KAIDAH FIQH DALAM MUAMMALAH Oleh: Sasli Rais 1 Dalam bidang muamalah sebagai hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan-persoalan dunia. Misalnya dalam persoalan jual beli, hutang piutang, kerjasama dagang, perserikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah, sewa menyewa, dan sebagainya, sering menggunakan kaidah-kaidah fiqh untuk dijadikan dasar pijakan dalam menentukan suatu hukum. Beberapa kaidah-kaidah dalam fiqh muamalah itu antara lain: Pertama :
Artinya : “Prinsip “Prinsip dasar dalam bidang ibadah adalah menunggu dalil dan mengikutinya”. mengikutinya ”. Dalam bidang ibadah, ibadah, pada prinsip dasarnya adalah tidak boleh dilakukan atau dilaksanakan oleh setiap muslim apabila tidak ada dalil yang memerintahkan untuk dilaksanakan. Dalam bidang persoalan akidah dan syari’at, syari’at , Islam bersifat menentukan dan menetapkan secara tegas hal-hal yang menyangkut akidah dan syari’at tersebut, dan tidak diberikan kebebasan bagi manusia untuk melakukan suatu ‘ kreatifitas atau perubahan’ perubahan ’ dalam bidang akidah dan syari’at itu. Dalam persoalan akhlak juga demikian, yaitu dengan menetapkan sifat-sifat terpuji yang harus diikuti oleh umat Islam, dan sifat-sifat tercela yang harus dihindari oleh umat Islam. Berarti suatu ibadah tidak boleh dilaksanakan sebelum ada dalil yang mewajibkannya, dan ibadah itu harus dilaksanakan sebagaimana yang dituntutkan oleh asy-syari’ (Allah Swt. dan Rasul). Dengan demikian, segala penambahan, pengurangan, dan perubahan dari ketentuan asy-syari’, asy-syari’ , dianggap sebagai perbuatan bid’ah atau hal-hal baru yang tidak sesuai dengan ketentuan syari’at. syari’at . Sedangkan prinsip dalam persoalan muamalah adalah dalam rangka menciptakan dan mewujudkan kemaslahatan umat manusia, dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi yang mengitari manusia itu sendiri. Hal ini dikarenakan dalam persoalan muamalah, muamalah , syari’at Islam di satu sisi lebih banyak yang bersifat konfirmasi terhadap berbagai kreatifitas yang dilakukan oleh manusia, karena ketika Islam datang telah banyak dijumpai jenis-jenis muamalah yang dilakukan manusia, sehingga adakalanya syari’at Islam hanya melakukan perubahan terhadap jenis muamalah yang telah ada. Untuk selanjutnya, syariat Islam hanya memberikan prinsip dan kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh setiap jenis muamalah, muamalah , misalnya mengandung kemaslahatan, menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, jujur, saling tolong menolong, tidak mempersulit, dan suka sama suka. Seperti adanya larangan riba’, maka dalam setiap transaksi yang disitu ada unsur riba’ maka hal itu tidak dibolehkan atau diharamkan.
Kedua:
Artinya : “Prinsip “Prinsip dasar berbagai jenis muamalah adalah boleh sampai ditemukan dalil yang melarangnya”. melarangnya”. 1
Makalah Mata Kuliah Ushul Fiqh, Konsentrasi Ekonomi dan Keuangan Syariah, Progam Pasca Sarjana Kajian Timur Tengah dan Islam, UI, tahun 2003.
Hal ini artinya selama tidak ada dalil yang melarang suatu kreatifitas atau perubahan jenis muamalah, maka muamalah itu dibolehkan. Inilah sisi rahmat Allah Swt. terbesar yang diberikan kepada umat manusia. Dalam sebuah hadist Rasulullah Saw. bersabda, yang artinya: “Dari Abi Tsa’labah al-Khutsani, berkata dia: ‘Rasulullah Saw. telah bersabda: ‘Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan beberapa ketentuan, jangan kamu sia-siakan (hilangkan). Dia mengharamkan beberapa yang diharamkan jangan kamu langgar, Dia telah menetapkan hudud (batasan-batasan) yang kamu melampauinya, dan dia mendiamkan (tidak menentukan hukum) pada banyak hal buka (karena) kelupaan, jangan kamu membahasnya’ (HR. Ad-Daruqutni). Namun, sekalipun pada prinsipnya berbagai jenis muamalah dibolehkan selama tidak dijumpai dalil yang melarangnya, berbagai jenis muamalah yang diciptakan dan dilaksanakan oleh umat Islam tidak dapat terlepas dari sikap pengabdian kepada Allah Swt. Dengan demikian, kaidah-kaidah umum yang berkaitan dengan muamalah tersebut harus diperhatikan dan dilaksanakan. Seperti adanya kemungkinan dilakukan akad mudharabah dan ba’i muqayyadah, yang sering dimasukkan dalam pembiayaan bagi hasil, apabila dana pinjaman digunakan untuk hal yang sifatnya produktif dalam transaksi gadai syariah ( ar-rahn) saat ini. Sehingga kemungkinan adanya kemaslahatan dalam rangka menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil yang kuat dan kompetitif. Tanpa harus menghilangkan akad ijarah (simpanan) dan akad qardhul hasan (biaya administrasi dan umum) yang sudah dilaksanakan sebelumnya, yang dana pinjamannya baik digunakan untuk yang sifatnya konsumstif maupun produktif.
Ketiga :
Artinya : “Berubah dan berbedanya fatwa itu sesuai dengan perubahan tempat, zaman, kondisi sosial, niat, dan adat kebiasaan ”. Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menilai terjadinya perubahan, yaitu faktor tempat, faktor zaman, faktor kondisi sosial, faktor niat, dan faktor adat kebiasaan. Faktor-faktor ini amat berpengaruh dalam menetapkan hukum bagi para mujtahid dalam menetapkan suatu hukum bidang muamalah. Dalam menghadapi perubahan sosial yang disebabkan kelima (5) faktor ini, yang akan dijadikan acuan dalam menetapkan hukum suatu persoalan muamalah adalah tercapainya maqashid syari’ah, yaitu tujuan yang hendak dicapai dalam mensyari’atkan suatu hukum, sesuai dengan kehendak syara’. Atas dasar ini, maka maqashid syari’ah lah yang menjadi ukuran keabsahan suatu akad atau transaksi muamalah. Misalnya, pada pertengahan abad V Hijriah di Bukhara dan Balkh (di Asia Tengah), ulama fiqh Imam Hanafi menciptakan sebuah bentuk muamalah yang mereka sebut dengan ‘ba’i al-wafa’ yaitu suatu bentuk jual beli bersyarat dengan tenggang waktu, sehingga apabila tenggang waktu telah habis, maka pihak pembeli wajib menjual barang yang dibelinya itu kepada pihak penjual sesuai dengan harga ketika berlangsungnya akad pertama. Misalnya, Lukman Ihwana membutuhkan sejumlah uang dalam keadaaan terdesak, sementara ia memiliki sebuah mobil BMW. Sementara pihak orang kaya tidak mau meminjamkan uangnya secara sukarela, sekalipun melalui akad ar-rahn yaitu peminjaman barang atau uang dengan jaminan barang tertentu tanpa imbalan apapun , tanpa mendapatkan imbalan apapun, apalagi di zaman sekarang. Maka Lukman Ihwana menjual mobil BMW-nya tersebut, misalnya seharga Rp 350.000.000 selama 2 (dua) tahun kepada
1
seorang kaya, dengan ketentuan bahwa mobil BMW itu akan dibeli kembali oleh Lukman Ihwana apabila masa 2 (dua) tahun telah berakhir dengan harga yang sama, yaitu Rp 350.000.000. selama mobil BMW berada di tangan pembeli, maka ia bebas mengeksploitasi mobil BMW tersebut untuk kepentingannya. Jual beli seperti ini, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa merupakan rekayasa dari 3 (tiga) bentuk transaksi, yaitu ; (1)
Ketika dilakukan transaksi akad ini, merupakan jual beli, dikarenakan didalam akad dijelaskan bahwa transaksi itu adalah jual beli;
(2)
Setelah transaksi dilaksanakan dan harta beralih ke tangan pembeli, transaksi ini berbentuk al-ijari atau sewa-menyewa, dikarenakan barang yang dibeli tersebut harus dikembalikan kepada penjual semula, sekalipun pembeli berhak untuk mengeksploitasi manfaat harta yang ada di tangannya sampai waktu yang disepakati di awal transaksi; dan
(3)
Di akhir akad, saat tenggang waktu yang disepakati sudah jatuh tempo, maka ba’i al-wafa’ berbentuk ar-rahn, dikarenakan dengan jatuh tempo yang disepakati kedua belah pihak, maka penjual harus mengembalikan uang kepada pembeli sejumlah harga Rp 350.000.000, yang diserahkan kepada penjual ketika transaksi berlangsung, dan pembeli berkewajiban mengembalikan barang itu kepada penjual secara utuh.
Jual beli seperti ini diciptakan masyarakat dan disetujui oleh mazhab Hanafi dengan tujuan agar tidak merajalelanya riba’ di kalangan masyarkat, karena orang kaya tidak mau meminjamkan uangnya kepada orang-orang yang membutuhkannya hanya dengan secara sukarela (al-qardhul hasan) tanpa mendapatkan imbalan apapun. Di sisi lain, pemilik harta yang berlebihan juga akan mendapatkan suatu manfaat dari transaksi seperti ini, karena uang mereka bersifat produktif. Dengan demikian, terciptalah adanya saling tolong menolong antar pemilik dalam jangka waktu tertentu. Ulama mazhab Hanafi melihat bahwa jual beli seperti ini tidak termasuk dalam larangan Rasulullah Saw. dalam hal jual beli bersyarat, karena sekalipun disyaratkan bahwa harta itu juga harus melalui akad jual beli seperti ini adalah dalam rangka menghindarkan masyarakat melakukan suatu transaksi yang mengandung riba’. Berdasarkan gambaran transaksi ba’i al-wafa’ tersebut, terlihat bahwa perubahan sosial yang terjadi amat berpengaruh terhadap masalah-masalah muamalah, selama prinsip dan kaidah-kaidah serta secara yang dikehendaki syara’ tercapai, yaitu kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu, apabila ditelusuri persoalan ba’i al-mu’athah dan ba’i al-wafa’ tersebut, maka terlihat dengan jelas bahwa inti dari kedua jenis transaksi itu adalah dalam upaya mewujudkan maqashid asy-syari’ah, yaitu menghilangkan berbagai kesempitan dan kesulitan dari umat manusia, karena Allah Swt. telah menyatakan bahwa Dia tidak menghendaki adanya kesulitan bagi manusia (QS. Al-Hajj (22): 78).
Keempat :
Artinya : “Bahwa sesungguhnya fondasi bangunan dari syari’at itu didirikan atas hikmah-hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan diakhrat ”. Prinsip di atas, akan kelihatan dengan jelas. Misalnya dalam persoalan penetapan harga (at-tas’ir). Seperti sabda Rasulullah Saw. yang disampaikan oleh Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang artinya : “Dari Anas ibn Malik berkata dia: ‘Telah melonjak harga (di pasar) pada masa Rasulullah Saw. Mereka (para sahabat) berkata; ‘Wahai Rasulullah, tetapkanlah
2
hanya bagi kami’. Rasulullah Saw. menjawab : ‘Sesungguhnya Allah Swt.-lah yang menguasai (harga), yang memberi rizki, yang memudahkan, dan yang menetapkan harga. Saya sungguh berharap bertemu dengan Allah Swt. dan tidak seorang pun (boleh) meminta saya untuk melakukan suatu kezaliman dalam persoalan jiwa dan dalam persoalan harta”. Berdasarkan hadist di atas, bahwa jelaslah Rasulullah Saw. tidak membolehkan adanya campur tangan dalam persoalan harga yang berlaku di pasar. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, hal ini berlaku ketika pasar (transaksi dagang) berjalan dengan normal, di mana kenaikan harga barang disebabkan banyaknya permintaan sementara stok barang sedikit. Sesuai dengan hukum penawaran barang sedikit. Sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan, yaitu apabila barang sedikit sementara permintaan banyak, maka harga akan naik dengan sendirinya, dalam keadaan seperti ini, at-tas’ir sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah Saw dalam hadist di atas, sama dengan berbuat zalim terhadap pedagang, sedangkan berbuat zalim itu hukumnya haram. Namun, berbeda halnya apabila kenaikan harga itu disebabkan oleh para pedagang. Misalnya, persediaan komoditi barang yang dibutuhkan konsumen cukup banyak, tetapi karena banyaknya permintaan konsumen, para pedagang memanfaatkan situasi tersebut untuk menaikkan harga atau para pedagang melakukan ihtikar atau penimbunan barang dengan sengaja dengan tujuan agar stok menipis di pasar dan harga melonjak naik, sehingga apabila harga telah naik, barulah para pedagang mengeluarkan barangnya sedikit demi sedikit. Dalam kasus seperti ini, para pedagang tersebut telah berbuat zalim dan pemerintah harus memaksa mereka untuk menjual komoditi dagangannya yang dibutuhkan konsumen, sesuai dengan harga yang normal (harga sebelum terjadinya kenaikan). Lebih lanjut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengemukakan, yang artinya : “Maka penetapan harga dalam kondisi seperti ini adalah wajib, tidak ada perbedaan pendapat (ulama dalam hal ini). Hakikatnya adalah memaksa mereka (melakukan atau menjual dengan cara yang) adil dan melarang mereka berbuat zalim. Hal ini sebagaimana tidak dibolehkan pemaksaan (terhadap mereka) untuk (menjual) barang tanpa hak, maka (sebaliknya) dibolehkan memaksa mer eka karena (untuk menegaskan yang) hak. Hal ini sama (hukumnya) dengan menjual harta (seseorang secara paksa) untuk melunasi hutangnya yang wajib dilunasi dan nafkah yang wajib dibayarkan, dan sama juga (halnya) dengan (memaksa seseorang) menjual makanan atau pakaian bagi orang yang sangat membutuhkan... ‘. Sejalan dengan kasus di atas, seluruh perbuatan ihtikar pun dilarang, karena salah satu penyebab diberlakukannya at-tas’ir adalah untuk mencegah terjadinya ihtikar tersebut dilarang dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim, yang artinya : “Dari Ma’mar ibn ‘Abdillah ra. Berkata dia: ‘Rasulullah Saw. telah bersabda: ‘Tidak boleh ada perbuatan ihtikar, kecuali bagi orang-orang yang berbuat salah”. Oleh karena itu, apabila at-tas’ir itu dibolehkan atau diwajibkan, sehingga para pedagang dipaksa untuk menjual barang mereka sesuai dengan harga normal atas prinsip memelihara kemaslahatan masyarakat (al-maslahah al-‘ammah), maka para muhtakir (pelaku ihtikar) dipaksa untuk menjual barangnya sesuai dengan harga normal sebagaimana harga sebelumnya terjadi kenaikan harga. Karenanya, mempermainkan harga barang dan melakukan ihtikar sama-sama merupakan perbuatan zalim yang diharamkan syara’. Dan pendapat ini, sejalan dengan pendapat mayoritas ulama fiqh. Berdasarkan contoh persoalan penetapan harga ( at-tas’ir) tersebut, maka terlihat bagaimana peranan perubahan sosial mempengaruhi suatu fatwa dalam persoalan
3
muamalah, sehingga kandungan hadist yang menyatakan haram hukumnya ikut campur tangan dalam masalah harga ketika ada kenaikan harga yang disebabkan adanya banyaknya permintaan konsumen, sedangkan stok komoditi barang sedikit. Namun, apabila stok komoditi barang yang sedikit atau menipis tersebut disebabkan oleh ulah para pedagang, maka ketika itu pihak pemerintah dibolehkan bahkan sudah harus turut campur dalam menentukan harganya. Karena apabila tidak demikian, maka masyarakat akan berada dalam kesulitan, sementara segala bentuk kesulitan harus dihindarkan. Untuk contoh kasus di Indonesia, terutama komoditi barang-barang kebutuhan sembilan bahan pokok terutama beras, yang seharusnya selalu mendapatkan perhatian dari pemerintah agar tidak ada pedagang yang memonopoli atau mempermainkan harganya.
Kelima :
Artinya : “Setiap tindakan hukum yang tidak mencapai sasaran yang dituju, maka tindakan hukum itu menjadi batal ”. Berdasarkan kaidah di atas, maka sasaran dari suatu akad harus senantiasa mengacu kepada tujuan yang dikehendaki syara’ dalam setiap pensyari’atan hukumnya, yaitu kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan. Maka apabila pada suatu transaksi terdapat indikasi-indikasi kemaslahatan, berarti di situ terdapat hukum Allah Swt. Untuk itu, dengan cara apapun kemaslahtan itu dapat dicapai, maka cara-cara itu pun di syari’atkan. Oleh karena itu, pada setiap transaksi muamalah, termasuk patokan utama dalam menilai keabsahan transaksi tersebut juga niat dan tujuan yang terkandung dalam transaksi tersebut. Apabila sasaran yang dikehendaki syara’ tidak diduga kuat tidak akan tercapai dalam transaksi itu, maka transaksi itu dianggap batal. Jadi tidak hanya dilihat dari sisi formalnya saja, namun harus dilihat lebih jauh lagi, yaitu harus memperhatikan tujuan dan makna yang dikandung dari transaksi tersebut. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyatakan, yang artinya : “Siapa yang menganalisa sumber-sumber syara’ secara dalam akan jelas baginya bahwa sumber asy-syari’ membatalkan lafal-lafal yang dituju oleh pelaku (suatu akad) bukan hakikat/makna sebenarnya. Siapa yang tidak memperhatikan tujuan-tujuan yang dikandung berbagai akad dan memperl akukan akad sesuai dengan bentuk formalnya akan berakibat kepada membiarkan (tanpa melaknat) orang-orang yang merasa anggur (untuk dijadikan khamar) dan membiarkan setiap orang untuk melakukannya, sekalipun tujuannya jelas untuk membuat khamar... bahwa tujuan-tujuan dan keyakinan-keyakinan dapat menjadi patokan dalam berbagai bentuk tindakan hukum dan ungkapan-ungkapan sebagaimana halnya berlaku dalam persoalan yang berkaitan dengan amalan-amalan taqarrub dan ibadah kepada Allah Swt. Tujuan, niat, dan keyakinan membuat sesuatu menjadi halal, haram sahih, f asid, taat atau maksiat, sebagaimana juga tujuan dalam ibadah menjadikannya wajib, dianjurkan (sunnah), diharamkan, sahih atau fasid ”. Berdasarkan kaidah tersebut, nyatalah dalam kasus di Indonesia. Baru-baru ini Majelis Ulama Indoneisa (MUI) tetap memandang bahwa kupon olah raga berhadiah, yang diberikan kepada penonton yang membeli tiket untuk ‘acara olah raga tertentu’, meskipun niatnya baik dalam rangka menggalang dana, demi perkembangan olah raga di tanah air. Namun, karena tujuan dan caranya tidak sesuai syari’at (hampir sejenis perbuatan maysir atau judu karena adanya jenjang waktu pengundiannya, bukan saat acara olah raga itu dilaksanakan), maka hal itu akhirnya diharamkan.
4
DAFTAR PUSTAKA Alawy, Zainal Abidin, Ijtihad Kontemporer dan Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Mahmud Syaltut, Cetakan Pertama, Yayasan Haji Abdullah Amin, Jakarta: 2003. Haroen, Nasrun, Fiqh Mumalah, Cetakan 1, PT. Gaya Media Pratama, Jakarta: 2000. Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2003.
PT.
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) untuk Lembaga Keuangan Syariah, Edisi 1, Diterbitkan atas Kerjasama DSN-MUI dan Bank Indonesia, Jakarta: 2001. Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, Cetakan 1, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2002. Yanggo, Chuziamah T. dan Anshari, Hafiz, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Edisi 3, LSIK, Jakarta: 1997.
5