HUKUM DAN KEADILAN Analisis Kasus “Nenek Minah Tak Curi Coklat” Oleh : ARMAYA AZMI “Selama ini kita selalu fokus pada penegakan hukum, tapi lupa untuk menegakkan keadilan”. 1 pernyataan yang dilontarkan oleh Antasari Azhar ini kerap terjadi dalam proses dan dinamika hukum di Indonesia. Bahwa penegakan hukum diteriakkan dengan keras namun hukum yang dimaksud tidak lain adalah undang-undang. Ada sebuah kasus yang menarik beberapa tahun silam yang mungkin masih hangat sampai saat ini, Kisah seorang nenek tua bernama Minah ini berawal dari pencurian tiga butir buah kakao seberat tiga kilogram di kebun PT RSA 4 yang dituduhkan kepadanya. Saat itu Minah berkeinginan menambah tanaman kakao miliknya yang berjumlah 200 batang sehingga dia memetik tiga butir kakao di kebun PT RSA dan meletakkannya di atas tanah. Akan tetapi, apa yang dilakukan Minah diketahui mandor PT RSA 4, Tarno alias Nono. Dia pun menegur Minah dan menanyakan perihal kakao yang dicurinya. Minah pun mengatakan jika buah kakao yang dipetiknya akan dijadikan bibit. Setelah mendengar penjelasan Minah, Tarno mengatakan, kakao di kebun PT RSA 4 dilarang dipetik oleh masyarakat. Dia juga menunjukkan papan peringatan yang terpasang pada jalan masuk perkebunan. Dalam papan tersebut tertulis petikan Pasal 21 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, yang menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh merusak kebun maupun menggunakan lahan kebun hingga mengganggu produksi usaha perkebunan. Minah yang buta huruf itupun segera meminta maaf kepada Tarno sembari menyerahkan tiga butir buah kakao tersebut untuk dibawa mandor itu. Kendati telah meminta maaf, dia sama sekali tidak menyangka jika perbuatannya justru berujung ke pengadilan. Akhir Agustus 2009, Minah dipanggil Kepolisian Sektor Ajibarang untuk menjalani pemeriksaan terkait tiga butir buah kakao yang dipetiknya di kebun PT RSA 4. Atas tuduhan tersebut, Minah dijerat Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman enam bulan penjara.
1
sebuah pernyataan menarik yang dilontarkan oleh Antasari Azhar yang saya kutip dari wawancaranya di sebuah stasiun televisi dalam kasus yang menjeratnya.
Terhitung sejak 19 Oktober 2009, kasus itu ditangani Kejaksaan Negeri Purwokerto setelah dilimpahkan oleh kepolisian dan Minah pun ditetapkan sebagai tahanan rumah. Sejak saat itu pula, Minah harus mondar-mandir dari rumahnya di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, untuk menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Purwokerto.Setiap kali menjalani pemeriksaan, Minah harus mengeluarkan ongkos hingga Rp50 ribu untuk ojek dan angkutan umum dari rumahnya menuju Purwokerto yang berjarak sekitar 40 kilometer tersebut. Dia mengaku kesulitan mencari uang untuk ongkos karena kehidupannya sebagai petani sangat pas-pasan. "Kadang anak saya memberi ongkos ke Purwokerto. Bahkan, Bu Jaksa juga pernah `nyangoni` (memberi uang saku, red.) saya sebesar Rp50 ribu," kata nenek tujuh anak dan belasan cucu ini. Kendati demikian, hal itu bukan penghalang bagi Minah untuk menjalani pemeriksaan hingga persidangan di pengadilan karena hal itu demi melepaskan diri dari jeratan hukum. Kasus ini menimbulkan reaksi dari masyarakat, Sejumlah kerabat, tetangga, serta aktivis LSM juga menghadiri sidang nek Minah untuk memberikan dukungan moril. Dan hari Kamis (19-11-2009), majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian. Analisis pelanggaran hukum Nek Minah Dalam putusan hakim nek minah terbukti bersalah melanggar Pasal 362 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah". Jika melihat dari kacamata dogmatif-normatif, maka tidak dipungkiri bahwa si nenek telah bersalah melanggar Undang-undang, dengan delik mengambil barang orang lain, dengan maksud untuk dimiliki, namun dalam frasa „secara melawan hukum‟ si nenek dalam hal ini saya kira tidak bisa disalahkan begitu saja karena si nenek tidak melek hukum, bahkan tidak bisa membaca. Si nenek tidak bisa membaca tulisan yang tertulis, dalam hukum Islam melek hukum ini merupakan salah satu syarat dibebankannya taklif, anak kecil, orang yang kurang akal, lupa, tertidur, dapat dibebaskan dari jeratan hukum, sesuai dengan hadits nabi :
َع َع ِف ا َّ اِف ِف َعحتَّى َعي ْلست َع ْلي ِف َع، َع ِف ْلا َع ْل ُر ْل ِف َعحتَّى َعي ِففيْلقَع: ُر ِف َع ْلا َع َع ُر َع ْل َع َع َع ٍة. َّ َع َع ِف ا،ظ ل ِف ِف َعحتَّى َعي ْل تَع ِف َع Telah diangkat pena dari tiga golongan: dari orang gila sampai ia sadar, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia baligh.”2 Bahkan dalam Al-Qur‟an Allah menjelaskan bahwa Allah tidak akan memberikan sanksi sebelum peraturan itu disosialisasikan, dan Allah tidak akan menzalimi hambaNya tanpa ada peringatan terlebih dahulu.
“dan Kami tidak membinasakan sesuatu negeripun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan”3
….. “….dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”4
Saya yakin bahwa tidak ada sedikitpun niatan nek Minah untuk melawan hukum dengan kesengajaannya mencuri, hal ini terbukti bahwa dia mengakui dengan jujur bahwa dia mengambil kakao ketika ditanya oleh mandor PT. RSA, dan setelah diterangkan bahwa perbuatannya melanggar hukum maka dia meminta maaf dan mengembalikan kakao yang diambilnya, seharusnya sampai disini case closed. Tapi yang terjadi kemudian adalah kasus ini naik ke pihak yang berwajib, saya ingin sedikit berimajinasi tentang fakta dan kondisi sosial yang mungkin terjadi dalam proses hukum ini, sang mandor menjalankan tugasnya untuk memberi laporan kepada pimpinannya, mendapat laporan pencurian, sang pimpinan yang mungkin telah lama geram atas ulah orang-orang yang selalu mencuri di perkebunannya, dan melaporkan hal ini ke Polisi. Sehingga dalam kacamata sosiologis sulit juga menyalahkan mandor dan pimpinan yang mengadukan perkaranya ke polisi, yang mungkin bukan sekali dua kali mereka menemukan kasus pencurian. Alhasil, nek Minah pun harus bolak balik dipanggil untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Analisis Putusan Hakim Yang juga menarik adalah putusan hakim yang memvonis nek Minah dengan 1,5 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan, yang lebih ringan dari tuntutan jaksa, dan tidak harus 2
Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir 3514], Sunan at-Tirmidzi (II/102/693) Q.S. Al-Syu’ara’ : 208 4 Q.S. Al-Isra’ : 15 3
menjalani hukuman penjara (tahanan rumah). Walaupun dalam hal ini hakim melihat bahwa sang Nenek terbukti bersalah, namun, tampaknya hakim tidak melihat dari perspektif normatif semata, bahkan ketua majelis hakim, Muslih Bambang Luqmono SH, terlihat menangis saat membacakan vonis."Kasus ini kecil, namun sudah melukai banyak orang". Kontroversi tentang kasus dan putusan hakim ini pun menuai banyak pro dan kontra, dalam mengomentari kasus ini Prof. Soetandyo Wignjosoebroto berpendapat5, “Setiap pasal dalam undang-undang pidana itu sebenarnya selalu mensyaratkan bahwa suatu perbuatan hanya dapat dianggap sebagai perbuatan pidana apabila memenuhi unsur ”melanggar hukum”, yang di dalam bahasa aslinya disebut wederechtelijk. Di sini, kata recht yang dipakai dan bukan wet. Boleh dipersoalkan di sini, hukum mana yang sebenarnya dalam kasus-kasus pidana itu yang dilanggar. Hukum UU yang tertulis itu, ataukah hukum rakyat yang masih berlaku di locus delicti (tempat kejadian perkara); atau hukum yang di dalam kepustakaan hukum sering dikenali dengan istilah living law, atau yang di Inggris diistilahkan dengan law of the country. Maka, apabila persoalan wederechtelijk dan law of the country ini diangkat dalam persoalan Nenek Minah dan kakaonya, sebenarnya tidaklah ada unsur pidana dalam perbuatan Nenek Minah ini. Nenek Minah tidaklah dapat dikatakan sebagai pencuri yang mencuri. Menurut hukum rakyat setempat, yang namanya mencuri itu apabila barang yang diambil tersebut dibawa pergi dan disembunyikan, dan tidak cuma dipetik dan diletakkan di tempat”. Undang-undang hukum pidana dalam teks aslinya pun sebenarnya menyebutkan bahwa hanya orang yang ”een goed … wegneemt” yang harus disebut pelaku pencurian. Wegneemt berasal dari kata dasar wegnemen, yang berarti mengambil dan membawanya pergi. Kita ingat, Nenek Minah tidak melarikan kakao yang dipetiknya itu. Nenek Minah tidak mencuri! Polisi, jaksa, dan bahkan hakim harus bertindak cermat dalam hal ini agar tak berlaku aniaya kepada hamba-hamba Allah yang belum beruntung saya melihat bahwa putusan hakim ini sudah sesuai dengan amanat Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman Indonesia (UU No. 4 Tahun 2004) khususnya pasal 28 ayat 1 ; “hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Walaupun terbukti secara empiris bersalah, sang hakim memberikan putusan yang bijak, dengan tidak menyalahi Undang-undang dengan tetap memberikan sanksi kepada nek Minah, namun nek Minah tidak harus merasakan dinginnya sel tahanan. Hakim memang seyogyanya tidak hanya memperhatikan aspek normative semata, meminjam istilah Nonet & Selznick yang dipopulerkan oleh Satjipto Raharjo “Hakim bukan
5
https://soetandyo.wordpress.com/2010/07/25/nenek-minah-tak-curi-cokelat/
sekedar Terompet Undang-undang”.6 Walaupun Konsep kuno yang menempatkan hakim hanya sekedar terompet Undang-undang yang bersumber dari kalimat yang pernah dikumandangkan oleh Baron de Charles de Secondat Montesque “the judge as la bouche de lalooi, as the mouthpiece of the law”7 tampaknya oleh sebagian kalangan masih dianggap berlaku. Konsep hukum di negara lain tidak bisa serta merta diterapkan di Indonesia yang kompleks, positivisme hukum yang diterapkan Belanda yang merupakan negara kecil tidak akan cocok jika harus diterapkan seluruhnya di Indonesia. Jika melihat dari perspektif Positivisme Hukum maka hukum tidak lain adalah perintah penguasa “law is a command of the law givers”. Bahkan, bagian aliran hukum positif yang dikenal dengan nama legisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan undang-undang . Austin misalnya menyatakan bahwa “a law is a command which obliges a persons.. laws and other commands are said to proceed from superiors, and to bind or oblige inferiors.” Lebih jauh Austin menjelaskan, bahwa pihak superior itulah yang menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dan superior itu memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksan yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya.8 Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis, seperti sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Baginya, hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya, tetapi apa hukumnya itu Sollen kategorie, yang dipakai adaah hukum positif (ius constitusium), bukan yang dicitak-citakan (ius constituendum). Dalam Islam hukum bukan sekedar dogmatif normatif, dalam banyak kasus teks-teks hukum yang qathi‟y terkadang dalam penerapan hukumnya tidak serta merta diterapkan. Sebagai contoh dalam kasus pencurian yang terjadi pada masa Umar, Umar tidak menerapkan sanksi potong tangan dalam kebijakannya, padahal teks hukum dalam Q.S. Al-Maidah ayat 38 jelas disebutkan “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Putusan Umar ini bertentang dengan hukum yang Qath‟iy, 6
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory & Teori Peradilan (Judicial Prdence), termasuk interpretasi Undang-Undang (Legisprudences) Volume 1 Pemahaman Awal, (Jakarta: Kencana, 2009) h. 478 7 Ibid. 8 Sukarno Aburaera dkk, Filsafat Hukum - Teori dan Praktek, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2013), h. 108
yang memberikan sanksi potong tangan bagi pencuri, bahkan ayat ini juga diperkuat oleh Sunnah Fi‟liyyah yakni bahwa Rasulullah sendiri pernah mempraktikkan hukum potong tangan bagi pencuri. Pertimbangan Umar dengan tidak menerapkan jenis hukuman ini adalah bahwa kondisi masyarakat saat itu tidak memungkinkan diterapkannya hukuman potong tangan. Dengan demikian, bagi Khalifah Umar, yang paling asasi adalah bagaimana ruh dan semangat ajaran agama dapat diterapkan demi kemaslahatan umat yang ukurannya tidak sama pada setiap komunitas masyarakat. Adapun ruh disyariatkannya hukuman potong tangan bagi pencuri adalah agar pencuri tersebut jera dari perbuatannya, dan masyarakat dapat mengambil ibrah dari kasus tersebut.9 Dalam kasus nek Minah ini, seorang Juris harus mampu untuk melakukan pilihan mana yang harus dikorbankan, kepastian hukum ataukah keadilan. Dalam hal ini, yang menjadi acuan adalah moral. Apabila kepastian hukum yang dikedepankan, penerap hukum harus pandai-pandai memberikan interpretasi terhadap undang-undang yang ada.Apabila tidak memberikan interpretasi secara tepat, maka akan berlaku lex dura sed tamen scripta yang terjemahannya ”undang-undang memang keras, tetapi mau tidak mau memang demikian bunyinya”. Antinomi antara kepastian hukum dan keadilan, keduanya tidak dapat diwujudkan sekaligus dalam situasi yang bersamaan. Oleh karena itu, hukum bersifat kompromi, yaitu dengan mengorbankan keadilan untuk mencapai kepastian hukum. Dalam menghadapi antinomi tersebut peran Juris sangat diperlukan. Peran tersebut akan terlihat pada saat Juris dihadapkan kepada persoalan-persoalan yang konkret.
9
Abu Yasid, Islam Akomodatif-Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal, Yogyakarta; Lkis, 2004) h. 120