TINJAUAN PUSTAKA
Bambu
Sekitar 75 genus terdiri dari 1.500 spesies bambu di seluruh dunia, 10 genus atau 125 jenis terdapat di indonesia. Jenis bambu di Indonesia terdiri atas 125 spesies, 39 spesies diantaranya sudah teridentifikasi dan 11 spesies tergolong komersial. Penggunaan bambu di Indonesia dapat digolongkan pada pengguna tradisional yaitu petani, masyarakat pedesaan, pengrajin pada upacara keagamaan/ kebudayaan dan pemakai industri yaitu pabrik kertas, pabrik supit ( chop-stick ), ), penyangga bunga ( flower stick ), ), pabrik papan semen bambu ( askaboard ) dan pengalengan bambu. Di masa datang tidak tertutup kemungkinan berdiri pabrik plybamboo), lantai bambu ( flooring ), papan partikel bambu ( bamboo bambu lapis ( plybamboo particle board ) dan arang aktif (Supriadi, 2001).
Adapun yang termasuk karakteristik fisik bambu menurut Frick (2004) tergantung pada: a. Berat jenis Berat jenis bambu menunjukkan banyaknya massa bambu, dengan kata lain jumlah sel-sel penyusun bambu dengan berat sel masing-masing menunjukkan berat total bambu. Berat jenis bambu dihitung sebagai nilai perbandingan antara berat bambu kering ker ing dibagi berat air dengan volume sama sa ma dengan volume bambu tersebut. b. Kadar air Adalah nilai yang menunjukkan banyaknya air yang ada dalam bambu. Kadar air dihitung sebagai persentase perbandingan berat air dalam bambu dengan berat
Universitas Sumatera Utara
kering tanur. Berat bambu kering tanur adalah berat bambu total tanpa air akibat pengeringan dalam tanur pada suhu (103 ± 2) °C. Adapun yang termasuk karakteristik mekanis bambu menurut Frick (2004) tergantung pada: a. Jenis bambu. b. Umur bambu pada waktu penebangan. c. Kelembaban (kadar air kesetimbangan) pada batang bambu. d. Bagian batang bambu yang digunakan (bagian kaki, pert engahan, atau kepala). e. Letak dan jarak ruasnya masing-masing (bagian ruas kurang tahan terhadap gaya tekan dan lentur). Bambu merupakan tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia dan sudah menyebar di kawasan nusantara, yang dapat tumbuh di daerah iklim basah sampai iklim kering (Departemen Kehutanan & Perkebunan, 1999). Menurut Lopez dan Shanley (2004) bambu termasuk keluarga rerumputan dan merupakan tumbuhan paling besar di dunia dalam keluarga ini. Ada lebih dari 1200 spesies bambu dan kebanyakan terdapat di Asia. Tumbuhan yang indah ini, dengan kekuatan dan kelenturannya, memiliki manfaat yang tidak terbatas. Bambu merupakan salah satu jenis rumput-rumputan, dimana kandungan silika lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kayu. Persentase silika menunjukkan
upaya
tanaman
tersebut
melindungi
dirinya
terhadap
lingkungannya. Silika banyak terdapat pada kulit tanaman bambu sehingga kulit memilki kandungan silika yang tinggi. Kandungan silika yang tinggi dapat menghambat proses perekatan (Fatriasari dan Hermiat i, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Papan partikel
Papan partikel adalah salah satu jenis produk komposit atau panel kayu yang terbuat dari partikel-partikel kayu atau bahan-bahan berlignoselulosa lainnya, yang diikat dengan perekat sintesis atau bahan pengikat lain kemudian di kempa panas. Berdasarkan kerapatannya papan partikel dibagi menjadi tiga golongan yaitu papan partikel berkerapatan rendah yang mempunyai kerapatan 3
kurang dari 0,4 g/cm , papan partikel berkerapatan sedang yang mempunyai kerapatan antara 0,4 – 0,8 g/cm3 dan papan partikel berkerapatan tinggi yang mempunyai kerapatan lebih dari 0,8 g/cm3 (Maloney (1993). Menurut Dumanauw (1993) papan partikel biasanya digunakan untuk perabot, dinding dalam ruang, plafon, lantai, dan macam kegunaan lainnya. Maloney (1993) menyatakan dibandingkan dengan kayu solid papan partikel mempunyai kelebihan dan kekurangan. Papan partikel mempunyai beberapa kelebihan seperti: 1. Papan partikel bebas mata kayu, pecah dan retak. 2. Ukuran dan kerapatan papan partikel dapat disesuaikan dengan kebutuhan. 3. Tebal dan kerapatannya seragam serta mudah dikerjakan. 4. Sifat dan kualitasnya dapat diatur. Kekurangan papan partikel antara lain perubahan dimensi papan partikel pada bidang tebalnya atau bidang panelnya menjadi penting dalam banyak pemakaian. Umumnya papan partikel tidak cukup stabil pada arah linearnya, pengembangan
papan
partikel
pada
bidang
linearnya
dapat
melebihi
pengembangan normal kayu solid dan dapat cukup nyata. (Haygreen dan Bowyer, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Tsoumis (1991) menyatakan proses pembuatan papan partikel secara umum meliputi pembuatan partikel, pengklasifikasian partikel, penyimpanan, pengeringan,
pencampuran
partikel
dan
perekat,
pembentukan
papan,
pengempaan, pengkondisian, pengampelasan dan trimming. Ukuran partikel sangat berpengaruh terhadap sifat fisis dan mekanis suatu papan komposit. Perekat Isosianat
Isosianat dikenal sebagai diphenylmethane di-isocyanate (MDI) biasanya digunakan dalam pembuatan produk papan komposit. Perekat ini dipilih berdasarkan pada kesesuaiannya untuk produk khusus dengan pertimbangan bahan-bahan yang direkatkan, kadar air saat perekatan, sifat mekanis, dan ketahanannya, serta biayanya. Umumnya untuk keperluan eksterior digunakan perekat PF atau isosianat. PF merupakan perekat yang mengandung formaldehida, sehingga dapat bersifat racun bagi di sekitarnya (V ick, 1999). Keuntungan
menggunakan
perekat
isosianat
dibandingkan
perekat
berbahan dasar resin antara lain : 1. Dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit saja untuk memproduksi papan dengan kekuatan yang sama. 2. Dapat menggunakan suhu yang lebih rendah. 3. Memungkinkan penggunaan kempa yang lebih cepat. 4. Lebih toleran pada partikel berkadar air tinggi. 5. Energi untuk pengeringan lebih sedikit dibutuhkan. 6. Stabilitas dimensi papan yang dihasilkan lebih stabil. 7. Tidak ada emisi formaldehyda. (Nuryawan, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Hasibuan (2011) dalam Effendi (2005) Nilai modulus elastisitas dan patah dipengaruhi oleh kandungan dan jenis bahan perekat yang digunakan dan daya ikat perekat. Perekat isosianat merupakan perekat yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi daripada perekat lainnya dan menghasilkan ikatan kimia ( chemical bonding) yang kuat sekali.
Sangyo (2005) dalam Saputra (2009) kelebihan perekat isosianat adalah dapat mengeras tanpa bantuan panas dan curing pada suhu tinggi. Isosianat juga memiliki gugus kimia yang sangat reaktif yang kuat yaitu R-N=C=O. Keunikan perekat ini adalah dapat digunakan pada variasi suhu yang luas, tahan air, dan panas. Perekat ini juga memiliki daya guna yang luas untuk merekatkan berbagai macam kayu ke kayu, kayu ke logam dan kayu ke plastik. Bambu Betung ( Dendrocalamus asper Becker ex Heyne)
Bambu betung (Dendrocalamus asper) adalah salah satu jenis mempunyai nilai potensi ekonomi. Tanaman ini dapat dijumpai tumbuh mulai dari daerah dataran rendah hingga dataran tinggi (2000 meter), dan akan tumbuh lebih baik bila ditanam di tanah subur pada lahan basah (Soedjono & Hartanto, 1994). Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) dalam Subyakto, et al (2009) Bambu betung (Dendrocalamus asper) adalah jenis bambu yang kuat. Tingginya bisa mencapai 20-30 m dan diameter batang 8-20 cm. Bambu betung banyak digunakan untuk bahan bangunan rumah maupun jembatan dan bambu betung biasa dipanen pada umur 3-4 tahun dengan produksi sekitar 8 ton/ha. Adapun komponen kimia bambu betung terdiri atas 53 % holoselulosa, 19 % pentosan, 25 % lignin, dan 3 % abu.
Universitas Sumatera Utara
Bambu betung dikenal juga dengan sebutan awi bitung, pring petung, atau pereng petong. Jenis bambu ini termasuk dalam genus Dendrocalamus yang mempunyai rumpun yang agak sedikit rapat. Bambu betung mempunyai warna batang hijau kekuning – kuningan (Berlian dan Rahayu, 1995). Klasifikasi Bambu Betung : Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom
: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Ordo
: Poales
Famili
: Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus:
: Dendrocalamus
Spesies
: Dendrocalamus asper Backer Berlian dan Rahayu (1995) melanjutkan bahwa bambu betung mempunyai
rumpun yang agak rapat. Ukurannya lebih besar dan tinggi daripada jenis bambu lainnya. Tinggi batang mencapai 20 m dan ruas bambu betung cukup panjang dan tebal, panjangnya antara 40 - 60 cm dan ketebalan dindingnya berkisar 1 sampai 1,5 cm. Pelepah batang bambu betung panjangnya sekitar 20 sampai 55 cm, sempit dan melipat ke bawah. Bahan Aditif
Tsoumis (1991) mengemukakan bahwa bahan dasar pembuatan papan partikel adalah kayu, perekat, dan bahan aditif (seperti wax dan keramik yang berfungsi untuk mengurangi kemampuan higroskopis). Aditif dapat pula
Universitas Sumatera Utara
digunakan sebagai lapisan pelindung untuk mencegah penetrasi zat cair ke dalam kayu yang berlebihan yang dapat menyebabkan rendahnya stabilitas dimensi produk. Mekanisme ini umumnya digunakan untuk perbaikan stabilitas dimensi papan partikel. Parafin adalah bahan utama pembuatan lilin yang berasal dari residu minyak bumi. Bahan berbentuk padat ini paling tidak ada dua jenis, yakni lokal dan impor. Parafin impor yang banyak beredar di pasaran adalah yang berasal dari Cina. Parafin lokal dicirikan dengan warnanya yang putih kekuningan. Sementara itu, parafin impor relatif putih bening. Parafin lokal lebih lembek dibandingkan dengan parafin impor. Parafin impor umumnya lebih mahal dibandingkan dengan parafin lokal. Lilin yang dibuat dari bahan parafin murni memiliki karakter lembek, berbintik, dan tidak putih bersih (Murhananto, 2010). Menurut Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2009) keramik adalah berbagai produk industri kimia yang dihasilkan dari pengolahan tambang. Keramik termasuk dalam katagori thermoset yaitu suatu
benda yang setelah mengalami pemanasan dan pendinginan kembali tidak dapat berubah lagi ke bentuk asalnya. Keramik banyak konstribusinya dalam pembangunan gedung seperti untuk dinding maupun lantai bangunan. Walaupun keramik bersifat keras, kuat dan stabil pada temperatur tinggi, tetapi juga bersifat getas dan mudah patah. Keramik sebagai bahan konstruksi bangunan perlu diperbaiki sifat-sifat fisik dan mekanik seperti kuat tekan maupun kuat lenturnya. Upaya perbaikan sifat-sifat tersebut telah dilakukan dengan membuat keramik diperkuat dengan bahan yang berfungsi
Universitas Sumatera Utara
serat seperti abu batang, bulir dan sekam padi, zirkonia dan serat whisker (SiC) sehingga menjadi lebih kuat dan liat yang disebut sebagai keramik komposit. (Agustinus, 2006). Pengembangan tebal merupakan masalah utama pada papan partikel. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Subyakto et al (2005) papan partikel yang dibuat dari kulit kayu Akasia ( Acacia mangium Willd) belum memenuhi standar. Untuk memperbaiki sifat pengembangan tebal disarankan untuk menambahkan parafin (lilin/wax). Diperkuat oleh pernyataan Syamani et al (2008) pengembangan tebal papan partikel lebih besar disebabkan oleh perekat yang digunakan hanya menutupi permukaan terluar serat, tidak menembus ke da lam serat. Papan partikel mempunyai stabilitas dimensi yang rendah. Pengembangan papan partikel sekitar 10-25 % dari kondisi kering ke basah melebihi pengembangan
kayu
utuhnya
serta
pengembangan
linearnya
0,35
%.
Pengembangan panjang dan tebal pada papan ini sangat besar pengaruhnya pada pemakaian terutama bila digunakan sebagai bahan bangunan (Haygreen dan Bowyer, 1996). Menurut Sekino (1999) dalam Syamani et al (2008)
alasan dari tidak
stabilnya dimensi suatu panel adalah perubahan bentuk partikel kare na penekanan, yang terjadi secara temporer selama pengempaan, dan akan kembali ke bentuk awal ketika partikel menyerap air atau uap air. Namun mekanisme pengembangan tebal panel lebih kompleks, karena dalam panel sebetulnya partikel berikatan dengan adanya perekat yang dapat mencegah terjadinya pengembangan tebal. Terjadinya pengembangan tebal panel merupakan kombinasi dari potensi
Universitas Sumatera Utara
thickness recovery dari partikel yang didensifikasi, dan kerusakan dari jaringan
ikatan perekat (kekuatan ikatan antara partikel atau tekanan pada ikatan perekat). Suhu pengempaan bambu harus di bawah dari 180°C hal ini untuk mencegah dekomposisi selulosa yang mengakibatkan terjadinya penurunan berat yang sangat besar dan mengakibatkan terjadinya penurunan kekuatan dari bambu. Fenomena kehilangan berat ini akan mempengaruhi sifat fisik dam mekanik dari bambu. Dengan demikian temperatur 180° C merupakan temperatur yang kritis untuk perlakuan panas pada bambu (Subiyanto, 2000).
Universitas Sumatera Utara