PRESENTASI KASUS DIFTERI
Pembimbing : dr. Argo Pribadi, Sp. A
Penyusun : Ressy Octriana, S.ked 1102008207
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SERANG PERIODE 25 MARET 2013 – 2 JUNI 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
1|Page
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Assalamualaikum Wr.Wb. Segala puji bagi Allah atas nikmat iman dan hidayah yang telah diberikan kepada kita. Salawat serta salam bagi nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan orang-orang yang senantiasa istiqamah di jalan-Nya. Alhamdulillah, akhirnya saya dapat menyusun laporan kasus mengenai “Difteri” ini untuk memenuhi tugas kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Serang, dan agar dapat mengeksplorasi sebanyak-banyaknya informasi dari berbagai referensi. Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya
terselesaikannya
kepada
penyusunan
semua
laporan
pihak
kasus
ini,
yang
membantu
terutama
kepada
pembimbing saya dr. Argo Pribadi, Sp.A yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing saya ditengah kesibukan dan padatnya aktivitas beliau. Terima kasih juga saya ucapkan kepada keluarga saya yang selalu memberikan dukungan dan memotifasi saya hingga saat ini, serta kepada teman-teman saya yang sedang menjalani kepaniteraan di RSUD Serang. Saya menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini banyak terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, saya mengharapkan saran serta kritik yang dapat membangun dalam laporan kasus ini guna untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua baik sekarang maupun dihari yang akan datang. Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Sera ng, April 2013 Ressy Octriana, Penulis 2|Page
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................................. ..
2
DAFTAR ISI
............................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
................................................................................
4 BAB II
PRESENTASI
KASUS .......................................................................... BAB III
5
TINJAUAN
PUSTAKA ......................................................................... Definisi
13
.............................................................................................
13 Etiologi
.............................................................................................
13 Patogenesis
......................................................................................
14 Manifestasi klinis ..............................................................................
15
3|Page
Diagnosis ........................................................................................... 17 Diagnosis
Banding
……………………………………………………………………….. Komplikasi
18
........................................................................................
18 Tatalaksana........................................................................................ 20 Prognosis ……………………………………………………………………………………… 22 Pencegahan …………………………………………………………………………………. DAFTAR
23 PUSTAKA
……………………………………………………………....................................... 25
BAB I PENDAHULUAN 4|Page
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik,efeksistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier. Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut. Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.
BAB II PRESENTASI KASUS
5|Page
I. IDENTITAS PASIEN Nama : An. J. Umur : 7 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Cikoak Kel.Cilowong Kec.Taktakan Serang-Banten Agama : Islam Nama Ayah : Tn. Rasidin Masuk RS : 25 – 03 - 2013 II. ANAMNESIS (Alloanamnesis ayah pasien) Keluhan Utama : Demam Keluhan Tambahan : Nyeri mengorok, leher bengkak, pilek
menelan,
suara
nafas
seperti
orang
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke RSUD serang diantar keluarga dengan keluhan demam sejak 10 hari SMRS. Demam yang dirasakan agak tinggi namun tidak diukur dengan pengukur suhu. Demam terus menerus, namun biasanya tinggi saat malam hari. Pasien sudah diberikan obat penurun panas,namun panas tidak turun. Keluhan demam disertai menggigil disangkal. Keluhan demam disertai mimisan dan gusi berdarah disangkal. Keluhan nyeri ketika menelan juga dirasakan oleh pasien sejak 4 hari SMRS. Pasien mengatakan ditenggorokannya seperti ada sesuatu seperti rambut-rambut/kayu sehingga pasien kesulitan menelan. Keluhan nafas berbau busuk juga diakui pasien, baunya menyerupai bau koreng. Keluhan suara nafas seperti orang mengorok juga dirasakan pasien sejak 4 hari SMRS. Keluhan ini juga diikuti keluhan sesak nafas karena pasien kesulitan bernafas. Keluhan bengkak pada kedua leher juga dirasakan pasien sejak 3 hari SMRS. Bengkak pada kedua leher tersebut nyeri jika ditekan. Keluhan bengkak disertai warna kemerahan disangkal. Keluhan pilek juga dirasakan pasien sejak 3 hari SMRS. Pileknya berwarna hijau. Keluhan pilek tidak disertai dengan batuk. Pasien lahir ditolong oleh dukun secara spontan usia kehamilan 9 bulan. Pasien mendapat imunisasi DPT hanya satu kali. Riwayat Penyakit Dahulu : Asma mengi (-)
: Riwayat sesak nafas jika udara dingin, nafas berbunyi
6|Page
Peny. Jantung : Riwayat sesak nafas jika beraktivitas dan tidur terlentang (-) Diabetes mellitus : Banyak makan, banyak minum, sering BAK di malam hari (-) Hepatitis : Mata berwarna kuning, nyeri ulu hati, nyeri perut kanan atas (-) TB : Riwayat batuk lama > 3 bulan, demam dan berkeringat malam hari(-) Riwayat Penyakit Keluarga : Tetangga satu kampung pasien ada yang sakit sama seperti pasien. Tetangga satu kampungnya ini merupakan teman main pasien. Kedua lehernya juga bengkak seperti pasien dan suara nafasnya seperti mengorok. Namun teman pasien ini sudah meninggal ± 15 hari yang lalu. III. PEMERIKSAAN FISIK: Keadaan umum : Lemah Kesadaran : Compos mentis Tanda Vital Tekanan darah : 90/60 mmHg Nadi : 100 x / menit Pernafasan : 30 x / menit Suhu : 38,5ºC Berat Badan : 15 kg Panjang Badan : 110 cm Status Gizi : Gizi kurang Status Generalis Kepala : Normocephale Mata : Reflek cahaya (+/+), Conjungtiva anemis (-/-), Sclera icterik (-/-) Telinga : Simetris kiri dan kanan, discharge (-/-). Hidung : Pernapasan cuping hidung (-/-), sekret (-/-). Mulut : Perioral sianosis (-) Tenggorokan : Tonsil T2 – T3 tampak membrane berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah (pseudomembran), faring hiperemis (+) Leher : Bullneck (+), pembesaran kelenjar tiroid (-) Thoraks Inspeksi : Simetris saat statis dan interkostal (-) Palpasi : Simetris saat statis dan dinamis. Cor Inspeksi Palpasi
dinamis,
retraksi
: Iktus cordis tidak terlihat : Iktus cordis teraba 7|Page
Perkusi Auskultasi
: Tidak ada pembesaran Jantung : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
Pulmo Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi
: Simetris saat statis dan dinamis. : Fremitus kanan dan kiri simetris. : Sonor pada kedua lapang paru. : Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi
: Datar, retraksi epigastrium (-) : Bising usus (+) : Timpani di ke empat kuadran abdomen : Hepar dan lien tidak teraba, defans muskuler (-)
Extermitas
: Akral hangat,edema -/-/-/- perfusi baik
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pemeriksaan lab tanggal 25/03/2013 Hb : 11,5 g/dl Ht : 35,1 % Leukosit : 16.300/ul Trombosit : 296.000/ul GDS : 109 mg/dl Pemeriksaan lab tanggal 30/03/2013 Hb : 10,7 g/dl Ht : 31,6 % Leukosit : 22.600/ul Trombosit : 205.000/ul Serologi S.Typhi O : (+) 1/160 S.Paratyphi AO : neg S.Paratyphi BO : neg S.Paratyphi CO : neg S.Typhi H : neg S.Paratyphi AH : neg S.Paratyphi BH : neg S.Paratyphi CH : neg Dengue IgG : neg Dengue IgM : neg Pemeriksaan lab tanggal 31/02/13 Hb : 11,20 g/dl Ht : 33,00 % Leukosit : 27.200/ul Trombosit : 493.000/ul 8|Page
Pemeriksaan Urinalisa tanggal 01/04/13 MAKROSKOPIS Warna : Kuning Kekeruhan : Agak keruh Berat jenis : 1025 pH :6 Albumin : (-) Glukosa : (-) Keton : (-) Bilirubin : (-) Darah samar : (-) Nitrit : (-) Urobilinogen : Normal SEDIMEN Leukosit : 7-9 /LPB Eritrosit : 0-1 /LPB Epitel : (+) Silinder : (-) Kristal : (-) Bakteri : (-) Jamur : (-) Pemeriksaan lab tanggal 02/04/13 Hb : 10,9 g/dl Ht : 33,8 % Leukosit : 11.900/ul Trombosit : 701.000/ul VI. DIAGNOSIS Diagnosis Kerja : Suspek Difteri VII. PENATALAKSANAAN
Isolasi penderita di ruang isolasi IVFD 2A 8tpm Inj Eritromicyn 4 x 250 mg ADS 80.000 U Paracetamol syr 3 x 1 cth VII. PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad functionam
: dubia ad bonam : dubia ad bonam
9|Page
FOLLOW UP Tanggal Follow up Terapi 26/03/13 S/ demam (-), bengkak 06.00 dileher,nyeri menelan Infus cairan 2A 8 tpm O/ KU: Sedang Inj Eritomicyn 4x250mg BB= 15 KS: compos mentis Paracetamol syr 3 x1 ½ kg HR: 90x/menit cth RR: 20x/menit TD: 100/70 T: 36,2°C Kepala: Normocephale Mata: CA -/- SI-/- RC+/+ Hidung: PCH Mulut: POC – Tenggorokan : Pseudomembran + Leher: Bullneck + Thorax: SSD Cor: S1S2 reg, M -, GPulmo: Bronkovesikuler, Rh-/-, Wh-/Abdomen: Supel, BU(+), hepar dan lien tidak teraba Ekstremitas: akral hangat, udem -/-/-/27/03/13 S/ bengkak dileher,nyeri 06.00 menelan Infus cairan 2A 12 tpm O/ KU: Sedang Inj Eritomicyn 4x250mg BB= 15 KS: Compos mentis Paracetamol syr 3 x1 ½ kg HR: 96 x/menit cth RR: 24 x/menit TD: 100/70 T : 36,6°C Kepala: Normocephale Mata: CA -/- SI-/- RC+/+ Hidung: PCH Mulut: POC – Tenggorokan : Pseudomembran + Leher: Bullneck + Thorax: SSD Cor: S1S2 reg, M -, GPulmo: Bronkovesikuler, Rh-/-, Wh-/Abdomen: Supel, BU(+), hepar dan lien tidak teraba Ekstremitas: akral hangat, udem -/-/-/10 | P a g e
28/03/13 06.00
S/ bengkak dileher, nyeri menelan O/ KU: Sedang BB= 15 KS: Compos mentis kg HR: 98 x/menit RR: 24 x/menit TD: 100/70 T: 36,0 °C Kepala: Normocephale Mata: CA -/- SI-/- RC+/+ Hidung: PCH Mulut: POC – Tenggorokan : Pseudomembran + Leher: Bullneck + Thorax: SSD Cor: S1S2 reg, M -, GPulmo: Bronkovesikuler, Rh-/-, Wh-/Abdomen: Supel, BU(+), hepar dan lien tidak teraba Ekstremitas: akral hangat, udem -/-/-/29/03/13 S/ Bengkak dileher 06.00 berkurang,nyeri menelan BB = 15 berkurang kg O/ KU: Sedang KS: Compos mentis HR: 90 x/menit RR: 21 x/menit TD: 100/60 T: 36,5°C Kepala: Normocephale Mata: CA -/- SI-/- RC+/+ Hidung: PCH Mulut: POC – Tenggorokan : Pseudomembran + Leher: Bullneck + Thorax: SSD Cor: S1S2 reg, M -, GPulmo: Bronkovesikuler, Rh-/-, Wh-/Abdomen: Supel, BU(+), hepar dan lien tidak teraba Ekstremitas: akral hangat, udem -/-/-/30/03/13 S/ Demam (+), Bengkak dileher 06.00 berkurang,nyeri menelan
• Infus cairan 2A 12 tpm • Inj Eritomicyn 4x250mg • Paracetamol syr 3 x1 ½ cth
Infus cairan 2A 8 tpm Inj Eritomicyn 4x250mg Paracetamol syr 3 x1 ½ cth
Konsul dr.jaga ruangan: Loading cairan NaCl 0,9% 11 | P a g e
BB = 15 kg
berkurang O/ KU: Sedang KS: Compos mentis HR: 95 x/menit RR: 25 x/menit TD: 100/60 T: 39,0 °C Kepala: Normocephale Mata: CA -/- SI-/- RC+/+ Hidung: PCH Mulut: POC – Tenggorokan : Pseudomembran + Leher: Bullneck + Thorax: SSD Cor: S1S2 reg, M -, GPulmo: Bronkovesikuler, Rh-/-, Wh-/Abdomen: Supel, BU(+), hepar dan lien tidak teraba Ekstremitas: akral hangat, udem -/-/-/01/04/13 S/ Demam (-), Bengkak dileher 06.00 berkurang,nyeri menelan (-) BB: 15 kg O/ KU: Sedang KS: Compos mentis HR: 92 x/menit RR: 23 x/menit TD: 100/60 T: 36,3 °C Kepala: Normocephale Mata: CA -/- SI-/- RC+/+ Hidung: PCH Mulut: POC – Tenggorokan : Pseudomembran << Leher: Bullneck + Thorax: SSD Cor: S1S2 reg, M -, GPulmo: Bronkovesikuler, Rh-/-, Wh-/Abdomen: Supel, BU(+), hepar dan lien tidak teraba Ekstremitas: akral hangat, udem -/-/-/02/04/13 S/ Demam (-), sudah bisa 06.00 makan nasi (+), Bengkak BB: 15 kg dileher berkurang,nyeri menelan (-) BAK BAB (+)
100cc dlm 1 jam Extra paracetamol 3x 2 cth Px H2TL/12jam Obat dilanjutkan eritromicyn 2x2 cth Cairan infus ganti RL
Cek H2TL + Urinalisa Eritromicyn syr 4 x 1¼ cth Paracetamol syr 1½cth/4-6 jam k/p Cefixime pulv 2x70mg Xanvit 2 x 1 cth
Cek H2TL + hasil urin Eritromicyn syr 4 x 1¼ cth Paracetamol syr 1½cth/4-6 jam k/p 12 | P a g e
O/ KU: Sedang KS: Compos mentis HR: 98 x/menit RR: 20 x/menit TD: 100/70 T: 36,2 °C Kepala: Normocephale Mata: CA -/- SI-/- RC+/+ Hidung: PCH Mulut: POC – Tenggorokan : Pseudomembran Leher: Bullneck + Thorax: SSD Cor: S1S2 reg, M -, GPulmo: Bronkovesikuler, Rh-/-, Wh-/Abdomen: Supel, BU(+), hepar dan lien tidak teraba Ekstremitas: akral hangat, udem -/-/-/03/04/13 S/ Demam (-), makan nasi (+), 06.00 bengkak dileher BB: 15 kg berkurang,nyeri menelan (-) O/ KU: Sedang KS: Compos mentis HR: 97 x/menit RR: 22 x/menit TD: 110/70 T: 36,7 °C Kepala: Normocephale Mata: CA -/- SI-/- RC+/+ Hidung: PCH Mulut: POC – Tenggorokan : Pseudomembran Leher: Bullneck + Thorax: SSD Cor: S1S2 reg, M -, GPulmo: Bronkovesikuler, Rh-/-, Wh-/Abdomen: Supel, BU(+), hepar dan lien tidak teraba Ekstremitas: akral hangat, udem -/-/-/04/04/13 S/ Makan nasi (+), Bengkak 06.00 dileher (-), nyeri menelan (-) BB: 15 kg O/ KU: Sedang KS: Compos mentis
Cefixime pulv 2x70mg Xanvit 2 x 1 cth
Eritromicyn syr 4 x 1¼ cth Paracetamol syr 1½cth/4-6 jam k/p Cefixime pulv 2x70mg Xanvit 2 x 1 cth
Eritromicyn syr 4 x 1¼ cth Paracetamol syr 1½cth/4-6 jam k/p Cefixime pulv 2x70mg 13 | P a g e
HR: 100 x/menit Xanvit 2 x 1 cth RR: 23 x/menit TD: 110/70 T: 36,2 °C Kepala: Normocephale Mata: CA -/- SI-/- RC+/+ Hidung: PCH Mulut: POC – Tenggorokan : Pseudomembran Leher: Bullneck Thorax: SSD Cor: S1S2 reg, M -, GPulmo: Bronkovesikuler, Rh-/-, Wh-/Abdomen: Supel, BU(+), hepar dan lien tidak teraba Ekstremitas: akral hangat, udem -/-/-/BAB III TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Difteria merupakan penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa. Dikenal 3 tipe utama C. diphtheriae, yaitu tipe gravis, intermedius, dan mitis namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. 2.2 Etiologi Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan 14 | P a g e
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa. Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro, toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan.Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene. 2.3. Patogenesis dan patofisiologis Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif. Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADPribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersamasama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel
15 | P a g e
radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan. Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. 2.4. Manifestasi Klinis Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria. 2.4.1. Difteri Saluran Pernapasan Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi tandatanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39ºC. 2.4.1.1. Difteri Hidung Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane. 16 | P a g e
Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
2.4.1.2 Difteri Tonsil Faring Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu, infeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
17 | P a g e
2.4.1.3. Difteri Laring Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lapisan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.
2.4.2. Difteri Kulit Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat 18 | P a g e
khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian kecil penderita dengan difteri kulit.
2.4.3. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan saluran genital (vulvovaginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi, pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain. 2.5. Diagnosis Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan gejalagejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-vitro (tes Elek). Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula. 2.6. Diagnosis Banding Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues congenital). 19 | P a g e
Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi. Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam laring. Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus. 2.7. Komplikasi Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan ginjal. Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi gejala kliniknya sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun pengobatan. Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok. Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan streptokok. Mengingat adanya infeksi tumpangan ini, kita harus lebih waspada dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak. Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servical. Kasus septikemi yang jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan. Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan kelompok-kelompok pengguna obat intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit adalah tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua strain adalah nontoksigenik. Kasus arthritis piogenik sporadic terutama karena strain nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa dan anak-anak. Difteroid yang diisolasi dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai kontaminan tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti. Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan penundaan pemberian antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara akut awal 1 minggu bila berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi diluar proporsi demam lazim dan dapat 20 | P a g e
merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf otonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada elektrokardiogram relative merupakan tanda yang lazim. Disaritmia jantung tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti blockade jantung derajat I,II dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung kongestif klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan keparahan mionekrosis. Disaritmia berat menramalkan kematian. Penemuan histologik pascamati dapat menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang bertahan hidup dari disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai defek hantaran permanent; untuk yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya sempurna. Neuropati toksik, komplikasi neurologis paralel dengan luasnya infeksi primer dan pada mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan resiko kematian karena aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke5 dan menyebabkan paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 1 hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit motor dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai menyebar kedistal dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan hipotensi atau gagal jantung. 2.8. Pengobatan dan Penatalaksanaan. Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. A. Pengobatan umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. 21 | P a g e
Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. B. Pengobatan Khusus 1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS) Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit Tipe Difteria
Dosis ADS (KI)
Difteria Hidung 20.000
Cara pemberian Intramuscular
Difteria Tonsil
40.000
Intramuscular /Intravena
Difteria Faring
40.000
Intramuscular /Intravena
Difteria Laring
40.000
Intramuscular /Intravena
Kombinasi lokasi80.000 diatas
Intravena
Difteria+penyulit, 80.000-100.000 bullneck
Intravena
Terlambat 80.000-100.000 berobat(>72jam)
Intravena
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness) 22 | P a g e
2. Antibiotik Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring. Dosis : Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-). Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari. Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis. Amoksisilin. Rifampisin. Klindamisin. Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. 3. Kortikosteroid Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari. C. Pengobatan Penyulit Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi. D. Pengobatan Karier Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau 23 | P a g e
eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi. Pengobatan Terhadap Kontak Difteria Biakan
Uji Schick
Tindakan
(-)
(-)
Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria
(+)
(-)
Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu
(+)
(+)
Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-)
(+)
Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunisasi
atau
2.9. Prognosis Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum. Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena (1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria, (2) Adanya miokarditis dan gagal jantung, (3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus. Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan leukositosis > 25.000/µl prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%) .
2. 10. Pencegahan Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi 24 | P a g e
terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan. Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi. Rencana (Jadwal) : Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandungdifteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun). Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua. Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td. Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.
25 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA 1. Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18 2. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176 3. Kadun I Nyoman, 2006,Manual Pemberantasan Penyakit Menular , CV Infomedika, Jakarta 4. http://rarediseases.about.com/cs/Diphtheriae/a/090703.htm 5. http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/Diphtheri.htm 6. http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=540 7. http://www.ijppediatricsindia.org/article.asp?issn=0019-5456;year=2005 8. http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/286/3/299
26 | P a g e
27 | P a g e