Bab I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Penyakit ginjal kronis (CKD) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia publik dan kini diakui sebagai suatu kondisi umum yang dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan gagal ginjal kronis (CRF). Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible , pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu syndrome klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ , akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. kriteria penyakit ginjal kronik : 1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelaian structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju fitrasi glomerulus (LFG) , dengan manifestasi : -
Kelainan patologis
-
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau dengan kelainan pada tes pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan , dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
II. EPIDEMIOLOGI Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, ada meningkatnya insiden dan prevalensi gagal ginjal, dengan hasil yang buruk dan biaya tinggi. Penyakit ginjal adalah penyebab utama kematian kesembilan di Amerika Serikat. Data dari Amerika Serikat Renal Data System (USRDS) menunjukkan bahwa
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
1
telah terjadi peningkatan 104% dalam prevalensi gagal ginjal kronis (CRF) antara tahun 19902001. Ada prevalensi lebih tinggi dari tahap awal penyakit penyakit ginjal kronis. Nasional Ketiga Pemeriksaan Kesehatan dan Survei (NHANES III) memperkirakan bahwa prevalensi penyakit ginjal kronis pada orang dewasa di Amerika Serikat adalah 11% (19,2 juta): 3,3% (5,9 (5,9 juta) telah stadium stadium 1, 3% (5,3 (5,3 juta) telah telah tahap 2, 4,3% (7,6 (7,6 juta) telah telah stadium 3, 0,2% (400.000) memiliki stadium 4, dan 0,2% (300.000) memiliki tahap 5. Selanjutnya, prevalensi penyakit ginjal kronis tahap 1-4 meningkat dari 10% pada tahun 1988-1994 menjadi 13,1% pada 1999-2004.
Peningkatan ini sebagian dijelaskan oleh
peningkatan prevalensi diabetes dan hipertensi, dua penyebab paling umum dari penyakit ginjal kronis. Internasional. Tingkat kejadian stadium akhir penyakit ginjal (ESRD) telah terus meningkat
secara internasional sejak tahun 1989. Amerika Serikat memiliki tingkat insiden tertinggi ESRD, diikuti oleh Jepang. Jepang memiliki prevalensi tertinggi per juta penduduk, dengan Amerika Serikat mengambil tempat kedua.
Ras. Penyakit ginjal kronis mempengaruhi semua ras, tetapi, di Amerika Serikat, kejadian secara signifikan lebih tinggi ESRD ada di orang kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih; tingkat insiden untuk orang kulit hitam hampir 4 kali bahwa untuk kulit putih. Choi et al menemukan bahwa tingkat stadium akhir penyakit ginjal diantara pasien berkulit hitam melebihi mereka di antara pasien putih di semua tingkat laju filtrasi glomerulus diperkirakan dasar (eGFR).
[1]
Demikian pula, tingkat kematian di antara pasien kulit hitam sama dengan atau lebih
tinggi dibandingkan antara pasien putih di semua tingkat eGFR. Resiko stadium akhir penyakit ginjal diantara pasien berkulit hitam tertinggi pada eGFR 45-59 mL/min/1.73 (hazard ratio, 3,08) m2, seperti risiko kematian (rasio hazard, 1,32).
Seks. , USRDS Laporan Data Tahunan 2004 mengungkapkan bahwa tingkat kejadian kasus ESRD lebih tinggi untuk laki-laki dengan 409 per juta penduduk pada tahun 2002 dibandingkan 2
dengan 276 untuk wanita.
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
Umur. Penyakit ginjal kronis ditemukan pada orang dari segala usia. Penurunan rata-rata yang normal tahunan di GFR dengan usia dari GFR puncak (sekitar 120 mL/min/1.73 m selama dekade ketiga kehidupan adalah sekitar 1 mL/min/y/1.73 m mL/min/1.73 m
2
2,
2)
dicapai
mencapai nilai rata-rata 70
di usia 70 tahun. Meskipun demikian, di Amerika Serikat, tingkat kejadian
tertinggi terjadi pada pasien ESRD lebih tua dari 65 tahun. Sesuai data NHANES III, prevalensi penyakit ginjal kronis adalah 37,8% di antara pasien yang lebih tua dari 70 tahun.
Selain
diabetes mellitus dan hipertensi, usia adalah prediktor independen utama dari penyakit ginjal kronis. Proses biologis penuaan menginisiasikan ginjal.
perubahan struktural dan fungsional pada
Massa ginjal progresif menurun dengan bertambahnya usia.
Glomerulosclerosis Glomerulosclerosi s
mengarah ke penurunan berat ginjal. Iskemik glomeruli kortikal dominan, Juxtamedullary glomerulus melihat shunting darah dari arteriol aferen ke eferen, sehingga redistribusi aliran darah medula ginjal mendukung. Perubahan anatomi dan fungsional dalam pembuluh darah ginjal tampaknya memberi kontribusi terhadap penurunan usia terkait dalam aliran darah ginjal. Namun, respons vasokonstriktor menjadi angiotensin intrarenal identik dalam kedua subyek manusia muda dan tua. Sebuah kapasitas vasodilatasi tumpul dengan respons vasokonstriktor yang tepat dapat menunjukkan bahwa ginjal usia dalam keadaan vasodilatasi untuk mengimbangi kerusakan yang mendasarinya sklerotik. Karena perubahan anatomi dan fisiologis, pasien usia lanjut dengan penyakit ginjal kronis dapat berperilaku berbeda, dalam hal perkembangan dan respon terhadap pengobatan farmakologis, dibandingkan pasien yang lebih muda. Oleh karena itu, nilai kreatinin serum 1,2 mg / dL pada 70-kg pada pria 25 tahun dengan 70-kg pada pria usia 80 tahun merupakan eGFR 74 mL/min/1.73m
2
dan 58 mL / min/1.73m 2,.
Apa yang dapat muncul sebagai gangguan ginjal ringan hanya pada seorang pria 70 kg, 80 tahun dengan peningkatan kreatinin serum patologis 2 mg / dL sebenarnya merupakan gangguan ginjal berat ketika eGFR dihitung menjadi 32 mL/min/1.73m
2.
Oleh karena itu, suatu eGFR harus
ditentukan hanya dengan menggunakan Modifikasi Diet di Renal (MDRD) persamaan Penyakit (lihat Tes lain) pada orang tua sehingga penyesuaian dosis obat yang tepat dapat dibuat dan nephrotoxins dapat dihindari pada pasien yang memiliki lebih luas kronis penyakit ginjal dari yang disarankan oleh nilai kreatinin serum saja.
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
3
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
I. KLASIFIKASI Dalam menentukan stadium CKD, sangat penting untuk memperkirakan GFR. Terdapat 2 rumus yang dapat digunakan untuk memperkirakan GFR dengan cara mempertimbangkan kreatinin serum, usia, jenis kelamin, dan etnisitas. Tabel 2 menunjukkan rumus untuk memperkirakan GFR. Tabel 1. Rekomendasi rumus untuk memperkirakan Glomerular Filtration Rate (GFR) 3
menggunakan kreatinin serum (PCr ), usia, jenis kelamin, etnik, dan berat badan
2
1. Rumus dari Modification of Diet in Renal Perkiraan GFR (mL/min per 1.73 m ) = 1.86 x 1.154 – 1.154
(PCr)
Disease study
0.203 – 0.203
x (age)
Dikalikan dengan 0.742 untuk wanita Dikalikan dengan 1.21 untuk keturunan afrikaamerika 2. Cockcroft-Gault equation
Dikalikan dengan 0.85 untuk wanita
Nilai maksimal GFR dicapai pada decade ke-3 kehidupan manusia, yaitu sekitar 20 2
2
mL/min per 1.73 m dan akan mengalami penurunan ± 1 mL/min per tahun per 1.73 m ; 2
sehingga pada usia 70 tahun didapatkan GFR rata-rata 70 mL/min per 1.73 m , angka ini lebih rendah pada wanita.
3
Penyakit ginjal kronik ( chronic kidney disease/ CKD) CKD) meliputi suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam yang berhubungan kelainan fungsi ginjal dan penurunan progresif GFR. Tabel 1 menunjukkan klasifikasi berdasarkan National Foundation [Kidney Dialysis
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
4
Outcomes Quality Initiative (KDOQI)] , , dimana
diklasifikasikan berdasarkan estimasi nilai GFR.
stadium dari penyakit ginjal kronik
3
3
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (CKD)
Stadium
Laju Filtrasi Glomerulus
Fungsi Ginjal
2
(mL/menit/1,73m )
Risiko meningkat
Normal
> 90, terdapat faktor risiko
Stadium 1
Normal/meningkat
> 90, terdapat kerusakan ginjal, proteinuria menetap, kelainan sedimen urin, kelainan kimia
darah
dan
urin,
kelainan
pada
pemeriksaan radiologi. Stadium 2
Penurunan ringan
60 – 60 – 89 89
Stadium 3
Penurunan sedang
30 – 30 – 59 59
Stadium 4
Penurunan berat
15 – 15 – 29 29
Stadium 5
Gagal ginjal
< 15
Istilah chronic renal failure menunjukkan proses berlanjut reduksi jumlah nephron yang signifikan, biasanya digunakan pada CKD stadium 3 hingga 5. Istilah end-stage renal disease menunjukkan stadium CKD dimana telah terjadi akumulasi zat toksin, air, dan elektrolit yang secara normal diekskresi oleh ginjal sehingga terjadi sindrom uremikum. Sindrom uremikum selanjutnya dapat mengakibatkan kematian sehingga diperlukan pembersihan kelebihan zat-zat tersebut melalui terapi penggantian ginjal, dapat berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
3
Klasifikasi penyakit ginjal didasarkan atas 2 aspek , yaitu : atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar etiologi diagnosis. Apapun etiologi yang mendasari, penghancuran massa ginjal dengan sklerosis ireversibel dan hilangnya nefron menyebabkan penurunan progresif GFR. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut : 5
LFG (ml/mnt/1,73m2) :
(140 - umur) X Berat Badan 72 X Kreatinin Plasma (mg/dl) *perempuan dikalikan 0,85 Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit
Tipe Mayor
Penyakit Ginjal Diabetes
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit Ginjal Non Diabetes
Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat neoplasia) Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati) Penyakit tubulointerstisial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat) Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Transplantasi
Rejeksi kronik Keracunan obat (siklosporin/takrolimus) Penyakit recurrent (glomerular) Transplant glomerulopathy
II. ETIOLOGI Etiologi
Di amerika serikat penyebab tersering CKD adalah nefropati diabetikum, yang merupakan komplikasi dari diabetes mellitus tipe 2. Nefropati hipertensi merupakan penyebab tersering CKD pada usia tua, dimana terjadi iskemi kronik pada ginjal sebagai akibat penyakit vaskular mikro dan makro ginjal. Nefrosklerosis progresif terjadi dengan cara yang sama seperti pada penyakit jantung koroner dan penyakit serebrovaskular. Berikut tabel 3 merupakan etiologi yang dapat menyebabkan CKD. 6
Tabel 3. Etiologi CKD7
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
Penyakit vaskular
Stenosis arteri renalis, vaskulitis, atheroemboli, nephrosclerosis hipertensi, thrombosis vena renalis
Penyakit glomerulus primer
Nephropati membranosa, nephropati IgA, fokal dan segmental glomerulosclerosis
(FSGS),
minimal
change
disease,
membranoproliferative glomerulonephritis, rapidly progressive (crescentic) glomerulonephritis Penyakit glomerulus sekunder
Diabetes mellitus, systemic lupus erythematosus, rheumatoid arthritis,
scleroderma,
granulomatosis, endocarditis,
Goodpasture
syndrome,
postinfectious hepatitis
B
and
Wegener
glomerulonephritis, C,
syphilis,
human
immunodeficiency virus (HIV), parasitic infection, pemakaian heroin, gold, penicillamine, amyloidosis, neoplasia, thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP), hemolytic-uremic syndrome (HUS), Henoch-Schönlein purpura, Alport syndrome, reflux nephropathy Penyakit tubulo-interstitial tubulo-interst itial
Obat-obatan ( sulfa, allopurinol), infeksi (virus, bacteri, parasit), Sjögren syndrome, hypokalemia kronik, hypercalcemia kronik, sarcoidosis, multiple myeloma cast nephropathy, heavy metals, radiation nephritis, polycystic kidneys, cystinosis
Obstruksi saluran kemih
Urolithiasis, Urolithiasis ,
benign
prostatic
hypertrophy,
tumors,
retroperitoneal fibrosis, urethral stricture, neurogenic bladder
V. PATOGENESIS PENYAKIT GINJAL KRONIK Patogenesis penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan 2 mekanisme kerusakan: (1) merupakan mekanisme pencetus yang spesifik sebagai penyakit yang mendasari kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulonephritis, atau pajanan zat toksin
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
7
pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) merupakan mekanisme kerusakan progresif, ditandai adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nephron yang tersisa.
3
Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor ß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
3-5
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau bahkan meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang 8
lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
4,5
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
Manifestasi uremic pada pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 5 diyakini terutama sekunder akumulasi racun. Kemampuan untuk mempertahankan kalium (K) ekskresi pada tingkat normal umumnya dipertahankan pada penyakit ginjal kronis selama kedua sekresi aldosteron dan aliran distal dipertahankan. Retensi kalium pada pasien dengan penyakit ginjal kronis meningkat ekskresi kalium dalam saluran pencernaan, yang juga berada di bawah kendali aldosteron. Oleh karena itu, hiperkalemia biasanya berkembang saat GFR turun menjadi kurang dari 20-25 ml / menit karena penurunan kemampuan dari ginjal untuk mengekskresikan kalium. Hal ini dapat diamati lebih cepat pada pasien yang menelan diet kaya potasium atau jika kadar aldosteron serum rendah, seperti pada asidosis tubulus ginjal IV umumnya diamati pada orang dengan diabetes atau dengan penggunaan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor atau non-steroid obat anti-inflamasi (NSAID).
Hiperkalemia pada penyakit ginjal kronis dapat
diperburuk oleh pergeseran kalium ekstraseluler, seperti yang terjadi dalam pengaturan asidemia atau dari kekurangan insulin. Hipokalemia jarang terjadi tetapi dapat berkembang di antara pasien dengan asupan yang sangat miskin kehilangan kalium, gastrointestinal atau urin kalium, diare, atau menggunakan diuretik. Asidosis metabolik sering dicampur, gap anion anion gap yang normal dan meningkat, yang terakhir diamati umumnya dengan penyakit ginjal kronis stadium 5 tetapi dengan anion gap umumnya tidak lebih tinggi dari 20 mEq / L. Pada penyakit ginjal kronis, ginjal tidak mampu untuk menghasilkan amonia yang cukup dalam tubulus proksimal mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk amonium. Pada penyakit ginjal tahap kronis 5, akumulasi fosfat, sulfat, dan anion organik lainnya adalah penyebab dari peningkatan anion gap. Asidosis metabolik telah terbukti memiliki efek merusak pada keseimbangan protein, menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif, peningkatan degradasi protein, peningkatan oksidasi asam amino esensial, mengurangi sintesis albumin, dan kurangnya adaptasi ke diet rendah protein. Oleh karena itu, ini dikaitkan dengan kekurangan energi protein, kehilangan massa tubuh ramping, dan kelemahan otot.
Mekanisme untuk
mengurangi protein mungkin termasuk efek pada ATP-dependent proteasomes ubiquitin dan peningkatan aktivitas dehydrogenases asam keton rantai bercabang. Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
9
Dalam studi prevalensi NHANES III, hipoalbuminemia (penanda protein-energi malnutrisi dan penanda prediktif yang kuat kematian pada pasien dialisis serta pada populasi umum) secara independen terkait dengan bikarbonat rendah serta penanda protein C reaktif inflamasi.
Asidosis metabolik merupakan faktor dalam pengembangan osteodistrofi ginjal,
sebagai tulang bertindak sebagai buffer untuk kelebihan asam, dengan kerugian yang dihasilkan dari mineral.
Asidosis dapat mengganggu metabolisme vitamin D, dan pasien yang terus
menerus lebih asidosis lebih cenderung memiliki osteomalasia atau rendah turnover penyakit tulang. Bukti manfaat dan risiko mengoreksi asidosis metabolik sangat terbatas, tanpa uji coba terkontrol secara acak di pra-ESRD pasien, tidak ada pada anak-anak, dan hanya 3 percobaan kecil pada pasien dialisis. Percobaan ini menunjukkan bahwa mungkin ada beberapa efek yang menguntungkan pada kedua metabolisme protein dan metabolisme tulang, namun persidangan underpowered untuk memberikan bukti yang kuat. Para ahli merekomendasikan terapi alkali untuk mempertahankan konsentrasi bikarbonat serum di atas 22 mEq / L. Peradangan dan hemostasis dapat meningkatkan risiko penurunan fungsi ginjal, tetapi studi prospektif yang yang kurang. Risiko Aterosklerosis dalam Komunitas (ARIC) Study, sebuah kohort observasional prospektif, mengamati tanda peradangan dan hemostasis pada 14.854 orang dewasa setengah baya.
[2]
Risiko penurunan fungsi ginjal yang berhubungan dengan penanda
inflamasi dan hemostasis diperiksa, menggunakan data dari 1787 kasus penyakit ginjal kronis (CKD) yang dikembangkan antara 1987 dan 2004. Setelah penyesuaian untuk berbagai faktor, seperti demografi, merokok, tekanan darah, diabetes, lipid level, infark miokard sebelumnya (MI), penggunaan antihipertensi, dan penggunaan alkohol, studi di atas menunjukkan bahwa risiko untuk penyakit ginjal kronis bangkit dengan kuartil meningkatnya sel darah putih (WBC) count, fibrinogen, faktor von Willebrand, dan VIIIc faktor.
Para peneliti menemukan hubungan terbalik yang kuat antara
kadar albumin serum dan risiko penyakit ginjal kronis. Temuan penelitian menunjukkan bahwa peradangan dan hemostasis yang yg jalur untuk penyakit ginjal kronis. Penelitian lain difokuskan pada model menggunakan hasil laboratorium rutin untuk memprediksi perkembangan dari penyakit ginjal kronis (tahap 3-5) gagal gagal ginjal. Temuan menunjukkan bahwa estimasi GFR lebih rendah, lebih tinggi albuminuria, usia yang lebih muda, dan jenis kelamin laki-laki menunjuk ke Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
10
sebuah perkembangan yang lebih cepat gagal ginjal. Juga, serum albumin rendah, kalsium, dan bikarbonat, dan tingkat serum fosfat yang lebih tinggi dapat memprediksi peningkatan risiko gagal ginjal.
[3]
Penanganan garam dan air oleh ginjal diubah pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Volume ekstraseluler ekspansi dan total hasil tubuh kelebihan volume dari kegagalan ekskresi natrium dan air bebas. Hal ini umumnya menjadi klinis diwujudkan ketika GFR turun menjadi kurang dari 10-15 ml / menit, ketika mekanisme kompensasi telah menjadi kelelahan. Sebagai fungsi ginjal penurunan lebih lanjut, retensi natrium dan ekspansi volume ekstraseluler menyebabkan perifer dan, tidak jarang, edema paru dan hipertensi. Pada natrium, lebih tinggi GFR dan air berlebih asupan bisa menghasilkan gambar yang sama jika jumlah tertelan natrium dan air melebihi potensi yang tersedia untuk ekskresi kompensasi. Anemia normokromik normositik terutama berkembang dari sintesis ginjal penurunan eritropoietin, hormon yang bertanggung jawab untuk stimulasi sumsum tulang untuk sel darah merah produksi (RBC). Ini dimulai pada awal perjalanan penyakit dan menjadi lebih parah karena GFR menurun secara progresif dengan ketersediaan massa ginjal yang kurang layak. Tidak ada respon retikulosit terjadi. RBC kelangsungan hidup menurun, dan kecenderungan perdarahan meningkat dari disfungsi uremia-diinduksi uremia-diinduks i trombosit.
Penyebab lain dari anemia
pada pasien penyakit ginjal kronis termasuk kehilangan darah kronis, hiperparatiroidisme sekunder, peradangan, kekurangan gizi, dan akumulasi inhibitor eritropoiesis. Anemia berhubungan dengan kelelahan, kapasitas latihan dikurangi, fungsi kognitif dan gangguan kekebalan tubuh, dan mengurangi kualitas hidup.
Anemia juga dikaitkan dengan
perkembangan penyakit kardiovaskular, onset baru gagal jantung, atau pengembangan gagal jantung yang yang lebih parah. parah. Anemia dikaitkan dikaitkan dengan dengan kematian kematian kardiovaskular kardiovaskular meningkat. meningkat. Penyakit tulang ginjal adalah komplikasi umum dari penyakit ginjal kronis dan hasil di kedua komplikasi skeletal (misalnya, kelainan pergantian tulang, mineralisasi, pertumbuhan linier) dan komplikasi extraskeletal (misalnya, kalsifikasi jaringan vaskular atau lembut). Berbagai jenis penyakit tulang terjadi dengan penyakit ginjal kronis, sebagai berikut: (1) pergantian penyakit tulang tinggi karena hormon paratiroid tinggi (PTH) tingkat; (2a) onset
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
11
penyakit tulang yang rendah (penyakit tulang adinamik); (2b) mineralisasi cacat ( osteomalacia); (3) penyakit campuran, dan (4) beta-2-mikroglobulin penyakit tulang yang terkait. Gangguan ginjal penyakit mineral dan tulang kronis (CKD-MBD) adalah morbiditas terkait dengan CKD melibatkan kelainan biokimia, (yaitu, serum fosfor, PTH, dan vitamin D tingkat) yang berhubungan dengan metabolisme tulang. London dkk. meringkas bukti terbaik dan Penyakit Ginjal Meningkatkan Hasil Global (KDIGO) rekomendasi tentang cara pendekatan pengelolaan CKD-MBD.
[4]
Pedoman KDIGO dikeluarkan setelah menimbang kualitas dan
kedalaman bukti, bila tersedia, dan mengusulkan masuk akal pendekatan untuk evaluasi dan pengobatan MBD dalam berbagai tahap CKD. Hiperparatiroidisme
sekunder
berkembang
karena
hiperfosfatemia,
hipokalsemia,
penurunan sintesis ginjal 1,25-dihydroxycholecalciferol (1,25-dihydroxyvitamin D, atau calcitriol), perubahan intrinsik dalam kelenjar paratiroid yang memberikan sekresi PTH naik menjadi meningkat serta pertumbuhan paratiroid meningkat, dan rangka ketahanan terhadap PTH. Kalsium dan calcitriol adalah penghambat umpan balik utama; hiperfosfatemia adalah stimulus untuk sintesis dan sekresi PTH. Retensi fosfat dimulai pada awal penyakit ginjal kronis, ketika jatuh GFR, fosfat kurang disaring dan dikeluarkan, tetapi kadar serum tidak naik awalnya karena sekresi PTH meningkat, yang meningkatkan meningkatkan ekskresi ginjal. Sebagai GFR jatuh ke tahap penyakit ginjal kronis 4-5, hiperfosfatemia berkembang dari ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresikan kelebihan asupan makanan. Hyperphosphatemia menekan hidroksilasi ginjal tidak aktif 25-hidroksivitamin D untuk calcitriol, tingkat calcitriol sehingga serum rendah bila GFR kurang dari 30 mL / menit. Konsentrasi fosfat meningkat juga efek konsentrasi PTH oleh efek langsung terhadap kelenjar paratiroid (efek posttranscriptional). Hypocalcemia berkembang terutama dari usus penyerapan kalsium menurun karena tingkat calcitriol plasma rendah dan mungkin dari kalsium mengikat kadar serum fosfat. Tingkat rendah kalsitriol serum, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia semuanya telah menunjukkan untuk mandiri memicu sintesis dan sekresi PTH. Sebagai rangsangan ini bertahan pada penyakit ginjal kronis, terutama pada tahap lebih maju, sekresi PTH menjadi maladaptif dan kelenjar paratiroid,
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
12
yang awalnya hipertrofi, menjadi hiperplastik.
Tingkat PTH meningkat terus menerus
memperburuk hiperfosfatemia dari resorpsi tulang dari fosfat. Jika tingkat serum PTH tetap tinggi, pergantian lesi tulang yang tinggi, yang dikenal sebagai osteitis fibrosa, berkembang.
Ini adalah salah satu dari beberapa lesi tulang, yang yang sebagai
kelompok yang dikenal sebagai osteodystrophy ginjal. Lesi ini berkembang pada pasien dengan penyakit ginjal parah kronis. Prevalensi penyakit tulang adinamik di Amerika Serikat telah meningkat, dan telah dijelaskan sebelum inisiasi dialisis dalam beberapa kasus. Patogenesis penyakit tulang adinamik tidak didefinisikan dengan baik, tetapi beberapa faktor mungkin berkontribusi, termasuk beban kalsium yang tinggi, penggunaan vitamin D sterol, bertambahnya usia, terapi kortikosteroid sebelumnya, dialisis peritoneal, dan tingkat peningkatan N-terminal fragmen PTH terpotong. Osteomalasia omset rendah dalam pengaturan penyakit ginjal kronis dikaitkan dengan akumulasi aluminium dan nyata kurang umum.
Dialisis terkait amiloidosis dari beta-2-mikroglobulin beta-2-mikro globulin
akumulasi pada pasien yang membutuhkan dialisis kronis selama minimal 8-10 tahun adalah bentuk lain dari penyakit tulang yang bermanifestasi dengan kista di ujung tulang panjang. Manifestasi lain dari uremia di ESRD, banyak yang lebih mungkin pada pasien yang tidak cukup didialisis, meliputi:
Perikarditis - Dapat rumit oleh tamponade jantung, mungkin mengakibatkan kematian.
Ensefalopati - Dapat berlanjut menjadi koma dan kematian
Neuropati perifer
Restless leg syndrome
Gejala GI - Anoreksia, mual, muntah, diare
Manifestasi kulit - Kulit kering, pruritus, ecchymosis
Kelelahan mengantuk, meningkat, gagal tumbuh
Malnutrisi
Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenore
Disfungsi trombosit dengan kecenderungan perdarahan
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
13
Faktor risiko gagal ginjal kronik
Sangatlah penting untuk mengetahui faktor yang dapat meningkatkan risiko CKD, sekalipun pada individu dengan GFR yangnormal. Faktor risiko CKD meliputi hipertensi, diabetes mellitus, penyakit autoimun, infeksi sistemik, neoplasma, usia lanjut, keturunan afrika, riwayat keluarga dengan penyakit ginjal, riwayat gagal ginjal akut, penggunaan obat-obatan jangka panjang, panjang, berat badan lahir rendah, dan adanya proteinuria, proteinuria, kelainan sedimen urin, infeksi saluran kemih, batu ginjal, batu saluran kemih atau kelainan struktural saluran kemih. Keadaan status sosioekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah juga merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko CKD.
3,6
Patofisiologi dan biokimia uremia
Uremia adalah salah satu sindroma klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ yang diakibatkan oleh hilangnya fungsi ginjal yang sangat besar karena adanya gangguan pada ginjal yang kronik. Gangguan ini meliputi fungsi metabolik dan endokrin, gagal jantung, dan malnutrisi.
3
Patofisiologi sindrom uremia dapat dibagi menjadi 2 mekanisme: (1) akibat akumulasi produk metabolism protein; hasil metabolism protein dan asam amino sebagian besar bergantung pada ginjal untuk diekskresi. Urea mewakili kira-kira 80 % nitrogen atau lebih dari seluruh nitrogen yang diekskresikan ke dalam urin. Gejala uremik itu ditandai dengan peningkatan urea di dalam darah yang menyebabkan manifestasi klinis seperti anoreksia, malaise, mula, muntah, sakit kepala, dll; (2) akibat kehilangan fungsi ginjal yang lain, seperti gangguan hemostasis cairan dan elektrolit dan abnormalitas hormonal. Pada gagal ginjal, kadar hormone di dalam plasma seperti hormone paratiroid (PTH), insulin, glucagon, LTH, dan prolaktin meningkat. Hal ini selain disebabkan kegagalan katabolisme ginjal tetapi juga karena sekresi hormone tersebut meningkat, yang merupakan konsekuensi sekunder dari disfungsi renal. Ginjal juga memproduksi erythropoietin (EPO) dan 1,23-dihidroxychlorocalsiferol yang pada penyakit ginjal kronik kadarnya menurun.
3 14
VII. PENDEKATAN DIAGNOSTIK Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi : A). sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinasrius, hipertensi, hiperirisemia, lupus eritematosus sistemik (LES), dan lain sebagainya. B). syndrome uremia, yang terdiri dari lemah, letargi,anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. C). gejalakomplikasinya : hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida). Gambaran laboratoris
Tes berikut dapat diindikasikan:
Elektrolit serum, BUN, dan kreatinin - BUN ini dan tingkat kreatinin akan meningkat pada pasien dengan penyakit ginjal ginjal kronis. Hiperkalemia atau tingkat bikarbonat rendah dapat ada pada pasien dengan penyakit ginjal kronis.
Serum kalsium, fosfat, vitamin D, dan hormon paratiroid utuh (PTH) tingkat diperoleh untuk mencari bukti penyakit tulang ginjal.
CBC hitung - Anemia normokromik normositik umumnya terlihat pada penyakit ginjal kronis. Penyebab lain dari anemia harus disingkirkan.
Serum albumin - Pasien mungkin memiliki hipoalbuminemia karena hilangnya protein urin atau malnutrisi.
Profil lipid - Sebuah profil lipid harus dilakukan pada semua pasien dengan penyakit ginjal kronis karena risiko mereka terhadap penyakit kardiovaskular.
Urinalisis - proteinuria dipstick mungkin menyarankan glomerulus atau masalah tubulointerstitial. tubulointerstit ial. Sedimen urin menemukan sel darah merah, RBC gips, menunjukkan glomerulonefritis proliferatif.
Piuria dan / atau gips WBC yang sugestif dari nefritis
interstisial (terutama jika eosinophiluria hadir) atau infeksi saluran kemih.
Spot koleksi urin untuk total protein-ke-kreatinin rasio memungkinkan pendekatan yang 15
dapat diandalkan (ekstrapolasi) (ekstrapolasi ) dari total 24-jam ekskresi protein urin. Nilai lebih besar
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
dari 2 g dianggap dalam kisaran glomerulus, dan nilai lebih besar dari 3-3,5 g adalah dalam nefrotik; kurang dari 2 adalah karakteristik masalah tubulointerstitial.
Dua puluh empat jam koleksi urin untuk protein total dan CrCl
Dalam kasus tertentu, tes berikut dapat dipesan sebagai bagian dari evaluasi pasien dengan penyakit ginjal kronis:
Serum dan elektroforesis protein urin untuk layar untuk protein monoklonal mungkin mewakili multiple myeloma
Antibodi antinuclear (ANA), double-stranded DNA kadar antibodi untuk layar untuk lupus eritematosus sistemik
Tingkat melengkapi Serum - Mei menjadi depresi dengan beberapa glomerulonephritides
C-ANCA dan P-ANCA tingkat - Bermanfaat jika positif dalam diagnosis dari Wegener granulomatosis dan poliarteritis nodosa atau polyangiitis mikroskopis, masing-masing
Anti-glomerular basement membrane (anti-GBM) antibodi - Sangat sugestif dari sindrom Goodpasture mendasari
Hepatitis B dan C, HIV, Penyakit kelamin Laboratorium Penelitian (VDRL) serologi Kondisi yang berhubungan dengan beberapa glomerulonephritides
Gambaran radiologis
Penelitian pencitraan berikut dapat diindikasikan:
Plain x-ray abdomen
- Terutama berguna untuk mencari batu radio-opak atau
nefrokalsinosis
Pyelogram intravena - Tidak umum digunakan karena potensi toksisitas kontras intravena ginjal; sering digunakan untuk mendiagnosa batu ginjal
USG ginjal - ginjal ginjal echogenic kecil yang diamati pada gagal ginjal canggih.
Ginjal
biasanya normal dalam ukuran nefropati diabetik maju, di mana ginjal yang terkena dampak awalnya diperbesar dari hiperfiltrasi. hiperfiltrasi .
Kelainan struktural, seperti ginjal 16
polikistik, juga dapat diamati.
Ini adalah tes yang yang berguna untuk layar untuk
hidronefrosis, yang tidak dapat diamati pada awal obstruksi, atau keterlibatan dari Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
retroperitoneum dengan fibrosis, tumor, atau adenopati menyebar. Pyelogram retrograde dapat diindikasikan jika indeks kecurigaan yang tinggi klinis untuk obstruksi ada meskipun studi negatif menemukan.
Ginjal radionuklida memindai - Berguna untuk layar untuk stenosis arteri ginjal bila dilakukan dengan pemberian kaptopril tetapi tidak dapat diandalkan untuk GFR kurang dari 30 cc / menit; juga quantitates kontribusi diferensial ginjal untuk GFR Total
CT scan - CT scan berguna untuk lebih mendefinisikan massa ginjal dan kista biasanya dicatat pada USG. Selain itu, tes yang yang paling sensitif untuk mengidentifikasi batu ginjal. IV kontras ditingkatkan CT scan harus dihindari pada pasien dengan gangguan ginjal untuk menghindari gagal ginjal akut; risiko ini meningkat secara signifikan pada pasien dengan moderat sampai berat penyakit ginjal kronis. Dehidrasi juga nyata meningkatkan risiko ini.
MRI sangat berguna pada pasien yang memerlukan CT scan, tetapi yang tidak dapat menerima kontras intravena. Hal ini dapat diandalkan dalam diagnosis trombosis vena ginjal, seperti CT scan dan ginjal venography. Magnetic resonance angiography juga menjadi lebih berguna untuk diagnosis stenosis arteri ginjal, meskipun arteriografi ginjal tetap standar kriteria.
Membatalkan cystourethrogram (VCUG) - Kriteria standar untuk diagnosis refluks vesicoureteral
Tes Lainnya
Rumus Cockcroft-Gault untuk memperkirakan CrCl harus digunakan secara rutin sebagai sarana sederhana untuk memberikan perkiraan yang dapat diandalkan fungsi ginjal sisa dalam semua pasien dengan penyakit ginjal kronis. Rumus adalah sebagai berikut:
CrCl (pria) = ([140-usia] X berat badan dalam kg) / (kreatinin serum X 72)
CrCl (perempuan) = CrCl (pria) X 0,85 Atau, Modifikasi Diet di Renal (MDRD) persamaan Studi Penyakit dapat digunakan
untuk menghitung GFR. Persamaan ini tidak memerlukan berat badan pasien.
[5]
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
17
2.
Namun, meremehkan MDRD diukur pada tingkat GFR> 60 mL/min/1.73 m
Stevens et
al menemukan bahwa Epidemiologi Penyakit Ginjal Kronis Kolaborasi (CKD-EPI) Persamaan lebih akurat daripada persamaan MDRD studi keseluruhan dan di seluruh subkelompok yang paling, dan dan dapat melaporkan eGFR ≥ 60 mL/min/1.73 m
2. [6]
Prosedur
Perkutan dilakukan biopsi ginjal paling sering dengan bimbingan USG dan penggunaan pistol mekanik. Umumnya ditunjukkan ketika gangguan ginjal ginjal dan / atau proteinuria nefrotik mendekati hadir dan diagnosis tidak jelas setelah pemeriksaan lain yang sesuai. Hal ini tidak ditunjukkan dalam pengaturan ginjal echogenic kecil di USG karena ini adalah sangat terluka dan mewakili cedera ireversibel kronis. Komplikasi yang paling umum dari prosedur ini adalah perdarahan, yang dapat mengancam kehidupan di sebagian kecil kejadian. Bedah terbuka biopsi ginjal dapat dipertimbangkan ketika risiko perdarahan ginjal dirasakan menjadi besar, kadang-kadang dengan ginjal soliter, atau ketika biopsi perkutan secara teknis sulit untuk melakukan. Temuan histologis
Histologi ginjal pada penyakit ginjal kronis mengungkapkan temuan kompatibel dengan diagnosis primer dan ginjal yang mendasarinya, umumnya, temuan glomeruli segmental dan global
sclerosed
dan
atrofi
tubulointerstitial,
seringkali
dengan
infiltrat
mononuklear
tubulointerstitial
VIII. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan penyakit ginjal meliputi :
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid ( comorbid condition)
Memperlambat perburukan ( progression) fungsi ginjal
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal. Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
18
Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya
Derajat
LFG (ml/mnt/1,73m2) (ml/mnt/1,73m2)
Rencana penatalaksanaan
1
≥ 90
- Terapi penyakit dasar , kondis komorbid, evaluasi perburukan (progression), fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler
2
60 – 60 – 89 89
- Menghambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
3
30 -59
- Evaluasi dan terapi komplikasi
4
15 – 15 – 29 29
- Persiapan terapi pengganti ginjal
5
< 15
- Terapi pengganti ginjal
Menunda atau menghentikan perkembangan penyakit ginjal kronis Pengobatan kondisi yang mendasarinya jika mungkin diindikasikan : Kontrol tekanan darah yang agresif untuk target nilai per pedoman saat ini diindikasikan.
Gunakan inhibitor ACE atau angiotensin reseptor blocker sebagai ditoleransi, dengan pemantauan dekat untuk kerusakan ginjal dan hiperkalemia (hindari pada gagal ginjal lanjut, stenosis arteri renalis bilateral [RAS], RAS dalam ginjal soliter).
Data yang
mendukung penggunaan ACE inhibitor / angiotensin reseptor blocker pada penyakit ginjal diabetes dengan atau tanpa proteinuria.
Namun, dalam penyakit ginjal
nondiabetes, ACE inhibitor / angiotensin reseptor blocker efektif dalam memperlambat perkembangan penyakit antara pasien dengan proteinuria kurang dari dari 500 mg / d.
Kontrol glikemik Agresif per Diabetes Association (ADA) rekomendasi (target HbA1C <7%) diindikasikan.
Meskipun Modifikasi Diet di Penyakit Ginjal (MDRD) Studi gagal untuk menunjukkan efek pembatasan protein dalam penghambatan perkembangan penyakit ginjal, metaanalisis menunjukkan peran bermanfaat bagi pembatasan protein.
National Kidney
Foundation (NKF) pedoman menyarankan bahwa jika seorang pasien yang dimulai pada pembatasan protein, dokter perlu memonitor status gizi pasien. pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6 – 0,8 Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
19
/kgBB/hari /kgBB/hari , yang 0,35 – 0,5 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi ditingkatkan. Dengan demikian , pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya syndrome uremik. Asupan protein berlebih (protein overload) akan mengakibatkan ggn.hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan memperburuk fungsi ginjal. Predialysis albumin serum yang rendah juga berkaitan dengan hasil yang buruk di antara pasien dialisis.
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
LFG ml/menit
Fosfat g/kg/hari
Asupan protein g/kg/hari
>60
Tidak dianjurkan
Tidak dibatasi
25 – 25 – 60 60
0,6 – 0,8/kg/hari, termasuk ≥ 0,35 ≤ 10 gr gr/kg/hr , nilai biologi tinggi
5 -25
0,6 – 0,8/kg/hari, termasuk ≥ 0,35 ≤ 10 gr gr/kg/hr protein nilai biologi tinggi atau tambahan 0,3gr asam amino esensial atau asam keton
<60 (syndrome nefrotik)
0,8/kg/hr
(+1
gr
protein
/
gr
≤ 9 gr
proteinuria atau 0,3gr/kg tambahan asam maino esensial atau asam keton
Pengobatan hiperlipidemia ke tingkat target per pedoman saat ini diindikasikan.
Menghindari nephrotoxins, termasuk IV radiocontrast, obat anti-inflamasi, dan aminoglikosida ditunjukkan.
Mendorong berhenti merokok, karena perokok cenderung untuk mencapai ESRD lebih awal dibanding bukan perokok.
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
20
De Brito-Ashurst dkk mempelajari apakah suplementasi bikarbonat menjaga fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis (CKD).
[7]
pasien dewasa (n = 134) dengan penyakit
ginjal kronis (yaitu, bersihan kreatinin [CrCl] 15-30 mL / menit / 1,73 m
2
dan bikarbonat
serum 16-20 mmol / L) secara acak ditugaskan untuk menerima natrium bikarbonat suplementasi oral atau perawatan standar selama 2 tahun. Penurunan lebih lambat dalam CrCl diamati pada kelompok bikarbonat daripada di kelompok kontrol (1,88 vs 5,93 mL/min/1.73 m
2;
P <0,0001).
Pasien dalam kelompok bikarbonat juga kurang
kemungkinan untuk mengalami pengembangan penyakit secara cepat daripada yang anggota dari kelompok kontrol (9% vs 45%; P <0,0001), dan lebih sedikit pasien yang menerima suplemen bikarbonat dikembangkan ESRD (6,5% vs 33%; P <0,001). Selain manfaat yang tercantum di atas, parameter nutrisi yang diperbaiki dengan suplementasi bikarbonat. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi
Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik LFG Derajat
Penjelasan
Komplikasi (ml/menit)
1
Kerusakan
ginjal
dengan
LFG
≥ 90
-
normal 2
Kerusakan ginjal dengan penurunan
60 – 60 – 89 89
Tekanan darah mulai naik
LFG ringan 3
Penurunan LFG sedang
30 – 30 – 59 59
-
Hiperfosfatemia
-
Hipokalcemia
-
Anemia
-
Hiperparatiroid
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
21
4
15 – 15 – 29 29
Penurunan LFG berat
5
Gagal Ginjal
-
Hipertensi
-
Hiperhomosisteinemia
-
Malnutrisi
-
Asidosis Metabolik
-
Cenderung Hiperkalemia
-
Dislipidemia
< 15
Gagal jantung Uremia
Mengobati manifestasi patologis penyakit ginjal kronis
Berikut harus ditangani:
Anemia dengan eritropoietin, dengan tujuan menjadi 11-12 g / dL, sebagai normalisasi hemoglobin pada pasien dengan penyakit ginjal kronis tahap 4-5 telah dikaitkan dengan peningkatan risiko dari hasil gabungan.
Sebelum memulai Epogen, kadar besi harus
diperiksa, dan tujuannya adalah untuk menjaga saturasi 30-50% besi di dan feritin di 200500.
Hyperphosphatemia dengan pengikat fosfat makanan dan pembatasan fosfat makanan
Hypocalcemia dengan suplemen kalsium dengan atau tanpa calcitriol
Hiperparatiroidisme dengan calcitriol atau vitamin D analog
Volume overload dengan diuretik loop atau ultrafiltrasi
Metabolik asidosis dengan suplementasi alkali lisan
Manifestasi uremic dengan terapi pengganti ginjal kronis (hemodialisis, peritoneal dialisis, atau transplantasi ginjal): Indikasi termasuk asidosis metabolik berat, hiperkalemia, perikarditis, ensefalopati, kelebihan volume yang keras, gagal tumbuh dan kekurangan gizi, neuropati perifer, gejala gastrointestinal keras, dan GFR kurang dari 10 22
mL / menit.
Kardiovaskular komplikasi
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
Tepat waktu perencanaan untuk terapi penggantian ginjal kronis
Pertimbangkan hal berikut:
Awal edukasi tentang perkembangan penyakit alami, modalitas dialytic berbeda, transplantasi ginjal, pilihan pasien untuk menolak atau menghentikan dialisis kronis
Tepat waktu penempatan akses vaskuler permanen (mengatur operasi pembuatan fistula arteriovenosa primer, jika mungkin, dan disukai sedikitnya 6 bulan sebelum tanggal diantisipasi dialisis)
Tepat waktu dialisis peritoneal elektif penyisipan kateter
Tepat waktu rujukan untuk transplantasi ginjal
Konsultasi
Konsultasi meliputi:
Nefrologi Awal rujukan (menurunkan morbiditas dan mortalitas)
Ahli diet ginjal
Vascular operasi untuk akses vaskular permanen
Umum operasi untuk penempatan kateter peritoneum
Rujukan ke pusat transplantasi ginjal
Diet
Pembatasan protein pada awal penyakit ginjal kronis sebagai sarana untuk menunda penurunan GFR yang kontroversial, namun sebagai pasien ginjal tahap pendekatan penyakit kronis 5, ini dianjurkan untuk menunda timbulnya gejala uremik. Pasien dengan penyakit ginjal kronis yang yang sudah cenderung untuk menjadi kekurangan gizi pada risiko tinggi untuk malnutrisi dengan pembatasan protein terlalu agresif.
Malnutrisi adalah suatu prediktor mapan peningkatan
morbiditas dan mortalitas pada populasi ESRD dan harus dihindari jika mungkin. Sebuah meta-analisis dari Grup ginjal Cochrane mengungkapkan bahwa pengurangan diet garam secara signifikan mengurangi tekanan darah (BP) pada individu dengan tipe 1 atau diabetes tipe 2.
[8]
Temuan ini, bersama dengan bukti lainnya yang berkaitan asupan garam ke BP Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
23
dan albuminuria pada hipertensi dan pasien normotensif, membuat kasus yang kuat untuk pengurangan asupan garam antara pasien dengan diabetes.
Rekomendasi untuk masyarakat
umum dalam pedoman kesehatan masyarakat kurang dari 5-6 g / d. Pengurangan garam diet dapat membantu memperlambat perkembangan penyakit ginjal pada kedua tipe 1 dan diabetes tipe 2. Pembatasan berikut juga dapat diindikasikan:
Fosfat pembatasan mulai awal pada penyakit ginjal kronis
Kalium pembatasan
Pembatasan natrium dan air yang diperlukan untuk menghindari overload volume yang
Fosfat penurun Agen Kelas Ringkasan
Hyperphosphatemia diobati dengan pengikat fosfat makanan dan pembatasan fosfat makanan. Hypocalcemia diobati dengan suplemen kalsium dan mungkin calcitriol. Hiperparatiroidisme Hiperparatiroidi sme diobati dengan calcitriol atau vitamin D analog.
Kalsium asetat (Calphron, PhosLo)
Untuk pengobatan hiperfosfatemia pada penyakit ginjal kronis. Menggabungkan dengan fosfor makanan untuk membentuk kalsium fosfat tidak larut, yang diekskresikan dalam tinja. Kalsium karbonat (Caltrate, Oystercal)
Untuk pengobatan hiperfosfatemia atau sebagai suplemen kalsium pada penyakit ginjal kronis. Berhasil menormalkan konsentrasi fosfat pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Menggabungkan dengan fosfat makanan untuk membentuk kalsium fosfat tidak larut, yang diekskresikan dalam tinja. Dipasarkan dalam berbagai bentuk sediaan dan relatif murah. 24
Calcitriol (Rocaltrol, Calcijex)
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
Digunakan untuk menekan produksi paratiroid dan hiperparatiroidisme sekunder sekresi dalam dan untuk pengobatan hipokalsemia pada penyakit ginjal kronis dengan meningkatkan penyerapan kalsium usus. Doxercalciferol (Hectorol)
Sebuah analog vitamin D (1-alpha-hydroxyergocalciferol) yang tidak memerlukan aktivasi oleh ginjal. Diindikasikan untuk pengobatan hiperparatiroidisme sekunder di stadium akhir penyakit ginjal.
Faktor Pertumbuhan Kelas Ringkasan
Digunakan untuk mengobati anemia penyakit ginjal kronis dengan merangsang produksi SDM. Epoetin alfa (Epogen, Procrit)
Merangsang pembelahan dan diferensiasi sel progenitor erythroid berkomitmen. Menginduksi pelepasan retikulosit dari sumsum tulang ke dalam aliran darah.
Besi Garam Kelas Ringkasan
Zat anorganik nutrisi penting yang digunakan untuk mengobati anemia.
Ferrous sulfat (Feosol, Feratab, FE Lambat)
Digunakan sebagai sebuah blok bangunan untuk sintesis hemoglobin dalam mengobati anemia penyakit ginjal kronis dengan eritropoietin. Besi dekstran (DexFerrum, InFed)
Digunakan untuk mengobati mikrositik, anemia hipokromik akibat kekurangan zat besi ketika administrasi oral tidak layak atau tidak efektif. Digunakan untuk mengisi kadar besi dalam individu pada terapi eritropoietin yang tidak dapat mengambil atau mentolerir suplemen zat besi oral. Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
25
Besi sukrosa (Venofer)
Digunakan untuk mengobati defisiensi zat besi (dalam hubungannya dengan eritropoietin) karena hemodialisis kronis.
Kekurangan zat besi disebabkan oleh kehilangan darah selama
prosedur dialisis, eritropoiesis meningkat, dan penyerapan tidak cukup zat besi dari saluran pencernaan. Sukrosa Besi telah menunjukkan insiden lebih rendah dibandingkan produk lain anafilaksis besi parenteral. Ferri gluconate (Ferrlecit)
Menggantikan zat besi ditemukan dalam hemoglobin, mioglobin, dan sistem enzim spesifik. Memungkinkan transportasi oksigen melalui hemoglobin. Ferumoxytol (Feraheme)
Diindikasikan untuk penggantian zat besi untuk anemia defisiensi zat besi pada orang dewasa dengan penyakit ginjal kronis.
Erythropoietin rekombinan Manusia Kelas Ringkasan Merangsang perkembangan sel-sel progenitor erythroid.
Darbepoetin (Aranesp) Eritropoiesis merangsang protein yang berkaitan erat dengan eritropoietin, faktor pertumbuhan primer diproduksi di ginjal yang merangsang perkembangan sel-sel progenitor erythroid. Mekanisme tindakan adalah mirip dengan eritropoietin endogen, yang berinteraksi dengan sel induk untuk meningkatkan produksi sel darah merah. Berbeda dengan epoetin alfa (eritropoietin rekombinan manusia) dalam mengandung 5 N-linked oligosakarida rantai, sedangkan epoetin alfa mengandung 3. Apakah lagi paruh dari epoetin alfa (dapat diberikan mingguan atau dua mingguan).
Calcimimetic Calcimimetic Agen
26
Kelas Ringkasan
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
Agen ini mengurangi tingkat hormon paratiroid. Cinacalcet (Sensipar)
Langsung menurunkan hormon paratiroid utuh (iPTH) tingkat dengan meningkatkan sensitivitas dari reseptor kalsium penginderaan pada sel kepala kelenjar paratiroid kalsium ekstraseluler. Juga menghasilkan penurunan kalsium serum secara bersamaan.
Diindikasikan untuk
hiperparatiroidisme sekunder pada pasien dengan penyakit ginjal kronis pada dialisis.
Perawatan Rawat Inap lanjut Pasien yang berpotensi mengancam nyawa komplikasi penyakit ginjal kronis harus dirawat di rumah sakit dan diawasi secara ketat.
Selanjutnya Rawat Jalan Perawatan Pasien dengan penyakit ginjal kronis harus dirujuk ke nephrologist pada awal perjalanan penyakit mereka dan terus nephrologic tindak sampai inisiasi terapi pengganti ginjal kronis. Pendekatan multidisiplin untuk perawatan, termasuk keterlibatan nephrologist, dokter perawatan primer, ginjal ahli gizi, perawat, dan pekerja sosial, harus dimulai pada awal perjalanan penyakit ginjal kronis, dengan pasien close follow up.
Transfer Pasien dengan penyakit ginjal kronis akut yang menunjukkan indikasi untuk terapi dialytic harus ditransfer ke pusat rumah sakit di mana dialisis akut dapat dilakukan.
Prognosa Pasien dengan penyakit ginjal kronis umumnya berkembang menjadi ESRD.
Laju
perkembangan tergantung pada diagnosis yang mendasarinya, pada keberhasilan pelaksanaan langkah-langkah pencegahan sekunder, dan pada individu pasien.
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
27
Pasien dialisis kronik memiliki insiden tinggi morbiditas dan mortalitas. Bagi pasien yang yang telah dipertahankan selama 5 dialisis peritoneal tahun atau lebih, sebuah studi yang dilakukan oleh Gayomali dkk pada 76 pasien menunjukkan bahwa 14% mengalami gejala encapsulating sklerosis peritoneal.
[10]
Pasien dengan ESRD yang menjalani transplantasi ginjal bertahan lebih lama daripada mereka pada dialisis kronis. Sebuah studi oleh Raphael dkk menunjukkan bahwa tingkat bikarbonat serum yang lebih tinggi terkait dengan kelangsungan hidup yang lebih baik dan hasil ginjal di Amerika Afrika.
[11]
Pendidikan Pasien Pasien dengan penyakit ginjal kronis harus dididik tentang pentingnya kepatuhan dengan tindakan pencegahan sekunder, perkembangan penyakit alami, obat yang diresepkan (menyoroti potensi manfaat dan efek samping), menghindari nephrotoxins, diet, kronis modalitas pengganti ginjal, termasuk dialisis peritoneal, hemodialisis , dan transplantasi, dan pilihan akses permanen vaskular untuk hemodialisis.
BAB II CASE PASIEN
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI 28
No.urut (no. rekam medis) :03227958 Tempat : RSUD Bekasi / bangsal teratai Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
Hari / Tanggal / jam: Senin / 4 juli 2011 / Pk. 17.00 wib
I. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Tn. Martahan Manik
Umur : 57 tahun
Jenis Kelamin / status perkawinan : Laki-laki / sudah menikah
Pendidikan terakhir : tamat SLTA
Pekerjaan : sudah tidak bekerja (dulu sebagai supir taksi)
Alamat : jln. Patriot Jaka Sampoerna kampung 2, Bekasi
Suku / Agama : Batak / Kristen Protestan
II. ANAMNESIS : telah dilakukan alloanamnesis pada tanggal 4 juli 2011, dengan anak pasien Keluhan utama : sesak nafas yang disertai cegukan
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang semakin lama semakin bertambah hebat. Sesak nafas disertai cegukan dirasakan pasien sejak dini hari (tgl. 4 juli 2011 pada Pk 02.00 WIB) . Pasien telah mencoba mengistirahatkan dirinya namun tetap tidak membaik dan sesak menjadi bertambah buruk saat berbaring. Selain itu pasien juga mual muntah, dan mengeluh bengkak pada kedua tungkai. Sesak tersebut timbul setelah pasien memakan 1 (satu) buah belimbing.
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien sering mengalami hal seperti sebelumnya, sejak 1,5 tahun yang lalu pasien sudah menjalani proses hemodialisa, yang dilakukan rutin seminggu dua kali pada hari selasa dan jumat. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 18 tahun yang lalu, dan pernah mengalami operasi pengangkatan os.calcaneus akibat pembusukan (gangrene diabetikum) pada tahun 2000. Pasien memiliki riwayat hipertensi dan asam urat sejak 4 tahun yang lalu. Tidak ada riwayat alergi obat maupun makanan. Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
29
Riwayat penyakit Keluarga :
Ayah kandung pasien sudah lama meninggal, penyebab kematian tidak diketahui dengan jelas oleh pasien (penyakit usia lanjut) dan ibu kandung kandung pasien sampai saat ini masih hidup, dan memiliki riwayat penyakit hipertensi dan asam urat.
Riwayat kebiasaan pribadi :
Pasien merokok sejak usia muda (20 thnan) biasanya 1-2 bks /hari, minum alcohol, dan suka minuman energy sachetan, sangat suka minum kopi, makan makanan yang manis dan berlemak (seperti daging sapi, babi, jeroan dan iso babat). Pasien mengaku sudah mulai membatasi kebiasaan ini sejak pasien terkena sakit ginjal.
III.
PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum : tampak sakit berat Kesadaran
: compos mentis
Berat badan
: 62 kg
Tinggi badan : 172 cm IMT : 20,98 (normal) Tensi : 200/90 Nadi : frekuensi 98 x/menit, regularitas (+), equalitas (+), pengisian cukup, pulsus celer (-
), tegangan keras, simetris kiri dan kanan dan timbul saat yang bersamaan. Suhu : 36,2 C RR : frekuensi 28x/menit, pernafasan dangkal, jenis : torakoabdominal. JVP : 5+3
KGB
Terdapat pembesaran KGB pada region coli anterior sinistra di samping sudut sternoclavicular. Dengan ukuran 6 cm, konsistensi kenyal, tidak mobile, dan tidak ada nyeri tekan 30
MATA
Konjungtiva anemis : +/+ Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
Sklera ikterik : -/-
Arcus senilis : +/+
Reflex cahaya (pupil) : miosis isokor +/+
Lensa : tidak terdapat kekeruhan pada lensa
Strabismus ( - )
Eksoftalmus ( - ) Enoftalmus ( - )
THT Telinga :
Bentuk normal, tidak ada pembengkakan kelenjar retroauricula, liang telinga lapang, tidak ada secret, serumen ++, membrane timpani utuh
Hidung :
Bentuk normal, secret +, cavum nasi lapang, septum lurus letak tengah, mukoa merah muda
Tenggorokkan :
Gigi geligi : tidak lengkap , tanggal pada molar 1 s/d molar 3 kiri dan kanan rahang atas, dan molar 1 rahang kiri bawah, serta incivisus 1dan 2 rahang atas
Oral hygiene : kurang, terdapat banyak karies dentist dan gigi berlubang
Mukosa faring : merah muda
Uvula : letak tengah
Arcus faring: simetris ,tidak hiperemis
Tonsil T1-T1, warna merah muda
JANTUNG
Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Auskultasi : A2>A1, P2>P1, T1>T2, M1>M2 / Gallop ( - ) / murmur ( - )
Perkusi : batas jantung kanan ICS 4 garis parasternal kanan, batas jantung kiri ics 5 garis midclaviculer kiri.
31
PARU Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
Inspeksi : tidak ada deviasi, bentuk thoraks simetris kiri-kanan, sela iga terangkat mengembang saat inspirasi dan tidak ada yang tertinggal
Palpasi : vocal fremitus simetris kiri-kanan
Perkusi : perkusi perbandingan simetris kiri dan kanan, batas paru-hati ICS 6 peranjakan 2 jari
Auskultasi : bunyi nafas vesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-
ABDOMEN
Inspeksi : buncit (+), gerakan torakoabdominal, umbilikus tidak menonjol
Auskultasi : bising usus : 5x/menit, clapotage ( - ), bising dalam arteri ( - )
Perkusi : bunyi perkusi timpani pada keempat kuadran, pekak kandung kemih (-) , nyeri perkusi (+) di regio epigastrium, hipokondrium sinistra dan lubalis dextra et sinistra.
Palpasi : defence muscular ( - ) , nyeri tekan (+) pada regio epigastrium, hipokondrium sinistra, dan lumbalis dextra et sinistra
Palpasi hati : hepar tidak teraba
Palpasi limpa : limpa tidak teraba
Palpasi ginjal : tidak dapat meraba secara bimanual
Nyeri ketok CVA : (+/+)
Shifting dullness ( - ) undulasi ( - )
EKSTREMITAS
IV.
Motorik 5555/5555
Oedem (+) ekstremitas inferior dextra et sinistra
Akral hangat superior -/-, inferior -/-
Ujung jari : pucat, suhu dingin, basah dan tidak berdenyut
Assessment : Penyakit Ginjal Ginjal Kronis (CKD) (CKD) Grade V Dengan penyulit hipertensi grade III, diabetes mellitus tipe II, hiperkalemia, anemia mikrositik hipokrom, dan leukositosis.
Rumus kockcroft-gault Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
32
((140-57thn) x 68kg)) / (72x15,91) = 4, 92 ml/mn/1,73m2
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit Derajat
Penjelasan
LFG (ml/mn/1,73m2)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑
2
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan
60 – 60 – 89 89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang
30 – 30 – 59 59
4
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat
15 – 15 – 29 29
5
Gagal ginjal
< 15 atau dialisis
90
Diagnosis banding : penyakit ginjal diabetic (berdasarkan terminology) Infeksi saluran kemih (ISK)
nyeri ketok CVA +/+ dan
leukositosis V.
LABORATORIUM (cyto)
Tgl 4 Juli 2011 / pk.08.37 wib Darah Lengkap
Leukosit
: 11,1 rb/ul
5 - 10
Eritrosit
: 3,09 jt/ul
4-6
Haemoglobin : 7,5 g/dl
Hematokrit
13 – 13 – 17,5 17,5
: 23,1 %
40 - 54
Indeks eritrosit :
MCV
:71,7 fl
MCH
:27,5 pg
27 - 32
MCHC
:36,7 %
32 - 37
82 - 92
33
Trombosit
: 215 rb/ul
150 - 400
Fungsi hati Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
SGOT
: 23 u/l
< 37
SGPT
: 36 u/l
< 41
Fungsi ginjal
Ureum
Kreatinin
: 287 mg/dl
20 - 40
0,5 – 1,5 1,5 : 15,91 mg/dl 0,5 –
Diabetes Gula Darah Sewaktu : 181 mg/dl 60 - 110
Elektrolit
VI.
Na
: 135 mmol/ L 135 - 145
K
: 6,1 mmol/L
3,5 - 5
CL
: 110 mmol/L
94 – 94 – 11 11
PENATALAKSANAAN
-
Airway : bebaskan jalan nafas, posisikan pasien senyaman mungkin
-
Breathing : oksigenasi O2 3-5 ppm
-
Circulation : infuse dextrose 5% per 24jam
Planning 1 cek AGD
-
Hemodialisa
-
Transfuse PRC 2 kalf
-
Asam folat 3 x 1 tabs
-
Natrium Bikarbonat 1 mEq/kg i.v pelan-pelan Rumus : BB x 0,3 x Base Excess (nilai pada pemeriksaan AGD) = N Koreksi bicnat N x 50% x 1 meq
-
CaCO3 3 x 1 tabs
-
Injeksi lasik 1 x 1 amp
-
Ondancentrone 2 x 1 amp
-
Omeprazole 1 x 1 tabs
34
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
Planning 2 lakukan pemeriksaan rutin (darah lengkap : Leukosit, Hb, Ht, morfologi eritrosit : MCV, MCH, retikulosit, status besi : saturasi transferin dan feritrin serum, fungsi ginjal, fungsi hati, gula darah, dan elektrolit), urine lengkap, pantau dan ukur
UMU (ukur minum urin)
-
Amlodipine 10mg 1 x 1 tabs
-
Insulin intermediated-acting : NPH (Netral Protamine Hagedron) 2 x 1 amp
Followup Pasien
Tanggal
Subjektif
Objektif
Analisa
Penatalaksanaan Penatalaksanaa n
CKD grade V
Planning :
5 Juli
cegukan (+)
tensi : 180 / 100 mmhg
a)
2011
sesak nafas
nadi : 98x/menit
b) Anemia
(+) badan
suhu : 35,7 C
mikrositik
seminggu
terasa lemah
RR : 29x/menit
hipokrom
CaCO3 3x1
(+) pasien
Oedem tungkai (+)
Hiperkalemia
Bicnat 3x1
tidak bisa tidur (+)
c)
d) Hipertensi px.thoraks :
ronkhi +/+
e)
Hemodialisa
Asam folat 3x1
Grade II
Infuse dextrose 0,5%
Diabetes
/ 24 jam
wheezing -/-
mellitus tipe Inj. ceftriaxone
bunyi jantung 1 dan 2
II
1 dd 1
Leukositosis
Amlodipine 10mg
ISK
1 dd 1
reguler takikardi
f)
px.abdomen :
nyeri
3x
Inj. lasix 1 dd 1 tekan
Inj. Ondancentrone
epigastrium +, timpani
2 dd 1
+ , shifting dullnes - ,
Inj. Omeprazole
undulasi -, bising usus
1 dd 1
: 4x/menit 35
px.urinari :
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
nyeri ketok cva +/+ nyeri suprapubic – suprapubic – px.laboratorium :
Darah Lengkap Leukosit: 11,1 rb/ul Eritrosit: Eritrosit: 3,29 jt/ul Hb
: 8,3 g/dl
Ht
: 25,1 %
Indeks eritrosit : MCV :80,7 fl Fungsi ginjal Ureum : 213 mg/dl Kreatinin:13,21mg/dl Diabetes GDS: 195 mg/dl Elektrolit K : 5,8 mmol/L 6 Juli
cegukan
2011
badan
terasa
lemah
(+)
pasien
(+)
tensi : 180 / 70
a)
nadi : 86x/menit
b) Anemia
suhu : 36,4 C
tidak RR : 26x/menit
bisa tidur (+)
CKD grade V
CaCO3 3x1
mikrositik
Bicnat 3x1
hipokrom
Asam folat 3x1
Hiperkalemia
Planning
Oedem tungkai : -/-
c)
px.thoraks :
d) Hipertensi
ronkhi +/+
On Hemodialisa
Grade II
cek
:
UMU,
ulang
darah
lengkap,
fungsi
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
36
wheezing -/-
e)
Diabetes
ginjal,
elektrolit,
bunyi jantung 1 dan 2
mellitus tipe diabetes
reguler takikardi
II
Infuse dextrose 0,5%
Leukositosis
/ 24 jam
f)
px.abdomen :
nyeri
ISK
tekan
Inj. ceftriaxone
epigastrium +, timpani
1 dd 1
+, shifting dullnes -,
Amlodipine 10mg
undulasi -, bising usus
1 dd 1
: 4x / menit
Inj. lasix 1 dd 1
px.urinari :
Inj. Ondancentrone
nyeri ketok cva +/+
2 dd 1
nyeri suprapubic – suprapubic –
Inj. Omeprazole
Px. Laboratorium :
1 dd 1
Darah Lengkap
Glibenklamid
Leukosit: 11,6 rb/ul
2 dd1
Eritrosit: Eritrosit: 3,31 jt/ul Hb
: 8,5 g/dl
Ht
: 26,3 %
Indeks eritrosit : MCV :81,7 fl Fungsi ginjal Ureum : 208 mg/dl Kreatinin:12,07mg/dl Diabetes GDS: 287 mg/dl Elektrolit 37
K : 5,2 mmol/L 7 Juli
cegukan
(+)
tensi : 160 / 100
a)
CKD grade V
Infuse RL / 24 jam
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
2011
pasien
tidak nadi : 89x/menit
bisa tidur (+)
b) Anemia
Planning : UMU
suhu : 36,4 C
mikrositik
Inj. ceftriaxone
RR : 21x/menit
hipokrom
1 dd 1
Hiperkalemia
Amlodipine 10mg
px.thoraks :
c)
ronkhi +/+
d) Hipertensi
wheezing -/bunyi jantung 1 dan 2
e)
1 dd 1
Grade II
Inj. lasix 1 dd 1
Diabetes
Inj. Ondancentrone
reguler takikardi
mellitus tipe 2 dd 1
px.abdomen :
II
Inj. Omeprazole
Leukositosis
1 dd 1
ISK
Glibenklamid
nyeri
tekan
epigastrium +, timpani +, shifting dullnes -, undulasi -, bising usus
f)
2 dd1
: 4x / menit px.urinari :
nyeri ketok cva +/+ nyeri suprapubic – suprapubic – Px. Laboratorium :
Darah Lengkap Leukosit: 11,2 rb/ul Fungsi ginjal Ureum : 203 mg/dl Kreatinin:11,25mg/dl Diabetes GDS: 206 mg/dl Elektrolit K : 4,9 mmol/L
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
38
8 Juli
Pasien tidak
tensi : 150 / 90
a)
2011
dapat tidur
nadi : 82x/menit
b) Anemia
(+)
suhu : 36,4 C
mikrositik
Bicnat 3x1
RR : 21x/menit
hipokrom
Asam folat 3x1
Hipertensi
Infuse RL / 24 jam
Grade II
Planning
px.thoraks :
c)
ronkhi -/wheezing -/-
CKD grade V
d) Diabetes
On Hemodialisa CaCO3 3x1
:
UMU,
cek GDP, GDPP
bunyi jantung 1 dan 2
mellitus tipe Inj. ceftriaxone
reguler takikardi
II
1 dd 1
Leukositosis
Amlodipine 10mg
ISK
1 dd 1
px.abdomen :
e)
nyeri tekan -, timpani +, shifting dullnes -,
Inj. lasix 1 dd 1
undulasi -, bising usus
Inj. Ondancentrone
: 4x / menit
2 dd 1
px.urinari :
Glibenklamid
nyeri ketok cva -/-
2 dd1
nyeri suprapubic – suprapubic – Px. Laboratorium :
Darah Lengkap Leukosit: 10,2 rb/ul Fungsi ginjal Ureum : 178 mg/dl Kreatinin: 8,35mg/dl Diabetes GDS: 192 mg/dl 9 Juli
Pasien tidak
tensi : 140 / 90
a)
2011
dapat tidur
nadi : 82x/menit
b) Hipertensi
(+)
suhu : 36,4 C RR : 19x/menit
c)
CKD grade V
Planning : UP infuse, ukur UMU
Grade II
CaCO3 3x1
Diabetes
Furosemide
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
39
px.thoraks :
mellitus tipe 1 dd 1
ronkhi -/-
II
wheezing -/-
d) Leukositosis ISK
bunyi jantung 1 dan 2
Amlodipine 10mg 1 dd 1 Ranitidine tablet
reguler takikardi
2 dd 1
px.abdomen :
Glibenklamid
nyeri tekan -, timpani
2 dd1
+, shifting dullnes -, undulasi -, bising usus : 4x / menit px.urinari :
nyeri ketok cva -/nyeri suprapubic – suprapubic – Px. Laboratorium :
Diabetes GDP: 141 mg/dl GDPP : 176 mg/dl 10 Juli
Pasien tidak
tensi : 130 / 90
a)
2011
dapat tidur
nadi : 84x/menit
b) Hipertensi
(+)
suhu : 36,4 C RR : 19x/menit
c)
CKD grade V
CaCO3 3x1 Furosemide
Grade II
1 dd 1
Diabetes
Amlodipine 10mg
px.thoraks :
mellitus tipe 1 dd 1
ronkhi -/-
II
Ranitidine tablet
wheezing -/-
3 dd 1
bunyi jantung 1 dan 2
Glibenklamid
reguler takikardi
2 dd1
px.abdomen :
nyeri tekan -, timpani +, shifting dullnes -,
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
40
undulasi -, bising usus : 4x / menit px.urinari :
nyeri ketok cva -/nyeri suprapubic – suprapubic –
11 Juli
Tidak ada
tensi : 130 / 90
a)
2011
keluhan
nadi : 84x/menit
b) Hipertensi
suhu : 36,4 C RR : 19x/menit
c)
CKD grade V
On Hemodialisa CaCO3 3x1
Grade II
Bicnat 3x1
Diabetes
Asam folat 3x1
px.thoraks :
mellitus
ronkhi -/-
II
tipe Furosemide 1 dd 1
wheezing -/-
Amlodipine 10mg
bunyi jantung 1 dan 2
1 dd 1
reguler takikardi
Ranitidine tablet
px.abdomen :
3 dd 1
nyeri tekan -, timpani
Glibenklamid
+, shifting dullnes -,
2 dd1
undulasi -, bising usus
Calsitriol 0,5mcg
: 4x / menit px.urinari :
nyeri ketok cva -/nyeri suprapubic – suprapubic –
41
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
BAB III PEMBAHASAN CASE Problem list :
CKD grade V dengan : a)
Anemia mikrositik hipokrom
b) Hiperkalemia c) Hipertensi Grade II d) Diabetes mellitus tipe II
1. CKD dengan Anemia Mikrositik Hipokrom
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
42
Anemia dijumpai pada sebagian besar pasien gagal ginjal kronik (GGK) . anemia yang tidak diatasi akan menimbulkan gangguan fisiologis seperti suplai oksigen ke jaringan berkurang, peningkatan curah jantung, hipertrofi ventrikel kiri, angina, payah jantung kongestif, penurunan kemampuan kognitif dan mental, gangguan siklus menstruasi, impotensi, dan gangguan respon imun. Anemia pada GGK , telah terbukti mempengaruhi kualitas hidup, meningkatkan morbiditas dan mortalitas , oleh karena itu harus di kelola dengan optimal. Anemia pada GGK terutama disebabkan oleh berkurangnya produksi eritropetin. Penyebab lain adalah defisiensi besi oleh karena beberapa hal, seperti kehilangan darah selama prosedur hemodialisis (HD) , tindakan flebotomi berulang untuk pemeriksaan laboratorium, malnutrisi, dan perdarahan gastrointestinal. Selain itu, anemia dapat juga disebabkan oleh keadaan hiperparatiroid , hipotiroid, intoksikasi alumunium, defisiensi asam folat, vitamin B12, dll. Anemia normokromik normositik terutama berkembang dari sintesis ginjal penurunan eritropoietin, hormon yang bertanggung jawab untuk stimulasi sumsum tulang untuk sel darah merah produksi (RBC). (RBC). Ini dimulai pada awal perjalanan penyakit dan menjadi lebih parah karena GFR menurun secara progresif dengan menurunnya massa ginjal. Tidak ada respon retikulosit terjadi.
RBC kelangsungan hidup menurun, dan kecenderungan perdarahan
meningkat dari disfungsi uremia yang diinduksi oleh trombosit.
Evaluasi anemia :
Dimulai bila Hb ≤ 10 g/dl , Ht ≤ 30%
Diagnosis laboratorium anemia :
Hemoglobin, hematokrit
Morfologi eritrosit : MCV, MCH (sediaan hapus)
Hitung retikulosit
Status besi : Saturasi transferin (ST) = KBS / KIBT KBS : kadar besi serum atau serum iron KIBT : kapasitas ikat besi total (TIBC)
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
43
Evaluasi penyebab anemia lainnya bia ada kecurigaan klinis. Misalkan : uji darah samar feses GI bleeding
Evaluasi penyakit kardioserebrovaskular
Angina pectoris
Penyakit jantung iskemik
Hipertrofi ventrikel kiri
Gagal jantung
Stroke
2. CKD dengan Hiperkalemia
Kemampuan untuk mempertahankan kalium (K) ekskresi pada tingkat normal umumnya dipertahankan pada penyakit ginjal kronis selama kedua sekresi aldosteron dan aliran distal dipertahankan. Retensi kalium pada pasien dengan penyakit ginjal kronis meningkat ekskresi kalium dalam saluran pencernaan, yang juga berada di bawah kendali aldosteron. Oleh karena itu, hiperkalemia biasanya berkembang saat GFR turun menjadi kurang dari 20-25 ml / menit karena penurunan kemampuan dari ginjal untuk mengekskresikan kalium. Hal ini dapat diamati lebih cepat pada pasien yang menelan diet kaya potasium atau jika kadar aldosteron serum rendah, seperti pada asidosis tubulus ginjal IV umumnya diamati pada orang dengan diabetes atau dengan penggunaan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor atau non-steroid obat anti-inflamasi (NSAID).
Hiperkalemia pada penyakit ginjal kronis dapat diperburuk oleh
pergeseran kalium ekstraseluler, seperti yang terjadi dalam pengaturan asidemia atau dari kekurangan insulin.
3. CKD dengan Hipertensi Grade II
Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial dalam terbentuknya hipertensi; faktor-faktor tersebut adalah:
Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau variasi diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap stress psikososial dll Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
44
Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor
Asupan natrium (garam) berlebihan
Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium
Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi angiotensin II dan aldosteron
Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan peptide natriuretik
Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonusvaskular dan penanganan garam oleh ginjal
Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh darah kecil di ginjal
Diabetes mellitus dan Resistensi insulin
Obesitas
Meningkatnya aktivitas vascular growth factors
Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung, karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vascular
Berubahnya transpor ion dalam sel
Mekanisme patofisiologi dari hipertensi
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
45
Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor ß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
3-5
Terdapat variabilitas interindividual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau bahkan meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
4,5
Jadi penyebab hipertensi pada penyakit gagal ginjal kronik :
Retensi natrium
Peningkatan RAA akibat iskemia relative karena kerusakan regional Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
46
Aktivitas saraf simpatis meningkat akibat kerusakan ginjal
Hiperparatiroid sekunder
Pemberian eritropoetin
4. CKD dengan Diabetes Mellitus tipe II
Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitas glucose transporter (GLUT1), terutama GLUT 1 yang mengakibatkan aktivitas beberapa mekanisme seperti polyol pathway, hexoamine pathway, protein kinase C (PKC) pathway, dan penumpukan
AGE’S (advance Glycation end product ) , yang berperan penting dalam pertumbuhan sel, diferensiasi sel, dan sintesis bahan matriks intraseluler. Diantara zat ini adalah mitogen activated protein kinase (MAPKs), PKC- β β isoform dan ekstraceluller regulated protein kinase (ERK ). ). Ditemukannnya zat yang mampu menghambat aktivitas zat-zat tersebut telah
terbukti mengurangi akibat yang timbul, seperti mencegah peningkatan derajat albuminuria dan derajat kerusakan structural berupa penumpukkan matriks mesangeal. Kemungkinan besar penurunan disebabkan karena penurunan eksresi transforming growth factor β (TGF β) dan penurunan ekstracelluler matriks (ECM). Peran TGF-β TGF-β dalam perkembangan nefropati diabetic ini telah ditunjukkan pula oleh berbagai peneliti , bahwa kadar zat ini meningkat pada ginjal pasien diabetes.berbagai proses diatas dipercaya bukan saja terbentuknya nefropati pada pasien DM, akan tetapi juga dalam progresifitasnya menuju tahap lanjutan. Penelitian dengan menggunakan mikro puncture menunjukkan bahwa tekanan intraglomerulus menigkat pada pasien DM, bahkan sebelum tekanan darah sistemik meningkat. Perubahan hemodinamik di duga terkait dengan hormone vasoaktif, seperti angiotensin II (A-II) dan endhotelin. Pasien dengan nefropati diabetic juga memiliki resiko tinggi untuk mendapat penyulit penyakit kardiovaskular sebagaimana juga retinopati dan neuropati.
Pasien CKD dengan penyakit Diabetes Mellitus akan lebih mudah terkena
infeksi.
47
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
DAFTAR PUSTAKA Referensi :
1. Rahardjo, J.P. Strategi terapi gagal ginjal kronik. Dalam S. Waspadji, R.A. Gani, S. Setiati & I. Alwi (Eds.), Bunga rampai ilmu penyakit dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1996. 2. Lubis, H.R. Pengenalan dan penangggulangan gagal ginjal kronik. Dalam H.R. Lubis & M.Y. Nasution (Eds.), Simposium pengenalan dan penanggulangan gagal ginjal kronik. 1991. 3. Skorecki K, Green J, Brenner B M. Chronic kidney disease in Harrison’s principles of th
internal medicine 17 ed. USA: McGraw-Hill. 2007. p. 1858-69
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi
48
4. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. P. 581-584. 5. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000.1435-1443. 6. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Individuals at increased risk of chronic kidney disease. Diunduh
dari
http://www.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/p4_class_g3.htm
49
Case-referat : CKD dengan penyulit Diabetes Mellitus dan Hipertensi