Indikasi : Penggunaan HES pada resusitasi post trauma dapat menurunkan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga dapat menurunkan resiko kebocoran kapiler. Kontraindikasi : Cardiopulmonary bypass, dapat meningkatkan resiko perdarahan
setelah operasi, hal ini terjadi karena HES berefek antikoagulan pada dosis moderat (>20 ml/kg). Sepsis, karena dapat meningkatkan resiko acute renal failure (ARF). Penggunaan HES pada sepsis masih terdapat perdebatan. Muncul spekulasi tentang penggunaan HES pada kasus sepsis, dimana suatu penelitian menyatakan bahwa HES dapat digunakan pada pasien sepsis karena : ·
Tingkat efikasi koloid lebih tinggi dibandingkan kristaloid, disamping
itu HES tetap bisa digunakan untuk menambah volume plasma meskipun terjadi kenaikan permeabilitas. ·
Pada syok hipovolemia diperoleh innvestigasi bahwa HES dan albumin
menunjukkan manifestasi edema paru yang lebih kecil dibandingkan kristaloid. ·
Dengan menjaga COP, dapat mencegah komplikasi lebih lanjut seperti
asidosis refraktori. ·
HES
menguntungkan
juga
pada
mempunyai
kondisi
sepsis
kemampuan yaitu
farmakologi
menekan
laju
yang
sirkulasi
sangat dengan
menghambat adesi molekuler. Sementara itu pada penelitian yang lain, disimpulkan HES tidak boleh digunakan pada sepsis karena : ·
Edema paru tetap terjadi baik setelah penggunaan kristaloid maupun
koloid (HES), yang manifestasinya menyebabkan kerusakan alveoli. ·
HES tidak dapat meningkatkan sirkulasi splanchnic dibandingkan
dengan gelatin pada pasien sepsis dengan hipovolemia. ·
HES mempunyai resiko lebih tinggi menimbulkan gangguan koagulasi,
ARF, pruritus, dan liver failure. Hal ini terutama terjadi pada pasien dengan kondisi iskemik reperfusi (contoh: transplantasi ginjal). ·
Resiko nefrotoksik pada HES dua kali lebih tinggi dibandingkan
dengan gelatin pada pasien dengan sepsis.
Adverse reaction : HES dapat terakumulasi pada jaringan retikulo endotelial jika
digunakan dalam jangka waktu yang lama, sehingga dapat menimbulkan pruritus. Contoh : HAES steril, Expafusin.
3. Dextran Komposisi : dextran tersusun dari polimer glukosa hasil sintesis dari bakteri
Leuconostoc mesenteroides, yang ditumbuhkan pada media sukrosa. Indikasi :
·
Penambah volume plasma pada kondisi trauma, syok sepsis, iskemia
miokard, iskemia cerebral, dan penyakit vaskuler perifer. ·
Mempunyai efek anti trombus, mekanismenya adalah dengan
menurunkan viskositas darah, dan menghambat agregasi platelet. Pada suatu penelitian dikemukakan bahwa dextran-40 mempunyai efek anti trombus paling poten jika dibandingkan dengan gelatin dan HES. Kontraidikasi : pasien dengan tanda-tanda kerusakan hemostatik (trombositopenia,
hipofibrinogenemia), tanda-tanda gagal jantung, gangguan ginjal dengan oliguria atau anuria yang parah. Adverse Reaction : Dextran dapat menyebabkan syok anafilaksis, dextran juga sering
dilaporkan dapat menyebabkan gagal ginjal akibat akumulasi molekul-molekul
dextran pada tubulus renal. Pada dosis tinggi, dextran menimbulkan efek pendarahan yang signifikan. Contoh : hibiron, isotic tearin, tears naturale II, plasmafusin.
4. Gelatin Komposisi : Gelatin diambil dari hidrolisis kolagen bovine. Indikasi : Penambah volume plasma dan mempunyai efek antikoagulan,
Pada sebuah penelitian invitro dengan tromboelastropgraphy diketahui bahwa gelatin memiliki efek antikoagulan, namun lebih kecil dibandingkan HES. Kontraindikasi : haemacel tersusun atas sejumlah besar kalsium, sehingga harus
dihindari pada keadaan hiperkalsemia. Adverse reaction : dapat menyebabkan reaksi anafilaksis. Pada penelitian dengan
20.000 pasien, dilaporkan bahwa gelatin mempunyai resiko anafilaksis yang tinggi bila dibandingkan dengan starches. Contoh : haemacel, gelofusine.
Reaksi Transfusi
A. Komplikasi imun
Komplikasi
imun setelah transfusi darah terutama berkaitan dengan
sensitisasi donor ke sel darah merah, lekosit, trombosit atau protein plasma. 1.
Reaksi Hemolytic
Reaksi Hemolytic pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah merah yang ditransfusikan oleh antibody resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolysis sel darah merah resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibody sel darah merah.Trombosit
konsentrat
yang
inkompatible,
FFP,
clotting
faktor,
atau
cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan anti-A atau anti-B ( atau keduaduanya) alloantibodies. Transfusi dalam jumlah besar dapat menyebabkan hemolisis intravascular. Reaksi Hemolytic biasanya digolongkan akut ( intravascular) atau delayed ( extravascular). Reaksi Hemolytic Akut
Hemolisis
Intravascular
akut
pada
umumnya
berhubungan
dengan
Inkompatibilitas ABO dan frekwensi yang dilaporkan kira-kira 1:38,000 transfusi. Penyebab yang paling umum adalah misidentifikasi suatu pasien, spesimen darah, atau unit transfusi. Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi hemolytic
fatal terjadi 1 dalam 100,000 transfusi. Pada pasien yang sadar, gejala meliputi rasa dingin, demam, nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang dianestesi, manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut adalah suhu meningkat, tachycardia tak dapat dijelaskan, hipotensi,
hemoglobinuria,
dan
oozing
yang
difus
dari
lapangan
operasi.
Disseminated Intravascular Coagulation, shock, dan penurunan fungsi ginjal dapat berkembang dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung pada berapa banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan. Gejala yang berat dapat terjadi setelah infuse 10 – 15 ml darah yang ABO inkompatibel. Manajemen reaksi hemoiytic dapat simpulkan sebagai berikut:
Jika dicurigai suatu reaksi hemolytic, transfusi harus dihentikan dengan segera.
Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.
Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.
Osmotic diuresis harus diaktipkan dengan mannitol dan cairan kedalam pembuluh darah.
Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP Reaksi hemolytic lambat
Suatu reaksi hemolytic lambat biasanya disebut hemolysis extravascular biasanya ringan dan disebabkan oleh antibody non D antigen Sistem Rh atau ke asing alleles di system lain seperti Kell, Duffy, atau Kidd antigens. Berikut suatu transfusi ABO dan Rh D-compatible,pasien mempunyai 1-1.6% kesempatan membentuk antibody untuk melawan antigen asing. Pada saat itu Sejumlah antibody ini sudah terbentuk ( beberapa minggu sampai beberapa bulan), tranfusi sel darah telah dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari itu, titer antibody menurun dan mungkin tidak terdeteksi. Terpapar kembali dengan antigen asing yang sama selama transfuse sel darah, dapat mencetuskan respon antibody melawan antigen asing. Peristiwa ini dilihat jelas dengan Sistem Kidd antigen. Reaksi hemolytic pada tipe lambat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan, terdiri dari malaise, jaundice, dan demam. Hematocrit pasien tidak meningkat
setelah transfusi dan tidak adanya perdarahan. Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil pemecahan hemoglobin. Diagnosa antibody - reaksi hemolytic lambat mungkin difasilitasi oleh antiglobulin (Coombs) Test. Coombs test mendeteksi adanya antibody di membrane sel darah. Test ini tidak bisa membedakan antara membrane antibody resipien pada sel darah merah dengan membrane antibody donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang lebih terperinci pretransfusi pada kedua spesimen : pasien dan donor. Penanganan reaksi hemolytic lambat adalah suportif. Frekwensi reaksi transfusi hemolytic lambat diperkirakan kira-kira 1:12,000 transfusi. Kehamilan ( terpapar sel darah merah janin) dapat juga menyebabkan pembentukan alloan-tibodies pada seldarah merah. 2. Reaksi Imun Nonhemolitik
Reaksi imun Nonhemolytic adalah dalam kaitan dengan sensitisasi dari resipien ke donor lekosit, platelets, atau protein plasma. Febrile Reaksi
Sensitisasi lekosit atau Platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi febrile. Reaksi ini umumnya ( 1-3% tentang episode transfusi) dan ditandai oleh suatu peningkatan temperatur tanpa adanya hemolysis. Pasien dengan suatu riwayat febrile berulang harus menerima tranfusi lekosit saja. Transfusi sarah merahh dapat dibuat leukositnya kurang dengan sentrifuge, filtration, atau teknik freeze-thaw. Reaksi Urtikaria
Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh erythema, penyakit gatal bintik merah dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada umumnya ( 1% tentang transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi pasien ke transfusi protein plasma. Reaksi Urticaria dapat diatasi dengan obat antihistamine ( H, dan mungkin H2 blockers) dan steroids. Reaksi Anafilaksis
Reaksi anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 150,000 transfusi). Reaksi ini berat dan terjadi setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi, secara khas pada IgA- Pasien dengan Deficiensi anti-IgA yang menerima tranfusi darah yang berisi IgA. Prevalensi defisiensi IgA diperkirakan 1:600-800 pada populasi yang umum. Reaksi ini diatasi dengan pemberian epinephrine, cairan, corticosteroids, dan H1, dan H2 blockers. Pasien dengan defisiensi IgAperlu menerima Washed Packed Red Cells, deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free blood Unit . Edema Pulmonary Noncardiogenic
Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury [TRALI]) merupakan komplikasi yang jarang terjadi(< 1:10,000). Ini berkaitan dengan transfusi antileukocytic atau anti-HLA antibodi yang saling berhubungan dan menyebabkan sel darah putih pasien teragregasi di sirkulasi pulmoner.Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan leukoaglutinin. Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan Acute Respiratory distress syndrome ( ARDS), tetapi dapat sembuh dalam 12-48 jam dengan therapy suportif. Graft versus Host Disease
Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk sel darah berisi lymfosit mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter leukosit khusus sendiri tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-versus-host; iradiasi (1500-3000 cGy) sel darah merah, granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif menginaktifasi lymfosit tanpa mengubahefikasi dari transfusi. Purpura Posttransfusi
Thrombocytopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini berkaitan dengan berkembangnya alloantibody trombosit. Karena alasan yang tidak jelas, antibodi menghancurkan trombosit. Hitung trombosit secara jelas menurun 1 minggu setelah tranfusi. Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan. Imun Supresi
Transfusi leukosit-merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi. Ini adalah terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah
preoperatif nampak untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhan malignan mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima transfusi darah selamapembedahan. Dari kejadian yang ada juga menyatakan bahwa tranfusi leukocyte allogenic dapat mengaktifkan virus laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat meningkatkan timbulnya infeksi yang serius setelah pembedahan atau trauma. B. Komplikasi Infeksi 1. Infeksi virus Hepatitis
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi timbulnya hepatitis setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah dalam kaitan dengan hepatitis C virus. Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab 1:63,000 dan 1:1,600,000; 75% tentang kasus ini adalah anicteric, dan sedikitnya 50% berkembang;menjadi penyakit hati kronis. Lebih dari itu, tentang kelompok yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang menjadi cirrhosis. Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS )
Virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui transfusi darah. Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1 dan - 2 antibodi . Dengan adanya FDA yang menguji asam nukleat memperkecil waktu kurang dari satu minggu dan menurunkan resiko dari penularan HIV melalui tranfusi 1:1.900.000 tranfusi. Infeksi Virus Lain
Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus umumnya menyebabkan penyakit sistemik ringan atau asimptomatik.Yang kurang menguntungkan, pada beberapa individu menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah dari donor dapat menularkan virus. Pasien immunosupresi dan Immunocompromise (misalnya, bayi prematur dan penerima transplantasi organ ) peka terhadap infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya, . pasien- pasien menerima hanya CMV negative. Bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV
dari transfusi dari darah yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah yang CMV negative. Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang dikurangi secara klinis cocok diberikan pada pasien seperti itu. Human T sel virus lymphotropic I dan II ( HTLV-1 dan HTLV-2) adalah leukemia dan lymphoma virus, kedua-duanya telah dilaporkan ditularkan melalui transfusi darah; leukemia dihubungkan dengan myelopathy. Penularan Parvovirus telah dilaporkan setelah transfusi faktor pembekuan. dan dapat mengakibatkan krisis transient aplastic pada pasient immunocompromised. Penggunaan filter leukosit khusus nampaknya mengurangi tetapi tidak mengeliminasi timbulnya komplikasi di atas. 2. Infeksi parasit
Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti malaria, toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun kasu s-kasus tersebut jarang terjadi. 3. Infeksi Bakteri
Kontaminasi bakteri dalam adalah penyebab kedua kematian melalui transfusi. Prevalensi kultur positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit sampai 1/7000 untuk pRBC. Prevalensi sepsis oleh karena transfusi darah berkisar dari 1/25,000 tromobosit sampai 1/250,000 untuk pRBC. Angka-angka ini secara relatif besar dibandingkan ke resiko HIV atau hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-2 juta. Baik bakteri gram-positive ( Staphylococus) dan bakteri gram-negative ( Yersinia dan Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah dan menularkan penyakit. Untuk mencegah kemungkinan kontaminasi dari bakteri, darah harus berikan dalam waktu kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi darah dari donor meliputi sifilis, brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam rickettsia. C. Transfusi Darah Masif
Transfusi darah masif umumnya didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi satu sampai dua kali volume darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent dengan 10-20 unit. Koagulopati
Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari factor koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien normal. Studi Koagulasi dan hitung trombosit, jika tersedia, idealnya menjadi acuan transfusi trombosit dan FFP. Analisa Viscoelastic dari pembekuan darah (thromboelastography dan Sonoclot Analisa) juga bermanfaat. Keracunan Sitrat
Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi penting setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hypocalcemia penting, karena menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien dengan penyakit atau disfungsi hepar ( dan kemungkinan pada pasien hipothermi) memerlukan infuse calcium selama transfusi massif ). Hypothermia
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua produk darah cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Arhitmia Ventricular dapat menjadi fibrilasi ,sering terjadi pada temperatur sekitar 30°C. Hypothermia dapat menghambat resusitasi jantung. Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan panas yang efisien sangat efisien telah sungguh mengurangi timbulnya insiden hypothermia yang terkait dengan transfusi. Keseimbangan asam basa
Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan antikoagulan asam sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merahs (carbondioxida dan asam laktat), berkenaan dengan metabolisme acidosis metabolik yang berkaitan dengan transfusi tidaklah umum. Yang terbanyak dari kelainan asam basa setelah tranfusi darah massif adalah alkalosis metabolic postoperative.Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolik berakhir dan alkalosis metabolic progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi dan cairan resusitasi diubah menjadi bikarbonat oleh hepar. Konsentrasi Kalium Serum
Konsentrasi kalium Extracellular dalam darah yang disimpan meningkat dengan waktu. Jumlah kalium extracellular yang transfusi pada unit masing-msaing kurang dari 4 mEq perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan umur darah ketika transfusi melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui sesudah operasi, terutama sekali dihubungkan den gan alkalosis metabolism.
KOMPLIKASI SAB (SUB ARACHNOID BLOK)
SubArachnoid Blok merupakan salah satu teknik anestesi regional dengan cara penyuntikan obat anestesi local ke dalam ruang subarahnoid dengan tujuan untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka.
Indikasi:
1.
Bedah ekstremitas bawah
2.
Bedah panggul
3.
Tindakan sekitar rektum perineum
4.
Bedah obstetric-ginekologi
5.
Bedah urologi
6.
Bedah abdomen bawah
7.
Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatric biasanya dikombinasikan dengan
anesthesia umum ringan Kontra indikasi absolute:
1.
Pasien menolak
2.
Infeksi pada tempat suntikan
3.
Hipovolemia berat, syok
4.
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5.
Tekanan intracranial meningkat
6.
Fasilitas resusitasi minim
7.
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. Kontra indikasi relative:
1.
Infeksi sistemik
2.
Infeksi sekitar tempat suntikan
3.
Kelainan neurologis
4.
Kelainan psikis
5.
Bedah lama
6.
Penyakit jantung
7.
Hipovolemia ringan
8.
Nyeri punggung kronik
Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. 1.
Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala,selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk. 2.
Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,missal
L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis. 3.
Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.
4.
Beri anastesi local pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml
5.
Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,23G,25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obar dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.. 6.
Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm. Komplikasi
Komplikasi dini 1. Hipotensi 2. Blokspinaltinggi/total 3. Mual dan muntah penurunan panas tubuh Komplikasi lanjut 1. Post dural Puncture Headache (PDPH) 2. nyeri punggung (Backache) 3. cauda equine sindrom 4. meningitis 5. retensi urine
6. spinal hematom 7. kehilangan penglihatan pasca operasi Hipotensi
Paling sering terjadi dengan derajat bervariasi dan bersifat individual mungkin akan lebih berta pada pasien dengan hipovolemia biasanya terjadi pada menit ke 20 setelah injeksi obat local anestesi derajat hipotensi be rhubungan dengan kecepatan masuknya obat local anestesi ke dalam ruang sub arakhnoid dan blok dan simpatis Hipovolemia
dapat menyebabkan depresi serius system kardiovaskuler selama spinal anestesi karena pada hipovolemia tekanan darah dipelihara dengan peningkatan simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi perifer merupakan kontraindikasi relative anestesi spinal, tetapi jika normovolemi dapat dicapai dengan penggantian volume cairan maka spinal anestesi bias dikerjakan Pasien hamil
Sensitive terhadap blockade simpatis dan hipotensi, hal ini karena obstruksi mekanis venous return sehingga pasien hamil ha rus ditempatkan pada posisi miring lateral segere setelah spinal anestesi untuk mencegah kompresi vena cava Pasien tua
Dengan hipovolemi dan iskemi jantung lebih sering terjadi hipotensi disbanding dengan pasien muda Pencegahan pemberian cairan RL 500-1000 ml secara intravena sebelum anestesi spinal dapat menurunkan insidensi hipotensi atau preloading dengan 1-5 L cairan elektrolit atau koloid digunakan secara luas untuk mencegah hipotensi Terapi autotransfusi dengan posisi head down dapat menambah kecepatan pemberian preload bradikardi yang berat dapat diberikan antikolinergik jika hipotensi tetap terjadi setelah pemberian cairan, maka vasopresor langsung atau tidak langsung
dapat diberikan seperti efedrin dengan dosis 5 -10 mg bolus iv efedrin merupakan vasopresor tidak langsung, meningkatkan kontraksi otot jantung (efek sentral) dan vasokonstriktor (efek perifer) Blokade total spinal
total spinal : blockade medulla spinalis smapai ke servikal oleh suatu obat local anestesi faktor pencetus : pasien menghejan, dosis obat local anestesi yang digunakan, posisi pasien terutama bila menggunakan obat hiperbarik sesak napas dan sukar bernapas merupakan gejala utama dari blok spinal tinggi sering disertai mual,muntah, precordial discomfort dan gelisah apabila blok semakin tinggi penderita menjadi apnea, kesadaran menurun disertai hipotensi yang berat dan jika tidak ditolong akan terjadi henti jantung Penanganan Usahakan jalan napas tetap bebas, kadang diperlukan bantuan napas lewat face mask jika depresi pernapasan makin beratperlu segera dilakukan intubasi endotrakeal dan control ventilasi untuk menjamin oksigenasi yang adekuat bantuan sirkulasi dengan dekompresi jantung luar diperlukan bila terjadi henti jantung pemberian cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB diperlukan untuk mencegah hipotensi jika hipotensi tetap terjadi atau jika pemberian cairan yang agresif harus dihindari maka pemberian vasopresor merupakan pilihan seperti adrenalin dan sulfas atropine. Mual, muntah, terjadi karena hipotensi
Adanya aktifitas parasimpatis yang menyebabkan peningkatan peristalyik usus tarikan nervus dan pleksus khususnya N vagus adanya empedu dalam lambungoleh karena relaksasi pylorus dan spincter ductus biliaris faktor psikologis. Penanganan Untuk menangani hipotensi : loading cairan 10-20 ml?kgBB kristaloid atau pemberian bolus efedrin 5-10 mg iv oksigenasi yang adekuat untuk mengatasi
hipoksia dapat juga diberikan anti emetik Shivering (penurunan panas tubuh)
Sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi pan as oleh metabolisme berkurang vasodilatasi pada anggota tubuh bawah merupakan predisposisi terjadinya hipotermi. Penanganan Pemberian suhu panas dari luar dengan alat pemanas PDPH
Disebabkan adanya kebocoran LCS akibat tindakan penusukan jaringan spinal yang menyebabkan penurunan tekanan LCS akibatnya terjadi ketidakseimbangan pada volume LCS dimana penurunan volume LCS melebihi kecepatan produksi LCS diproduksi oleh pleksus choroideus yang terd apat dalam system ventrikel sebanyak 20 ml per jam. Kondisi ini akan menyebabkan tarikan pada struktur intracranial yang sangat peka terhadap n yeri yaitu pembuiluh darah, saraf, falk serebri dan meningen dimana nyeri akan timbul setelah kehilangan LCS sekitar 20 ml. Nyeri akan meningkat pada posisi tegak dan akan berkurang bila berbaring, hal ini disebabkan pada saat berdiri LCS dari otak mengalir ke bawah dan saat berbaring LCS mengalir kembali ke rongga tengkorak dan akan melindungi otak sehingga nyeri berkurang PDPH ditandai dengan : - Nyeri kepala yang hebat - Pandangan kabur dan diplopia - Mual dan muntah - Penurunan tekanan darah - Onset terjadinya adalah 12-48 jam setelah prosedur spinal anestesi Pencegahan dan Penanganan : - Hidrasi dengan cairan yang kuat -Gunakan jarum sekecil mungkin (dianjurkan < 24) dan menggunakan jarum
non cutting pencil point - Hindari penusukan jarum yang berulang-ulang - Tusukan jarum dengan bevel sejajar serabut longitudinal durameter - Mobilisasi seawal mungkin - Gunakan pendekatan paramedian - Jika nyeri kepala tidak berat dan tidak mengganggu aktivitas maka hanya diperlukan terapi konservatif yaitu bedrest dengan posisi supine, pemberian cairan intravena maupun oral, oksigenasi adekuat. Pemberian sedasi atau analgesi yang meliputi pemberian kafein 300 mg peroral atau kafein benzoate 500 mg iv atau im, asetaminofen atau NSAID. Hidrasi dan pemberian kafein membantu menstimulasi pembentukan LCS. Jika neyri kepala menghebat dilakukan prosedur khusus Epidural Blood Patch a. Baringkan pasien seperti prosedur epidural b. Ambil darah vena antecubiti 10-15 ml c. Dilakukan pungsi epidural kemudian masukan darah secara pelan-pelan d. Pasien diposisikan supine selama 1 jam kemudian boleh melakukan gerakan dan mobilisasi e. Selama prosedur pasien tidak boleh batuk dan menghejan Nyeri punggung
Tusukan jarum yang mengenaikulit, otot dan ligamentum dapat menyebabkan nyeri punggung. Nyeri ini tidak berbeda dengan nyeri yang menyertai anestesi umum, biasnya bersifat ringan sehingga analgetik post operatif biasanya bias menutup nyeri ini. Relaksasi otot yang berlebih pa da posisi litotomi dapat menyebabkan ketegangan ligamentum lumbal selama spinal anestesi. Rasa sakit punggung setelah spinal anestesi sering terjadi tiba-tiba dan sembuh dengan sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif. Adakalanya spasme otot paraspinosusmenjadi penyebab. Penanganan Dapat diberikan penanganan dengan istirahat, psikologis, kompres panas pada
daerah nyeri dan analgetik antiinflamasi yang diberikan dengan benzodiazepine akan sangat berguna Cauda Equina Sindrom
Terjadi ketika cauda equine terluka atau tertekan Tanda-tanda meliputi : Penyebab adalah traum adan toksisitas. Ketika terjadi injeksi yang traumatic intraneural, diasumsikan bahwa obat yang diinjeksikan telah memasuki LCS, bahan-bahan ini bias menjadi kontaminan sepeti deterjen atau antiseptic atau bahan pengawet yang berlebihan Penanganan Penggunaan obat anestesi local yang tidak neurotoksik terhadap cauda equine merupakan salah satu pencegahan terhadap sindroma tersebut selain, menghindari trauma pada cauda equine waktu melakukan penusukan jarum spinal Retensi urin
Blockade sentral menyebbkan atonia vesika urinaria sehinggga volume urine di vesika urinari jadi banyak. Blockade simpatis eferen (T5-L1)menyebabkan kenaikan tonus sfingter yang menghasilkan retensi urin. Spinal anestesi menurunkan 5 -10% filtrasi glomerulus, perubahan ini sangat tampak pada pasien hipovolemia. Retensi post spinal anestesi mungkin secara moderat diperpanjang karena S2 dan S3 berisi serabut-serabut ototnomik kecil dan paralisisnya lebih lama daripada serabut-serabut yang lebih besar Meningitis
Munculnya bakteri pada ruang subarakhnoid tidak mungkin terjadi jika penanganan klinis dilakukan dengan baik. Meningitis aseptic mungkin berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi dan telah dideskripsikan tetapi jarang terjadi dengan peralatan sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni local yang memadai. Pencegahan
Dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan obat-obatan yang betul betul steril. Menggunakan jarum spional sekali pakai. Pengobatan dengan pemberian antibiotika yang spesifik Spinal hematom
Meski angka kejadiannnya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar bagi klinis karena sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan neurologist yang membahayakan. Terjadi akibat trauma jarum spinal pada pembuluh darah di medulla spinali. Dapat secara spontan atau ada hubungannnya dengan kelainan neoplastik. Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat menyebabkan penekanan medulla spinalis yang menyebabkan iskemik neurologist dan paraplegi. Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umum nya meliputi : 1. mati rasa 2. kelemahan otot 3. kelainan BAB 4. kellainan sfingter kandung kemih 5. sakit pinggang yang berat Factor resiko : abnormalitas medulla spinalis, kerusakan hemostasis, kateter spinal yang tidak tepat posisinya, kelainan vesikuler, penusukan berulang-ulang. Apabila ada kecurigaan maka pemeriksaan MRI, myelografi harus segera dilakukan dan dikonsultasikan ke ahli saraf. Banyak perbaikan neurologist pada pasien spinal hematomyang segera mendapatkan dekompresi pembedahan (laminektomi) dalam waktu 8-12 jam Kehilangan penglihatan pasca operasi Neuropati optic iskemik anterior (NOIA)
Penyebabnya karena proses infark pada watershed zone diantara daerah yang mendapat distribusi darah dari cabang kecil arteri sailiaris posterior brefis dalam koric kapiler Neuropati optic iskemik posterior (NOIP)
Penyebabnya gangguan suplai oksigen pada posterior dari n. optikus diantara foramen optikumpada apeks orbita dan pada tempat masuknya arteri retina sentralis dimana n. optikus sangat rentan terhadap iskemi Buta kortikal
Terjadi karena emboli atau proses obstruksi yang b erlangsung lambat, hipotensi berat, antijantung yang akan berakibat infark pada watershed zone parietal dan oksipital Oklusi arteri sentralis (CRAO)
Sering disebabkan oleh emboli yang terbentuk dan plak aterosklerotik yang berulserasi pada arteri karotis ipsilateral Obstruksi vena optalmika sentralis (CRVO)
Dapat terjadi pada intraoperatif jika posisi pasien akan menyebabkan penekanan pada bagian luar mata Pencegahan Mencegah penekanan pada bola mata selama intaroperatif. Meminimalkan terjadinya mikro dan makro emboli selama cardiopulmonary bypass. Mempertahankan nilai hematokrit pada batas normal. Menjaga tekanan darah agar stabil.