MAKALAH EFEK KESEHATAN DAN DAMPAK PSIKOSOSIAL TERHADAP BENCANA
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Bencana
Disusun Oleh :
Siti Nurul Hidayati Wafa Adhani Nurdiana Sari Muhammad Nurshena Putra
132151017 132151019 132151018 132151022
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMAD HUSNI THAMRIN JAKARTA OKTOBER, 2017
1
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang
Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Wilayah Indonesia secara geografis dan geologis dapat digambarkan sebagai berikut: a. merupakan negara kepulauan yang terletak pad a pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu: lempeng Euroasia, Australia, Pasifik, dan Filipina. b. terdapat 130 gunung api aktif di Indonesia yang terbagi dalam Tipe A, Tipe B, dan Tipe C. Gunung api yang pernah meletus sekurang c. kurangnya satu kali sesudah tahun 1600 dan masih aktif digolongkan sebagai gunung api tipe A, tipe B adalah gunung api yang masih aktif tetapi belum pernah meletus sedangkan tipe C adalah gunung api yang masih di indikasikan sebagai gunung api aktif. d. terdapat lebih dari 5.000 sungai besar dan kecil yang 30% di antaranya melewati kawasan padat penduduk dan berpotensi terjadinya banjir, banjir ban dang dan tanah longsor pada saat musim penghujan. Beberapa kejadian bencana besar di Indonesia antara lain: a. gempa bumi dan tsunami. Gempa bumi dan tsunami terbesar terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian wilayah Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah korban yang sangat besar, yaitu 120.000 orang meninggal, 93.088 orang hilang dan 4.632 orang luka-Iuka. Kemudian pada tanggal 17 Juli 2006, peristiwa yang sama kembali melanda pantai Selatan Jawa (Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Banjar, Cilacap, Kebumen, Gunung Kidul dan Tulung Agung) yang menelan korban 684 orang meninggal dunia, 82 orang orang hilang dan korban dirawat inap sebanyak 477
2
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang
Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Wilayah Indonesia secara geografis dan geologis dapat digambarkan sebagai berikut: a. merupakan negara kepulauan yang terletak pad a pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu: lempeng Euroasia, Australia, Pasifik, dan Filipina. b. terdapat 130 gunung api aktif di Indonesia yang terbagi dalam Tipe A, Tipe B, dan Tipe C. Gunung api yang pernah meletus sekurang c. kurangnya satu kali sesudah tahun 1600 dan masih aktif digolongkan sebagai gunung api tipe A, tipe B adalah gunung api yang masih aktif tetapi belum pernah meletus sedangkan tipe C adalah gunung api yang masih di indikasikan sebagai gunung api aktif. d. terdapat lebih dari 5.000 sungai besar dan kecil yang 30% di antaranya melewati kawasan padat penduduk dan berpotensi terjadinya banjir, banjir ban dang dan tanah longsor pada saat musim penghujan. Beberapa kejadian bencana besar di Indonesia antara lain: a. gempa bumi dan tsunami. Gempa bumi dan tsunami terbesar terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian wilayah Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah korban yang sangat besar, yaitu 120.000 orang meninggal, 93.088 orang hilang dan 4.632 orang luka-Iuka. Kemudian pada tanggal 17 Juli 2006, peristiwa yang sama kembali melanda pantai Selatan Jawa (Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Banjar, Cilacap, Kebumen, Gunung Kidul dan Tulung Agung) yang menelan korban 684 orang meninggal dunia, 82 orang orang hilang dan korban dirawat inap sebanyak 477
2
orang dari 11.021 orang yang luka-Iuka Empat tahun kemudian, tepatnya pad a 25 Oktober 2010, peristiwa gempa bumi dan tsunami kembali terjadi di Kab. Mentawai Provinsi Sumatera Barat dengan jumlah korban sebanyak 509 orang b. gempa bumi. Gempa bumi Nias , Sumatera Utara terjadi pada 28 Maret 2005 dengan jumlah korban meninggal 128 orang, korban hilang 25 orang dan korban luka-Iuka sebanyak 1.987 orang. Setahun kemudian, tepatnya pada 27 Mei 1976 gempa bumi kembali mengguncang DI Yogyakarta dan Jawa Tengah yang menelan korban sebanyak 5.778 orang meninggal, 26013 orang rawat inap dan 125. 195 orang rawat jalan. Kemudian pada 30 September 2009, gempa bumi Sumatera Barat dengan kekuatan 7,6 Skala Richter kembali lagi terjadi di lepas pantai Sumatera Barat pada pukul 17: 16: 10
WIB mengakibatkan korban
meninggal dunia sebanyak 1 .117 orang, korban luka berat sebanyak 788 orang, korban luka ringan sebanyak 2.727 orang dan pengungsi sebanyak 2.845 orang. Selain itu, sebanyak 279.201 unit rumah mengalami kerusakan. Sarana kesehatan yang rusak sebanyak 292 unit, terdiri dari 10 rumah sakit, 53 puskesmas, 137 pustu, 6 kantor dinas, 15 polindes/poskesdes, 2 gudang farmasi dan 69 rumah dinas; c. ledakan bom. Ledakan bom Bali I 12 Oktober 2002, ledakan bom Bali II 1 Oktober 2005 dan ledakan bom di wilayah Jakarta (bom GereJa Santa Anna dan HKBP 22 Juli 2001, bom Plaza Atrium Senen 23 September 2001, bom sekolah Australia 6 November 2001, bom tahun baru Bulungan 1 Januari 2002, bom kompleks Mabes Polri Jakarta 3 Februari 2003, bom bandara Soekarno-Hatta Jakarta 27 April 2003, bom JW Marriott 5 Agustus 2003, bom Pamulang Tangerang 8 Juni 2005, bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Jakarta 17 Juli 2009) mengakibatkan permasalahan kesehatan yang juga berdampak kepada aspek sosial, politik, ekonomi, hukum dan budaya di Indonesia; d. letusan gunung berapi. Letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah 15 Mei 2006 mengakibatkan
4
orang
meninggal,
5.674
orang
pengungsian
dengan
permasalahan kesehatannya. Meletusnya Gunung Merapi di Provinsi Jawa Tengah dan 01 Yogyakarta 25 Oktober 2010, mengakibatkan korban meningggal
3
dunia sebanyak 347 orang yang terdiri dari 249 orang di Provinsi 01 Yogyakarta dan 98 orang di Provinsi Jateng, korban raw at inap sebanyak 258 orang, korban rawat jalan sebanyak 52.272 orang dan jumlah pengungsi sebanyak 61 .154 jiwa yang tersebar di 550 titik. Adapun fasilitas kesehatan yang rusak sebanyak 65 unit. e. kegagalan teknologi. Kasus kegagalan teknologi yang pernah terjadi adalah ledakan pabrik pupuk Petro Widada Gresik pada tanggal 20 Januari 2004 dengan jumlah korban meninggal 2 orang dan 70 orang luka bakar; f. banjir lumpur panas. Banjir lumpur panas yang sampai kini masih menjadi permasalahan di Indonesia sejak 29 Mei 2006 adalah lumpur lapindo di Sidoarjo di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc, Ousun Balongnongo, Oesa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang mengakibatkan pengungsian sebanyak 10.574 jiwa; g. banjir bandang. Banjir bandang di Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat 4 Oktober 2010, mengakibatkan korban meninggal dunia sebanyak 161 orang, korban rawat inap 36 orang, pulang sembuh 129 orang, korban rawat jalan 5.154 orang, dan pengungsi sebanyak 7.950 jiwa yang tersebar di empat kabupaten/kota di Provo Papua Barat dan satu kabupaten di Provinsi Papua. Adapun fasilitas kesehatan yang rusak tercatat sebanyak 42 unit; h. konflik. Sejak awal tahun 1999 telah terjadi konflik vertikal dan konflik horizontal di Indonesia, ditandai dengan timbulln ya kerusuhan sosial, misalnya di Sampit Sambas, Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Poso, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Papua, Tarakan dan berbagai daerah lainnya yang berdampak pada terjadinya pengungsian penduduk secara besar-besaran. Semua kejadian tersebut menimbulkan krisis kesehatan maupun dampak psikologis bagi masayarakat yang terkena bencana, antara lain: lumpuhnya pelayanan kesehatan, korban mati, korban luka, pengungsi, masalah gizi, masalah ketersediaan air bersih, masalah sanitasi lingkungan, penyakit menular, gangguan kejiwaan dan gangguan pelayanan kesehatan reproduksi. Secara umum, upaya
4
penanggulangan krisis kesehatan masih menghadapi berbagai macam kendala, antara lain: A. sistem informasi yang belum berjalan dengan baik B. mekanisme koordinasi belum berfungsi dengan baik; C. mobilisasi bantuan ke lokasi bencana masih terhambat; D. sistem pembiayaan belum mendukung; E. keterbatasan sumber daya yang akan dikirim maupun yang tersedia di daerah bencana F. pengelolaan bantuan lokal maupun intemasional yang belum baik. Oleh karena itu perlu adanya standar bagi petugas kesehatan, LSM/NGO nasional maupun internasional, lembaga donor dan masyarakat yang bekerja atau berkaitan dalam penanganan krisis kesehatan.
1. 2. Tujuan
a. Tujuan Umum Dari penyusunan makalah ini diharapkan penulis dapat mengerti, memahami dan memperoleh gambaran tentang Efek Kesehatan Dan Dampak Psikososial Terhadap Bencana. b. Tujuan Khusus Setelah penulisan makalah ini, penulis mampu: -
Memahami dampak psikososial terhadap bencana
-
Mengetahui efek kesehatan terhadap bencana
1. 3 Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulisan menggunakan teknik penulisan yang bersumber dari buku – buku, browsing internet dan sumber lain untuk mendapatkan data dalam pembuatan makalah ini.
5
BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 DAMPAK PSIKOSOSIAL TERHADAP BENCANA 2.1.1
Dampak psikologis pada individu Dalam bencana tidak ada patokan yang kaku tentang tahapan dalam
merespon bencana, ada banyak variasi pada setiap tahap dan tahap tumpang tindih.
Oleh karena itu munculnya gejala gangguan psikologis dapat
bervariasi, tergantung banyak factor, namun bisa mencapai 90%tau bahkan lebih. Penyintas akan menunjukkan setidaknya beberapa gejala psikologis yang negatif setelah beberapa jam paska bencana . Pada bencana
social,
misalnya konflik, dua belas minggu paska bencana, 20-50 persen atau bahkan lebih masih dapat menunjukkan tanda-tanda signifikan dari gangguan tersebut. Jika tidak diatasi dan diselesaikan dengan tepat dan cepat, reaksi tersebut dapat menjadi gangguan psikologis yang serius. 1) Tahap Tanggap Darurat Tahap ini adalah masa beberapa jam atau hari setelah bencana. Pada tahap ini kegiatan bantuan sebagian besar difokuskan pada menyelamatkan penyintas dan berusaha untuk menstabilkan situasi. Penyintas harus ditempatkan pada lokasi yang aman dan terlindung, pakaian yang pantas, bantuan dan perhatian medis, serta makanan dan air yang cukup. Selama tahap penyelamatan, berbagai jenis respon emosional bisa dilihat. Penyintas mungkin mengalami perubahan dari satu jenis respon terhadap lain atau mungkin tidak menunjukkan sikap yang "biasa". Pada fase ini kadang penyintas mengalami numbing , atau suatu kondisi mati rasa secara psikis. Penyintas tampak tertegun, linglung, bingung, apatis dan tatapan mata yang kosong. Secara tampak luar, penyintas tampak tenang, namun bisa saja hal itu adalah ketenangan yang semu. Karena ketenangan itu akan segera diikuti oleh penolakan atau upaya untuk mengisolasi diri mereka sendiri.
6
Penyintas
akan menolak kenyataan yang sudah terjadi. Mereka menolak
realita, dengan mengatakan ini hanya mimpi, beberapa yang lain marah jika mendengar orang lain membicarakan tentang anggta keluarganya yang meninggal bahkan menduh mereka adalah pembohong. Namun hal itu juga tidak lama, penyintas akan mengalami perasaan
takut yang sangat kuat,
disertai dengan rangsangan fisiologis: jantung berdebar-debar, ketegangan otot, nyeri otot, gangguan gastrointestinal atau sakit magh. Beberapa kemudian akhirnya menjadi depresif ataupun kebalikannya menjadi aktif secara berlebihan. 2) Tahap Pemulihan Setelah situasi telah stabil, perhatian beralih ke solusi jangka panjang. Disisi lain, euforia bantuan mulai menurun, sebagian sukarelawan sudah tidak datang lagi dan bantuan dari luar secara bertahap berkurang. Para penyintas mulai menghadapi realitas. Jika pada minggu-minggu pertama setelah bencana, penyintas mungkin akan melalui fase "bulan madu", ditandai dengan perasaan yg aman dan optimisme tentang masa depan. Tetapi dalam tahap pemulihan, mereka harus membuat penilaian yang lebih realistis tentang hidup mereka. Pada fase ini
kekecewaan dan kemarahan sering menjadi
gejala dominan yang sangat terasa. Pada tahap ini berbagai gejala pascatrauma muncul, misalnya "Pasca Trauma Stress Disorder," "Disorder Kecemasan Generalized," "Abnormal Dukacita, " dan " Post Traumatic Depresi "a. Akut Stress Paska Trauma. Gejala-gejala dibawah ini adalah normal, sebagai reaksi atas kejadian yang tidak normal (traumatik). Biasanya gejala-gejala diawah ini akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu. 1) Emosi.
7
Mudah menangis ataupun kebalikkannya yakni mudah marah, emosinya labil, mati rasa dan kehilangan minat untuk melakukan aktivitas, gelisah, perasaan ketidakefektifan, malu dan putus asa. 2) Pikiran. Mimpi buruk, mengalami halusinasi ataupun disasosiasi, mudah curiga (pada penyintas kasus bencana karena manusia), sulit konsentrasi, menghindari pikiran tentang bencana dan menghindari tempat, gambar,
suara
mengingatkan
penyintas
bencana;
menghindari
pembicaraan tentang hal itu 3) Tubuh. Sakit kepala, perubahan siklus mensruasi, sakit punggung, sariawan atau sakit magh yang terus menerus sakit kepala, berkeringat dan menggigil, tremor, kelelahan, rambut rontok, perubahan pada siklus haid,
hilangnya
gairah
seksual,
perubahan
pendengaran
atau
penglihatan, nyeri otot 4) Perilaku. Menarik diri, sulit tidur, putus asa, ketergantungan, perilaku lekat yang berlebihan atau penarikan social, sikap permusuhan, kemarahan, merusak diri sendiri, perilaku impulsif dan mencoba bunuh diri
b. Post Trauma Stress Disorder (PTSD), meliputi: Jika setelah lebih dari
dua bulan gejala gejala di atas (ASPT) masih ada maka dapat diduga mengalami PTSD, jika
memunjukkan gejala ini selepas 2 bulan dari
kejadian bencana: 1) Reecperience
atau
mengalami
kembali.
Penyintas
sekan
mengalami kembali peristiwa traumatic yang mengganggu; misalnya melalui mimpi buruk setiap tidur, merasa mendengar, melihat kembali kejadian yang berhubungan dengan bencana, dalam pikirannya kejadian bencana terus menerus sangat hidup, apapun yang dilakukan tidak mampu mengalihkan pikirannya dari
8
bencana.
Pada anak-anak korhan konflik senjata, mereka
bermain perang-perangan berulang-ulang. 2) Avoidance, atau menghindar hal-hal yang berkaitan dengan
ingatan akan bencana, misalnya menghindari pikiran atau perasaan atau percakapan tentang bencana; menghindari aktivitas, tempat, atau
orang
yang
mengingatkan
penyintas
dari
trauma,
ketidakmampuan untuk mengingat bagian penting dari bencana, termenung terus dengan tatapan dan pikiran yang kosong Hyperarusal,
3)
atau rangsangan yang berlebihan. Misalnya
kesulitan tidur; sangat mudah marah atau kesulitan berkonsentrasi; jantung mudah berdebar-debar, keringat dingin, panik dan nafas terengah-engah saat teringat kejadian, kesulitan konsentrasi dan mudah terkejut. c. Generalized Anxiety Disorder: meliputi: Kecemasan yang berlebihan dan khawatir tentang berbagai peristiwa ataupun kegiatan (tidak terbatas bencana). Cemas berlebihan saat air tidak mengalir, seseorang tidak muncul tepat waktu. d. Dukacita Eksrim: Biasanya, setelah kematian orang yang dicintai. Seringkali respon pertama adalah penyangkalan. Kemudian, mati rasa dan kadang kemarahan e. Post Trauma Depresi: depresi berkepanjangan adalah salah satu temuan yang paling umum dalam penelitan terhadap penyintas
trauma. Gangguan ini
sering terjadi dalam kombinasi dengan Post Traumatic Stress Disorder. Gejala umum depresi termasuk kesedihan, gerakan yang lambat, insomnia (ataupun kebalikannya hipersomnia), kelelahan atau kehilangan energi, nafsu makan berkurang (atau berlebihan nafsu makan), kesulitan dengan konsentrasi, apatis dan perasaan tak berdaya, anhedonia (tidak menunjukkan minat atau kesenangan dalam aktivitas hidup), penarikan sosial, pikiran negatif, perasaan putus asa, ditinggalkan, dan mengubah hidup tidak dapat dibatalkan, lekas marah.
9
dan
3) Tahap Rekonstruksi Satu tahun atau lebih setelah bencana, fokus bergeser lagi. Pola kehidupan yang stabil mungkin telah muncul. Selama fase ini, walaupun banyak penyintas mungkin telah sembuh, namun
beberapa yang tidak
mendapatkan pertolongan dengan tepat menunjukkan gejala kepribadian yang serius dan dapat bersifat permanen. Pada tahap ini risiko bunuh diri dapat meningkatkan, kelelahan kronis, ketidakmampuan untuk bekerja, kehilangan minat dalam kegiatan sehari-hari, dan kesulitan berpikir dengan logis. Pada penyintas penyiksaan atau pelecehan seksual, yang telah disiksa di kamp konsentrasi, atau yang telah tinggal selama bulanan atau tahunan dalam suatu keadaan kronis perang saudara akan menjadi seseorang dengan kepribadian yang berbeda dari sebelumnya, merek menjadi pribadi yangg penuh kebencian, pemarah dan anti sosial. Mereka menjadi pendendam dan mudah menyerang orang lain termasuk orang-orang yang ia sayangi. Gangguan ini pada
akhirnya
merusak
hubungan
penyintas
dengan
keluarga
dan
komunitasnya.
2.1.2
DAMPAK BENCANA PADA KOMUNITAS
Bencana tidak hanya berdampak pada pribadi tapi juga pada komunitas. Paska
bencana dapat saja tercipta masyarakat yang mudah
meminta (padahal sebelumnya adalah pekerja yang tangguh), masyarakat yang saling curiga (padahal sebelumnya saling peduli), masyarakat yang mudah melakukan kekerasan (padahal sebelumnya cinta damai). Bencana yang tidak ditangani dengan baik akan mampu merusak nilai-nilai luhur yang sudah dimiliki masyarakat. Saat penyintas dipaksa untuk meninggalkan tanah mereka dan bermigrasi di tempat lain, tanpa pelatihan dan bekal yang memadai, tidak hanya kehidupan mereka yang terancam, namun juga identitas dirinya. Mereka dipaksa menjadi peladang padahal sepanjang hidupnya adalah nelayan, ataupun sebaliknya.
10
Sebagai akibat jangka panjangnya, konflik perkawinan meningkat, kenaikan tingkat perceraian pada tahun-tahun setelah bencana dapat terjadi da juga meningkatnya kekerasan intra-keluarga (kekerasan pada anak dan pasangan). Bantuan yang tidak terorganisir dan menempatkan penyintas sebagi objek pada akhirnya, sama menghancurkannya dengan efek psikologis individual. Pemberian bantuan yang tidak terpola menempatkan penyintas sebagai objek yang tidak berdaya, pada akhirnya merusak etos kerja mereka dan terjadi ketergantungan pada pemberi bantuan. Bencana fisik bisa menghancurkan lembaga masyarakat, seperti sekolah dan komunitas agama, atau dapat mengganggu fungsi mereka karena efek langsung dari bencana pada orang yang bertanggung jawab atas lembagalembaga, seperti guru atau imam. Saat guru, tokoh adat atau tokoh agama menjadi penyintas dari bencana dan tidak dapat mejalankan fungsinya, maka sarana dukungan sosial dalam komunitas menjadi terganggung. Beberapa penelitian menunjukkan meningkatnya kekerasan, agresi,
penggunaan
narkoba dan alcohol pada saat sistem masyarakat tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu beberapa lembaga keagamaan merespon cepat, dengan mengirim ustad-ustad, pendeta atau tokoh agama lainnya ke daerah bencana. Para tokoh agama memberikan kontribusi penting untuk menghidupkan kembali aktivitas dan ritual agama.
2.1.3
FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI
KERENTANAN
PSIKOLOGIS
Tidak semua orang akan mengalami gejala dan dampak psikologis yang sama pada saat menghadapi bencana.
Beberapa faktor dapat
meningkatkan ataupun menurunkan risiko : 1) Tingkat keparahan.
Semakin parah bencana yang terjadi, maka semakin buruk kemungkinan dampaknya. Pada kasus kamp-kamp konsentrasi Nazi, genosida Rwanda,
11
Killing Fields di Kamboja,
hampir semua orang yang mengalami
peristiwa traumatis menderita akibatnya untuk waktu yang sangat panjang. 2) Jenis bencana
Bencana yang terjadi karena manusia akan berdampak lebih parah daripada bencana karena alam. Perang, Terorisme dan kerusuhan sosial berdampak lebih merusak secara psikologis daripada Gempa, Tsunami ataupun Banjir. Bencana karena manusia yang disengaja (pembakaran toko, pemerkosaan), akan lebih merusak daripada yang tidak disengaja (kecelakaan kerja, robohnya bangunan). Dua orang pemiliki toko yang tokonya sama sama terbakar saat kerusuhan di Solo 14 Mei 2008, menunjukkan reaksi yang berbeda. Pemilik toko yang tokonya dibakar langsung dalam amuk massa, menunjukkan gejala ptsd yang lebih kuat daripada pemilik toko yang tokonya terbakar dalam kerusuhan tersebut namun secara tidak langsung (karena angin yang bertiup kencang, membawa api dari rumah ke rumah) 3) Jenis kelamin dan usia
Wanita (terutama ibu-ibu yang memiliki anak balita), anak usia lima sampai sepuluh, dan orang-orang tua lebih rentan daripada yang lain. Orang dengan daya tahan fisik yang lebih lemah, akan mengintepretasikan suatu ancaman lebih besar/mengerikan daripada seseorang dengan daya tahan tubuh yang lebih kuat. Sebaliknya
pada bayi dan anak-anak
dibawah 2 tahun, meski secara fisik mereka masih lemah, namun kondisi psikologis mereka sangat ditentukan oleh orang tua atau orang dewasa yang ada di dekat mereka karena kemampuan kognitif mereka dalam mengenali bahaya masih terbatas. Jika orang dewasa disekitar mereka bersikap tenang, maka merek juga akan relatif tenang. 4) Kepribadian
Orang-orang dengan kepribadian yang matang, konsep diri yang positip dan reseliensi yang bagus akan lebih mampu daripada yang tidak memiliki. Orang-orang yang tumbuh dengan tidak percaya diri, ketika
12
menghadapi bencana juga akan mempersepsi tentang kekuatan dirinya maupun masa depannya secara negatif dan pesimis. 5) Ketersediaan jaringan dan dukungan sosial
Keberadaan keluarga yang mendukung, teman-teman, dan masyarakat akan mampu mengurangi kemungkinan efek samping jangka panjang. Masyarakat yang masih erat, dan saling peduli akan lebih mampu mengatasi
masa-masa
individualis.
sulit
Kunjungan
daripada
dan
sapaan
masyarakat
perkotaan
yang
terhadap
penyintas,
akan
mempercepat pemulihan mereka. Pada faktor ini, tradisi kenduri 7 hari, 30 hari atau 100 hari paska kematian pada masyarakat Muslim di Jawa ataupun kebaktian penghiburan pada orang Nasrani, memiliki peranan yang besar dalam pemulihan. Penyintas yang kehilangan anggota keluarganya mendapatkan dukungan sosial dengan kehadiran saudara dan sahabat mereka. 6) Pengalaman sebelumnya
Mereka yang telah berhasil mengatasi dengan trauma di masa lalu, akan lebih dapat mengatasi bencana berikutnya dengan lebih baik.
2.1.4 AKTIVITAS PSIKOSOSIAL PADA SETIAP TAHAPAN PASKA BENCANA
Jangka waktu setiap tahap bersifat fleksibel dan tidak kaku, tergantung pada tingkat bencana, aksesibilitas dan respon pemerintah. Oleh karena itu program dibawah ini lebih bersifat fleksibel. I. Tahap Tanggap Darurat : Pasca dampak-langsung
a. Menyediakan pelayanan intervensi krisis untuk pekerja bantuan, misalnya defusing dan debriefing untuk mencegah secondary trauma b. Memberikan pertolongan emosional pertama (emotional first aid), misalnya berbagai macam teknik relaksasi dan terapi praktis c. Berusahalah untuk menyatukan kembali keluarga dan masyarakat.
13
d. Menghidupkan kembali aktivitas rutin bagi anak e. Menyediakan informasi, kenyamanan, dan bantuan praktis. II. Tahap Pemulihan: Bulan pertama
a. Lanjutkan tahap tanggap darurat b. Mendidik profesional lokal, relawan, dan masyarakat sehubungan dengan efek trauma c. Melatih konselor bencana tambahan d. Memberikan bantuan praktis jangka pendek dan dukungan kepada penyintas e. Menghidupkan kembali aktivitas sosial dan ritual masyarakat
III. Tahap Pemulihan akhir: Bulan kedua
a. Lanjutkan tugas tanggap bencana. b. Memberikan
pendidikan
dan
pelatihan
masyarakat
tentang
reseliensi atau ketangguhan. c. Mengembangkan
jangkauan
layanan
untuk
mengidentifikasi
mereka yang masih membutuhkan pertolongan psikologis. d. Menyediakan "debriefing" dan layanan lainnya untuk penyintas bencana yang membutuhkan. e. Mengembangkan layanan berbasis sekolah dan layanan komunitas lainnya berbasis lembaga.
IV. Fase Rekonstruksi
a. Melanjutkan
memberikan layanan
psikologis dan pembekalan
bagi pekerja kemanusiaan dan penyintas bencana. b. Melanjutkan
program
reseliensi
untuk
antisipasi
datangnya
bencana lagi. c. Pertahankan "hot line" atau cara lain dimana penyintas bisa menghubungi konselor jika mereka membutuhkannya.
14
d. Memberikan pelatihan bagi profesional dan relawan lokal tentang pendampingan psikososial agar mereka mampu mandiri.
2.1.5
DUKUNGAN PSIKOSOSIAL PADA ANAK
Untuk anak- anak bencana bisa sangat menakutkan, fisik mereka yang tidak sekuat orang dewasa membuat mereka lebih rentan tehadap ancaman bencana. Rasa aman utama anak-anak adalah orang dewasa disekitar mereka (orang tua dan guru) serta keteraturan jadwal. Oleh karena itu anak-anak juga sangat terpengaruh oleh reaksi orang tua mereka dan orang dewasa lainya . Jika orangtua dan guru mereka bereaksi dengan panik, anak akan semakin ketakutan. Saat mereka tinggal di pengungsian dan kehilangan ketaraturan hidupnya. Tidak ada jadwal yang teratur untuk kegiatan belajar, dan bermain, membuat anak kehilangan kendali atas hidupnya. Dibawah ini beberapa gejala stress pada anak paska bencana: 1. Takut pisah dari orang tua atau orang dewasa, selalu mengikuti orang tuanya, ketakutan orang asing, ketakutan berlebihan pada "monster" atau binatang 2. Kesulitan tidur atau menolak untuk pergi tidur 3. Kompulsif, bermain berulang-ulang yang merupakan bagian dari pengalaman bencana 4. Kembali ke perilaku sebelumnya, seperti mengompol atau menghisap jempol 5. Mudah menangis dan menjerit 6. Menarik diri, tidak ingin bermain bersama anak-anak lain 7. Ketakutan, termasuk mimpi buruk dan ketakutan suara tertentu, pemandangan, atau benda terkait dengan bencana 8. Agresif dan lekas marah 9. Mudah curiga 10. Mengeluh sakit kepala, sakit perut atau nyeri
15
11. Masalah disekolah, menolak untuk pergi kesekolah dan tidak mampu untuk berkonsentrasi
Hal utama yang perlu dilakukan adalah bersikap tenang saat bersama dengan anak-anak, karena reaksi orang dewasa akan mempengaruhi reaksi anak. Mulailah membuat kegiatan yang teratur dan rutin bagi anak. Kegiatan yang teratur adalah salah satu kebutuhan psikososial utama bagi anak-anak. Anakanak akan merasa aman jika segera melakukan aktivitas yang sama/mirip dengn aktivitas rutin yang dilakukan sebelum bencana. Oleh karena itu penting sekali, untuk segera menyelenggarakan sekolah darurat, mencari tempat yang aman bagi anak-anak untuk bermain di sore hari, mengajak anak untuk mengaji di sore hari (atau bible study untuk anak-anak Nasrani). Dalam salah satu dari kegiatan tersebut dorong anak untuk membuat gambar tentang bencana atau menulis cerita atau puisi tentang bencana. Ini akan membantu kita memahami bagaimana ia melihat apa yang terjadi (namun juga lupa lakukan debreifing sebagi penutup) . Berikan anak dengan informasi faktual tentang apa yang terjadi dan apa yang (atau akan terjadi). Gunakan bahasa sederhana, bahasa yang dapat dimengerti anak. Yakinkan anak bahwa ia aman. Anak-anak sangat rentan terhadap perasaan ditinggalkan saat mereka terpisah dari orang tua. Oleh karena itu hindari upaya "melindungi" anakanak dengan mengirimkan mereka pergi ke tempat lain namun memisahkan mereka dari orang yang mereka cintai.
2.2
DAMPAK BENCANA TERHADAP KESEHATAN
Salah satu dampak bencana terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk dapat dilihat dari berbagai permasalahan kesehatan masyarakat yang
terjadi. Bencana
yang
diikuti
16
dengan
pengungsian
berpotensi
menimbulkan masalah kesehatan yang sebenarnya diawali oleh masalah bidang/sektor lain. Bencana gempa bumi, banjir, longsor dan letusan gunung berapi, dalam jangka pendek dapat berdampak pada korban meninggal, korban cedera berat yang memerlukan perawatan intensif, peningkatan risiko penyakit menular, kerusakan fasilitas kesehatan dan sistem penyediaan air (Pan American Health Organization, 2006). Timbulnya masalah kesehatan antara lain berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri, buruknya sanitasi lingkungan yang merupakan awal dari perkembangbiakan beberapa jenis penyakit menular. Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari proses terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi korban bencana. Pengungsian tempat tinggal (shelter ) yang ada sering tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan daya tahan tubuh dan bila tidak segera ditanggulangi akan menimbulkan masalah di bidang kesehatan. Sementara itu, pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering menemui banyak kendala akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan dan dana operasional. Kondisi ini tentunya dapat menimbulkan dampak lebih buruk bila tidak segera ditangani (Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, 2001). Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berbeda-beda, antara lain tergantung dari jenis dan besaran bencana yang terjadi. Kasus cedera yang memerlukan perawatan medis, misalnya, relatif lebih banyak dijumpai pada bencana gempa bumi dibandingkan dengan kasus cedera akibat banjir dan gelombang pasang. Sebaliknya, bencana banjir yang terjadi dalam waktu relatif lama dapat menyebabkan kerusakan sistem sanitasi dan air bersih, serta menimbulkan potensi kejadian luar biasa (KLB) penyakit-penyakit yang
17
ditularkan melalui media air (water-borne diseases) seperti diare dan leptospirosis. Terkait dengan bencana gempa bumi, selain dipengaruhi kekuatan gempa, ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi banyak sedikitnya korban meninggal dan cedera akibat bencana ini, yakni: tipe rumah, waktu pada hari terjadinya gempa dan kepadatan penduduk (Pan American Health Organization, 2006).
2.2.1
GANGGUAN KESEHATAN PASCA TERJADINYA BENCANA ALAM
a) Dampak letusan gunung berapi adalah tercemarnya udara dengan abu (vulkanik) yang mengandung bermacam-macam gas mulai dari silika, mineral, dan bebatuan, khlorida, natrium, kalsium, magnesium, sulfur dioksida, gas hidrogen sulfide atau nitrogen dioksida, serta beberapa partikel debu. Benda-benda ini berpotensial meracuni makhluk hidup di sekitarnya. Paparan debu sangat berbahaya bagi bayi, anak-anak, warga usia lanjut dan orang dengan penyakit paru kronis seperti asma. Debu gunung berapi bisa mengakibatkan luka bakar, iritasi pada kulit dan mata, atau penyakit infeksi dan pernapasan seperti pneumonia dan penyakit paru akibat debu yang mengandung silika. Gas yang keluar dari gunung berapi adalah gas yang larut dalam air, karbondioksida, dan sulfur dioksida. Sulfur dioksida dapat menyebabkan gangguan pernapasan, baik pada orang sehat maupun penderita penyakit paru. Secara umum berbagai gas dari letusan gunung berapi dalam dosis rendah dapat mengiritasi mata, hidung dan tenggorokan, tapi dalam dosis tinggi dapat menyebabkan sesak napas, sakit kepala, pusing serta pembengkakan atau penyempitan saluran napas.
b) Masalah kesehatan pascatsunami adalah kerusakan multisektoral antara lain kerusakan fasilitas kesehatan, sehinga anggota masyarakat yang sakit atau cacat akibat „serangan‟ tsunami mengalami kesulitan 18
dalam mengakses pelayanan kesehatan seperti pengobatan yang adequat. Kondisi kesehatan lingkungan pascatsunami memprihatinkan dengan sanitasi yang buruk. Minimnya fasilitas air bersih, binatang perantara bibit penyakit merajalela (tikus, lalat, nyamuk dan zoonosis lainnya) yang potensial menimbulkan epidemi penyakit (malaria, demam berdarah, filariasis, cikungunya, leptospirosis, kolera, diare, dan penyakit infeksi lainnya). Tak kalah pentingnya adalah beban „trauma‟ psikis yang berkepanjangan bagi yang kehilangan anggota keluarga dan harta benda lainnya. Selanjutnya kurang tersedianya sandang
dan
pangan
yang
memadai
mengakibatkan
anggota
masyarakat mengalami kekurangan „intake‟ zat makanan atau gizi yang optimal.
c) Beberapa penyakit yang potensial mengganggu kesehatan masyarakat dan perlu diwaspadai pascabanjir adalah diare. Penyakit ini berkaitan erat dengan konsumsi air bersih untuk minum dan memasak. Saat musim penghujan, khususnya saat banjir, banyak sumber air bersih termasuk sumur dan air ledeng ikut tergenang dan tercemar, sehingga kondisi ini berdampak pada sulitnya mengakses air yang layak untuk dikonsumsi. Diare dapat menular dengan cepat dari satu individu ke individu lainnya karena selain akses air bersih yang sulit juga kontaminasi kuman „agent‟ diare bisa menjalar ke tempat-tempat yang menjadi sumber mata air minum bersama. Penyakit lainnya yang terkait dengan kontaminasi air adalah kelainan yang timbul seperti iritasi kulit, kutu air, dermatitis dan penyakit kulit lainnya. Hal ini disebabkan oleh aktivitas yang dilakukan pada
genangan air,
khususnya pada anak-anak yang memanfaatkan genangan air untuk bermain.
Demam
berdarah
(DBD),
malaria,
filariasis,
chikungunya juga meningkat prevalensinya pascabanjir.
19
dan
Dampak lain bencana alam dalam skala besar adalah memunculkan banyak tenda pengungsi atau dengan kata lain anggota masyarakat yang selamat biasanya diungsikan dan ditampung sementara di tempat pengungsian.
Masalah
muncul
karena
penanganan
pengungsi
biasanya tidak optimal, khususnya dari aspek kesehatan. Kelompok penduduk
paling rentan terhadap di tempat pengungsian adalah
kelompok bayi dan balita, kelompok manusia lanjut usia, kelompok wanita dan ibu hamil dan menyusui. Kelompok anak bayi dan balita, kondisi tempat pengungsian biasanya “tidak ramah” sehingga bayi sangat rentan terhadap penyakit tertentu seperti campak, ISPA dan diare. Kelompok anak balita tingkat kerentanannya pada masalah kekurangan gizi, penyakit infeksi seperti tetanus, diare dan ISPA dan penyakit kulit. Kelompok manusia lanjut usia (Manula) tingkat kerentanannya tinggi karena „keterbatasan‟ fisik, kepadatan penghuni bisa memicu penyakit TB paru, ISPA dan penyakit infeksi lainnya. Sedangkan kelompok terakhir yang cukup rentan adalah kelompok wanita dan ibu-ibu, biasanya karena „keterbatasan‟ fasilitas dan sarana sehingga wanita mengalami kesulitan, misalnya wanita yang mengalami „datang- bulan‟ padahal akses air bersih terbatas dan ibu menyusui rentan dengan berbagai risiko kesehatan baik untuk dirinya maupun untuk bayinya.
2.2.2
PENGARUH BENCANA PADA KESEHATAN
Pengaruh
bencana
yang
terjadi
tiba-tiba
tidak
hanya
menyebabkan banyak kematian, tetapi juga gangguan sosial besar besaran dan kejadian luar biasa (KLB) penyakit edemi, serta kelangkaan bahan pangan sehingga orang yang selamat sepenuhnya bergantung pada bantuan luar. Pengamatan sistematis yang dilakukan terhadap
pengaruh
bencana
alam
pada
kesehatan
manusia
menghasilkan berbagai kesimpulan, baik tentang pengaruh bencana
20
pada kesehatan maupun tentang cara yang paling efektif untuk menyediakan bantuan kemanusiaan. Istilah bencana biasanya mengacu pada kejadian alami (misalnya, angin ribut atau gempa bumi) yang dikaitkan dengan efek kerusakan yang ditimbulkannya (misalnya, hilangnya kehidupan atau kerusakan bangunan). “bahaya” mengacu pada kejadian alami dan “kerentanan” mengacu pada kelemahan suatu populasi atau sistem (misalnya rumah sakit, sistem penyediaan air dan pembuangan air kotor atau aspek infrastruktur) terhadap pengaruh dari bahaya tersebut. Probabilitas terpengaruhinya suatu sistem atau populasi tertentu oleh suatu bahaya disebut sebagai “risiko”. Dengan demikian Dengan demikian risiko merupakan gabungan antara kerentanan dan bahaya, dan dinyatakan sebagai berikut : " Resik o =Kerentanan x Bahaya “
Walau semua bencana memang memiliki ciri khasnya sendiri, bencana memberikan pengaruh dalam tingkat kerentanan yang berbeda pada daerah dengan kondisi sosial, kesehatan dan ekonomi tertentu – masih ada kesamaan di antara bencana-bencana tersebut. Jika disadari, faktor-faktor umum itu dapat digunakan untuk mengoptimalkan pengelolaan
bantuan
kemanusiaan
bidang
kesehatan
dan
mengoptimalkan sumber daya yang ada. Poin-poin berikut harus diperhatikan : 1. Terdapat hubungan antara tipe bencana dan pengaruhnya terhadap kesehatan.
Pernyataan
itukhususnya
benar
berkaitandengan
dampak
langsungnya dalam menyebabkan cedera. Contoh, gempa bumi dapat menyebabkan banyak kasus cedera yang memerlukan perawatan medis, sedangkan kasus cedera akibat banjir dan gelombang pasang relatif sedikit. 2. Sebagian pengaruh bencana merupakan ancaman yang potensial, bukan ancamanyang dapat dihindari, terhadap kesehatan. Contoh, perpindahan penduduk dan perubahan lingkungan yang lain dapat menyebabkan
21
peningkatan risiko penularan penyakit, walau kasus epidemik umumnya bukan merupakan akibat bencana alam. 3. Tidak semua risiko kesehatan yang potensial dan actual pascabencana akan terjadi diwaktu yang bersamaan. Risiko itu cenderung muncul di waktu yang berbeda dan cenderung berbeda tingkat kepentingannya diwilayah yang terkena bencana. Dengan demikian, jatuhnya korban biasanya terjadi diwaktu dan tempat terjadinya dampak dan korban itu membutuhkan perawatan medis segera, sedangkan waktu yang lebih panjang untuk berkembang dan risiko tersebut memuncak di tempat yang berpenduduk padat dan standar sanitasinya memburuk. 4. Kebutuhan makanan,tempat tinggal sementara, dan layanan kesehatan dasar saat bencana biasanya tidak menyeluruh. Bahkan orang yang selamat sering kali dapat menyelamatkan beberapa keperluan dasar untuk hidup. Lagipula, orang pada umumnya segera pulih dari keterkejutan mereka dan secara spontan terlibat dalam pencarian dan penyelamatan korban, pemindahan orang yang cedera, dan kegiatan pemulihan swadaya lainnya. 5. Perang sipil dan konflik menimbulkan kumpulan masalah kesehatan masyarakat tersendiri dan kendala-kendala operasional
Pengelolaan bantuan kemanusiaan sektor kesehatan secara efektif akan bergantung
pada
upaya
antisipasi
dan
identifikasi
masalah
saat
kemunculannya, dan pada penyampaian bahan-bahan khusus diwaktu dan tempat yang memang membutuhkan. Kemampuan logistic untuk mengangkut jumlah maksimum suplai/ persediaan dan tenaga kemanusiaan dari luar negeri kedaerah bencana di Amerika Latin dan Karibia tidak begitu penting. Uang tunai merupakan bantuan yang paling efektif, khususnya karena uang dapat digunakan untuk membeli suplai di daerah setempat.
22
2.2.3
PERSIAPAN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) KESEHATAN MENUJU LOKASI BENCANA ALAM
Pada saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi SDM kesehatan yang tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan Krisis yang meliputi: 1. Tim Reaksi Cepat 2. TimPenilaianCepat(TimRHA) 3. Tim Bantuan Kesehatan Sebagai
koordinator
Tim
adalah
Kepala
Dinas
Kesehatan
Provinsi/Kabupaten/Kota (mengacu Surat Kepmenkes nomor 066 tahun 2006), 1. Tim Reaksi Cepat
Tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 0-24 jam setelah ada informasi kejadian bencana, terdiri dari: 1.Pelayanan Medik a. Dokter Umum/BSB
: 1 orang
b. Dokter Sp. Bedah
: 1 orang
c. Dokter Sp. Anestesi
: 1 orang
d. Perawat Mahir (Perawat bedah,gadar)
: 2 orang
e. Tenaga Disaster Victims Identification (DVI)
: 1 orang
f. Apoteker/Ass. Apoteker
: 1 orang
g. Sopir Ambulans
: 1 orang
2. Surveilans Epidemiolog/Sanitarian
: 1 orang
3. Petugas Komunikasi
: 1 orang
2. Tim RHA
Tim yang bisa diberangkatkan bersamaan dengan Tim Reaksi Cepat atau menyusul dalam waktu kurang dari 24 jam, terdiri dari: 1. DokterUmum
: 1 orang
23
2. Epidemiolog
: 1 orang
3. Sanitarian
: 1 orang
3. Tim Bantuan Kesehatan
Tim yang diberangkatkan berdasarkan kebutuhan setelah Tim Reaksi Cepat dan Tim RHA kembali dengan laporan hasil kegiatan mereka dilapangan, terdiri dari: 1. DokterUmum 2. Apoteker dan Asisten Apoteker 3. Perawat (D3/S1Keperawatan) 4. Perawat Mahir 5. Bidan (D3 Kebidanan) 6. Sanitarian (D3Kesling/S1Kesmas) 7. Ahli Gizi (D3/D4Kesehatan/SI Kesmas) 8. Tenaga Surveilans (D3/D4Kes/SI Kesmas) 9. Entomolog (D3/D4Kes/ S1Kesmas/S1Biologi)
Kebutuhan tenaga kesehatan selain yang tercantum di atas, disesuaikan dengan jenis bencana dan kasus yang ada,misalnya: 1. Gempa bumi 2. Banjir Bandang/tanah longsor 3. Gunung meletus 4. Tsunami 5. Ledakan bom/kecelakaan industri 6. Kerusuhan massal 7. Kecelakaan transportasi 8. Kebakaran hutan
A. Perhitungan kebutuhan SDM Kesehatan
24
1. Kebutuhan jumlah minimal SDM kesehatan untuk penanganan korban bencana berdasarkan: Untuk jumlah penduduk/pengungsi antara 10.000 20.000 orang: a. Dokter Umum
: 4 orang
b. Perawat
: 10-20 orang
c. Bidan
: 8- 16 orang
d. Apoteker
: 2 orang
e. Asisten Apoteker
: 4 orang
f. Pranata Laboratorium
: 2 orang
g. Epidemiologi
: 2 orang
h. Entomolog
: 2 orang
i.
Sanitarian
: 4-8 orang
j.
Ahli Gizi
: 2-4 orang
2. Untuk jumlah penduduk/ pengungsi 5000 orang dibutuhkan: Bagi pelayanan kesehatan 24jam dibutuhkan: a.
dokter
: 2 orang
b. perawat
: 6 orang
c. bidan
: 2 orang
d.
sanitarian
: 1 orang
e.
gizi
: 1 orang
f.
asisten apoteker
: 2 orang
g.
administrasi
: 2 orang.
Bagi pelayanan kesehatan 8 jam dibutuhkan: a.
dokter
: 1 orang
b. perawat
: 2 orang
c. bidan
: 1 orang
d.
sanitarian
: 1 orang
e.
gizi
: 1 orang.
25
Tabel 2. 1 JENIS PENYAKIT SESUAI DENGAN JENIS BENCANA
Jenis Bencana
Banjir
Jenis Penyakit
Diare/amebiasis Dermatitis: kontak jamur, bakteri, skabies ISPA (Pneumonia dan Non Pneumonia) ASMA Leptospirosis Konjungtivis (Bakteri, virus) Gastritis
Longsor
Fraktur
Tulang,
Luka
sayatan dan Hipoksia. Gempa/ Tsunami
Luka Memar Luka sayatan ISPA Gastritis Malaria Asma Penyakit mata Penyakit Kulit
Konflik/ Huruhara
Luka memar Luka sayat Luka bacok Patah tulang Diare
26
memar,
Luka
ISPA Gastritis Penyakit kulit Campak Hipertensi Gangguan jiwa Gunung Meletus
ISPA Diare Konjungtivis Luka bakar
Bom
Luka bakar Trauma Gangguan Jiwa Mialgia
2.2.4
PERAWATAN DI LAPANGAN
Jika di daerah dimana terjadi bencana tidak tersedia fasilitas kesehatan yang cukup untuk menampung dan merawat korban bencana massal (misalnya hanya tersedia satu Rumah Sakit tipe C/tipe B), memindahkan korban ke sarana tersebut hanya akan menimbulkan hambatan bagi perawatan yang harus segera diberikan kepada korban dengan cedera serius. Lebihjauh, hal ini juga akan sangat mengganggu aktivitas Rumah Sakit tersebut dan membahayakan kondisi para penderita yang dirawat disana. Perlu dipertimbangkan jika memaksa memindahkan 200 orang korban ke Rumah Sakit yang hanya berkapasitas 300 tempat tidur, dengan tiga kamar operasi dan mengharapkan hasil yang baik dari pemindahan ini. Dalam keadaan dimana dijumpai keterbatasan sumber daya, utamanya keterbatasan daya tampung dan kemampuan perawatan, pemindahan korban keRumah Sakit dapat ditunda sementara.
27
Dengan ini harus dilakukan perawatan di lapangan yang adekuat bagi korban dapat lebih mentoleransi penundaan ini. Jika diperlukan dapat didirikan rumah sakit lapangan (Rumkitlap). Dalam mengoperasikan rumkitlap, diperlukan tenaga medis, paramedic, dan non medis (coordinator, dokter, dokter spesialis bedah, dokter spesialis anestesi, tiga perawat mahir, radiolog, farmasis, ahli gizi, laboran, teknisi medis, teknisi non medis,dan pembantu umum).
2.2.5 TRIASE
Triase
dilakukan
untuk
mengidentifikasi
secara
cepat
korban
yang
mebutuhkan stabilisasi segera (perawatan di lapangan) mengidentifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan dengan pembedahan darurat (lifesaving surgery). Dalam aktivitasnya,digunakan kartu merah, hijau dan hitam sebagai kode identifikasi korban, seperti berikut: 1. Merah, sebagai penanda korban yang membutuhkan stabilisasi segera dan korban yang mengalami: a. Syok oleh berbagai kausa b. Gangguan pernafasan c. Trauma kepala dengan pupil anisokor d. Perdarahan eksternal massif Pemberian perawatan lapangan intensif ditujukan bagi korban yang mempunyai kemungkinan hidup lebih besar, sehingga setelah perawatan dilapangan ini penderita lebih dapat mentoleransi proses pemindahan ke Rumah Sakit, dan lebih siap untuk menerima perawatan yang lebih invasif. Triase ini korban dapat dikategorisasikan kembali dari status "merah" menjadi "kuning" (misalnya korban dengan tension pneumothorax yang telah dipasang drain thoraks (WSD). 2. Kuning, sebagai penanda korban yang memerlukan pengawasan ketat, tetapi perawatan dapat ditunda sementara. Termasuk dalam kategori ini:
28
a. Korban dengan risiko syok (korban dengan gangguan jantung, trauma abdomen) b. Fraktur multipel c. Fraktur femur/pelvis d. Luka bakar luas e. Gangguan kesadaran/ trauma kepala f. Korban dengan status yang tidak jelas Semua korban dalam kategori ini harus diberikan infus, pengawasn ketat terhadap emungkinan timbulnya komplikasi dan diberikan perawatan sesegera mungkin. 3. Hijau, sebagai penanda kelompok korban yang tidak memerlukan pengobatan atau pemberian pengobatan dapat ditunda, mencakup korban yang mengalami: a. Fraktur minor b. Lukaminor c. Luka bakar minor d. Korban dalam kategori ini, setelah pembalutan luka dan atau pemasangan bidai dapat dipindahkan pada akhir operasi lapangan. e. Korban dengan prognosis infaust, jika masih hidup pada akhir operasi lapangan, juga akan dipindahkan ke fasilitas kesehatan.
4. Hitam, sebagai penanda korban yang telah meninggal dunia. Triase lapangan dilakukan pada tiga kondisi: a. Triase ditempat {triase satu) b. Triase medik {triasedua) c. Triase evakuasi {triase tiga)
a) Triase di Tempat Triase di tempat dilakukan di "tempat korban ditemukan" atau pada tempat penampungan yang dilakukan oleh tim Pertolongan Pertama atau Tenaga
29
Medis Gawat Darurat. Triase di tempat mencakup pemeriksaan, klasifikasi, pemberian tanda dan pemindahan korban ke pos media lanjutan. b) Triase Medik Triase ini dilakukan saat korban memasuki pos medis lanjutan oleh tenaga medis yang berpengalaman (sebaiknya dipilih dari dokter yang bekerja di Unit Gawat Darurat, kemudian ahli anestesi dan terakhir oleh dokter bedah). Tujuan triase medik adalah menentukan tingkat perawatan yang dibutuhkan oleh korban. c) Triase Evakuasi Triase ini ditujukan pada korban yang dapat dipindahkan ke Rumah Sakit yang telah siap menerima korban bencana massal. Jika pos medis lanjutan dapat berfungsi efektif, jumlah korban dalam status "merah" akan berkurang, dan akan diperlukan pengelompokan korban kembali sebelum evakuasi dilaksanakan. Tenaga medis di pos medis lanjutan dengan berkonsultasi dengan Pos Komando dan Rumah Sakit tujuan berdasarkan kondisi korban akan membuat keputusan korban mana yang harus dipindahkan terlebih dahulu, Rumah Sakit tujuan, jenis kendaraan dan pengawalan yang akan dipergunakan.
30
BAB III PENUTUP 3. 1 Kesimpulan Bencana alam yang disertai dengan pengungsian seringkali menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat yang menjadi korban, terlebih mereka yang termasuk dalam kelompok rentan. Permasalahan kesehatan akibat bencana beragam, termasuk meningkatnya potensi kejadian penyakit menular maupun penyakit tidak menular, dan pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering tidak memadai. Berbagai panduan penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana sudah dikeluarkan di tingkat nasional. Upaya tersebut pada prinsipnya dilaksanakan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat, antara lain hak untuk mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar. Pengorganisasian sektor kesehatan juga dilakukan berjenjang. Dalam hal ini, peran Puskemas di lokasi kejadian bencana menjadi sangat penting, baik pada fase prabencana, saat bencana maupun paska bencana. Jnitiai rapid health assessment, misalnya, merupakan kegiatan penting yang perlu dilaksanakan petugas kesehatan dan diharapkan dapat dapat memetakan kelompok rentan serta berbagai masalah kesehatan dan risiko penyakit akibat bencana. Standar minimal pun telah ditetapkan, meliputi aspek pelayanan kesehatan, pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, gizi dan pangan, Iingkungan serta kebutuhan dasar kesehatan. 3. 2 Saran Untuk mengatasi masalah diatas, dilakukan berbagai intervensi. Salah satu
pendekatan yang dilakukan dalam menangani korban-korban bencana khususnya permasalahan psikologis dalam lingkungan masyarakat adalah metode intervensi psikososial. Intervensi psikologis merupakan kegiatan untuk mencari jawaban tentang tentang kebutuhan psikologis dan sosial secara kelompok dan setelah pemulihan korban maupun pengobatan pasca bencana perlu dilakukan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi harus benar-benar terealisasi dan dilakukan sebaik-baiknya supaya dapat mengembalikan keadaan korban seperti semula, sebelum terjadinya bencana dan juga bisa
menjadikan
korban
untuk
menjadi
31
pribadi
yang
lebih
baik
lagi.