Dampak Urbanisasi di Jakarta I.
Pendahuluan
Jakarta sebagai contoh kota besar memiliki segudang daya tarik yang menggiurkan bagi individu sebagai tempat hidup dan mencari nafkah. Setiap tahunnya, puluhan ribu orang berpindah ke ibukota negara Indonesia ini untuk mencari peluang yang lebih baik. Perkembangan dan pembangunan yang tidak merata di Indonesia memicu terjadinya migrasi penduduk ke kotakota besar ini. Kehidupan di kota kecil dan pedesaan tidak dapat menjanjikan masa depan yang lebih baik bagi penduduknya. Apakah memang demikian yang terjadi? Bagaimana dengan fakta yang ada di Ibukota Jakarta ini? Mari kita telisik lebih dalam fenomena urbanisasi di Indonesia, khususnya Jakarta sebagai kota megapolitan dengan beragam daya tarik dan permasalahan yang melekat padanya.
II. Urbanis Urbanisasi asi dan dan Faktor-f Faktor-fakt aktor or terkait terkait Sebenarnya apa arti dari urbanisasi? Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa ur·ba·ni·sa·si diartikan sebagai : 1 perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dari desa (kota kecil, daerah) ke kota besar (pusat pemerintahan): pembangunan pemerintahan): pembangunan desa dapat membendung –; yang kedua adalah 2 perubahan sifat suatu tempat dari suasana (cara hidup dsb) desa ke suasana kota. Dalam hal kependudukan, perpindahan manusia dari desa ke kota sendiri hanya merupakan salah satu penyebab urbanisasi. Karena itu perpindahan itu sendiri dapat dikategorikan menjadi 2 macam, yakni: Migrasi Migrasi Penduduk Penduduk dan
Mobilit Mobilitas as
Pendudu Penduduk k ,
Beda Bedany nya a
Migr Migras asii
pend pendud uduk uk
lebi lebih h
berm bermak akna na
perpi perpind ndah ahan an pendu pendudu duk k dari dari desa desa ke kota kota yang yang bert bertuj ujua uan n untu untuk k ting tingga gall menet menetap ap di kota kota.. Seda Sedang ngkan kan Mobi Mobilit litas as Pendu Pendudu duk k berar berarti ti perp perpin inda daha han n penduduk yang hanya bersifat sementara atau tidak menetap. Urbanisasi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu pertumbuhan alami penduduk daerah perkotaan, migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, dan reklasifikasi desa perdesaan menjadi desa perkotaan.
III. Kehidupan Kehidupan dan Budaya Budaya Urban
Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Biro Pusat Statistik Indonesia menyebutkan bahwa proyeksi penduduk daerah perkotaan berdasarkan perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan daerah perdesaan (Urban Rural Growth Difference/URGD) untuk tahun 2000, 2005, 2010, 2015, 2020 dan 2025 adalah sbb:
Tabel 1 Presentase Penduduk Daerah Perkotaan per Provinsi di Jawa, 20002025
Propinsi Dki Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D I Yogyakarta Jawa Timur Banten
2000 2005 2010 2015 2020 2025 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 50.3 58.8 66.2 72.4 77.4 81.4 40.4 48.6 56.2 63.1 68.9 73.8 57.6 64.3 70.2 75.2 79.3 82.8 40.9 48.9 56.5 63.1 68.9 73.7 52.2 60.2 67.2 73.0 77.7 81.5
Tabel diatas menyajikan tingkat urbanisasi per provinsi dari tahun 2000 sampai dengan 2025. Untuk Indonesia, tingkat urbanisasi diproyeksikan sudah mencapai 68 persen pada tahun 2025. Untuk provinsi di Jawa, tingkat urbanisasinya sudah lebih tinggi dari Indonesia secara total. Tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada tahun 2025 sudah di atas 80 persen, yaitu di Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten. Khusus untuk DKI Jakarta, tingkat urbanisasinya telah mencapai 100%.
IV. Inefisiensi yang ada di Jakarta sebagai akibat Overcapacity Pemasalahan inefisiensi yang terjadi akibat pembukaan wilayah terbangun diantaranya adalah disebabkan akibat : •
sulitnya
pengendalian
persebaran penduduk
yang merata secara
geografis, •
sulitnya pengendalian pertumbuhan pusat-pusat kegiatan ekonomi di ibukota saja,
•
jaringan jalan dan angkutan umum belum berpola sementara itu jumlah kommuter terus meningkat,
•
belum terpadunya rencana tata ruang dengan rencana pembangunan wilayah jangka panjang dan rencana pembangunan wilayah jangka menengah,
•
belum adanya kelembagaan antar kota yang mampu mengkordinasikan pemerintah-pemerintah kabupaten/kota di dalam wilayah Jabodetabek di bidang perencanaan tata ruang, perencanaan sektor, promosi investasi sarana dan prasarana kota, monitoring dan evaluasi pembangunan.
Selain inefisiensi di atas yang harus dihadapi Jakarta. kemacetan, tingginya polusi udara, banjir, kemiskinan, kelangkaan tanah, dsb merupakan beberapa dampak yang yang juga harus dihadapi Jakarta karena pengelolaan wilayah (Jabodetabek) kesatuan
yang
wilayah
berjalan
sebagai
sendiri-sendiri
suatu
tanpa
homogenitas
mempertimbangkan
potensi,
padahal
efek
pembangunan dari wilayah-wilayah yang berdampingan tidak hanya dirasakan oleh wilayah itu sendiri namun juga oleh wilayah sekitarnya. Seperti kejadian banjir tahunan yang kerap melanda Jakarta, selain karena karakter fisik wilayah Jakarta yang landai, banjir juga merupakan bagian dari dampak penggunaan tanah di hulu sungai Ciliwung (Bogor) yang tersegregasi dengan pengelolaan
di hilir
yang memang memiliki
batasan
wilayah
administratif yang berbeda, padahal sepanjang Sepanjang Sungai Ciliwung merupakan wilayah homogen DAS yang memerlukan perencanaan dan pengelolaan yang terintegrasi (one river one plan & management ). Contoh lain, masuknya aliran manusia dengan kendaraan bermotornya setiap hari dari berbagai wilayah di sekitar Jakarta ke Jakarta untuk bekerja, sekolah maupun berbelanja menyebabkan situasi transportasi Jakarta padat dan berbagai polusi mewarnai Jakarta. Penempatan TPA Jakarta di Kota Bekasi juga memberi dampak langsung baik sosial maupun ekonomi bagi penduduk di wilayah Bekasi khususnya wilayah Bantar Gebang sebagai TPA, baik dampak sosial maupun ekonomi. Belum lagi sumber air Jakarta yang telah tidak mungkin memenuhi kebutuhan penduduk Jakarta sehingga mengharuskan Jakarta untuk memperolehnya dari Bogor dan Tangerang, hal ini jelas berimbas pada berkurangnya stok air untuk penduduk di wilayah Bogor dan Tangerang sendiri, dan contoh-contoh lain tentang kerjasama sektoral yang terjadi antar wilayah Jakarta dan sekitarnya. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan Jakarta dan wilayah sekitarnya saling tergantung dan seharusnya saling memperkuat. Namun untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan ketersediaan jaringan yang dapat menghubungkan masyarakat di antar wilayah dengan mudah, yang didukung oleh kebijakan untuk koordinasi antara wilayah.
Masalah-masalah diatas secara garis besar timbul akibat kondisi DKI Jakarta yang overcapacity , karena itu diperlukan suatu mekanisme evaluasi akan pengaruh proses urbanisasi
terhadap
perkembangan Kota DKI Jakarta
khususnya dari segi ekonomi perkotaan.
V. Dampak dari urbanisasi di Jakarta Di Jakarta, perubahan dalam informasi, teknologi produksi dan transportasi telah mempengaruhi proses urbanisasi. Perubahan dimaksud mengakomodasi hambatan
jarak
tempuh
dan
halangan
faktor
geografis,
mengurangi
kebutuhan untuk komunikasi bertatap muka dan sangat meningkatkan mobilitas transportasi barang, jasa, tenaga kerja, teknologi dan modal dari dan ke luar Kota Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari besarnya angka migran di DKI Jakarta setiap lima tahun sekali (sebagaimana disampaikan sebelumnya), bahwa perkembangan ekonomi perkotaan di DKI Jakarta terlah menjadi magnet
yang
mendorong
laju
globalisasi
kawasan
sekitarnya
dan
penduduknya untuk bermigrasi ke DKI Jakarta. Besarnya arus masuk modal dan investasi langsung asing (Foreign Direct Investment ) telah mengubah wajah perkotaan di Indonesia khususnya di DKI Jakarta sebagai pusat perekonomian negara. Mari kita pilah secara lebih mendalam beberapa dampak urbanisasi di jakarta
a. Kompetisi sangat tinggi Semakin besar ukuran kota tersebut, sangat dimungkinkan bahwa persaingan antar pekerja akan lebih tinggi (sehingga kualitas juga meningkat). Kota DKI Jakarta sendiri memiliki luas 740km2, paling luas dari kota-kota lain di Indonesia, bahkan ditingkat Asia sendiri. Namun perlu diingat, pengaruh agglomerasi ekonomi telah menyebabkan biaya hidup, transportasi, sewa lahan, dan lain sebagainya di DKI Jakarta yang berukuran sangat luas ini, menjadi semakin tinggi dibanding kota-kota lainnya. Bagi pendatang yang termasuk skilled workers, Jakarta memiliki potensi yang besar untuk menangguk rupiah. Namun sebaliknya, tanpa skill yang cukup, Jakarta akan menjelma menjadi momok bagi para pendatang ini sehingga dampaknya kita dapat lihat adanya pemukiman-pemukiman miskin di dalam kota metropolitan yang besar ini. Secara otomatis persaingan di ibukota ini menjadi sangat tinggi. b. Peningkatan Land Rents
Lahan, pada dasarnya tidak diciptakan, namun tersedia. Dengan semakin berkurangnya lahan maka dapat dipastikan nilainya akan meningkat. Karena itu keterbatasan lahan diruang perkotaan menjadi isu yang sangat kritis. Lahan
bagi perkantoran, parkir,
sarana umum, infrastruktur
dan
lain
sebagainya mutlak dibutuhkan, yang jika dikaitkan dengan nilainya, tentunya ada kompensasi yang harus dibayarkan terkait dengan ketersediaannya. Proporsi luas lahan terbangun di DKI melonjak tajam sejak 20 tahun terakhir. Jakarta Selatan yang dulu merupakan daerah resapan air, misalnya, kini menjadi wilayah permukiman yang padat dengan proporsi luas lahan lebih dari 70 persen. Di DKI Jakarta, harga sewa dan nilai pasarnya sangat dipengaruhi
oleh aksesibilitasnya, dalam
artian jarak
dan
kemudahan
sarananya. Hal ini berdampak kepada proses transisi perusahaan-perusahaan untuk memilih merelokasi kantornya menjauhi pusat distrik bisnis sehingga harus mengeluarkan kompensasi yang lebih besar atas jarak tempuhnya, dengan mempertimbangkan juga harga sewa dan nilai pasarnya dari lokasi kantor yang jauh dari pusat distrik bisnis tersebut. Di DKI Jakarta, besarnya kompensasi dari jarak dan harga ini disiasati dengan perencanaan bangunan vertikal, seperti membangun office building. Selain itu, kompensasi atas peningkatan harga sewa laahn di DKI jakarta, telah memaksa para pekerja profesional kelas menengah dan atas yang berkantor di pusat Kota untuk tinggal di kawasan pinggir kota Jakarta untuk menghindari kemacetan perkotaan. Kawasan penyangga kota Jakarta menjadi sangat berkembang
untuk
mendukung
perkembangan
Jakarta. Bahkan
menciptakan kota-kota satelit maju seperti Bekasi, Serpong, Depok, dan Bogor. c. Urban Transportation Transportasi perkotaan dipengaruhi oleh pola penggunaan lahan dan jumlah migran itu sendiri. Sebagai tulang punggung pergerakan dan berjalannya berbagai
sektor
perekonomian
perkotaan,
terhambatnya
dukungan
transportasi akan menghasilkan berbagai turunan masalah yang dirasakan secara langsung oleh pembangunan yang sedang dilakukan di berbagai sektor, seperti inefisiensi waktu tempuh untuk produksi, inefisiensi bahan bakar, polusi udara & kebisingan, dampak fisik lingkungan, dsb. Masalah transportasi di DKI Jakarta sendiri merupakan buah dari implementasi perencanaan inkremental dan politis dalam penataan ruang yang tidak
sepenuhnya
mengikuti
koridor
yang
ditetapkan
dalam
perencanaan
komprehensif (induk), padahal transportasi merupakan kunci menyelesaikan masalah perkotaan di Jakarta. Untuk itu pengelolaan jaringan transportasi yang link and match antar moda dan pembangunan sarana transportasi harus memiliki pola yang regional based tidak corridor based sehingga penduduk akan dapat berinteraksi dengan mudah dan nyaman, hal ini nantinya akan berbuah pada produktivitas yang tinggi dari sebuah kota. Berdasarkan data statistik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pada Februari 2009, jumlah penduduk bekerja pada sektor Tersier tercatat 3.354,19 ribu orang, sedangkan layanan perkotaan misalnya sistem transportasi belum memadai, akibatnya pertumbuhan jumlah kendaraan di DKI Jakarta mencapai 11% per tahun, sedangkan pertumbuhan panjang jalan kurang dari 1% per tahun, mengingat saat ini jumlah kendaraan bermotor di jakarta mencapai 11,5 juta unit dan jumlah perjalanan kendaraan setiap harinya mencapai 20 juta perjalanan, maka rasio jumlah kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 92% (kendaraan pribadi) banding
8% kendaraan umum.
Dengan demikian terdapat kesetidakseimbangan antara jumlah pekerja dengan
daya
dukung
kota
(utilitas)
Kota
DKI
Jakarta.
Pemandangan
kemacetan menjadi tontonan setiap hari tidak peduli hari kerja ataupun hari libur. Oleh karena itu banyak orang mencoba mengalihkan jam kegiatan mereka menjadi lebih panjang dengan harapan agar tidak ikut terjebak dalam kemacetan. Banyak kegiatan yang mereka lakukan sebelum pulang ke rumah seperti berolahraga, berisrirahat, sosialisasi di mal-mal dan bahkan bekerja lebih panjang dari seharusnya.
d. Polusi dan limbah Jakarta merupakan kota penghasil limbah yang sangat besar. Dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 12 juta jiwa pada pada jam kerja. Akibatnya sampah menjadi permasalahan yang cukup kompleks mengingat tata perencanaan kota Jakarta yang kurang baik. Impaknya sangat signifikan. Dalam 10 tahun terakhir, pemekaran lahan yang sangat tinggi dan manajemen drainase dan sampah yang buruk menjadi penyebab utama banjir dan genangan air di Jakarta. Hampir setiap saat hujan deras melanda, Jakarta akan dipastikan memiliki beberapa lokasi yang tergenang air dan menjadi penyebab kemacetan parah di seluruh jakarta. Selain itu air tanah yang sedari awalnya mendukung kehidupan masyarakat Jakarta, kini kondisinya memprihatinkan dikarenakan daya serap yang minim
sedangkan tingkat konsumsinya sangat tinggi karena penduduk yang padat. Akibatnya masyarakat harus mulai beralih ke perusahaan penyedia air bersih. Udara yang terpolutan sebagai efek dari manajemen sarana transportasi yang buruk juga menyebabkan menurunnya tingkat kesehatan masyarakat Jakarta sehingga biaya masyarakat menjadi tinggi untuk berobat yang akhirnya meningkatkan biaya hidup di Jakarta.
Daftar Referensi http://www.komisikepolisianindonesia.com/main.php?page=artikle&id=1187 http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=63574 http://adipatirahmat.wordpress.com/2009/11/10/evaluasi-urbanisasi-kota-kota-diindonesia-dari-perspektif-ekonomi-perkotaan-studi-kasus-kota-dki-jakarta/