Bahan Bacaan 3 Landasan Pendidikan Inklusif 1)
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dsb. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan. Bertolak
dari
filosofi
Bhineka
Tunggal
Ika,
kelainan
(kecacatan)
dan
keberbakatan hanyalah satu bentuk kebinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan, pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antarsiswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi, seperti halnya yang dijumpai atau dicitacitakan dalam kehidupan sehari-hari. B. Landasan Yuridis Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini
Pendidikan Pendidikan I nklu sif menuju menuju M asya asyarakat rakat I nklusif
1
sebenarnya merupakan penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM Tahun 1948, dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB Tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan, sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan,
semua
anak
seyogianya
belajar
bersama-sama
tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Sebagai
bagian
dari
umat
manusia
yang
mempunyai
tata
pergaulan
internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut. Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional.
C. Landasan Pedagogis Pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, dise-butkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
D. Landasan Empiris Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus Pendidikan I nklu sif menuju M asyarakat I nklusif
2
secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat
(Heller,
Holtzman
mengemukakan
bahwa
&
Messick,
sangat
sulit
1982). untuk
Beberapa melakukan
pakar
bahkan
identifikasi
dan
penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995). Beberapa peneliti kemudian melakukan meta-analisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 penelitian, dan Baker (1994)
terhadap
13
penelitian
menunjukkan
bahwa
pendidikan
inklusif
berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya. 2)
E. Konferensi Jomtien 1990
Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua Memenuhi Kebutuhan Dasar untuk Belajar Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua Pasal III - Universalisasi Akses dan Peningkatan Kesamaan Hak 1. Pendidikan dasar seyogianya diberikan kepada semua anak, remaja dan orang dewasa. Untuk mencapai tujuan ini, layanan pendidikan dasar yang berkualitas seyogianya diperluas dan upaya-upaya yang konsisten harus dilakukan untuk mengurangi kesenjangan. 2. Agar pendidikan dasar dapat diperoleh secara merata, semua anak, remaja dan
orang
dewasa
harus
diberi
kesempatan
untuk
mencapai
dan
mempertahankan tingkat belajar yang wajar. 3. Prioritas yang paling mendesak adalah menjamin adanya akses ke pendidikan dan meningkatkan kualitasnya bagi anak perempuan, dan menghilangkan setiap hambatan yang merintangi partisipasi aktifnya. Semua bentuk diskriminasi gender dalam pendidikan harus dihilangkan. 4. Suatu komitmen yang aktif harus ditunjukkan untuk menghilangkan kesenjangan pendidikan. Kelompok-kelompok yang kurang terlayani: orang miskin; anak jalanan dan anak yang bekerja; penduduk desa dan daerah terpencil; pengembara dan pekerja migran; suku terasing; minoritas etnik, ras, dan linguistik; pengungsi; mereka yang terusir oleh perang; dan
Pendidikan I nklu sif menuju M asyarakat I nklusif
3
penduduk yang berada di bawah penjajahan, seyogianya tidak memperoleh perlakuan diskriminatif dalam mendapatkan kesempatan untuk belajar. 5.
Kebutuhan belajar para penyandang cacat menuntut perhatian khusus. Langkah-langkah
perlu
diambil
untuk
memberikan
kesamaan
akses
pendidikan bagi setiap kategori penyandang cacat sebagai bagian yang integral dari sistem pendidikan.
F. Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat Peraturan 6:
Negara seyogianya menjamin bahwa pendidikan bagi penyandang cacat merupakan bagian yang integral dari sistem pendidikan.
Paragraf 1: Para pejabat pendidikan umum bertanggung jawab atas para penyandang cacat.
Paragraf 2: Pendidikan di sekolah umum seyogianya menyediakan layanan pendukung yang tepat.
Paragraf 6: Negara seyogianya: a) memiliki kebijakan yang jelas, b) memiliki kurikulum yang fleksibel, c) menyediakan materi yang berkualitas, dan pelatihan guru dan dukungan yang berkelanjutan.
Paragraf 7: Program rehabilitasi berbasis masyarakat seyogianya dilihat sebagai pelengkap bagi pendidikan integrasi.
Paragraf 8: Dalam hal di mana sistem persekolahan umum tidak secara memadai memenuhi kebutuhan semua penyandang cacat, pendidikan luar biasa dapat dipertimbangkan … dalam hal-hal tertentu, pendidikan luar biasa mungkin pada saat ini merupakan bentuk pendidikan yang paling tepat untuk siswa-siswa tertentu.
Paragraf 9: Siswa tunarungu dan tunarungu-netra mungkin akan memperoleh pendidikan yang lebih tepat di sekolah khusus, kelas khusus atau unit khusus.
Pendidikan I nklu sif menuju M asyarakat I nklusif
4
G. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus
Pasal 2: •
Sistem
pendidikan
seyogianya
mempertimbangkan
berbagai
macam
karakteristik dan kebutuhan anak yang berbeda-beda. Sekolah reguler dengan orientasi inklusi ini merupakan tempat yang paling
•
efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun sebuah masyarakat inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua. Lebih lanjut, sekolah tersebut memberikan pendidikan yang efektif kepada sebagian besar anak dan meningkatkan efisiensi, dan pada akhirnya akan menjadi sistem pendidikan yang paling ekonomis.
Pasal 3: Pemerintah seyogianya: •
Menetapkan prinsip pendidikan inklusif sebagai undang-undang atau kebijakan … kecuali jika terdapat alasan yang memaksa untuk menetapkan lain.
Kerangka Aksi Pasal 3:
•
Prinsip
dasar
kerangka
ini
adalah
bahwa
sekolah
seyogianya
mengakomodasi semua anak … ini seyogianya mencakup anak penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan dan anak yang bekerja, anak dari kaum pengembara atau daerah terpencil, anak dari kelompok minoritas berdasarkan bahasanya, etniknya atau budayanya dan anak dari kelompok atau daerah lain yang kurang beruntung atau terpinggirkan …. Tantangan yang dihadapi oleh sekolah inklusif adalah bahwa harus dikembangkannya pedagogi yang berpusat pada diri anak yang mampu mendidik semua anak. •
Pasal 4: … perbedaan umat manusia itu normal adanya dan pembelajaran harus
disesuaikan
dengan
kebutuhan
anak,
bukannya
anak
yang
disesuaikan dengan asumsi-asumsi yang tidak berdasar. … Pedagogi yang berpusat pada diri anak akan menguntungkan bagi semua siswa, dan akhirnya juga bagi keseluruhan masyarakat. … ini dapat sangat menurunkan Pendidikan I nklu sif menuju M asyarakat I nklusif
5
angka putus sekolah dan tinggal kelas. … di samping menjamin tercapainya tingkat pencapaian rata-rata yang lebih tinggi … Sekolah yang berpusat pada diri anak juga merupakan tempat pelatihan untuk masyarakat yang berorientasi pada orang-orang yang menghargai perbedaan dan martabat seluruh umat manusia. •
Pasal 6: Inklusi dan partisipasi itu sangat penting bagi martabat manusia dan bagi terwujudnya dan dilaksanakannya hak asasi manusia.
•
Pasal 7: Prinsip mendasar dari sekolah inklusif adalah bahwa semua anak seyogianya belajar bersama-sama, sejauh memungkinkan, apa pun kesulitan atau perbedaan yang ada pada diri mereka. Sekolah inklusif harus mengakui dan
tanggap
terhadap
keberagaman
kebutuhan
siswa-siswanya,
mengakomodasi gaya dan kecepatan belajar yang berbeda-beda… •
Pasal 10: Pengalaman menunjukkan bahwa sekolah inklusif, yang memberi layanan kepada semua anak di masyarakat, sangat berhasil dalam menggalang dukungan dari masyarakat dan dalam menemukan cara yang imaginatif dan inovatif untuk memanfaatkan ketersediaan sumber-sumber yang terbatas.
•
Pasal 18: Kebijakan pendidikan pada semua level, dari level nasional hingga lokal, seyogianya menetapkan bahwa seorang anak penyandang cacat bersekolah di lingkungan tempat tinggalnya, di sekolah yang akan dimasukinya andaikata dia tidak memiliki kecacatan.
End Notes: 1) Bagian A, B, C, dan D pada bacaan ini dikutip langsung dari Alfian, “Pendidikan Inklusif di Indonesia”, Edu-Bio. Vol.4 (2013). 2) Bagian E, F, dan G pada bacaan ini dikutip dari “Inclusive Education, Where There Are Few Resources, The Atlas Alliance, Global Support to Disabled People”.
Pendidikan I nklu sif menuju M asyarakat I nklusif
6