Tanggal Praktikum
Tanggal Pengumpulan Pengumpulan Laporan
19 Februari 2018
26 Februari 2018
LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENCELUPAN 1 Pencelupan Kain Kapas menggunakan Zat Warna Reaktif Panas
A vi terra terr a L i g ht R ed SE S E dengan Variasi Metode Skema Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Praktikum Teknologi Pencelupan Pencelupan 1
KELOMPOK
: 3 (TIGA)
ANGGOTA
: 1. GABRIELLA B. (16020100) (16020100) 2. MILA NURAIDA (16020111) 3. M. RIDHO BASKORO (16020126) 4. WULAN ANDAYANI ANDAYANI (16020127)
GROUP
: 2K4
DOSEN
: IKA NATALIA M., S.ST., MT.
ASISTEN
: 1. WITRI A. S., S.ST. 2. ANNA S.
POLITEKNIK STTT BANDUNG 2018
A. MAKSUD DAN TUJUAN 1. MAKSUD Untuk mempelajari perencanaan dan melakukan proses pencelupan kapas dengan zat warna reaktif panas, yaitu cara memilih zat warna dan zat pembantu yang akan dipakai, menghitung kebutuhan zat warna dan pembantu yang sesuai dengan resep yang akan dipakai, cara membuat larutan induk zat warna dan larutan pencelupan, melaksanakan proses pencelupan dan mengervaluasi kain hasil proses pencelupan.
2. TUJUAN
Mengetahui pengaruh variasi metode skema terhadap ketuaan dan kerataan warna kain hasil pencelupan dengan menggunakan zat warna reaktif panas.
Mengetahui pengaruh waktu penambahan NaCl terhadap ketuaan dan kerataan warna kain hasil pencelupan dengan menggunakan zat warna reaktif panas.
Mengetahui pengaruh waktu penambahan alkali (Na 2CO3) terhadap ketuaan dan kerataan warna kain hasil pencelupan dengan menggunakan zat warna reaktif panas.
B. DASAR TEORI 1) SERAT KAPAS Serat kapas merupakan salah satu contoh serat alam dari kelompok selulosa. Serat ini dihasilkan dari rambut biji tanaman yang termasuk dalam jenis Gossypium. Spesies yang kemudian berhasil dikembangkan menjadi tanaman industri adalah Gossypium Hirsutum. Kapas jenis ini dikenal sebagai kapas Upland atau kapas Amerika, dan ini saat merupakan merupakan 87% dari produksi produksi kapas dunia. dunia. Berdasarkan strukturnya, selulosa memiliki bentuk yang bercabang-cabang, monomer-monomernya yang tersusun secara linear, serta diantara polimer-polimernya terdapat ikatan hidrogen yang menghubungkan antar polimer yang satu dengan yang lain. Perhatikan struktur selulosa berikut.
Gugus –OH primer pada selulosa merupakan gugus fungsi yang berperan untuk mengadakan ikatan dengan zat warna reaktif panas berupa ikatan kovalen. Serat selulosa umumnya lebih tahan alkali tapi kurang tahan suasana asam, sehingga pengerjaan proses persiapan penyempurnaan dan pencelupannya lazim dilakukan dalam suasana alkali.
Membujur
Berdasarkan uji mikroskop, penampang membujur serat kapas akan tampak seperti pita pipih yang terpuntir ke arah panjang. Tidak hanya itu, terdapat pula garis putus-putus tak beraturan di tengahnya serta ukuran serat tidak sama (beragam). Serat dibagi menjadi tiga bagian, yakni:
1) Dasar Dasar serat kapas berbentuk kerucut pendek yang selama pertumbuhan serat tetap tertanam di antara sel-sel epidermis. Pada umunya, dalam proses pemisahan serat dari bijinya (ginning), dasar serat ini putus sehingga jarang sekali ditemukan pada serat kapas yang diperdagangkan. 2) Badan Badan
serat
kapas
merupakan
bagian
utama
dari
serat,
kira-
kira sampai panjang serat. Bagian ini mempunyai diameter yang sama, dinding yang tebal dan lumen yang sempit. 3) Ujung Ujung serat merupakan bagian yang lurus dan mulai mengecil dan pada umumnya kurang dari 1/4 bagian panjang serat. Bagian ini mempunyai sedikit konvolusi dan tidak mempunyai lumen. Diameter bagian ini lebih kecil dari diameter badan dan berakhir dengan ujung yang runcing.
Melintang
Berdasarkan uji mikroskop, bentuk penampang melintang serat kapas sangat bervariasi dari pipih sampai bulat. Akan tetapi, pada umumnya berbentuk seperti ginjal. Untuk serat kapas dewasa, penampang melintangnya terdiri dari 6 bagian, yaitu:
1) Kutikula Kutikula merupakan lapisan terluar yang mengandung lilin, pektin, dan protein. Lapisan ini merupakan penutup halus yang tahan air, dan melindungi bagian dalam serat. 2) Dinding Primer Dinding primer merupakan dinding sel tipis yang asli. Terdiri dari selulosa dan juga mengandung pektin, protein dan zat-zat yang mengandung lilin. Dinding ini tertutup oleh zat-zat yang menyusun kutikula. Tebal dinding primer kurang dari 0,5 m. Selulosa dalam dinding primer berbentuk benang-benang yang sangat halus atau fibril. Fibril tersebut tidak terusun sejajar panjang serat tetapi membentuk spiral dengan sudut 65 0 – 700 mengelilingi sumbu serat. Spiral tersebut mengelilingi serat dengan arah S maupun Z dan ada juga yang tersusun hampir tegak lurus pada sumbu serat. 3) Dinding Sekunder Dinding sekunder merupakan lapisan-lapisan selulosa dan merupakan bagian utama dari serat kapas. Dinding sekunder juga merupakan lapisan fibril-fibril yang membentuk spiral dengan sudut 20 0 sampai 300 mengelilingi sumbu serat. Tidak seperti spiral fibril pada dinding primer, spiral fibril pada dinding sekunder arah putarannya berubah-ubah pada interval yang random sepanjang serat. 4) Lapisan Antara Lapisan antara merupakan lapisan pertama dari dinding sekunder dan strukturnya sedikit berbeda dengan dinding sekunder maupun dinding primer.
5) Dinding Lumen Dinding lumen lebih tahan terhadap pereaksi-pereaksi tertentu dibandingkan dengan dinding sekunder. 6) Lumen Lumen merupakan ruangan kosong di dalam serat. Bentuk dan ukurannya bervariasi dari serat yang satu ke serat yang lain maupun sepanjang satu serat itu sendiri. Lumen berisi zat-zat padat yang merupakan sisa-sisa protoplasma yang sudah kering, yang komposisinya sebagian besar terdiri dari nitrogen.
2) ZAT WARNA REAKTIF PANAS Zat warna reaktif panas adalah suatu zat warna yang dapat mengadakan reaksi dengan serat berupa ikatan kovalen sehingga zat warna tersebut merupakan bagian dari serat. Zat warna ini terutama dipakai untuk mencelup serat selulosa, serat protein seperti wol dan sutera dapat juga dicelup dengan zat warna ini. Selain itu serat poliamida (nilon) sering juga dicelup dengan zat warna reaktif untuk mendapatkan warna muda dengan kerataan yang baik. Selain itu, zat warna reaktif panas juga dapat dikatakan sebagai zat warna yang larut dalam air dan berikatan dengan selulosa melalui ikatan kovalen sehingga tahan luntur warna hasil celupannya baik. Contoh strukturnya adalah jenis mono kloro triazin (MTC) sebagai berikut
Penggolongan Zat Warna Reaktif Berdasarkan mekanisme reaksinya, zat warna reaktif dibagi menjadi dua golongan, yakni zat warna rekatif yang bereaksi dengan serat melalui mekanisme substitusi nukleofilik (SN) 2 dan zat warna reaktif yang bereaksi dengan serat melalui mekanisme adisi nukleofilik. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut. a. Zat warna Procion H dan Drimarene X yang masing-masing mempunyai sistem reaktif triazin dan pirimidin termasuk zat warna reaktif yang bereaksi dengan serat melalui mekanisme substitusi nukleofilik (SN) 2 yaitu sebagai berikut:
Mekanis me reaks i s ubtitus i Nukleofili k (S N 2 ) pada fiks asi zat warna reaktif Dengan laju reaksi = k. [Zat warna] [sel-O], jadi dalam pencelupan memerlukan penambahan alkali untuk mengubah selulosa menjadi anion selulosa (sebagai nukleofil.
Sel – O – H
OH—
Sel – O— + H2O
Semakin banyak alkali yang ditambahkan, pembentukan anion selulosanya semakin banyak, maka reaksi fiksasi semakin cepat. Secara singkat reaksi fiksasi tersebut dapat ditulis : D –Cl sel—OH
D—O—sel + HCl
Selain itu selama proses pencelupan dap terjadi reaksi hidrolisis sehingga zat warna menjadi rusak dan tidak bisa fiksasi / berikatan dengan serat. D –Cl + H—O—H
D—O—sel
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaks i hidrolis a: Reaksi hidrolisa sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, seperti misalnya kereaktifan zat warna, temperatur atau suhu, pH, maupun konsentrasi air. Adapun penjelasan singkatnya adalah sebagai berikut. 1.
Kereaktifan Zat Warna Apabila zat warna kereaktifannya tinggi maka zat warna akan mudah rusak terhidrolisis.
2.
Temperatur Jika temperature tinggi diawal maka reaksi hidrolisa bertambah cepat.
3.
pH Dengan pH yang tinggi maka terjadi reaksi hidrolisa terhadap serat semakin tinggi.
4.
Konsentrasi Air Reaksi hidrolisa akan semakin besar jika konsentrasi air juga tinggi.
Beruntung reaksi hidrolisis ini lebih kecil dari reaksi fiksasi karena kenukleofilan OH— lebih lemah dari sel —O, namun demikian dalam proses pencelupan perlu diusahakan agar reaksi hidrolisis ini sekecil mungkin antara lain dengan cara modifikasi skema proses pencelupan sedemikian rupa, misalnya dengan cara menambahkan alkali secara bertahap. Kelemahan zat warna reaktif selain mudah rusak terhidrolisis juga hasil pencelupannya kurang tahan terhadap pengerjaan asam, sebagai contoh bila hasil celup dilakukan proses penyempurnaan resin finis dalam suasana asam maka ketuaan warana hasil celupnya akan sedikit turun.
b. Zat warna reaktif Sumifik dan Remazol Zat warna reaktif Sumifik dan Remazol merupakan jenis zat warna reaktif yang bereaksi dengan serat melalui mekanisme adisi nukleofilik. Zat warna tersebut dijual dalam bentuk sulfatoetilsulfon yang tidak reaktif dan baru berubah menjadi vinil sulfon yang reaktif setelah ada penambahan alkali. Kelebihan zat warna Vinil Sulfon adalah relatif lebih tahan alkali, tetapi kelemahannya adalah hasil celupnya mudah rusak oleh pengerjaan dalam suasana alkali, contoh bila terhadap hasil pencelupan dilakukan proses pencucian dengan sabun dalam suasana alkali dengan suhu yang terlalu panas, maka ketuaan warnanya akan sedikit turun lagi.
R eaks i fik s as i dan hidrolis is zat warna reaktif jenis vinil s ulfon :
Pemakaian zat warna reaktif secara panas yaitu untuk zat warna reaktif yang mempunyai kereaktifan rendah, misalnya procion H, cibacron dengan sistem reaktif mono-khlorotriazin, dan remazol denagan sistem reaktif vinil sulfon.
Adanya kekurangan dari kedua golongan zat warna reaktif tersebut maka saat ini banyak digunakan zat warna reaktif dengan fungsi gugus ganda (bifunctional reactive dyes) seperti sumifik supra( mono chloro tiazin (MTC)-vinil sulfon (VS) dan drimarene CL (tricholoropirimidin (TCP)-vinil Sulfon (VS), sehingga zat warnanya lebih tahan hidrolisis. Efisiensi fiksasinya tinggi dan hasil celupnya lebih tahan alkali dan tahan asam. Varian zat warna reaktif lainyya juga dibuat misalnya zat warna reaktif yang lebih tahan panas dan afinitasnya lebih besar maupun zat warna reaktif yang dapat fiksasi pada suasana n ertral.
3) Zat pembantu pada pencelupan selulosa dengan zat warna reaktif panas Guna diperoleh hasil celup yang kualitasnya sesuai dengan yang diinginkan, maka diperlukan penambahan zat-zat pembantu yang tentunya akan ikut berperan penting terhadaip kain hasil celupannya nanti. Adapun zat-zat pembantu yang perlu ditambahkan pada larutan celup antara lain adalah elektrolit seperti contohnya NaCl, Na2CO3, dan zat pembasah. Selain itu, ada juga sabun yang akan membantu proses pencucian setelah kain contoh uji selesai dicelup. Berikut ini merupakan fungsi dari masing-masing zat tersebut.
NaCl berfungsi untuk mendorong penyerapan zat warna
Na2CO3 berfungsi untuk fiksasi zat warna
Pembasah berfungsi meratakan dan mempercepat proses pembasahan kain
Sabun untuk proses pencucian setelah proses pencelupan guna menghilangakan zat warna reaktif yang terhidrolisis yang ada dalam kain hasil celupan.
4) Mekanisme Pencelupan Dalam proses pencelupan, reaksi fiksasi zat warna reaktif dengan serat terjadi secara simultan dengan reaksi hidrolisis antara zat warna dengan air. Kereaktifan zat warna reaktif meningkat dengan meningkatnya pH larutan celup. Oleh karena itu, pada dasarnya mekanisme pencelupan zat warna reaktif terdiri dari dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap penyerapan zat warna reaktif dari larutan celup ke dalam serat. Pada tahap ini tidak terjadi reaksi antara zat warna dengan serat karena belum ditambahkan alkali. Selain itu, karena reaksi hidrolisis terhadap zat warna lebih banyak terjadi pada pH tinggi, maka pada tahap ini zat warna akan lebih banyak terserap ke dalam serat daripada terhidrolisis. Penyerapan ini dibantu dengan penambahan elektrolit. Tahap kedua merupakan fiksasi yaitu reaksi anatar zat warna yang sudah terserap berada dalam serat bereaksi dengan seratnya. Reaksi ini terjadi dengan penambahan alkali.
D—Cl + Sel—OH
D—O—Selulosa + HCl
NaOH + HCl
NaCl + H2O
Reaksi antara gugus OH dari serat selulosa dengan zat warna reaktif dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
Reaksi Substitusi Membentuk ikatan pseudo ester (ester palsu) misalnya pada pencelupan serat selulosa dengan zat warna reaktif Procion, Cibacron, dan Levafix.
Reaksi Adisi Membentuk ikatan eter, misalnya pada pencelupan serat selulosa dengan zat warna reaktif Remazol.
5) Faktor yang berpengeruh terhadap Proses Pencelupan Kapas dengan Zat Warna Reaktif Panas Berikut ini merupan faktor-faktor yang mempengaruhi proses pencelupan kapas dengan zat warna reaktif panas. 1. Kondisi pH Larutan Fiksasi zat warna reaktif pada serat selulosa terjadi pada pH 10,5 – 12,0. Pada pH tersebut zat warna reaktif yang sudah terserap di dalam serat akan bereaksi dengan serat. Seperti telah kita ketahui bahwa reaksi zat warna reaktif dengan serat selulosa terjadi pada pH tinggi oleh adanya penambahan alkali. Walaupun reaksi hidrolisis zat warna reaktif dengan air terjadi pada pH yang tinggi, namun reaksi hidrolisis tersebut sangat sedikit kemungkinan terjadinya karena zat warna telah terserap kedalam serat. Oleh karena itu, penambahan alkali dilakukan pada tahap kedua setelah zat warna terserap oleh serat. Apabila penambahan alkali tersebut dilakukan pada awal proses, maka kemungkinan besar akan terjadi hidrolisa.
2. Pengaruh Perbandingan Larutan Celup Perbandingan larutan celup artinya perbandingan antara besarnya larutan terhadap berat bahan tekstil yang diproses. Penggunaan perbandingan larutan yang kecil akan menaikan konsentrasi zat warna dalam larutan. Kenaikan konsentrasi zat warna dalam larutan tersebut akan menambah besarnya penyerapan. Maka untuk mencelup warna-warna tua diusahakan untuk memakai perbandingan larutan yang kecil.
3. Pengaruh Suhu Pada pencelupan dengan zat warna reaktif maka penambahan suhu akan menyebabkan zat warna mudah sekali bereaksi dengan air, sehingga dapat menyebabkan berkurangnya afinitas zat warna dan kemungkinan terjadi penurunan daya serap (substantivitas) juga lebih besar sehingga dapat menurunkan efisiensi fiksasi. Namun, kerugian karena penurunan efisiensi fiksasi ini dapat diatasi dengan pemakaian pH yang terlalu tinggi, Oleh karena itu faktor suhu pencelupan dan pH larutan celup memegang peranan penting di dalam proses pencelupan dengan zat warna reaktif.
Zat warna reaktif yang mempunyai kereaktifan tinggi, dicelup pada suhu kamar. akan tetapi zat warna reaktif yang mempunyai kereaktifan rendah memerlukan suhu pencelupan minimal 70 0C. Atau secara singkatnya dapat ditulis seperti berikut ini.
Mempercepat pencelupan
Mempercepat migrasi, yakni perataan zat warna dari bagian-bagian yang tercelup tua ke bagian-bagian yang tercelup muda sehingga terjadi kesetimbangan.
Mendorong terjadinya reaksi antara serat dengan zat warna pada pencelupan dengan menggunakan zat warna reaktif panas, akan tetapi kenaikan suhu pada proses pencelupan mempengaruhi reaksi hidrolisa.
4. Pengaruh Elektrolit Pengaruh elektrolit pada pencelupan dengan zat warna reaktif seperti halnya pada zat warna direk. Makin tinggi pemakaian elektrolit, maka makin besar penyerapannya. Jumlah pemakaian elektr olit hampir mencapai sepuluh kali lipat dari pada pemakaian pada zat warna direk.
5. Alkali Untuk dapat bereaksi, zat warna memerlukan penambahan alkali yang berguna untuk mengatur suasana yang cocok untuk bereaksi, mendorong pembentukan ion selulosa, serta untuk menetralkan asam-asam hasil reaksi. Dan diperlukan untuk fiksasi membentuk ikatan Kovalen
6. Bentuk dan Ukuran Molekul a. Molekul zat warna yang datar memberikan daya tembus pada serat tetapi setiap penambahan gugus kimianya yang merusak sifat datar tersebut akan mengakibatkan daya tembus zat warna berkurang. b. Besar kecilnya atau penambahan sesuatu zat warna akan mempengaruhi kecepatan celupnya. Molekul zat warna yang memanjang mempunyai daya untuk melewati pori-pori dalam serat lebih baikdari pada molekul-molekul yang melebar. c. Molekul zat warna yang besar akan mempunyai ketahanan cuci yang lebih baik.
C. PERCOBAAN 1. Alat dan Bahan Alat
Neraca Analitik
Gelas Kimia 600 mL
Gelas Kimia 100 mL
Gelas Ukur 100 mL
Pipet Ukur 10 mL
Pipet Ukur 1 mL
Batang Pengaduk
Termometer
Kompor atau Bunsen
Kassa Asbes
Filler
Kaki Tiga Penyangga
Gunting
Mesin Stenter
Bahan
Kain Kapas
Zat Warna Reaktif Panas Aviterra Light Red SE
Zat Pembasah
Na2CO3
NaCl
Sabun
Air
2. Resep Pencelupan Zat Warna Reaktif Panas
: 1%OWF
Zat Pembasah
: 1 mL/L
Na2CO3
: 10 g/L
NaCl
: 30 g/L
Vlot
: 1:20
Waktu
: 40 menit
Suhu
: 90°C
Pencucian Sabun
: 1 g/L
Na2CO3
: 1 g/L
Suhu
: 80°C
Waktu
: 10 menit
Vlot
: 1:20
3. Fungsi Zat Zat Warna Reaktif Panas
: Sebagai pewarna kain
Zat Pembasah
: Untuk meratakan dan mempercepat proses pembasahan kain
Na2CO3
: Berfungsi untuk fiksasi zat warna
NaCl
: Untuk mendorong penyerapan zat warna
Sabun
: Untuk proses pencucian setelah proses pencelupan guna menghilangkan sisa zat warna reaktif yang terhidrolisis yang ada dalam kain hasil celupan
4. Diagram Alir
Persiapan Bahan dan Larutan
Proses Pencelupan pada Suhu
90°C selama 40 menit
Proses Pencucian dengan Sabun pada Suhu
80°C selama 10 menit
Pengeringan
Evaluasi Hasil
1. Ketuaan Warna 2. Kerataan Warna
5. Skema Proses
Pencelupan Metode S tandar
Kain Zat Warna Suhu (°C)
Na2CO3
Pembasah 90°C NaC
40°C
30°C
20
10
40
30
50
Waktu (Menit)
Pencelupan Metode Penambahan Garam dan A lkali s ecara Berk ala Metode ini dimaksudkan untuk mendapatkan kerataan warna hasil celup yang lebih baik dan hidrolisis zat warna yang lebih sedikit.
Kain Na2CO3
Zat Warna Suhu (°C)
Pembasah
90°C NaCl
40°C
30°C
10
20
Waktu (Menit)
30
40
50
Pencelupan Metode S alt at S tart Metode ini dimaksudkan untuk lebih mengurangi kerusakan zat warna akibat terhidrolisis. Tetapi hanya diperuntukkan untuk zat warna reaktif yang mudah rata, karena dengan NaCl yang dimasukkan di depan maka penyerapan zat warna akan lebih cepat sehingga risiko kain contoh uji menjadi belang pun semakin besar. Kain Zat Warna Na2CO3 Suhu (°C)
Pembasah 90°C
NaCl
40°C
30°C
20
10
30
40
50
Waktu (Menit)
Pencelupan Metode A ll In Metode ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas karena 1 orang bisa menangani 4-5 mesin celup. Persyaratannya adalah proses ini memerlukan zat warna reaktif yang lebih stabil (tidak mudah terhidrolisis) dan mudah rata. Kain Zat Warna Suhu (°C)
Pembasah NaCl
90°C
Na2CO3
40°C
30°C
10
20
Waktu (Menit)
40
50
Pros es P encucian
Kain Contoh Uji Sabun Suhu (°C) Na2CO3
80°C
30°C
10 Waktu (Menit)
6. Langkah kerja
Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan selama praktikum.
Kain yang akan dicelup ditimbang terlebih dahulu.
Setelah berat kain diperoleh, kebutuhan zat yang diperlukan untuk proses pencelupan dihitung sesuai resep.
Kemudian, membuat larutan induk zat sesuai dengan perhitungan yang sudah dilakukan tadi.
Langkah selanjutnya, zat warna serta zat pembasah dipipet ke dalam bejana celup sesuai dengan perhitungan resep yang telah dilakukan.
Selain itu, ditambahkan zat-zat lain seperti NaCl maupun Na2CO3 —yang mekanisme penambahannya disesuaikan dengan variasi masing-masing yang telah ditentukan sebelumnya —ke dalam bejana celup yang sudah terisi dengan zat warna dan zat pembasah.
Kain dimasukkan ke dalam bejana celup tersebut.
Proses pencelupan dilakukan secara konstan pada suhu 90°C selama 40 menit.
Selama proses pencelupan berlangsung, harus dilakukan pengadukan agar kain hasil celupannya tidak belang.
Setelah proses pencelupan selesai dilakukan, kain hasil celup tadi dicuci dingin terlebih dahulu kemudian dicuci panas menggunakan sabun selama 10 menit pada suhu 80°C.
Kain kemudian dikeringkan dengan menggunakan mesin stenter.
Terakhir, dilakukan evaluasi terhadap kain hasil celup tadi, baik itu mengenai ketuaan warna maupun kerataan warnanya.
D. PERHITUNGAN RESEP Berat Bahan Kain 1
= 4,85 gram
Kain 2
= 4,84 gram
Kain 3
= 4,82 gram
Kain 4
= 4,80 gram
1) Perhitungan Resep Pencelupan Kebutuhan Larutan Kain 1
= Berat Bahan x Vlot = 4,85 x 20 = 97 mL
Kain 2
= Berat Bahan x Vlot = 4,84 x 20 = 96,8 mL
Kain 3
= Berat Bahan x Vlot = 4,82 x 20 = 96,4 mL
Kain 4
= Berat Bahan x Vlot = 4,80 x 30 = 96 mL
Kebutuhan Zat Warna (Diambil dari larutan induk zat warna 1%) Kain 1
= %OWF Zat Warna x Berat Bahan x =
1 100
x 4,85 gram x
= 4,85 mL
100 mL 1 gram
100 1
Kain 2
= %OWF Zat Warna x Berat Bahan x =
1 100
x 4,84 gram x
100 1
100 mL 1 gram
= 4,84 mL Kain 3
= %OWF Zat Warna x Berat Bahan x =
1 100
x 4,82 gram x
100 1
100 mL 1 gram
= 4,82 mL Kain 4
= %OWF Zat Warna x Berat Bahan x =
1 100
x 4,80 gram x
100 mL 1 gram
= 4,80 mL
Zat Pembasah Kain 1
=
Kain 2
=
Kain 3
=
Kain 4
=
1 1000 1 1000 1 1000 1 1000
x 97 = 0,097 mL x 96,8 = 0,0968 mL x 96,4 = 0,0964 mL x 96 = 0,96 mL
Na2CO3 Kain 1
=
10 1000
x 97
= 0,97 gram Kain 2
=
10 1000
x 96,8
= 0,968 gram Kain 3
=
10 1000
x 96,4
= 0,964 gram Kain 4
=
10 1000
x 96
= 0,96 gram
100 1
NaCl Kain 1
=
30 1000
x 97
= 2,91 gram Kain 2
=
30 1000
x 96,8
= 2,904 gram Kain 3
=
30 1000
x 96,4
= 2,889 gram Kain 4
=
30 1000
x 96
= 2,8809 gram
Kebutuhan Air Kain 1
= 97 mL – 4,947 mL = 92,053 mL
Kain 2
= 96,8 – 4,9368 mL = 91,8632 mL
Kain 3
= 96,4 – 4,9064 mL = 91,4936 mL
Kain 4
= 96 – 4,896 mL = 91,104 mL
2) Perhitungan Resep Pencucian Kebutuhan Larutan Kain 1
= Berat Bahan x Vlot = 4,85 x 20 = 97 mL
Kain 2
= Berat Bahan x Vlot = 4,84 x 20 = 96,8 mL
Kain 3
= Berat Bahan x Vlot = 4,82 x 20 = 96,4 mL
Kain 4
= Berat Bahan x Vlot = 4,80 x 20 = 96 mL
Sabun Kain 1
=
Kain 2
=
Kain 3
=
Kain 4
=
1 1000 1 1000 1 1000 1 1000
x 97
= 0,097 mL
x 96,8 = 0,0968 mL x 96,4 = 0,0964 mL x 96
= 0,096 mL
x 97
= 0,097 gram
Na2CO3 Kain 1
=
Kain 2
=
Kain 3
=
Kain 4
=
1 1000 1 1000 1 1000 1 1000
x 96,8 = 0,0968 gram x 96,4 = 0,0964 gram x 96
= 0,096 gram
Kebutuhan Air Kain 1
= 97 – 0,097
= 96,903 mL
Kain 2
= 96,8 – 0,0968
= 96,7032 mL
Kain 3
= 96,4 – 0,0964
= 96,3036 mL
Kain 4
= 96 – 0,096
= 95,904 mL
E. DATA PERCOBAAN 1. Ketuaan Warna
Pengamat
Kain I
II
III
IV
1
8
9
8
6
2
8
9
9
7
3
8
8
7
5
4
7
10
9
6
Σ
31
36
33
24
Berdasarkan data pada tabel di atas, maka dapat diketahui urutan ketuaan warna kain hasil pencelupan dengan menggunakan zat warna reaktif panas dari kain yang paling tua hingga kain yang paling muda adalah Kain 2, Kain 3, Kain 1, dan Kain 4.
2. Kerataan Warna
Pengamat
Kain I
II
III
IV
1
9
6
7
8
2
9
7
6
7
3
9
6
8
7
4
8
7
8
8
Σ
35
26
29
30
Berdasarkan data pada tabel di atas, maka dapat diketahui urutan kerataan warna kain hasil pencelupan dengan menggunakan zat warna reaktif panas dari kain yang paling rata hingga kain yang paling paling tidak rata adalah Kain 1, Kain 4, Kain 3, dan Kain 2.
F. PEMBAHASAN (DISKUSI) Pada praktikum kali ini, zat warna yang digunakan untuk proses pencelupan kain kapas adalah zat warna reaktif panas Aviterra Light Red SE . Untuk prosesnya sendiri dilakukan pada suhu 90°C selama 40 menit dengan memvariasikan metode skema proses pencelupannya, yakni ada yang menggunakan Metode Standar, Metode Penambahan Garam dan Alkali secara Bertahap, Metode Salt at Start, hingga Metode All In. Konsentrasi zat warna yang digunakannya untuk proses pencelupan adalah sebesar 1% OWF sehingga diharapkan akan menghasilkan kain dengan ketuaan warna yang sedang. Adapun yang menjadi aspek penilaian atau evaluasinya adalah ketuaan warna serta kerataan warna yang dilakukan secara visual oleh masing-masing pengamat. Dimana, setiap pengamat akan memberikan skor atau nilai pada setiap kain hasil pencelupan dengan zat warna reaktif panas. Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, diperoleh hasil dengan perbedaan yang cukup signifikan antara kain yang dicelup dengan menggunakan Metode Standar, Metode Penambahan Garam dan Alkali secara Bertahap, Metode Salt at Start, dan Metode All In. Berikut ini merupakan pembahasan secara singkatnya.
a) Metode Skema Standar Proses pencelupan dengan menggunakan metode skema standar ini dilakukan dengan cara menambahkan NaCl setelah 10 menit kain dimasukkan ke dalam larutan celup. Hal ini bertujuan agar kinerja NaCl dalam larutan dapat berfungsi dengan semestinya. Karena jika NaCl dimasukkan di awal, tentu hal ini malah akan menghambat kinerja dari zat pembasah yang kita tahu memiliki fungsi untuk menurunkan tegangan permukaan sehingga kain menjadi cepat terbasahi — sementara NaCl sendiri memiliki sifat yang kontra dengan zat pembasah sehingga alangkah lebih baik jika penambahannya dilakukan setelah 10 menit kain masuk ke dalam larutan celup. Sedangkan untuk Na 2CO3 sendiri—yang berfungsi membantu proses fiksasi zat warna—dimasukkan di 15 menit terakhir proses pencelupan. Hal ini dilakukan guna menghindari terjadinya hidrolisis zat warna. Jika hidrolisis zat warna ini terjadi maka dampaknya adalah molekul-molekul zat warna akan rusak dan tidak dapat terfiksasi secara sempurna dengan serat. Dimana yang seharusnya ikatan anatara zat warna dengan serat adalah ikatan kovalen, akibat terjadinya hidrolisis justru akan membuat zat warna hanya mampu mengadakan ikatan fisika dengan serat. Seperti yang kita ketahui bahwa ikatan fisika merupakan ikatan yang sangat lemah sehingga akan berakibat terhadap ketahanan luntur warnanya yang menjadi kurang baik. Tentu hal ini tidaklah diharapkan.
Adapun kain hasil pencelupannya ini jika dilihat pada tabel data pengamatan, mendapatkan predikat sebagai kain paling rata jika dibandingkan dengan hasil hasil pencelupan dengan metode skema yang lainnya. Sementara untuk ketuaannya sendiri berada diurutan ketiga.
b) Metode Skema Penambahan Garam dan Alkali secara Bertahap Proses pecelupan dengan menggunakan metode skema penambahan garam dan alkali secara bertahap dilakukan dengan cara menambahkan NaCl dimulai dari 10 menit setelah kain dimasukkan ke dalam larutan celup secara bertahap, yakni pada menit ke 10, 15 dan 20. Hal ini bertujuan agar proses difusi zat warna ke dalam serat terjadi secara perlahan. Dengan begini, tidak akan terjadi proses penyerapan yang terlalu cepat yang bisa membuat kain hasil celupannya menjadi belang. Akibatnya, jika proses pencelupan dengan menggunakan metode skema penambahan garam dan alkali secara bertahap dilakukan secara benar, maka kain yang dihasilkan pun tentunya akan jauh lebih rata. Begitu pula dengan Na 2CO3 yang diperlakukan sama seperti NaCl, yakni penambahannya secara bertahap. Namun yang membedakannya dengan NaCl adalah waktu penambahannya yang dilakukan menjelang proses pencelupan kain berakhir. Kira-kira sekitar menit ke 20, 25, dan 30. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar proses fiksasi antara zat warna dengan serat menjadi lebih maksimal serta menghindari terjadinya hidrolisis zat warna oleh Na 2CO3 yang membawa sifat alkali. Adapun kain hasil pencelupannya ini jika dilihat pada tabel data pengamatan mendapatkan predikat sebagai kain yang paling tua jika dibandingkan dengan kain hasil pencelupan dengan Metode Skema Standar, All In, maupun Salt at Start. Sementara untuk kerataannya sendiri, berada pada urutan paling terakhir atau dengan kata lain merupakan kain yang memiliki tingkat ketidakrataan paling tinggi (belang).
c) Metode Skema Salt at Start Proses pencelupan dengan menggunakan metode skema salt at start ini dilakukan dengan cara menambahkan NaCl di awal, yakni bersamaan dengan air, zat warna, kain, serta zat pembasah. Metode ini dimaksudkan untuk lebih mengurangi kerusakan zat warna akibat terhidrolisis. Tetapi hanya diperuntukkan untuk zat warna reaktif yang mudah rata, karena dengan NaCl yang dimasukkan di depan maka penyerapan zat warna cenderung akan lebih cepat sehingga risiko kain contoh uji menjadi belang pun semakin besar.
Selain itu, penambahan NaCl di awal juga akan mempengaruhi kinerja dari zat pembasah itu sendiri karena memang sifat keduanya ini kontra. Akibatnya, jika kinerja dari zat pembasah ini terhambat oleh adanya penambahan NaCl, maka kemungkinan kain untuk cepat terbasahi secara merata pun menjadi semakin kecil. Sementara untuk Na 2CO3 sendiri dimasukkan pada saat proses pencelupan menjelang 15 menit terakhir dengan cara bertahap atau tidak langsung sekaligus dimasukkan. Yakni kira-kira sekitar menit ke 20 dan 25. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya kerusakan zat warna akibat adanya proses hidrolisis yang pada akhirnya bisa menyebabkan proses fiksasi berjalan kurang sempurna sehingga akan berdampak pada ketahan luntur warna kain hasil celupannya yang menjadi turun. Dengan penambahan yang dilakukan tidak langsung disekaliguskan tentu kemungkinan terjadinya hidrolisis pun menjadi semakin kecil. Adapun kain hasil pencelupannya ini jika dilihat pada tabel data pengamatan berada diurutan kedua untuk aspek ketuaan warna. Hal disebabkan oleh penambahan NaCl di awal yang akan memicu terjadi proses penyerapan zat warna menjadi sangat cepat serta Na2CO3 yang ditambahkan secara berkala akan membuat proses fiksasinya menjadi lebih sempurna. Akan tetapi, penyerapan zat warna yang terlalu ini tentu membawa efek buruk terhadap kain hasil celupannya, yakni menjadi belang atau memiliki ketidakrataan yang cukup tinggi. Ini dapat t erjadi karena zat warnanya sendiri belum sempat untuk memposisikan diri di dalam serat sehingga akan terjadi penumpukan pada titik-titik tertentu. Hal inilah yang kemudian akan membuat kain menjadi tampak belang. Terbukti dengan tabel data pengamatan yang menunjukkan bahwa kain yang diproses dengan metode salt at start ini hanya berada diurutan ketiga jika dilihat dari aspek kerataan warna.
d) Metode Skema All In Proses pencelupan dengan menggunakan metode all in ini dilakukan dengan cara memasukkan semua bahan dan zat-zat yang diperlukan untuk proses pencelupan sekaligus di awal secara bersamaan. Baik itu air, zat warna, zat pembasah, NaCl, maupun Na 2CO3. Pada dasarnya, metode ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas karena 1 orang bisa menangani 4-5 mesin celup. Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi apabila ingin menggunakan metode ini yakni pada proses ini memerlukan zat warna reaktif yang lebih stabil (tidak mudah terhidrolisis) dan mudah rata. Mengingat semua zat yang dimasukkan sekaligus di awal, tentu akan ada risiko yang harus ditanggung salah satunya ada ketidakrataan kain hasil celupannya nanti serta ketahanan luntur warnanya yang bisa dikatakan terbilang jelek.
Hal ini bisa terjadi karena penambahan NaCl di awal akan memicu terjadinya penyerapan zat yang terlalu cepat sehingga molekul-molekul zat warna ini tidak sempat untuk memposisikan diri. Akibatnya akan terjadi penumpukan pada titiktitik tertentu yang pada akhirnya akan membuat kain hasil celupan menjadi tampak belang. Sementara untuk ketahanan luntur warna yang terbilang jelek sendiri disebabkan oleh terjadinya proses hidrolisis yang membuat zat warna menjadi rusak akibat adanya penambahan Na 2CO3 yang terlalu dini. Ketika zat warna terhidrolisis maka akan terjadi kerusakan yang dapat berimbas pada kemampuan zat warna untuk berikatan dengan serat. Yang semula harusnya bisa berikatan kovalen dengan serat, namun karena adanya kerusakan membuat zat warna ini hanya mampu mengadakan ikatan fisika dengan serat, seperti yang kita ketahui bahwa ikatan fisika merupakan ikatan yang sangat lemah sehingga akan mengakibatkan ketahanan luntur warnanya menjadi kurang baik. Adapun kain hasil pencelupannya ini jika dilihat pada tabel data pengamatan berada pada urutan terakhir untuk aspek ketuaan warna jika dibandingkan dengan metode skema yang lainnya. Namun, untuk aspek kerataan, kain yang diproses dengan metode all in ini berada pada urutan kedua.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut, dapat kita ketahui bahwa telah terjadi ketidaksesuaian antara hasil praktikum dengan teori yang ada. Seperti contohnnya pada kasus kain yang diproses dengan metode penambahan garam dan alkali secara bertahap yang seharusnya memiliki tingkat kerataan yang paling baik karena penambahan NaClnya dilakukan secara bertahap dan tidak langsung sekaligus justru malah menjadi kain yang paling belang jika dibandingkan dengan kain hasil celupan dengan metode yang lainnya. Hal ini tentu bisa terjadi karena berbagai macam faktor yang mempengaruhinya. Berikut ini ini adalah beberapa faktor yang diduga menjadi pemicu terjadinya ketidaksesuaian hasil praktikum dengan teori yang ada.
Pada saat NaCl ditambahkan ke dalam larutan celupan, ada kemungkinan butiranbutiran dari zat tersebut belum larut sempurna dan belum homogen di dalam larutan celup atau bahkan mengenai kain secara langsung sehingga memicu terjadinya ketidakrataan atau pada kain hasil celupannya.
Adanya proses pencucian yang dilakukan kurang sempurna sehingga terdapat partikel-partikel zat warna yang tidak terfiksasi dengan serat masih menempel pada permukaan kain hasil pencelupan. Tentu akibatnya akan fatal karena dapat membuat kain menjadi tidak rata warnanya (terlihat belang).
Selama proses pencelupan berlangsung, pengadukan kain cenderung dilakukan kurang maksimal. Mengingat bejana yang digunakan untuk proses pencelupan ukurannya tidak terlalu besar, kemungkinan kain contoh uji untuk terlipat pun menjadi semakin besar. Akibatnya, penyerapan zat warna tidak akan tersebar secara merata sehingga akan ada bagian kain yang yang berwarna lebih tua akibat adanya penumpukan dan akan ada bagian kain yang berwarna lebih muda karena kurang menyerap zat warna. Dari sini, dapat kita ketahui bahwa proses pengadukan menjadi salah satu faktor penting yang menunjang kualitas hasil pencelupan sehingga perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh.
G. KESIMPULAN Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1) Setiap metode skema memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tergantung aspek apa yang ingin kita penuhi, dapat kita sesuaikan dengan metode skema yang ada tanpa mengesampingkan plus-minusnya. 2) Untuk memperoleh hasil pencelupan dengan ketuaan serta kerataan warna yang baik, maka metode skema penambahan garam dan alkali secara bertahap menjadi pilihan yang paling cocok. Dengan adanya penambahan garam yang dilakukan secara bertahap maka proses difusinya pun akan berjalan secara perlahan sehingga proses penyerapan zat warna ke dalam kain pun menjadi lebih optimum. Sedangkan dengan adanya penambahan alkali yang dilakukan secara bertahap pada menit-menit menjelang berakhirnya proses pencelupan akan mengurangi kemungkinan terjadinya hidrolisis zat warna sehingga fiksasinya dengan serat pun akan jauh lebih sempurna. 3) Apabila yang dicari adalah aspek produktivitas, maka metode all in menjadi pilihan paling tepat karena 1 orang saja diprediksi bisa mengerjakan 4-5 mesin. Namun tentunya ada persayaratan yang harus dipenuhi, yakni memerlukan zat warna reaktif yang lebih stabil (tidak mudah terhidrolisis) dan mudah rata. Adapula risiko yang harus diterima ketika memilih menggunakan metode all in ini untuk proses pencelupan, yakni kain hasil celupannya tidak akan didapatkan warna tua serta ketahanan luntur warnanya akan kurang bagus.
4) Ketidakrataan kain dapat dipicu oleh proses pengadukan yang tidak dilakukan secara maksimal sehingga proses penyerapan zat warna cenderung tidak akan optimum dan tidak akan tersebar secara merata. Akibatnya, akan ada bagian kain yang yang berwarna lebih tua akibat adanya penumpukan molekul zat warna dan akan ada bagian kain yang berwarna lebih muda karena kurang menyerap zat warna. Selain itu, proses pencucian yang kurang sempurna juga bisa menyebabkan kain menjadi tidak rata atau belang karena sisa-sisa zat warna yang tidak terfiksasi dengan serat masih tetap menempel di permukaan. Adapula karena faktor NaCl yang ditambahkan ke dalam larutan celup yang kemungkinan setelah dimasukkan belum larut sempurna dan belum homogen di dalam larutan celup atau bahkan mengenai kain secara langsung sehingga memicu terjadinya ketidakrataan atau pada kain hasil celupannya.
DAFTAR PUSTAKA
Kemal, Noerati. 2012. SERAT-SERAT TEKSTIL I . Bandung : Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil. (Kamis, 22 Februari 2018 Pukul 19.05 WIB)
Karyana, Dede, Elly K. 2005. Bahan Ajar Praktikum Pencelupan 1. Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil. (Kamis, 22 Februari 2018 Pukul 19.11 WIB)
http://borosh.blogspot.co.id/2014/02/zat-warna-reaktif-smk-tekstil-texmaco.html (Kamis, 22 Februari 2018 Pukul 19.25 WIB)
http://wijayantiariss.blogspot.co.id/2012/02/zat-warna-reaktif-panas.html (Kamis, 22 Februari 2018 Pukul 19.47 WIB)
https://id.scribd.com/doc/87197379/Proses-Pencelupan-Kapas-Dengan-Zat-WarnaReaktif-Panas (Kamis, 22 Februari 2018 Pukul 20.09 WIB)
https://dokumen.tips/documents/1-zat-warna-reaktif-panasdocx.html (Kamis, 22 Februari 2018 Pukul 20.17 WIB)
LAMPIRAN
Kain 1 (Metode Skema Standar)
Kain 2 (Metode Skema Penambahan Garam dan Alkali secara Bertahap)
Kain 3 (Metode Skema Salt at Start)