Case Report Session Difteria Tonsil
Oleh : Afifah Alfyanita
1110312055
Perseptor : dr. Eva Chundrayetti, Sp.A(K)
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr. M. Djamil Padang 2015
BAB I TINJAUAN PUSTAKA a. Definisi Difteria Difteria adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae. Difteria merupakan penyakit yang sangat menular dan ditandai dengan pembentukan pseudo-membran pada kulit dan atau mukosa. 1 b. Etiologi Difteria Penyebab terjadinya difteria adalah kuman basil Gram-positif yang bersifat
aerob,
Corynebacterium
diphtheriae.
Kuman
ini
memiliki
karakteristik tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60oC, dan tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman tampak dalam susunan palisade, berbentuk L atau V, atau membentuk formasi huruf cina. 1 Ciri khas C. diphtheriae adalah kemampuannya membentuk eksotoksin. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/ cahaya, dan mempunyai dua fragmen, yaitu fragmen A (amino-terminal) dan B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk eksotoksin dapat dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya dapat dibentuk oleh C. diphtheria yang terinfeksi bakteriofag yang mengandung toxigene. 1 Secara umum, dikenal 3 tipe utama C. diphtheria,yaitu tipe gravis, intermedius, dan mitis. Namun, berdasarkan antigenitasnya, basil ini memiliki spesies yang heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Pada membran mukosa manusia C. diphtheria dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakannya diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa, dan sukrosa. 5 c. Epidemiologi Difteria Difteria tersebar di seluruh dunia. Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian. Namun, sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT di Indonesia pada tahun 1974, kasus dan kematian akibat difteria berkurang sangat banyak. 2
Difteri terjadi di seluruh dunia, tetapi kasus-kasus klinis lebih banyak terjadi di daerah beriklim sedang . Di Amerika Serikat pada era pretoxoid, insiden tertinggi berada di Tenggara selama musim dingin. 4 Setelah
program
pengembangan
imunisasi
yang
menyeluruh /Expanded Program Immunization (EPI) dilaksanakan dengan pemberian toksoid difteri, difteri hampir hilang terutama di negara maju.1 Indonesia telah melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) sesuai dengan EPI sejak tahun 1976, dan telah melaksanakan vaksinasi dengan tiga dosis DPT pada bayi dengan cakupan yang tinggi. 6 Dampak dari PPI, sejak tahun 1986 tidak diketemukan lagi kasus difteri yang dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Fakultas
Kedokteran Universitas
Padjadjaran, yang
merupakan rumah sakit rujukan di provinsi Jawa Barat. Diharapkan dengan melaksanakan dan mempertahankan program imunisasi secara terus menerus maka penyakit difteria dapat menghilang. Wabah difteri di Jawa barat hampir selalu ada, dilaporkan pada tahun 2006, 2007, 2008 masing 54, 50, 28 kasus, dan tahun 2010 dilaporkan 28 kasus dengan angka kematian yang cukup tinggi. Subdit KLB Dirjen P2MPL Kementrian Kesehatan melaporkan peningkatan kasus difteri di beberapa provinsi di Indonesia seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI, Lampung, dan beberapa tempat lain di Indonesia. Kenyataan tersebut menimbulkan kekuatiran berjangkitnya kembali penyakit difteri. 6 d. Patogenesis dan Patofisiologi Difteria Penularan kuman C. diphtheria terjadi melalui droplet saat penderita ataupun carrier batuk, bersin, dan berbicara. Masa inkubasinya adalah 2-5 hari. Carrier adalah orang yang terinfeksi bakteri pada hidung atau tenggorok tetapi tidak mengalami penyakit. Masa penularan difteria dari penderita adalah 2-4 minggu, sedangkan masa penularan dari carrier bisa mencapai 6 bulan. 2 Kuman C. diphtheria masuk ke dalam tubuh melalui mukosa atau kulit. Kuman tersebut akan melekat dan berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas. Selanjutnya, kuman akan mulai
memproduksi toksin yang merembes dan menyebar ke daerah sekitar dan ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. 5 Toksin yang dihasilkan oleh C. diphtheria akan menghambat pembentukan protein dalam sel. Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk yang akan menginaktivasi enzim translokase (elongation factor-2). Inaktivasi enzim translokase akan menghambat tranlokasi sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida dari rantai RNA yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis akan tampak sangat jelas pada daerah tempat kolonisasi kuman C. diphtheria. Kemudian terjadi inflamasi lokal dan bersama-sama dengan jaringan nekrotik akan terbentuk bercak eksudat yang mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, sehingga daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah sel darah yang terkandung. Selain fibrin, membran yang terbentuk juga mengandung sel-sel radang, eritrosit dan epitel, akibatnya apabila dipaksa untuk melepaskan membran tersebut akan terjadi perdarahan. Membran ini akan terlepas dengan sendirinya pada fase penyembuhan. 1 Pada pseudomembran yang terbentuk dapat terjadi infeksi sekunder dari bakteri, seperti Streptococcus pyogenes. Selain itu, membran dan jaringan yang udem di saluran nafas atas dapat menyumbat jalan nafas. Apabila terjadi perluasan inflamasi ke daerah laring atau cabang trakeobronkus akan terjadi gangguan pernafasan/ sufokasi. 5 Toksin yang diproduksi oleh C. diphtheria dapat menyebar ke seluruh tubuh yang dapat menngakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama: jantung, saraf, dan ginjal. Antitoksin difteria hanya dapat menetralisasi toksin yang bebas atau terabsorpsi pada sel, namun tidak mampu menetralisir toksin yang telah berpenetrasi ke dalam sel. Setelah toksin berpenetrasi dan terfiksasi di dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. 5 Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi pada saraf biasanya muncul setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksin dan degenerasi hialin pada berbagai organ dan jaringan. Pada jantung akan tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuklear pada serat otot dan system konduksi. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. 1 e. Manifestasi Klinis Difteria Manifestasi klinis yang muncul akibat infeksi difteria bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai gejala yang sangat berat yang dapat berakibat fatal. Faktor primer yang mempengaruhi ringan beratnya manifetasi klinis adalah imunitas pejamu (host) terhadap toksin difteria, virulensi kuman, toksigenitas dari C. diphtheria atau kemampuan kuman untuk membentuk toksin,
dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain yang turut
mempengaruhi adalah umur, penyakit sistemik penyerta, dan penyakit pada nasofaring yang telah ada sebelumnya. 1 Difteria memiliki masa tunas 2-6 hari. demam jarang melebihi 38,9oCdan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria. 5 1. Difteria Hidung Pada awalnya gejala pada difteria hidung menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan, dengan atau tanpa gejala sistemik ringan. Sekret pada hidung dapat berupa serosanguinus, yang kemudian dapat berubah menjadi mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan hidung didapatkan gambaran membran putih pada daerah septum nasi. Pada difteria hidung, absorpsi toksin terjadi sangat lambat dan gejala sistemik yang muncul tidak khas, sehingga diagnosis sering terlambat ditegakkan. 1 2. Difteria Tonsil Faring Pada difteria tonsil faring, gejala yang muncul daoat berupa anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan. Kemudian dalam 1-2 hari berikutnya muncul membran yang melekat pada tonsil, berwarna putihkelabu, dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Pada difteria tonsil faring juga dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular. Dapat terjadi bullneck bila limfadenitis disertai dengan edema jaringan lunak leher yang luas. 5
Beratnya gejala tergantung pada derajat penetrasi toksin dan luasnya membran. Pada kasus berat dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat juga terjadi paralisis pallatum molle baik uni maupun bilateral, disertai dengan gejala sukar menelan dan regurgitasi. Selain itu, dapat terjadi stupor, koma, dan kematian dalam 7-10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan, membran akan terlepas dengan sendirinya dalam 7-19 hari dan akan sembuh sempurna. 1 3. Difteria Laring Difteria laring biasanya muncul sebagai perluasan dari difteria faring. Daya serap mukosa laring terhadap toksik lebih rendah dibandingkan mukosa faring, sehingga pada difteria lebih mencolok gejala obstruksi saluran nafas atas. Gejala yang muncul pada difteria laring sukar dibedakan dengan gejala infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau, dan batuk kering. Apabila terjadi obstruksi laring yang berat, dapat terjadi retraksi suprasternal, interkostal, dan supraklavikular. Apabila membran pada difteria laring terlepas, dapat terjadi kematian mendadak. 1 4. Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga Difteria kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga merupakan tipe difteria yang jarang terjadi atau tidak lazim. Difteria kulit memiliki gejala berupa tukak di kulit, tepi jelas, dan terdapat membran pada dasarnya. Difteria pada mata berupa lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema, membran pada konjungtiva palpebra. Pada difteria telinga dapat berupa otitis eksterna, secret purulen dan berbau. 1 f. Diagnosis Difteria Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien sebagai efek dari penyebaran eksotoksin yang dihasilkan C. diphtheria. Penentuan kuman difteria secara langsung kurang dapat dipercaya. Diagnosis pasti difteria ditegakkan dengan melakukan isolasi kuman C. diphtheria dengan pembiakan pada media Loeffler, dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara in vitro (tes Elek) dan in vivo (marmut). Cara yang lebih akurat adalah dengan
melakukan identifikasi dengan cara fluorescent antibodi technique, namun diperlukan seorang ahli untuk melakukan identifikasi tersebut. 1 g. Diagnosis Banding 1. Difteria Hidung, terdapat beberapa penyakit yang menyerupai difteria hidung, yaitu: rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital). 2. Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan oleh Streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi. 3. Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain, yaitu: spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam laring. 4. Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh Streptokokus atau Stafilokokus. 1
h. Pengobatan Difteria Pengobatan pada difteria harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya gejala yang berat akibat penyebaran eksotoksin yang diproduksi oleh C. diphtheria. Pasien harus dirawat di ruang isolasi rumah sakit untuk menghindari penularan kepada pasien lainnya. 2 Pengobatan ditujukan untuk menginaktivasi toksin yang belum berpenetrasi secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeleminasi kuman C. diphtheria untuk mencegah penularan, serta mengobati gejala penyerta dan penyulit difteria. 1 Pengobatan pada difteria dapat diklasifikan menjadi 2, yaitu secara umum dan khusus. 1. Umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, lama isolasi pasien difteria lebih kurang 2-3 minggu. Selama isolasi, pasien istirahat tirah baring dan diberikan terapi cairan dan diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dengan risiko obstruksi jalan nafas, harus dipantau
agar nafas tetap bebas, dan dijaga kelembapan udara dengan menggunakan humidifier. 1 2. Khusus Terdapat beberapa pengobatan khusus pada difteria, yaitu : a) Antitoksin Anti Diphtheria Serum (ADS) Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Dengan penundaan pemberian antitoksin lebih dari hari ke-6 dapat menyebabkan angka kematian meningkat 30%. 1
Tabel Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit Tipe Difteria Difteria hidung Difteria tonsil Difteria faring Difteria laring Kombinasi Difteria + bullneck Terlambat berobat (>72 jam),
Dosis ADS 20.000 40.000 40.000 40.000 80.000 80.000-120.000 80.000-120.000
Cara Pemberian i.m. i.m. atau i.v. i.m. atau i.v. i.m. atau i.v. i.v. i.v. i.v.
lokasi dimana saja Sumber: Krugman, 2004 dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata, karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik. Untuk mengatasi hal tersebut harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. 1 Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). 1
Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness). 1 b) Antibiotik Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk mengeradikasi kuman penyebab difteria yaitu C. diphtheriae. Dengan demikian, produksi toksin dapat dihentikan dan penularan kuman dengan cara droplet dapat dicegah.
Antibiotik
yangdiberikan adalah Penisilin prokain dengan dosis 50.000-100.000 IU/ kgBB/ hari selama 10 hari. Sebelum pemberian antibiotik penisilin prokain, juga harus dilakukan skin test terlebih dahulu. Apabila terjadi reaksi hipersensitivitas, antibiotik yang diberikan adalah eritromisin dengan dosis 40 mg/kgBB/hari. 1 c) Kortikosteroid Pemberian kostrikosteroid
dianjurkan
pada
pasien
yang
memiliki gejala berikut ini, yaitu: obstruksi jalan nafas bagian atas (dengan ataupun tanpa bullneck) dan apabila terdapat miokarditis. Kortikosteroid yang diberikan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, kemudian dosis diturunkan secara bertahap (tapering off). 1 Selain pengobatan umum dan khusus, pengobatan terhadap penyulit juga harus dilakukan, pengobatan terutama diutamakan untuk menjaga hemodinamika tetap stabil. Umumnya penyebab yang ditimbulkan oleh toksin bersifat reversibel. Tindakan trakeostomi dapat dilakukan apabila ditemukan gangguan pernafasan yang progresif pada pasien disertai gelisah dan iritabilitas.
Pengobatan kontak juga harus dilakukan pada anak yang kontak dengan penderita. Anak tersebut sebaiknya juga diisolasi sampai dilakukan tindakan biakan hidung dan tenggorok. Munculan gejala klinis pada anak yang kontak juga harus diamati setiap harisampai masa inkubasi terlewati (2-5 hari). dapat juga dilakukan pemeriksaan serologi dan observasi harian pada anak tersebut. Selain itu, anak yang telah mendapat imunisasi dasar dapat diberikan booster toksoid difteria. 1 Pengobatan terhadap Kontak Difteria Biaka
Uji Schick
Tindakan
n (-)
(-)
Bebas isolasi: anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid
(+) (+) (-)
(-) (+)
difteria Pengobatan carrier Penisilin 100 mg/kgBB/hari atau eritromisin
(+)
40 mg/kgBB/hari + ADS 20.000 KI Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunisasi.
Carrier adalah individu yang terdapat basil C. diphtheriae
pada
nasofaringnya namun tidak disertai dengan munculan gejala klinis dan pada uji Schick hasilnya negatif. Pengobatan carrier dapat dilakukan dengan memberikan penisilin 100 mg/kgBB/hari baik secara oral maupun suntikan, atau dapat diberikan eritromisin dengan dosis 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu.
1
i. Komplikasi Penyulit difteria dapat terjadi sebagai akibat respon inflamasi local maupun akibat penyebaran eksotoksin ke jaringan tubuh lain. penyulit difteria dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu: 1. Obstruksi jalan nafas Obstruksi jalan nafas pada difteria disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria, atau karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular, dan servikal 2. Dampak toksin
Dampak penyebaran toksin C. diphtheriae dapat bermanifestasi pada jantung, saraf, dan ekstremitas. Pada jantung, eksotoksin dapat menimbulkan miokarditis dan biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatka antitoksin difteri. Miokarditis dapat muncul baik pada difteria ringan maupun sedang. Miokarditis biasanya muncul pada minggu ke dua, tetapi bisa paling dini muncul pada minggu pertama dan paling lambat pada minggu ke enam. Klinis yang dapat ditemui pada miokarditis adalah takikardia, suara jantung redup, terdengar bising jantung, aritmia, dan pada beberapa kondisi bias berupa gagal jantung. Kelainan pemeriksaan EKG pada pasien miokarditis difteria berupa elevasi segment ST, PR interval memanjang, dan heart block. 1 Dampak penyebaran toksin pada system saraf biasanya muncul lebih lambat, bersifat bilateral, terutama mengenai saraf motorik, dan akan sembuh sempurna. Pada minggu ke-3, bila terjadi kelumpuhan pada otot pallatum molle dapat terjadi suara sengau, regurgutasi nasal, dan sukar menelan. Pada minggu ke-5 hingga minggu ke-7 dapat terjadi paralisis otot mata. 1 Paralisis pada ekstremitas terjadi secara bilateral dan simetris, terjadi kehilangan deeptendon reflexs, peningkatan kadar protein likuor serebrospinal. Pada minggu ke-5 – minggu ke-7 dapat terjadi paralisis otot diafagma akibat neuritis saraf frenikus. Kondisi ini dapat menyebabkan kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Dan apabila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hiptensi dan gagal jantung. 1 3. Infeksi sekunder bakteri Penyulit berupa infeksi sekunder saat ini telah jarang terjadi dengan berkembangnya penggunaan antibiotic secara luas. 1 j. Prognosis Prognosis difteria lebih baik dari sebelumnya setelah ditemukannya Anti Difteria Serum (ADS) dan antibiotik. Di Indonesia, kasus difteria berat dengan prognosis buruk dapat ditemui pada daerah yang belum terjamah dengan imunisasi DPT. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteri disebabkan oleh: obstruksi jalan nafas akibat terlepasnya membran difteria, miokarditis dan gagal jantung, dan paralisis diafragma sebagai akibat
neuritis frenikus. Anak yang pernah miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria pada umumnya dapat sembuh sempurna tanpa gejala sisa, walaupun demikian pernah dilaporkan gejala yang menetap. k. Pencegahan Infeksi Difteria Pencegahan terhadap difteria dapat dilakukan secara umum maupun khusus. Pencegahan seara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan mengenai infeksi difteria dan bahayanya bagi anak. Pencegahan secara khusus dapat dilakukan dengan memberikan vaksin DPT dan pengobatan carrier. Seorang anak yang telah mendapatkan imunisasi DPT secara lengkap akan memiliki antibodi terhadap toksin difteria namun tidak mempunyai antibodi terhadap organismenya, inilah sebabnya mengapa bisa adanya individu yang menjadi carrier difteria.1 l. Imunisasi Difteria Imunisasi difteria tergabung dalam vaksin DTp yang jadwal pemberiannya dapat dimulai paling cepat usia 6 minggu dengan interval pemberian 4-8 minggu. Namun, berdasarkan rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), DTP-1 dapat diberikan pada usia 2 bulan, DTP-2 pada usia 4 bulan, dan DTP-3 pada bulan 6 bulan. Ketiga DTP tersebut di atas tergabung dalam DTP Primer. Selanjutnya DTP-4 pada usia 18-24 bulan, DTP-5 pada usia 5 tahun, DTP-6 usia 10-12 tahun, dann DTP-7 pada usia 18 tahun. Keempat DTP di atas termasuk ke dalam tahap booster dari program imunisasi difteria, Tetanus, dan Pertusis. 3 Dosis pemberian vaksin DTP adalah 0,5 ml, dengan cara pemberian secara intramuscular. Jenis vasin DTP ada 2, yaitu DTwP dan DTaP. DTwP adalah singkatan dari Diphtheria Tetanus whole cell-Pertusis, sedangkan DTaP adalah singkatan dari Diphtheria Tetanus acellular-Pertusis. DTwP berisi suspensi kuman B. Pertussis dan DTaP mengandung komponen toksin B. Pertussis yang dapat menginduksi pembentukan antibodi spesifik. 3
BAB II Laporan Kasus
A. IDENTITAS PASIEN Nama
:M
Jenis kelamin
: Laki - laki
Tanggal Lahir
: 14 April 2008
Umur
: 7 tahun 1 bulan
Alamat
: Sungai Limau Kuranji Hilir
Tanggal Masuk
: 5 Mei 2015
B. ALLOANAMNESIS 1. Keluhan Utama : demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit 2. Riwayat Penyakit Sekarang : Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, tinggi, hilang
timbul, tidak menggigil, tidak berkeringat, tidak disertai kejang. Batuk sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, berdahak, darah tidak
ada, disertai pilek. Sesak nafas tidak ada, suara serak tidak ada. Nyeri menelan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit Tampak bercak keputihan pada tenggorokan disadari orang tua sejak 1
hari sebelum masuk rumah sakit Mual tidak ada, muntah tidak ada Nafsu makan anak menurun sejak sakit. Anak biasanya makan 2-3 kali sehari, menghabiskan 1 porsi makanan. Saat ini anak makan 1-2 kali
sehari, menghabiskan 1/3 porsi makanan dari biasanya. Riwayat imunisasi dasar tidak lengkap, Booster tidak diberikan, anak
belum mendapatkan vaksin dT-ORI Buang air kecil warna dan jumlah biasa Buang air besar warna dan konsistensi biasa Anak sebelumnya telah dibawa berobat ke spesialis anak dan dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan keterangan susp. difteri tonsil.
3. Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya 4. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga, tetangga, dan teman sekolah yang menderita penyakit seperti ini sebelumnya. 5. Riwayat Kelahiran : Anak ketiga dari 3 bersaudara, lahir operasi caesar atas indikasi panggul sempit di rumah sakit, ditolong dokter, cukup bulan, berat lahir 3100 gram, panjang 50 cm, dan langsung menangis saat lahir.
6. Riwayat Imunisasi : Imunisasi dasar tidak lengkap. Booster belum diberikan. DPT ORI belum diberikan. 7. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Pertumbuhan gigi ibu pasien lupa, psikomotor normal, status pubertas A1P1M1, perkembangan mental dan emosi normal. 8. Riwayat Nutrisi Anak diberikan ASI sejak lahir sampai usia 2 tahun. Bubur susu diberikan pada usia 6-9bulan, nasi tim saring usia 7-11 bulan, nasi tim biasa usia 112 tahun, dan nasi biasa sejak usia 2 tahun sampai sekarang. Kualitas dan kuantitas cukup. 9. Riwayat Lingkungan Rumah permanen, jamban di dalam rumah, sumber air minum dari PDAM, air minum dari air galon, sampah dikumpul di TPS, dan pekarangan rumah ada. Hygiene dan sanitasi lingkungan cukup. C. PEMERIKSAAN FISIK Kesadaran : komposmentis Keadaan Umum : sakit sedang Tekanan darah : 120/80 mmHg Nadi : 110 kali/menit Suhu : 38,0oC Pernafasan : 30 kali/menit Berat badan : 18 kg Tinggi badan :126 cm Keadaan gizi : kurang Sianosis : tidak ada Anemis : tidak ada Ikterik : tidak ada Edema : tidak ada Kulit Kelenjar getah bening Kepala Rambut Mata
: teraba hangat, perfusi baik, CRT <2 detik : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening : bulat, simetris : hitam, tidak mudah rontok : konjungiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 2 mm/2 mm, reflek cahaya (+/+)
Telinga Hidung Tenggorokan
normal. : tidak ditemukan kelainan : tidak ditemukan kelainan : tonsil T2-T2 hiperemis, ada pseudomembran, sukar
Gigi dan mulut
diangkat, dan mudah berdarah. Faring hiperemis. : mukosa bibir dan lidah basah
Leher Thoraks Paru
: JVP 5-2 cmH2O : normochest, simetris : Inspeksi
: simetris, retraksi tidak ada
Palpasi
: fremitus kiri = kanan
Perkusi
: sonor
Auskultasi : vesikuler, ronki tidak ada , wheezing tidak ada Jantung : Inspeksi
: ictus kordis tidak terlihat
Palpasi
: ictus cordis teraba di LMCS 1 jari medial RIC V
Perkusi
: batas jantung atas: RIC II, kanan: LSD, kiri: LMCS 1 jari medial.
Aukultasi Perut
: Inspeksi Palpasi
: irama teratur, bising tidak ada : distensi (-) : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani Auskultasi : bising usus (+) normal Punggung : tidak ditemukan kelainan Anus : colok dubur tidak dilakukan Genitalia : tidak ditemukan kelainan, status pubertas A1M1P1 Ekstremitas : Akral hangat, perfusi baik, CRT <2 detik Refleks fisiologis + normal, refleks patologis tidak ada D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium : 5 Mei 2015 Hb = 11,1 g/dL Leukosit = 20.040/mm3 Hitung jenis leukosit = 0/0/6/53/37/4 Trombosit = 254.000/mm3 E. DIAGNOSIS Susp. Difteria Tonsil F. PENATALAKSANAAN Terapi: ML 1400 kkal ADS 80.000 IU drip dalam NaCl 0,9% 200 cc, habis dalam 2 jam, 30
tetes/menit (makro). Penicillin prokain 1 x 900.000 IU i.m. (skin test terlebih dahulu) Paracetamol 180 mg (bila T ≥38,5oC )
Rencana :
Swab tenggorok (pewarnaan gram, kultur) Pemeriksaan EKG berkala
Hasil pemeriksaan EKG :
HR = 120x/menit, irama sinus PR interval = 0,14 detik Kesan : tidak ada pemanjangan PR interval
Hasil skin test penisilin prokain : tidak ditemukan reaksi hipersensitivitas. FOLLOW UP : 9 April 2015 S/ Demam ada, tinggi, tidak menggigil, tidak berkeringat Batuk ada, berdahak, tidak disertai pilek Nyeri menelan tidak ada, ADS dan penisilin prokain telah diberikan BAB dan BAK biasa O/ KU Sedang
Kes
TD
Nadi
Nafas
Suhu
Sadar
-
113 x/’
28 x/’
37,8oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter
2 mm/2 mm, reflex cahaya (+) normal Tenggorokan : Toraks : cor-pulmo tidak ditemukan kelainan Abdomen : supel, distensi tidak ada, BU (+) normal Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, CRT 1” A/ Febris Susp. Difteri tonsil P/
ML 1700 kkal Penicillin prokain 1 x 1.200.000 IU (i.m.) Lactulac syr 2 x 1 cth Paracetamol 270 mg (bila T ≥38,5oC)
FOLLOW UP : 10 April 2015 S/ Demam ada, tidak tinggi, tidak menggigil, tidak berkeringat Batuk masih ada, berdahak, tidak disertai pilek
Nyeri menelan tidak ada Intake masuk, toleransi baik BAB dan BAK biasa O/ KU Sedang
Kes
TD
Nadi
Nafas
Suhu
Sadar
-
91x/’
20 x/’
37,0oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter
2 mm/2 mm, reflex cahaya (+) normal Tenggorokan : tonsil T2-T2 hiperemis, pseudomembran berkurang Toraks : cor-pulmo tidak ditemukan kelainan Abdomen : supel, distensi tidak ada, BU (+) normal Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, CRT <2 detik Hasil pemeriksaan swab tenggorok : Positif (+) Corynebacterium
diptheriae Hasil pemeriksaan EKG : 10/4-2015 HR = 90x/menit PR-interval = 0,20 detik Kesan : pemanjangan PR interval A/ Difteri tonsil P/
ML 1700 kkal Penicillin prokain 1 x 1.200.000 IU (i.m.) Prednison 3 x 18 mg (p.o) Lactulac syr 2 x 1 cth Paracetamol 270 mg (bila T ≥38,5oC)
Rencana : EKG/ hari
FOLLOW UP : 11 April 2015 S/ Demam ada, tidak tinggi, tidak menggigil, tidak berkeringat Batuk masih ada, berdahak, tidak disertai pilek Muntah tidak ada, nyeri menelan tidak ada Intake masuk, toleransi baik BAB dan BAK biasa O/ KU Sedang
Kes
TD
Nadi
Nafas
Suhu
sadar
-
83 x/’
21 x/’
37,2oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter
2 mm/2 mm, reflex cahaya (+) normal Tenggorokan : tonsil T2-T2 hiperemis, pseudomembran berkurang Toraks : cor-pulmo tidak ditemukan kelainan Abdomen : supel, distensi tidak ada, BU (+) normal Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, CRT 1” Hasil pemeriksaan EKG HR = 80x/menit PR-interval = 0,16 detik Kesan : dalam batas normal
A/ Difteri tonsil P/
ML 1700 kkal Penicillin prokain 1 x 1.200.000 IU (i.m.) Prednison 3 x 18 mg (p.o) Lactulac syr 2 x 1 cth Paracetamol 270 mg (bila T ≥38,5oC)
Rencana : EKG/hari
FOLLOW UP : 12 April 2015 S/ Demam ada, tidak tinggi, tidak menggigil, tidak berkeringat Batuk masih ada, berdahak, tidak disertai pilek Muntah tidak ada, nyeri menelan tidak ada Intake masuk, toleransi baik BAB dan BAK biasa O/ KU Sedang
Kes
TD
Nadi
Nafas
Suhu
sadar
-
82 x/’
19 x/’
37,0oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter
2 mm/2 mm, reflex cahaya (+) normal Tenggorokan : tonsil T2-T2 hiperemis, pseudomembran berkurang Toraks : cor-pulmo tidak ditemukan kelainan Abdomen : supel, distensi tidak ada, BU (+) normal Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, CRT 1” Hasil pemeriksaan EKG HR = 75x/menit
PR-interval = 0,16 detik Kesan : dalam batas normal A/ Difteri tonsil P/
ML 1700 kkal Penicillin prokain 1 x 1.200.000 IU (i.m.) Prednison 3 x 18 mg (p.o) Lactulac syr 2 x 1 cth Paracetamol 270 mg (bila T ≥38,5oC)
Rencana : EKG/hari
BAB III DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien perempuan umur 8 tahun dengan keluhan utama demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, tinggi, hilang timbul, tidak menggigil, tidak berkeringat, tidak disertai kejang. Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, berdahak, darah tidak ada, disertai pilek. Pada pasien tampak bercak keputihan pada tenggorokan disadari orang tua sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan swab tenggorok dan pemeriksaan EKG. Berdasarkan pemeriksaan swab tenggorok didapatkan hasil Positif Corynebacterium diphtheriae dan berdasarkan hasil pemeriksaan EKG pada hari rawatan ke-2 terjadi pemanjangan PR interval. Pasien diberikan drip Anti Diphtheria Serum 80.000 IU dan penicillin prokain 900.000 IU yang telah didahului dengan skin test. Karena terdapat pemanjangan PR interval maka diberikan prednison 2 mg/kgBB/hari . pada pasien juga diberikan lactulac syrup dan paracetamol (bila suhu > 38,5oC). Pada pasien direncanakan untuk diberikan injeksi penisilin prokain selama 10 hari dan dilakukan pemeriksaan EKG setiap hari untuk memantau komplikasi difteria tonsilnya terhadap jantung (miokarditis) dan juga diberikan prednison oral dengan dosis 2 mg/kgBB/hari.
DAFTAR PUSTAKA 1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, dan Satari HI. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2. Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya. Edisi 2. Semarang: Erlangga. 3. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, dan Soedjatmiko. 2014. Buku Pedoman Imunisasi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 4. Center for Disease Control and Prevention. Diphtheria : Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Diakses tanggal 17 April 2015 dari: http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/dip.html 5. Center for Disease Contro and Prevention. Diphtheriae. Diakses tanggal 17 April 2015 dari: http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/dip.pdf 6. Rusmil K, Chairulfatah A, Fadlyana E, Dhamayanti M. 2011. Wabah Difteri di Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Indonesia. Sari Pediatri : 12(6).