9
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setiap tahunnya di Indonesia berjuta-juta perempuan mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, dan sebagian besar dari perempuan tersebut memilih untuk mengakhiri kehamilannya dengan cara aborsi. Aborsi dilakukan oleh seorang wanita hamil baik yang telah menikah maupun yang belum menikah dengan berbagai alasan, antara lain :
Tidak ingin memiliki anak karena mengganggu karir sekolah dan tanggung jawab lain
Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak
Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah
Pergaulan seks bebas, masih terlalu muda bagi wanita yang belum menikah, sebagai aib keluarga, dan sudah memiliki banyak anak
Tindakan aborsi tersebut dapat dilakukan secara mandiri dan melalui bantuan orang lain. Aborsi yang dilakukan sendiri misalnya dengan memakan obat-obatan yang membahayakan janin, sedangkan aborsi dengan bantuan orang lain bisa dibantu oleh dokter, bidan, bahkan orang yang tidak mengerti teknis aborsi sekalipun. Tentunya aborsi memiliki resiko yang tinggi terhadap kesehatan maupun keselamatan seorang wanita, yakni resiko kesehatan dan keselamatan secara fisik dan resiko gangguan psikologis.
Abortus merupakan suatu masalah kontroversi yang sudah ada sejak sejarah ditulis orang. Kontroversi karena di satu pihak abortus ada di dalam masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya jamu dan obat-obat peluntur serta dukun pijat untuk mereka yang terlambat bulan. Di pihak lain abortus tidak dibenarkan oleh agama, bahkan dicaci, dimaki dan dikutuk sebagai perbuatan tidak bermoral.
Pembicaraan tentang abortus dianggap tabu. Sulit ditemukan seorang wanita yang secara sukarela mengaku bahwa ia pernah diabortus, karena malu. Sulit untuk mendapatkan data tentang abortus buatan (selanjutnya akan ditulis : abortus) di Indonesia. Paling sedikit ada dua sebabnya. Yang pertama, abortus dilakukan secara sembunyi. Yang kedua, bila timbul komplikasi hanya dilaporkan komplikasinya saja, tidak abortusnya.
Menurut hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin termasuk kejahatan, yang dikenal dengan istilah "Abortus Provocatus Criminalis". Dimana orang yang dikenakan sanksi antara lain wanita yang melakukan aborsi, dokter atau bidan atau orang lain yang membantu melakukan aborsi danorang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi. Bila ditinjau dari segi sosial tentusaja aborsi merupakan salah satu penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksudadalah aborsi merupakan salah satu tindakan yang bertentangan dengan HAM (Hak Asasi Manusia) yaitu hak untuk hidup.
Bila ditinjau dari segi budaya, aborsi sebagaisalah satu dampak pergaulan seks bebas, telah menyimpang dari norma agama yang berlaku. Tindakan aborsi perlu mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak.Berdasarkan realita yang marak di masyarakat, penulis akan mengkaji mengenaitindakan aborsi sebagai salah satu bentuk penyimpangan bila ditinjau dari segi sosialbudaya.
1.2 Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan aborsi secara konseptual?
Bagaimanakah tindakan aborsi sebagai salah satu bentuk penyimpangan sosial budaya di masyarakat?
Tentang hukum di Indonesia mengenai aborsi, sejauh mana aborsi tidak di perbolehkan di Indonesia?
Apa kesimpulan yang bisa diambil dari data-data aborsi yang ada di Indonesia?
Bagaimana upaya pencegahan tindakan aborsi di masyarakat?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian aborsi secara konseptual.
2. Menjelaskan bahwa tindakan aborsi merupakan salah satu bentuk penyimpangan sosial budaya di masyarakat.
3. Mengetahui upaya pencegahan tindakan aborsi di masyarakat.
4. Mengetahui sejauh mana aborsi tidak di perbolehkan di Indonesia
5. Mengambil kesimpulan dari data kasus aborsi di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Manusia, Moralitas dan Hukum
Pengertian Manusia
Menurut KBBI : Makhluk yg berakal budi (mampu menguasai makhluk lain); insan; orang.
Pengertian Moral
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, moral adalah:
Ajaran tentang baik buruk yg diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb, akhlak, budi pekerti, susila, mereka sudah bejat, mereka hanya minum-minum dan mabuk-mabuk, bermain judi, dan bermain perempuan
Kondisi mental yg membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb, isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan: tentara kita memiliki dan daya tempur yg tinggi
Ajaran kesusilaan yg dapat ditarik dari suatu cerita
Menurut Bertens, moral berawal dari bahasa latin mos, jamaknya mores yang juga berarti adat kebiasaan. Secara etimologis, kata etika sama dengan kata moral, keduanya berarti adat kebiasaa. Perbedaannya hanya pada bahasa asalnya, Etika berasal dari bahasa Yunani, sedangkan moral berasal dari bahasa latin.
Dalam Wikipedia dijelaskan, Moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan agama.
Pengertian Hukum
Hukum adalah norma-norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum adalah norma yang tidak dibiarkan untuk dilanggar. Orang yang melanggar hukum pasti dikenai hukuman sebagai sanksi.
2.2 TEORI PERKEMBANGAN MORAL
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Lawrence Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan,
Berdasarkan penalaran di atas kohlberg kemudian merumuskan tiga tingkat perkembangan moral, yang masing-masing tahap ditandai oleh dua tahap. Setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya. Tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.
Konsep kunci dari teori Kohlberg, ialah internalisasi, yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Berikut merupakan tiga tingkat perkembangan moral, yang masing-masing tingkat ditandai oleh dua tahap menurut Kohlberg :
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
Penalaran prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal.
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini.
Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung
Orientasi kepatuhan dan hukuman
Pada tahap ini perkembangan moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
2. Orientasi minat pribadi / Individualisme dan tujuan
( Apa untungnya buat saya?)
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan pada imbalan dan kepentingan diri sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
Perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti "kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu. Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
Tingkat 2 (Konvensional)
Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan moral Kohlberg. Internalisasi individu pada tahap ini adalah menengah. Seorang mentaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar (internal) orang lain, seperti orang tua atau masyarakat.
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik / norma-norma interpersonal)
Pada tahap ini seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan pada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak anak sering mengadopsi standar-standar moral orangtuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oelh orangtuanya sebagai seorang perempuan yang baik atau laki-laki yang baik.
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan / moralitas sistem sosial)
Pada tahap ini, pertimbangan moral didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
Penalaran pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seorang mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.
5. Orientasi kontrak sosial
Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual, pada tahap ini seseorang mengalami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain. Individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Seseorang menyadari hukum penting bagi masyarakat, tetapi nilai-nilai seperti kebebasan lebih penting dari pada hukum.
6. Prinsip etika universal
( Principled conscience)
Prinsip-prinsip etis universal, pada tahap ini seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang universal. Bila menghadapi konflik secara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil.
2.3 Hubungan Antara Manusia, Moralitas dan Hukum
Terdapat hubungan erat antara moral dan hukum; keduanya saling mengandaikan dan sama-sama mengatur perilaku manusia. Hukum membutuhkan moral. Hukum tidak berarti banyak kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas, hukum adalah kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu, hukum harus selalu diukur dengan norma moral. Produk hukum yang bersifat imoral tidak boleh tidak harus diganti bila dalam masyarakat kesadaran moral mencapai tahap cukup matang.
Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum. Moral akan mengawang-awang kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat dalam bentuk salah satunya adalah hukum. Dengan demikian, hukum bisa meningkatkan dampak sosial dari moralitas. "Menghormati milik orang lain" misalnya merupakan prinsip moral yang penting. Ini berarti bukan saja tidak boleh mengambil dompet orang lain tanpa izin, melainkan juga milik dalam bentuk lain termasuk milik intelektual, hal-hal yang ditemukan atau dibuat oleh orang lain (buku, lagu, komposisi musik, merk dagang dsb).
Hal ini berlaku karena alasan etis, sehingga selalu berlaku, juga bila tidak ada dasar hukum. Tetapi justru supaya prinsip etis ini berakar lebih kuat dalam masyarakat, kita mengadakan persetujuan hukum tentang hak cipta, pada taraf internasional, seperti konvensi Bern (1889).
Tanpa moral, hukum tidak mengikat secara nalar karena moral mengutamakan pemahaman dan kesadaran subjek dalam mematuhi hukum. Hal ini sebagaimana diungkapkan K Bertens bahwa quid leges sine moribus yang memiliki arti apa gunanya undang-undang kalau tidak disertai moralitas.
Tanpa moral, hukum tidak mengikat secara nalar karena moral mengutamakan pemahaman dan kesadaran subjek dalam mematuhi hukum. Hal ini sebagaimana diungkapkan K Bertens bahwa quid leges sine moribus yang memiliki arti apa gunanya undang-undang kalau tidak disertai moralitas.
Moral jelas menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam kesewenangan hukum dan pertimbangan kepentingan lain dalam penegakan keadilan di pengadilan. Hukum dan moral sama-sama berkaitan dengan tingkah laku manusia agar selalu baik, namun positivisme hukum yang murni justru tidak memberikan kepastian hukum.
2.4 Perbedaan Antara Moralitas dan Hukum
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hokum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataan mungkin ada hokum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidak cocokan antara hokum dengan moral, untuk itu dalam konteks pengambilan keputusan hokum membutuhkan moral, sebagaimana moral membutuhkan hokum.
Perbedaan di antara keduanya perlu tetap dipertahankan dan tidak semua norma moral dapat serta perlu dijadikan norma hukum. Kendati pemenuhan tuntutan moral mengandaikan pemenuhan tuntutan hukum, keduanya tidak dapat disamakan begitu saja. Kenyataan yang paling jelas membuktikan hal itu adalah terjadinya konflik antara keduanya.
Di bawah ini akan ditunjukkan beberapa poin penting perihal perbedaan antara moral dan hukum.
Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dituliskan dan secara kurang lebih sistematis disusun dalam kitab undang-undang. Karena itu norma yuridis mempunyai kepastian lebih besar dan bersifat lebih objektif. Sebaliknya norma moral bersifat lebih subjef dan akibatnya lebih banyak diganggu oleh diskusi-diskusi yang mencari kejelasan tentang apa yang dianggap etis atau tidak etis. Tentu saja di bidang hukum pun terdapat banyak diskusi dan ketidakpastian tetapi di bidang moral ketidakpastian ini lebih besar karena tidak ada pegangan tertulis.
Hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Itulah perbedaan antara moralitas dan legalitas (bdk Kant). Niat batin tidak termasuk jangkauan hukum. Sebaliknya dalam konteks moralitas sikap batin sangat penting. Orang yang hanya secara lahiriah memenuhi norma-norma moral berlaku "legalistis". Sebab, legalisme adalah sikap memenuhi norma-norma etis secara lahiriah saja tanpa melibatkan diri dari dalam.
Sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan; orang yang melanggar hukum akan mendapat sanksi/hukuman. Tetapi norma-norma etis tidak dapat dipaksakan. Menjalankan paksaan dalam bidang etis tidak efektif juga. Sebab paksaan hanya dapat menyentuh bagian luar saja, sedangkan perbuatan-perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dalam bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang karena menuduh si pelaku tentang perbuatannya yang kurang baik.
Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal dari negara seperti hukum adat maka hukum itu harus diakui oleh negara seupaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melampaui para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun cara lain masyarakat dapat mengubah hukum tetapi tidak pernah masyarakat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Masalah etika tidak dapat diputuskan dengan suara terbanyak.
2.5 STUDI KASUS
Dari materi manusia, moralitas dan hukum, kami mengambil contoh studi kasus tentang aborsi. Aborsi merupakan pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (belum viable), yaitu pada usia kehamilan kurang dari 22 minggu, atau berat badan janin kurang dari 500 gram.
Jadi, gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah terjadi keguguran janin; melakukan abortus sebagai melakukan pengguguran (dengan sengaja karena tak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu). Secara umum, istilah aborsi diartikan sebagai pengguguran kandungan, yaitu dikeluarkannya janin sebelum waktunya, baik itu secara sengaja maupun tidak. Biasanya dilakukan saat janin masih berusia muda (sebelum bulan ke empat masa kehamilan). Sampai saat ini janin yang terkecil, yang dilaporkan dapat hidup di luar kandungan, mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir.
Akan tetapi karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat hidup terus, maka abortus dianggap sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Abortus dapat berlangsung spontan secara alamiah atau buatan. Abortus buatan ialah pengakhiran kehamilan sebelum 20 minggu dengan obat-obatan atau dengan tindakan medik. Macam abortus (aborsi) :
Abortus spontan (keguguran/miscarriage): tanpa disengaja, alami, tanpa intervensi tindakan medis.
Abortus provocatus (pengguguran/digugurkan): ada kesengajaan atau direncanakan melalui tindakan medis, baik obat-obatan (termasukjamu) mau pun tindakan bedah, ada 2 macam:
Abortus provocatus therapeutics/ medicinalis:
ada indikasi medis (ancaman keselamatan jiwa,gangguan kesehatan berat pada ibu spt TB paru berat,asma, DM, gagal ginjal, hipertensi, penyakit hati kronis;
Abortus provocatus criminalis: tanpa ada indikasi medis.
Statistik Kejadian Aborsi
Frekuensi abortus sukar ditentukan karena abortus buatan banyak tidak dilaporkan, kecuali apabila terjadi komplikasi. Abortus spontan kadang-kadang hanya disertai gejala dan tanda ringan, sehingga pertolongan medik tidak diperlukan dan kejadian ini dianggap sebagai terlambat haid.
Abortus di Indonesia dilakukan baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Dan dilakukan tidak hanya oleh mereka yang mampu tapi juga oleh mereka yang kurang mampu (lihat Tabel 1)
Tabel 1
Pelaku abortus di perkotaan dan pedesaan Pelaku Abortus
Kota
Desa
Mampu
Kurang mampu
Mampu
Kurang mampu
Dokter
57
24
26
13
Bidan /Perawat
16
28
26
18
Dukun
19
25
31
47
Sendiri
18
24
17
22
Di perkotaan abortus dilakukan :
24-57% oleh dokter
16-28% oleh bidan/ perawat
19-25% oleh dukun
18-24% dilakukan sendiri
Di pedesaan abortus dilakukan :
13-26% oleh dokter
18-26% oleh bidan/perawat
31-47% oleh dukun
17-22% dilakukan sendiri
Cara abortus yang dilakukan oleh dokter dan bidan/perawat adalah berturut-turut:
Kuret isap (91%)
Dilatasi dan kuretase (30%)
Prostaglandin / suntikan (4%)
Abortus yang dilakukan sendiri atau dukun memakai :
Pemijatan (79%)
Jamu/obat tradisional (33%)
Alat lain (17%)
Obat/hormon (8%),
Menurut dr. Titik Kuntari MPH, dosen FK UII Yogyakarta, seperti dikutip inilah.com (29/6), memaparkan fakta aborsi di Indonesia, yang didasarkan pada survei dengan cakupan tak terbatas. Fakta-fakta tersebut yaitu :
1. Kasus aborsi terjadi 2-2,6 juta per tahun atau 43 aborsi untuk setiap 100 kehamilan
2. 30% kasus aborsi dilakukan wanita usia 15-24 tahun
3. 11% aborsi tak aman di RI menyebabkan kematian
4. 53% kasus terjadi di perkotaan
5. 73% kasus di perkotaan dilakukan oleh ahli kebidanan, bidan, RB, Klinik KB
6. 84% kasus di pedesaan dilakukan oleh dukun
Perkiraan yang sama ternyata tidak berbeda dengan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) 2004 tentang aborsi atau pengguguran kandungan, tingkat aborsi di Indonesia sekitar 2 sampai 2,6 juta kasus pertahun, 30% dari aborsi tersebut dilakukan oleh mereka di usia 15-24 tahun. (Yulia,Majalah KARTINI,edisi April 2006)
Apabila disimpulkan dengan kenaikan 100.000 kasus aborsi pertahun saja, maka denga menggunakan data WHO ada tahun 2004 dimana kasus aborsi telah mencapai 2,5 juta kasus. Maka di tahun 2010 kasus aborsi dapat diperkirakan telah mencapai 3,1 Juta kasus. Ini angka fantastis. Dan apabila 30% dari pelaku aborsi adalah terjadi dikalangan remaja maka kasusnya dapat mencapai 930.000 kasus pertahun. Dan mungkin saja akan berkembang terus apabila tidak segera dicegah. Apalagi dampak kematian dari aborsi tidak aman tersebut akan turut meningkat.
Apabila berbicara angka-angka kasus aborsi di atas, tidak salah apabila persoalan pergaulan bebas dikalangan remaja saat ini sangat memperhatinkan.
Statistik Pelaku Aborsi
Belum ada badan atau lembaga yang dapat menghitung statistik pelaku aborsi di Indonesia secara pasti, namun jumlah ini diperkirakan hampir sama dengan statistik pelaku aborsi di Amerika Serikat karena jumlah tindakan aborsi yang terjadi per tahunnya juga hampir sama dengan di Indonesia. Berikut adalah tabel statistik jumlah tindakan aborsi berdasarkan usia pelakunya.
Tabel 2. Statistik Pelaku Aborsi
Usia
Jumlah
%
Dibawah 15 tahun
14.200
0.9%
15-17 tahun
154.500
9.9%
18-19 tahun
224.000
14.4%
20-24 tahun
527.700
33.9%
25-29 tahun
334.900
21.5%
30-34 tahun
188.500
12.1%
35-39 tahun
90.400
5.8%
40 tahun ke atas
23.800
1.5%
Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa sebagian besar tindakan aborsi dilakukan oleh wanita muda yang berusia dibawah 30 tahun. Diperkirakan bahwa jumlah tindakan aborsi yang dilakukan wanita yang belum menikah di Indonesia jauh lebih tinggi dari yang terjadi di Amerika Serikat. Fakta yang terjadi membuktikan bahwa kaum wanita akan selalu melakukan aborsi dan terus melakukannya, tidak peduli dengan sangsi hukum, larangan agama, atau norma-norma sosial.
Walaupun perdebatan tentang etis atau tidaknya aborsi masih berlangsung, namun bagi sebagian wanita yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akan selalu melakukannya baik secara sembunyi-sembunyi minta perlolongan kepada pihak-pihak yang mampu melakukannya atau bahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya dan dengan peralatan yang seadanya.
Aborsi Dilihat Dari Sudut Moral
Medis :
Mengakhiri kebuntuan terhadap perdebatan tentang aborsi merupakan agenda yang sangat penting dan menarik untuk dibahas. Membahas aborsi akan melibatkan banyak kalangan yang merasa berkepentingan. Dari mulai Politisi, aktivis HAM (bisa terjadi 2 kubu, yang pro dan yang kontra), Pemuka Agama seperti Kyai, Pendeta, Pastor, Provider Kesehatan, Sosiolog, Phykolog dan masih banyak yang lainya. Hal ini bisa terjadi, karena persoalan aborsi menyangkut banyak aspek, bukan hanya persoalan medis semata, melainkan juga sosial, ekonomi, budaya dan juga agama.
Dari segi medis, ada kalanya aborsi boleh dilakukan, yaitu aborsi spontan. Tidak dari sisi moral yang menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan oleh umat manusia. Karena sesungguhnya umat manusia itu adalah umat yang mulia dan membunuh satu nyawa berarti membunuh semua orang. Sebaliknya menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan nyawa semua orang. Jadi aborsi adalah perlakuan yang membunuh nyawa, berarti melakukan suatu tindakan amoral.
Resiko dari tindakan aborsi provokatus tidak hanya mencakup resiko jangka pendek melainkan juga resiko jangka panjang. Resiko jangka pendek yang tersering adalah terjadinya perdarahan yang dapat mengancam jiwa. Resiko lain adalah syok septik akibat tindakan aborsi yang tidak steril yang sering berakhir dengan kematian dan juga kegagalan ginjal sebagai penyerta syok ataupun yang ditimbulkan karena penggunaan senyawa-senyawa racun yang dipakai untuk menimbulkan aborsi, seperti lisol, sabun, phisohex. Resiko jangka panjang yang akan dihadapi oleh seseorang yang melakukan aborsi provokatus adalah kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik (kehamilan di luar tempat yang semestinya) pada kehamilan berikutnya akibat kerusakan pada lapisan dalam rahim (endometrium) setelah dilakukan dilatasi (pelebaran secara paksa leher rahim dengan alat khusus) dan kuretase (pengerokan endometrium dengan alat khusus) pada tindakan aborsi.
Kerusakan pada endometrium yang diakibatkan dilatasi dan kuretase ini juga meningkatkan resiko terjadinya placenta previa (letak plasenta tidak pada tempat semestinya sehingga mengganggu proses persalinan), aborsi spontan pada kehamilan berikutnya, bayi berat badan lahir rendah sampai kemungkinan terjadinya kemandulan akibat kerusakan yang luas pada endometrium.
Agama :
Menurut hukum Islam (fiqih), hukum dasar aborsi adalah dilarang atau haram. Namun hukum dasar tersebut dapat berubah apabila ada sebab-sebab yang dapat dibenarkan secara syar'i. Dalam Islam sendiri ada beberapa pandangan mengenai sampai usia kehamilan berapa aborsi masih boleh dilakukan. Dalam Islam ada yang memakai batas 120 hari usia kehamilan, setelah usia 120 hari sama sekali dilarang, kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu. Batas 120 hari didasarkan pada hadis empat puluh, dimana Nabi Muhammad S.A.W memberitahukan dalam proses terciptanya manusia sel telur dan sel sperma tersimpan selama 40 hari dalam rahim sebagai nuthfah (mani), selama 40 hari berikutnya sebagai alaqah (segumpal darah), kemudian 40 hari berikutnya sebagai mudhghah (segumpal daging), setelah itu proses khalqan aakhar (pemberian nyawa) terjadi.
Al Quran dalam surat Al-Mukminun ayat 12-14 memberikan informasi yang serupa.Menurut Mazhab Hanafi, aborsi sebelum kehamilan berusia 120 hari diizinkan jika ada alasan yang dibenarkan hukum Islam. Indikasinya antara lain kondisi kesehatan ibu sangat buruk, kehamilan dan persalinan beresiko tinggi, kehamilan yang terjadi saat perempuan masih menyusui bayi sementara ayah si bayi tidak mempunyai pendapatan yang tetap untuk membeli susu pengganti ASI. Jika tidak ada alasan-alasan tersebut maka hukumnya jika melakukan aborsi menjadi makruh.
Penganut mazhab Syafi'i terpecah tiga pendapat, sebagian seperti Ibn al-Imad dan al Ghazali melarang aborsi karena termasuk kejahatan terhadap makhluk hidup. Muhammad ibn Abi Said mengizinkan dalam batas 80 hari, alasannya karena janin masih dalam bentuk nuthfah dan alaqah. Dan yang lainnya lagi membolehkan aborsi secara mutlak sebelum kehamilan berusia 120 hari. Sebagian besar pengikut mazhab Maliki kecuali al Lakhim tidak memperbolehkan bahkan mengharamkan membuang produk kehamilan, walaupun sebelum 40 hari. Alasannya, bila air mani telah tersimpan dalam rahim berarti sudah ada proses kehidupan.
Sosial-Budaya :
Aborsi dalam pandangan masyarakat Indonesia merupakan negara memiliki nilai dan norma yang sangat tinggi. Masyarakat Indonesia masih memegang tinggi nilai dan norma dalam kehidupan. Sebenarnya salah satu penyebab tingginya aborsi di masyarakat kita adalah kebiasaan di masyarakat juga. Tekanan masyarakat terhadap kehamilan diluar nikah juga menjadi salah satu pemicu orang nekad untuk aborsi. Masyarakat sendiri tidak melihat kehamilan itu sebagai anugerah, tapi justru mencela dan mengejek sebagai aib. Seandainya masyarakat atau paling tidak orang tua bertindak bijak dengan memberikan support, maka bisa jadi si calon ibu tidak sampai berpikir pendek dan nekad.
Adanya pengaruh globalisasi yang terjadi di Indonesia, menjadikan remaja mulai menjadikan kultur negara – negara maju sebagai acuan hidupnya. Terkadang remaja tidak memfilter apa yang mereka dapat, baik dan buruk nya kultur tersebut sekedar ditiru saja. Adanya anggapan bahwa budaya barat adalah sesuatu yang hebat dan lebih modern. Sehingga para remaja beranggapan bahwa, bila tidak menirukan budaya barat tersebut maka akan dianggap ketinggalan jaman. Misalnya dampak dari ada nya globalisasi dalah terjadinya pergaulan yang bebas dan terkesan tanpa adanya kontrol. Pada awalnya pergaulan bebas belum meluas, sehingga masih terlihat sebagai sesuatu yang tabu. Namun dengan berjalannya waktu, dan kurang ada nya kontrol terhadap penetrasi budaya barat tersebut, free sex pun semakin meluas. Sehingga free sex mulai dianggap sebagai hal yang biasa pada sebagian orang, misalnya pada kota besar atau metropolitan, free sex mulai menjamur, sehingga akibat dari free sex seperti aborsi mulai banyak terjadi.
PENCEGAHAN
Dalam rangka menurunkan angka kematian ibu, Pemerintah memfokuskan intervensi pada pelayanan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan pengelolaan komplikasi Obstetri. Banyak upaya yang dilaksanakan untuk mensukseskan kegiatan tersebut antara lain melalui penempatan BdD dan pelatihan klinik kegawatdaruratan obstetri. Walaupun Asuhan paskakeguguran merupakan bagian dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri namun dalam pelatihan tersebut belum termasuk kegawatan akibat komplikasi paska keguguran.
Dalam situasi seperti dikemukakan di atas, maka sangatlah penting untuk melakukan tindakan pencegahan abortus dan penyediaan asuhan paska keguguran yang berkualitas serta dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Dengan demikian kejadian abortus dapat dicegah dan kematian akibat komplikasi abortus dapat dikurangi, yang pada waktunya akan mampu memberikan kontribusi nyata dalam menurunkan AKI.
Bulan Oktober 2000 telah dicanangkan Making Pregnancy Safer (MPS) oleh Kepala Negara RI yang menyatakan bahwa Gerakan Nasional Kehamilan Yang Aman merupakan Strategi Pembangunan Kesehatan Nasional menuju Indonesia Sehat 2010. Selanjutnya tanggal 26 November 2001 telah dicanangkan Rencana Strategis Nasional MPS oleh Menteri Kesehatan yang kegiatan utamanya mengacu pada 3 pesan kunci MPS yaitu:
1) Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih;
2) Semua komplikasi obstetrik dan neonatal mendapat pelayanan adekuat dan
3) Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi abortus yang tidak aman.
Kegiatan asuhan paska keguguran dilaksanakan tidak hanya dilaksanakan semata untuk penanganan komplikasi tetapi juga harus mencakup kegiatan-kegiatan deteksi dini dan pencegahan terhadap kejadian abortus. Sehingga kegiatan asuhan paskakeguguran dilaksanakan tidak hanya oleh tenaga kesehatan, juga oleh masyarakat berupa kegiatan deteksi dini kejadian abortus dan komplikasinya di tingkat masyarakat.
Ada tiga (3) elemen dasar dalam Paket Asuhan Paskakeguguran yaitu:
1. Penatalaksanaan komplikasi abortus
2. Pelayanan KB paskakeguguran termasuk konseling dan pelayanan kontrasepsi
3.Asuhan paskakeguguran terintegrasi dengan pelayanan kegawatdaruratadan kesehatan reproduksi termasuk KIE
Forum Kesehatan Perempuan
Upaya mengamandemen UU RI No. 23/1992 tg Kesehatan Psl 15; dan menyusun SK Menkes tentang batasan pelayanan aborsi yg aman dgn memasukkan kriteria, antara lain :
Usia kandungan < 12 minggu
Di Rumah Sakit yg ditunjuk
Oleh dokter yg bersertifikat
Konseling pra dan pasca aborsi (sebagai salah satu syarat mutlak u/ dpt mengurangi kejadian aborsi, terutama aborsi berulang)
Biaya yg terjangkau
Hasil penelitian
Dilegalkannya aborsi aman di suatu negara justru berperan menurunkan angka kejadian aborsi oleh karena :
Efektifitas konseling pasca aborsi yg mewajibkan pemakaian kontrasepsi bagi yg masih aktif seksual tapi tak ingin punya anak u/ jangka waktu tertentu.
Efektifitas alat kontrasepsi yg hampir 100% mengurangi angka kehamilan tak diinginkan yg berakhir pd tindak aborsi.
Pengaturan oleh pemerintah Indonesia (Hukum / Peraturan perundang-undangan tentang aborsi)
Aborsi atau pembunuhan paksa yang dilakukan oleh seorang wanita terhadap bayi yang dikandungnya termasuk tindakan pidana. Pelaku akan dijerat pasal 341 dan 342 dengan tuntutan 12 tahun penjara. Sebenarnya aborsi dilakukan dengan sengaja untuk menutup aib yang tidak ingin diketahui. Tindakan ini melanggar hukum pidana yang diberlakukan untuk melindungi atau mencegah perlakuan tidak terpuji tersebut. Sosialisasi kepada masyarakat sangat penting karena kasus ini secara tidak langsung telah membunuh generasi muda. Kalau tidak ada sosialisasi maka seseorang akan biasa untuk terus menerus melakukan hal itu. penegak hukum juga perlu bekerja keras untuk menyikapi persoalan tersebut. Jika kedapatan mengaborsi maka perlu ditindak lanjuti dan dijatuhi hukuman penjara.
Pada Pasal 341 KUHP mengatakan, seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun penjara.
Selanjutnya, pasal 342 KUHP menyebutkan, seorang ibu atas niatnya yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun penjara.
Hukuman penjara tidak mutlak dijatuhkan kepada terdakwa karena ada undang-undang lain juga mengatur tentang hak hidup anak dan perempuan. Jika terbukti melanggar beberapan aturan maka hukuman yang dilimpahkan juga akan berlapis artinya bisa kurang dan bisa bertambah. Sementara, dalam pasal 15 (1) UU Kesehatan Nomor 23/1992 disebutkan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
Tindakan aborsi menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Menurut KUHP, aborsi merupakan :
Pengeluaran hasil konsepsi pada setiap stadium perkembangannya sebelum masa kehamilan yang lengkap tercapai (38-40 minggu).
Pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan (berat kurang dari 500 gram atau kurang dari 20 minggu).Dari segi medikolegal maka istilah abortus, keguguran, dan kelahiran prematur mempunyai arti yang sama dan kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks.
Beberapa pasal yang mengatur abortus provocatus dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) :
PASAL 299 ayat 1-3
PASAL 341
PASAL 342
PASAL 343
PASAL 346
PASAL 347 ayat 1 dan 2
PASAL 348 ayat 1 dan 2
PASAL 349
PASAL 535 ayat 1-4
PASAL 80 ayat 1 dan 2
Undang Undang Aborsi Indonesia
Dalam undang-undang kesehatan yang baru, masalah aborsi diatur dalam pasal 75 ayat 1-4 dan pasal 76 :
Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar hukum. Sampai saat ini masih diterapkan.
Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang menuliskan dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi).
UU HAM, pasal 53 ayat 1(1): Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup & meningkatkan taraf kehidupannya.
Aspek Hukum dan Medikolegal Abortus Povocatus Criminalis
Abortus telah dilakukan oleh manusia selama berabad-abad, tetapi selama itu belum ada undang-undang yang mengatur mengenai tindakan abortus. Peraturan mengenai hal ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 4 M di mana telah ada larangan untuk melakukan abortus. Sejak itu maka undang-undang mengenai abortus terus mengalami perbaikan, apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini di mana mulai timbul suatu revolusi dalam sikap masyarakat dan pemerintah di berbagai negara di dunia terhadap tindakan abortus.
Di Indonesia, baik menurut pandangan agama, Undang-Undang Negara, maupun Etik Kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan pengguguran kandungan (abortus provokatus). Bahkan sejak awal seseorang yang akan menjalani profesi dokter secara resmi disumpah dengan Sumpah Dokter Indonesia yang didasarkan atas Deklarasi Jenewa yang isinya menyempurnakan Sumpah Hippokrates, di mana ia akan menyatakan diri untuk menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.
Dari aspek etika, Ikatan Dokter Indonesia telah merumuskannya dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia mengenai kewajiban umum, pasal 7d: "Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Pada pelaksanaannya, apabila ada dokter yang melakukan pelanggaran, maka penegakan implementasi etik akan dilakukan secara berjenjang dimulai dari panitia etik di masing-masing RS hingga Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). Sanksi tertinggi dari pelanggaran etik ini berupa "pengucilan" anggota dari profesi tersebut dari kelompoknya. Sanksi administratif tertinggi adalah pemecatan anggota profesi dari komunitasnya."
Ditinjau dari aspek hukum, pelarangan abortus justru tidak bersifat mutlak. Abortus buatan atau abortus provokatus dapat digolongkan ke dalam dua golongan yakni: 1. Abortus buatan legal, yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang. Populer juga disebut dengan abortus provocatus therapeticus, karena alasan yang sangat mendasar untuk melakukannya adalah untuk menyelamatkan nyawa ibu. Abortus atas indikasi medik ini diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yaitu pada pasal 15 ayat 1-3.
KESIMPULAN
Aborsi merupakan pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (belum viable), yaitu pada usia kehamilan kurang dari 22 minggu, atau berat badan janin kurang dari 500 gram.
Macam abortus (aborsi) :
Abortus spontan (keguguran/miscarriage): tanpa disengaja, alami, tanpa intervensi tindakan medis.
Abortus provocatus (pengguguran/digugurkan): ada kesengajaan atau direncanakan melalui tindakan medis, baik obat-obatan (termasukjamu) mau pun tindakan bedah, ada 2 macam:
Abortus provocatus therapeutics/ medicinalis:
Ada indikasi medis (ancaman keselamatan jiwa,gangguan kesehatan berat pada
ibu spt TB paru berat,asma, DM, gagal ginjal, hipertensi, penyakit hati kronis;
Abortus provocatus criminalis: tanpa ada indikasi medis.
Dari segi medis, ada kalanya aborsi boleh dilakukan, yaitu aborsi spontan. Tidak dari sisi moral yang menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan oleh umat manusia. Karena sesungguhnya umat manusia itu adalah umat yang mulia dan membunuh satu nyawa berarti membunuh semua orang. Sebaliknya menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan nyawa semua orang. Jadi aborsi adalah perlakuan yang membunuh nyawa, berarti melakukan suatu tindakan amoral.
Aborsi dalam pandangan masyarakat Indonesia merupakan negara memiliki nilai dan norma yang sangat tinggi. Masyarakat Indonesia masih memegang tinggi nilai dan norma dalam kehidupan. Sebenarnya salah satu penyebab tingginya aborsi di masyarakat kita adalah kebiasaan di masyarakat juga. Tekanan masyarakat terhadap kehamilan diluar nikah juga menjadi salah satu pemicu orang nekad untuk aborsi. Masyarakat sendiri tidak melihat kehamilan itu sebagai anugerah, tapi justru mencela dan mengejek sebagai aib. Seandainya masyarakat atau paling tidak orang tua bertindak bijak dengan memberikan support, maka bisa jadi si calon ibu tidak sampai berpikir pendek dan nekad.
Aborsi atau pembunuhan paksa yang dilakukan oleh seorang wanita terhadap bayi yang dikandungnya termasuk tindakan pidana. Sebenarnya aborsi dilakukan dengan sengaja untuk menutup aib yang tidak ingin diketahui. Tindakan ini melanggar hukum pidana yang diberlakukan untuk melindungi atau mencegah perlakuan tidak terpuji tersebut. Sosialisasi kepada masyarakat sangat penting karena kasus ini secara tidak langsung telah membunuh generasi muda. Kalau tidak ada sosialisasi maka seseorang akan biasa untuk terus menerus melakukan hal itu. penegak hukum juga perlu bekerja keras untuk menyikapi persoalan tersebut. Jika kedapatan mengaborsi maka perlu ditindak lanjuti dan dijatuhi hukuman penjara.
Belum ada badan atau lembaga yang dapat menghitung statistik pelakuaborsi di Indonesia secara pasti. DiIndonesia, belum ada lembaga atau badan yang menghitung secara persis berapa banyak jumlah kasus aborsi berdasarkan tiap-tiap alasan yang ada. Dari data yang ada dapat disimpulkan bahwa aborsi dilakukan sebagian besar oleh wanita yang berusia antara 20-24 tahun. Di kota, aborsi yang dilakukan oleh kalangan kurang mampu lebih banyak mengandalkan bantuan bidan, dukun atau sendiri. Sedangkan pada kalangan yang mampu lebih banyak memilih dokter. Sedangkan di desa, baik dari kalangan mampu ataupun kurang mampu lebih mengandalkan dukun untuk melakukan aborsi. Aborsi lebih banyak terjadi di kota-kota besar.
Batasan pelayanan aborsi yg aman dgn memasukkan kriteria, antara lain :
Usia kandungan < 12 minggu
Di Rumah Sakit yg ditunjuk
Oleh dokter yg bersertifikat
Konseling pra dan pasca aborsi (sebagai salah satu syarat mutlak u/ dpt mengurangi kejadian aborsi, terutama aborsi berulang)
Biaya yg terjangkau