TUGAS KESEHATAN LINGKUNGAN BENCANA DAN TANGGAP DARURAT
PENYEHATAN MAKANAN DAN MINUMAN SAAT TANGGAP DARURAT BENCANA
Dosen PJ MK : Prof. Dr. dr. Rachmadi Purwana S.K.M
oleh:
Bayu R. Sanjaya 1406594410
Fahrul Islam 1406520702
Mayumi Nitami 1406521005
Puri Wulandari 1406595086
Sifa Fauzia 1406521346
PASCASARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia secara geografis dan demografis rentan terhadap terjadinya bencana alam dan bencana non alam, termasuk potensi bencana akibat konflik sosial. Kejadian bencana mengakibatkan korban bencana harus mengungsi dengan segala keterbatasan. Kondisi ini dapat berdampak pada perubahan status gizi korban bencana khususnya kelompok rentan yaitu bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui dan lanjut usia (Kemenkes RI, 2012)
Salah satu situasi kedaruratan yang sering menimbulkan banyak korban, adalah kejadian bencana, suatu keadaan yang tidak diinginkan dan biasanya terjadi secara mendadak disertai dengan jatuhnya banyak korban. Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Data bencana di Indonesia menyebutkan antara tahun 2003-2005 telah terjadi 1.429 kejadian bencana, dimana bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang paling sering terjadi, yaitu 53,3 % dari total kejadian bencana di Indonesia (Kemenkes RI, 2012).
Posisi wilayah Indonesia, secara geografis dan demografis rawan terjadinya bencana alam . Disamping bencana alam, Indonesia memiliki potensi munculnya bencana non alam akibat ulah manusia sebagai risiko dari beberapa kegiatan atau ulah manusia yang tidak mengelola alam dengan baik yang memiliki potensi timbulnya bencana, antara lain penebangan hutan yang tidak terkendali, pembakaran hutan, proses industri, dan sebagainya. Bencana tersebut antara lain banjir, longsor dan pencemaran lingkungan dan sebagainya. Disisi lain, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar, yaitu lebih dari 220 juta jiwa dengan persebaran yang tidak merata, terdiri berbagai macam suku/etnis, agama/kepercayaan, budaya, politik yang dapat menjadi pemicu munculnya konflik horizontal maupun vertikal yang pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan kemanusiaan atau gesekan sosial yang dapat berakibat terjadi konflik sosial (Kemenkes RI, 2012).
Dampak akibat bencana secara fisik umumnya adalah rusaknya berbagai sarana dan prasarana fisik seperti permukiman, bangunan fasilitas pelayanan umum dan sarana transportasi serta fasilitas umum lainnya. Salah satu permasalahan yang sampai saat ini masih dihadapi dalam upaya penanggulangan bencana terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat dan korban bencana adalah kebutuhan pangan, khususnya yang terkait dengan pemenuhan nilai gizi yang memenuhi standar minimal terutama pada kelompok rentan akibat rusaknya sarana pelayanan kesehatan, terputusnya jalur distribusi pangan, rusaknya sarana air bersih dan sanitasi lingkungan yang buruk (Kemenkes RI, 2012).
Dalam pelaksanaannya, upaya penanganan gizi dalam situasi bencana merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai sejak sebelum terjadinya bencana (pra bencana), pada situasi bencana, dan pasca bencana. Kegiatan penanganan gizi pada tahap tanggap darurat awal adalah kegiatan pemberian makanan agar pengungsi tidak lapar dan dapat mempertahankan status gizinya, sementara penanganan kegiatan gizi pada tahap tanggap darurat lanjut adalah untuk menanggulangi masalah gizi melalui intervensi sesuai masalah gizi yang ada (Kemenkes RI, 2012).
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah upaya penanganan dan pengamanan ketersedian pangan saat bencana?
1.3 Tujuan
Mengetahui dan memahami upaya penanganan dan pengamanan ketersedian pangan saat bencana
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pangan Untuk Kedaruratan dan Bencana
Tidak semua bencana menyebabkan kekurangan pangan yang parah dan berdampak buruk pada status gizi pada penduduk yang terkena bencana. Permasalahan pada makanan dan nutrisi tergantung dari jenis bencana, durasi dan ukuran daerah yang terkena damapak bencana, dan status gizi masyarakat sebelum bencana. Gempa bumi biasanya memiliki sedikit efek pada suplai pangan jangka panjang. Sebaliknya, angin topan, banjir, dan tsunami secara langsung mempengaruhi ketersediaan pangan, dengan merusak tanaman, membunuh ternak dan hewan domestik, dan menghancurkan makanan yang disimpan. Setiap jenis bencana akan mengacaukan sistem transportasi, komunikasi, dan rutinitas sosial dan ekonomi. Meskipun toko makanan mungkin ada, penduduk tidak memiliki akses kepada toko tersebut (PAHO, tanpa tanggal).
Penyelenggaraan makanan darurat dipersiapkan pada waktu terjadi keadaan darurat yang ditetapkan oleh kepala wilayah setempat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Pada dasarnya penyediaan makanan darurat sifatnya sementaara dalam waktu yang relatif singkat (1-3 hari). Macam makanan mula-mula makanan matang, selanjutnya makanan mentah, sampai dinyatakan keadaan membaik. Prinsip dasar penyediaan makanan matang apabila bencana terjadi memusnahkan sebagian besar perlindungan dan peralatan penduduk, sehingga masyarakat tidak mungkin untuk menyelenggarakan makanannya sendiri. Tugas penyediaan makanan dilakukan oleh team yang dibentuk oleh kepala wilayah atau camat/bupati yang bertindak sebagai koordinator pelaksanaan penanggulangan bencana alam, yang dipusatkan pada pos komando yang ditetapkan (Nurhayati, tanpa tanggal).
Menurut Kemenkes RI (2012) kegiatan gizi/pangan dalam penanggulangan bencana merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai sejak pra bencana, pada situasi bencana dan pasca bencana.
1. Pra Bencana
Penanganan gizi pada pra bencana pada dasarnya adalah kegiatan antisipasi terjadinya bencana dan mengurangi risiko dampak bencana. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain sosialisasi dan pelatihan petugas seperti manajemen gizi bencana, penyusunan rencana kontinjensi kegiatan gizi, konseling menyusui, konseling Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), pengumpulan data awal daerah rentan bencana, penyediaan bufferstock MP-ASI, pembinaan teknis dan pendampingan kepada petugas terkait dengan manajemen gizi bencana dan berbagai kegiatan terkait lainnya.
2. Situasi Keadaan Darurat Bencana
Situasi keadaan darurat bencana terbagi menjadi 3 tahap, yaitu siaga darurat, tanggap darurat dan transisi darurat.
1) Siaga Darurat
Siaga darurat adalah suatu keadaan potensi terjadinya bencana yang ditandai dengan adanya pengungsi dan pergerakan sumber daya. Kegiatan penanganan gizi pada situasi siaga darurat sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dapat dilaksanakan kegiatan gizi seperti pada tanggap darurat.
2) Tanggap Darurat
A. Tahap Tanggap Darurat Awal
A) Fase I Tanggap Darurat Awal
Fase I Tanggap Darurat Awal antara lain ditandai dengan kondisi sebagai berikut: korban bencana bisa dalam pengungsian atau belum dalam pengungsian, petugas belum sempat mengidentifikasi korban secara lengkap,bantuan pangan sudah mulai berdatangan dan adanya penyelenggaraan dapur umum jika diperlukan. Lama Fase I ini tergantung dari situasi dan kondisi setempat di daerah bencana yaitu maksimal sampai 3 hari setelah bencana. Pada fase ini kegiatan yang dilakukan adalah:
a. Memberikan makanan yang bertujuan agar pengungsi tidak lapar dan dapat mempertahankan status gizinya.
b. Mengawasi pendistribusian bantuan bahan makanan.
c. Menganalisis hasil Rapid Health Assesment (RHA)
Pada fase ini, penyelenggaraan makanan bagi korban bencana mempertimbangkan hasil analisis RHA dan standar ransum. Rasum adalah bantuan bahan makanan yang memastikan korban bencana mendapatkan asupan energi, protein dan lemak untuk mempertahankan kehidupan dan beraktivitas. Ransum dibedakan dalam bentuk kering (dry ration) dan basah (wet ration). Dalam perhitungan ransum basah diprioritaskan penggunaan garam beriodium dan minyak goreng yang difortifikasi dengan vitamin A.
B) Fase II Tanggap Darurat Awal
Kegiatan terkait penanganan gizi pada fase II, adalah:
a. Menghitung kebutuhan gizi
Berdasarkan analisis hasil Rapid Health Assessment (RHA) diketahui jumlah pengungsi berdasarkan kelompok umur, selanjutnya dapat dihitung ransum pengungsi dengan memperhitungkan setiap orang pengungsi membutuhkan 2.100 kkal, 50g protein dan 40g lemak, serta menyusun menu yang didasarkan pada jenis bahan makanan yang tersedia.
b. Pengelolaan penyelenggaraan makanan di dapur umum yang meliputi:
a) Tempat pengolahan
b) Sumber bahan makanan
c) Petugas pelaksana
d) Penyimpanan bahan makanan basah
e) Penyimpanan bahan makanan kering
f) Cara mengolah
g) Cara distribusi
h) Peralatan makan dan pengolahan
i) Tempat pembuangan sampah sementara
j) Pengawasan penyelenggaraan makanan
k) Mendistribusikan makanan siap saji
l) Pengawasan bantuan bahan makanan untuk melindungi korban bencana dari dampak buruk akibat bantuan tersebut seperti diare, infeksi, keracunan dan lain-lain.
B. Tanggap Darurat Lanjut
Tahap tanggap darurat lanjut dilaksanakan setelah tahap tanggap darurat awal, dalam rangka penanganan masalah gizi sesuai tingkat kedaruratan. Lamanya tahap tanggap darurat lanjut tergantung dari situasi dan kondisi setempat di daerah bencana. Pada tahap ini sudah ada informasi lebih rinci tentang keadaan pengungsi, seperti jumlah menurut golongan umur dan jenis kelamin, keadaan lingkungan, keadaan penyakit, dan sebagainya. Kegiatan penanganan gizi pada tahap ini meliputi:
A) Analisis faktor penyulit berdasarkan hasil Rapid Health Assessment (RHA).
B) Pengumpulan data antropometri balita (berat badan, panjang badan/tinggi badan), ibu hamil dan ibu menyusui (Lingkar Lengan Atas).
C) Menghitung proporsi status gizi balita kurus (BB/TB <-2SD) dan jumlah ibu hamil dengan risiko KEK (LILA <23,5 cm).
D) Menganalisis adanya faktor penyulit seperti kejadian diare, campak, demam berdarah dan lain-lain. Informasi tentang proporsi status gizi balita selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk melakukan modifikasi atau perbaikan penanganan gizi sesuai dengan tingkat kedaruratan yang terjadi. Penentuan jenis kegiatan penanganan gizi mempertimbangkan pula hasil dari surveilans penyakit. Hasil analisis data antropometri dan faktor penyulit serta tindak lanjut atau respon yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:
a. Situasi Serius (Serius Situation), jika prevalensi balita kurus 15% tanpa faktor penyulit atau 10-14,9% dengan faktor penyulit. Pada situasi ini semua korban bencana mendapat ransum dan seluruh kelompok rentan terutama balita dan ibu hamil diberikan makanan tambahan (blanket supplementary feeding).
b. Situasi Berisiko (Risk Situation), jika prevalensi balita kurus 10-14,9% tanpa faktor penyulit atau 5-9,9% dengan faktor penyulit. Pada situasi ini kelompok rentan kurang gizi terutama balita kurus dan ibu hamil risiko KEK diberikan makanan tambahan (targetted supplementary feeding).
c. Situasi Normal, jika prevalensi balita kurus <10% tanpa faktor penyulit atau <5% dengan faktor penyulit maka dilakukan penanganan penderita gizi kurang melalui pelayanan kesehatan rutin.
Apabila ditemukan balita sangat kurus dan atau terdapat tanda klinis gizi buruk segera dirujuk ke sarana pelayanan kesehatan untuk mendapat perawatan sesuai Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
E) Melaksanakan pemberian makanan tambahan dan suplemen gizi.
a. Khusus anak yang menderita gizi kurang perlu diberikan makanan tambahan disamping makanan keluarga, seperti kudapan/jajanan, dengan nilai energi350 kkal dan protein 15 g per hari.
b. Ibu hamil perlu diberikan 1 tablet Fe setiap hari, selama 90 hari.
c. Ibu nifas (0-42 hari) diberikan 2 kapsul vitamin A dosis 200.000 IU (1 kapsul pada hari pertama dan 1 kapsul lagi hari berikutnya, selang waktu minimal 24 jam)
d. Pemberian vitamin A biru (100.000 IU) bagi bayi berusia 6-11 bulan; dan kapsul vitamin A merah (200.000 IU) bagi anak berusia 12-59 bulan, bila kejadian bencana terjadi dalam waktu kurang dari 30 hari setelah pemberian kapsul vitamin A (Februari dan Agustus) maka balita tersebut tidak dianjurkan lagi mendapat kapsul vitamin A.
e. Melakukan penyuluhan kelompok dan konseling perorangan dengan materi sesuai dengan kondisi saat itu, misalnya konseling menyusui dan MP-ASI.
f. Memantau perkembangan status gizi balita melalui surveilans gizi.
3) Transisi Darurat
Transisi darurat adalah suatu keadaan sebelum dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi. Kegiatan penanganan gizi pada situasi transisi darurat disesusaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, dapat dilaksanakan kegiatan gizi seperti pada tanggap darurat.
3. Pasca Bencana
Kegiatan penanganan gizi pasca bencana pada dasarnya adalah melaksanakan pemantauan dan evaluasi sebagai bagian dari surveilans, untuk mengetahui kebutuhan yang diperlukan (need assessment) dan melaksanakan kegiatan pembinaan gizi sebagai tindak lanjut atau respon dari informasi yang diperoleh secara terintegrasi dengan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat (public health response) untuk meningkatkan dan mempertahankan status gizi dan kesehatan korban bencana
2.2 Bantuan Pangan
2.2.1 Tujuan bantuan pangan
Menurut PAHO (tanpa tanggal) bantuan pangan bertujuan untuk mencegah kekurangan gizi pada penduduk yang terkena bencana. Untuk merencanakan pengobatan dan manajemen kasus gizi buruk diperlukan prioritas yang ada sebelum bencana atau yang telah menjadi akut, dan akan menjadi jelas selama operasi bantuan. Langkah-langkah untuk memastikan program bantuan pangan yang efektif yaitu :
1. Memperkirakan jumlah makanan yang tersedia.
2. Menghitung kebutuhan makanan dari penduduk yang terkena bencana.
3. Menentukan jatah makanan sesuai dengan karakteristik penduduk dan diperkirakan durasi efek bencana.
2.2.2 Program bantuan pangan selama bencana
Pada program bantuan pangan selama bencana, diperlukan adanya proritas dalam managemen bantuan pangan. Program bantuan pangan tersebut menurut PAHO (tanpa tanggal) diantaranya :
1. Menyediakan kebutuhan makanan yang mendesak, seperti penduduk yang terisolasi, lembaga, rumah sakit, kamp pengungsi, dan tim penyelamat dan personil bantuan.
2. Membuat perkiraan awal kebutuhan pangan penduduk yang terkena bencana, dengan mempertimbangkan karakteristik demografis.
3. Mengidentifikasi stok pangan, (stok makanan di tempat lain di negeri ini, organisasi bantuan makanan, dll), transportasi, penyimpanan, dan distribusi.
4. Menjamin keamanan dan kesesuaian makanan lokal dan persediaan makanan yang diterima.
5. Memantau situasi pangan dan gizi, sehingga pasokan dan penjatahan makanan dapat dimodifikasi sesuai dengan perubahan kondisi.
2.2.3 Managemen suplai makanan
Tujuan managemen suplai makanan (PAHO, tanpa tanggal) untuk memastikan keamanan dan mencegah penularan penyakit melalui makanan. Hal ini dilakukan dengan cara memeriksa makanan yang diterima, mengidentifikasi dan membuang persediaan rusak dan pastikan bahwa wadah atau karung dalam kondisi baik. Membuang kaleng yang menggembung, rusak, atau berkarat, dan menolak produk yang tanggal kadaluarsa telah berlalu. Memastikan unit transportasi belum digunakan untuk mengangkut produk berbahaya atau mencemari. Memastikan bahwa gudang memiliki ventilasi yang baik dan cahaya, dan makanan ditempatkan pada stand yang memungkinkan udara untuk beredar secara bebas. Menyimpan makanan berdasarkan tanggal yang masuk sehingga dapat didistribusikan secara tepat (First In/First Out)
2.2.4 Penjatahan bantuan pangan
Makanan harus menjadi bagian dari pola pangan penduduk. Jumlah makanan dalam ransum harus tergantung pada tahap krisis dan sumber daya yang tersedia.Untuk periode minggu atau bahkan bulan, dan sementara korban tergantung secara eksklusif atau hampir secara eksklusif pada bantuan pangan, jatah pangan harus bertujuan untuk menyediakan 1.700-2.000 Kcal per orang/hari. Pada kelompok penduduk yang berisiko kekurangan gizi, diberikan 3 atau 4 kg makanan per orang per minggu. Yang penting pada tahap ini adalah memberikan jumlah makanan yang cukup energi, bahkan jika itu bukan diet seimbang. Untuk waktu singkat 1700 Kcal harian akan mencegah kerusakan parah status gizi, dan kelaparan (PAHO, tanpa tanggal).
Jatah makanan harus sesederhana mungkin: makanan pokok (misalnya beras, jagung, tepung terigu), sumber terkonsentrasi energi, (minyak atau lemak lain) dan sumber terkonsentrasi protein (misalnya kering atau ikan kaleng atau daging kalengan ). Meskipun sayuran kering merupakan sumber protein yang sangat baik, namun diperlukan kegiatan memasak. Kelompok rentan (anak di bawah 5, wanita hamil dan menyusui, dan orang-orang yang kekurangan gizi) harus menerima suplemen.
Perkiraan kebutuhan jangka menengah untuk makanan, berdasarkan jatah makanan perlu memperhatikan hal-hal berikut :
1. Memperhitungkan efek bencana pada panen, ternak, dan faktor lingkungan
2. Perkiraan jumlah dan komposisi penduduk yang terkena bencana.
3. Jika korban berada di penampungan, tanpa kemampuan untuk memasak makanan mereka, makanan harus didistribusikan setelah dimasak.
4. Jatah mentah (makanan) diberikan selama periode waktu tertentu (misalnya selama seminggu).
2.3 Keamanan pangan
2.3.1 Keamanan pangan di tingkat produksi
Jumlah ketersediaan pangan dalam bencana mempunyai faktor risiko yang berasal dari karakteristik agronomi (hasil produk pertanian), sistem agraria (metode bertani, teknologi pertanian, kepemilikan lahan) dan merupakan faktor struktural serta faktor situasional seperti musim, dan dinamika ekonomi (ketersediaan bibit, pupuk, alat pertanian, stok pangan, harga pangan), berlaku pula pada produk peternakan, dan perikanan (Purwana, 2011).
Jenis bencana memberikan gambaran tersendiri bagi ketersediaan pangan. Bencana akibat gempa bumi masih meninggalkan persediaan pangan yang dapat dimanfaatkan. Bencana seperti tsunami, banjir, dan kebakaran dapat menghancurkan total sumber ketersediaan pangan. Nilai gizi, asal pangan (lokal, nasional, impor), penerimaan masyarakat (acceptability), dan kesiapan (readiness/istant) perlu diperhatikan dalam memilih sumber pangan (Purwana, 2011).
Kualitas makanan harus dijamin keamanannya mulia dari tahap produksi, seperti bebas pestisida, bahan kimia beracun, bakteri patogen, hormon, toksin, dan parasit. Kontaminasi pada tahap ini dapat menyebabkan masalah pada konsumen, yaitu korban bencana (Purwana, 2011).
2.3.2 Keamanan pangan di tingkat distribusi
Sistem transportasi dan komunikasi dapat mengalami gangguan saat terjadi bencana. Meski ada kemungkinan persediaan pangan, kadang bahan makanan tidak dapat diperoleh karena kekacauan sistem distribusi atau ketiadaan dana untuk membeli pangan. Keamanan pangan, masalah transportasi, distribusi, dan penjualan makanan saling terkait serta menjadi gambaran ekonomi pada wilayah yang terkena bencana. Sistem distribusi yang terganggu menyebabkan kelangkaan pangan dan meningktakan harga bahan pangan pokok seperti beras dan kedelai (Purwana, 2011).
2.3.3 Keamanan pangan di tingkat pengolahan makanan konsumsi
Semua makanan yang disajikan harus sesuai berdasarkan standar konsumsi manusia (secara nutrisi dan budaya). Kualitas dan keamanan seluruh bahan makanan harus dikontrol sebelum penggunaan dan bahan yang yang tidak sesuai standar harus ditolak (WHO, 2005). Prinsip pengendalian bahan makanan adalah :
1. Stok bahan makanan harus diinspeksi secara reguler dan jika ada bahan makanan yang dicurigai tidak sesuai standar harus dipisahkan kemudian sampel dikirim ke laboratorium untuk dianalisis, dan untuk sementara waktu, bahan makanan tersebut tidak boleh digunakan.
2. Pengawas dapur umum, koki dan personil tambahan harus dilatih dalam kebersihan pribadi dan prinsip persiapan makanan yang aman.
3. Pengawas dapur umum harus dilatih untuk dapat mengenali potensi bahaya dan menerapkan langkah-langkah keamanan pangan yang tepat; kebersihan pribadi personel yang terlibat dalam persiapan makanan harus dipantau.
4. Petugas dan relawan menyiapkan makanan tidak boleh menderita sakit dengan salah satu gejala berikut: sakit kuning, diare, muntah, demam, sakit tenggorokan (demam), tampak terinfeksi lesi kulit (bisul, luka, dll), atau keluarnya cairan dari telinga, mata atau hidung.
5. Harus ada petugas kebersihan untuk menjaga dapur dan sekitarnya bersih; mereka harus terlatih dan pekerjaan mereka diawasi dan harus ada fasilitas yang memadai untuk limbah pembuangan.
6. Air dan sabun harus disediakan untuk kebersihan pribadi, dan deterjen untuk membersihkan peralatan dan permukaan yang juga harus dibersihkan dengan air mendidih atau agen pembersih, misalnya pemutih.
7. Makanan harus disimpan dalam wadah yang akan mencegah kontaminasi oleh hewan pengerat, serangga, atau lainnya hewan
8. Makanan panas atau dingin mungkin harus improvisasi (WHO, 2005).
Banyak bakteri tidak menyebabkan penyakit, namun bakteri patogen tersebar luas pada tanah, air, hewan, dan manusia. Bakteri tersebut disebarkan melalui tangan, kain pengelap, dan perkakas dapur. Jika makanan dan bakteri bersentuhan, maka akan mencemari makanan dan mengakibatkan keracunan makanan. Langkah-langkah dalam menjaga kebersihan pangan (WHO, 2006) antara lain:
1. Mencuci tangan sebelum dan sesudah menyediakan makanan
2. Mencuci tangan setelah keluar dari toilet
3. Mencuci peralatan yang digunakan untuk menyediakan makanan
4. Melindungi kawasan dapur dan makanan dari serangga, tikus, dan hewan lainnya
Makanan mentah seperti daging, hasil olahan ayam, dan makanan laut serta sisa air dan lendirnya mengandung bakteri berbahaya yang bisa mencemari makanan lain saat penyediaan dan penyimpanan makanan. Langkah-langkah dalam memisahkan makanan mentah dari makanan matang antara lain:
1. Memisahkan makanan mentah seperti ayam, daging, dan makanan laut daripada makanan yang telah dimasak
2. Menggunakan perkakas dapur yang berbeda seperti pisau dan talenan untuk menyediakan makanan mentah
3. Menyimpan makanan dalam wadah untuk menghindari makanan mentah bersentuhan dengan makanan yang telah dimasak (WHO, 2006).
Memasak makanan dengan sempurna dapat membunuh semua bakteri berbahaya. Berbagai penelitian telah menunjukkan makanan yang dimasak pada suhu 70oC dapat memberi kepastian makanan aman untuk dikonsumsi. Pastikan makanan seperti daging, terutama daging cincang, daging panggang utuh, dan potongan daging besar telah dimasak sempurna sebelum dimakan. Langkah-langkah dalam memasak yang benar antara lain:
1. Memastikan makanan dimasak dengan sempurna sepenuhnya, terutama daging, hasil ayam, telur, dan makanan laut.
2. Suhu didih untuk makanan yang direbus harus mencapai suhu 70oC. Bagi daging dan hasil ayam, pastikan air rebusan terlihat jernih dan bukan berwarna merah jambu. Sebaiknya gunakan termometer masak untuk mengukur suhu.
3. Panaskan semua makanan yang telah dimasak sepenuhnya (WHO, 2006).
Pada suhu kamar, bakteri akan bereproduksi dengan cepat. Pertumbuhan bakteri akan melambat atau terhenti pada suhu dibawah 5oC atau lebih dari 60oC. Langkah-langkah peyimpanan makanan pada suhu aman antara lain:
1. Jangan meletakkan makanan lebih dari dua jam pada suhu kamar
2. Simpan makanan yang telah dimasak namun cepat rusak pada lemari pendingin (simpan pada suhu di bawah 5oC).
3. Pertahankan suhu makanan lebih dari 60oC sebelum disajikan.
4. Jangan menyimpan makanan terlalu lama dalam lemari pendingin.
5. Jangan biarkan makanan beku dicairkan pada suhu kamar (WHO, 2006).
Bahan mentah termasuk air dan es dapat terkontaminasi oleh bakteri patogen dan bahan kimia berbahaya. Racun dapat terbentuk dari makanan yang rusak dan berjamur. Memilih bahan baku dan pelakuan sederhana seperti mencuci dan mengupas kulitnya dapat mengurangi pencemaran makanan. Langkah-langkah penggunaan air dan bahan baku aman antara lain:
1. Gunakan air yang bersih atau telah diberi perlakuan agar air aman.
2. Pilihlah makanan segar dan bermutu.
3. Pilihlah cara pengolahan yang menghasilkan makanan yang aman, seperti susu yang telah dipasteurisasi.
4. Cucilah buah-buahan atau sayuran terutama yang dimakan mentah.
5. Buang makanan yang telah kadaluarsa (WHO, 2006).
2.4 Kebutuhan suplai makanan
Menurut CDC (2014) kebutuhan suplai makanan pada kondisi kedaruratan sebaiknya :
1. Memiliki masa penyimpanan yang panjang
2. Sedikit atau tidak perlu dimasak (makanan yang mudah dikonsumsi), tidak perlu pendingin, atau air
3. Memenuhi kebutuhan bayi atau anggota keluarga lain yang memiliki diet khusus
4. Memenuhi kebutuhan hewan peliharaan '
5. Makanan tidak asin atau pedas, karena makanan ini meningkatkan kebutuhan air minum, yang mungkin dalam suplai air minum sedikit
Cara menyimpan makanan saat terjadi kedaruratan (CDC, 2014) adalah :
1. Bencana dapat dengan mudah mengganggu pasokan makanan setiap saat, jadi perlu perencanaan untuk memiliki suplai makanan minimal 3 hari.
2. Makanan kaleng dan makanan kering akan tetap segar selama 2 tahun.
3. Kondisi penyimpanan tertentu dapat meningkatkan umur penyimpanan makanan kaleng atau makanan kering. Lokasi yang ideal adalah yang sejuk, kering, gelap. Suhu terbaik adalah 40-60°F (4,4 - 15,5°C). Jauhkan makanan dari area pembuangan gas kulkas. Panas menyebabkan banyak makanan membusuk lebih cepat.
4. Jauhkan makanan dari produk minyak bumi, seperti bensin, minyak, cat, dan pelarut. Beberapa produk makanan menyerap bau dari produk minyak bumi tersebut..
5. Lindungi makanan dari tikus dan serangga. makanan yang disimpan dalam kotak atau kertas karton dapat bertahan lebih lama jika dibungkus dengan tebal atau disimpan dalam wadah kedap udara.
6. Berikan tanggal pada semua item makanan. Gunakan dan ganti makanan sebelum kehilangan kesegaran.
Menyiapkan makanan setelah bencana atau keadaan darurat mungkin sulit karena kerusakan rumah dan hilangnya suplai listrik, gas, dan air. Ketersediaan peralatan berikut akan membantu untuk menyiapkan makanan dengan aman (CDC, 2014) :
1. Peralatan memasak
2. Pisau, garpu, dan sendok
3. Piring kertas, gelas, dan handuk
4. Pembuka botol manual
5. Aluminium foil
6. Gas atau arang panggangan
7. Bahan bakar untuk memasak, seperti arang. (Jangan membakar arang di dalam ruangan karena asap yang dihasilkan dapat mematikan bila terkonsentrasi di dalam ruangan).
2.5 Dapur Umum
2.5.1 Pengertian dapur umum
Dapur umum (DU) adalah dapur lapangan yang diselenggarakan untuk menyediakan/menyiapkan makanan dan dapat didistribusikan/dibagikan pada korban bencana alam dalam waktu cepat dan tepat. Penyelenggaraan dapur umum untuk melayani kebutuhan makan para penderita atau korban bencana bukan hanya monopoli organisasi PMI.
Penyelenggaraan DU tersebut dapat diselenggarakan oleh siapa saja yang datang pertama kali dan dapat menyelenggarakannya. Berdasarkan pengalaman selama ini yang sering menyelenggarakan kegiatan DU selain PMI adalah TNI, Karang Taruna, SATGASSOS, perangkat Pemda di tingkat bawah, Hansip, dll.
2.5.2 Lokasi dapur umum
Dalam menentukan lokasi Dapur Umum agar memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Letak Dapur Umum dekat dengan posko atau penampungan supaya mudah dicapai atau dikunjungi oleh korban
2. Higienis linkungan cukup memadai
3. Aman dari bencana
4. Dekat dengan transportasi umum
5. Dekat dengan sumber air.
2.5.3 Pendistribusian makanan dapur umum
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendistribusian makanan DU kepada korban bencana antara lain :
1. Distribusi dilakukan dengan mengunakan kartu distribusi
2. Lokasi atau tempat pendistribusian yang aman dan mudah dicapai oleh korban
3. Waktu pendistribusian yang kosisten dan tepat waktu, misalnya dilakukan 2 kali sehari,makan pagi/siang dilaksanakan jam 10.00 s/d 12.00 wib, makan sore/malam jam 16.00 s/d 17.00 wib
4. Pengambilan jatah seyogyanya diambil oleh kepala keluarga atau perwakilan sesuai dengan kartu distribusi yang sah
5. Pembagian makanan bisa mengunakan daun, piring, kertas atau sesuai dengan pertimbangan aman, cepat, praktis, dan sehat.
Nomor dapur :……………………………………………….Nomor kode DU :……………………………………………….Nama kepala keluarga:………………………………………….........Jumlah jiwa :………………………………………………Alamat/lokasi/pos :……………………………………………....
Nomor dapur :……………………………………………….
Nomor kode DU :……………………………………………….
Nama kepala keluarga:………………………………………….........
Jumlah jiwa :………………………………………………
Alamat/lokasi/pos :……………………………………………....
Gambar: Kartu pengambilan jatah makanan
2.5.4 Lama penyelenggaraan dapur umum
Lama penyelenggaraan dapur umum adalah sebagai berikut:
1. Penyelengaraan Dapur Umum PMI dilaksanakan pada situasi jika tidak memungkinkan diberikan bantuan bahan mentah
2. Sampai dengan hari ketiga adalah untuk memberikan bantuan makanan kepada seluruh korban bencana yang dilaporkan
3. Untuk hari keempat sampai dengan ketujuh pemberian bantuan makanan sudah dapat dimulai dengan selektif; bantuan makanan hanya diberikan kepada korban yang benar-benar membutuhkan
4. Apabila setelah tujuh hari ternyata korban bencana belum dapat menjalankan fungsi sosialnya seperti semula dan masih memerlukan bantuan, pemberian bantuan berikutnya diusahakan dalam bentuk bahan mentah yang sesuai dengan prisip bantuan PMI
5. Bantuan dari PMI diberikan dalam bentuk tahap darurat paling lama berlangsung selama 14 hari, jika situasi dan kondisi masih dalam keadaan darurat dan disertai dukungan sarana dana yang memadai, atas permintaan dan sesuai kemampuan PMI, pemberian bantuan dapat melampaui masa 14 hari tersebut.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia rentan terhadap terjadinya bencana. Bencana menyebabkan kekurangan pangan serta berdampak buruk pada status gizi pada penduduk yang terkena bencana. Permasalahan pada ketersediaan pangan dan nutrisi tergantung dari jenis bencana, durasi dan ukuran daerah yang terkena damapak bencana, dan status gizi masyarakat sebelum bencana. Setiap jenis bencana akan mengacaukan sistem transportasi, komunikasi, dan rutinitas sosial dan ekonomi.
Ketika terjadi bencana, perlua ada bantuan pangan. Bantuan pangan bertujuan untuk mencegah kekurangan gizi pada penduduk yang terkena bencana. Selain bantuan pangan, perlu adanya managemen suplai makanan untuk memastikan keamanan dan mencegah penularan penyakit melalui makanan.
Keamanan pangan diperlukan dalam menyuplai bahan makanan. Keamanan pangan dimulai dari tingkat produksi, distribusi, dan pengolahan bahan makanan. Pada tingkat produksi, perlu memperhatikan Nilai gizi, asal pangan, penerimaan masyarakat, dan kesiapan. Sistem distribusi yang terganggu menyebabkan kelangkaan pangan dan meningktakan harga bahan pangan pokok. Keamanan pangan saat mengolah makanan bertujuan untuk mengurangi risiko kontaminasi bakteri patogen.
Dapur umum diselenggarakan untuk menyediakan/menyiapkan makanan dan dapat didistribusikan/dibagikan pada korban bencana alam dalam waktu cepat dan tepat. Penyelenggaraan dapur umum untuk melayani kebutuhan makan para penderita atau korban bencana. Dapur umum dapat diselenggarakan oleh siapa saja yang datang pertama kali dan dapat menyelenggarakannya.
DAFTAR PUSTAKA
CDC. 2014. Food and Water: Preparing for a Disaster or Emergency. Diunduh pada tanggal 2 Maret 2015 dari http://www.emergency.cdc.gov/disaster/foodwater/prepare.asp
Kemenkes RI. 2012. Pedoman Kegiatan Gizi Dalam Penanggulangan Bencana. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Nurhayati. Tanpa tanggal. Konsep Dasar, Klasifikasi dan Karakteristik Katering Pelayanan Lembaga. Diunduh pada tanggal 1 Maret 2015 dari http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._KESEJAHTERAAN_KELUARGA/196710051993022-AI_NURHAYATI/Handout_1._KPL.pdf
PAHO. Tanpa tanggal. Food and Nutrition in Disasters. Diunduh pada tanggal 3 Maret 2015 dari http://www.paho.org/disasters/index.php?option=com_content&view=article&id=553%3Anutrition-and-food-safety-in-emergency-situations-incap&Itemid=663&lang=en
Purwana, Rachmadi. 2011. Manajemen Kedaruratan Kesehatan Lingkungan Dalam Kejadian Bencana. Jakarata. PT RajaGrafindo Persada.
WHO. 2005. Ensuring Food Safety in the Aftermath of Natural Disasters. Diunduh pada tanggal 2 Maret 2015 dari http://www.searo.who.int/entity/emergencies/documents/guidelines_for_health_emergency_fsadvice_tsunami.pdf
WHO. 2006. Five Keys to Safer Food Manual apps.who.int/iris/bitstream/10665/43546/1/9789241594639_eng.pdf?ua=1
http://alumnipmrsmkn1garut.blogspot.com/2012/03/dapur-umum.html di akses tanggal 3 Maret 2015 pukul 11.48 wib.