaporkan KPC. 6. Melakukan pembahasan insiden keselamatan pasien yang terjadi. Rapat patient safety dilakukan seminggu sekali. Karyawan yang terlibat dalam kasus patient safety wajib datang untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi. No blaming system diterapkan pada rapat ini. 7. Setiap pagi melakukan morning report yang melaporkan juga kasus insiden keselamatan pasien. 8. Mengundang ahli patient safety ke rumah sakit untuk melakukan seminar atau diklat terkait patient safety.
BAB IV KESIMPULAN
Keselamatan pasien sudah diterapkan di hamper seluruh rumah sakit di Indonesia. Rumah sakit yang tidak menerapkan keselamatan pasien dalam pelayanan mereka akan perlahan ditinggalkan oleh pasien. Membangun budaya keselamatan pasien di rumah sakit bukanlah pekerjaan yang sederhana. Sehingga memerlukan waktu dan pekerjaan yang tidak sebentar. Akhirnya target akhir dengan kegiatan PATIENT SAFETY diharapkan terjadi penekanan / penurunan insiden keselamatan pasien sehingga dapat lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit di Indonesia. Program Keselamatan Pasien merupakan never ending proses, karena itu diperlukan budaya termasuk motivasi yang cukup tinggi untuk bersedia melaksanakan program keselamatan pasien secara berkesinambungan dan berkelanjutan.