PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN PERKOTAAN DAN PERMUKIMAN Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Secara umum penggunaan lahan di Indonesia merupakan akibat nyata dari suatu proses yang lama dari adanya interaksi yang tetap, adanya keseimbangan, serta keadaan dinamis antara aktifitas-aktifitas penduduk diatas lahan dan keterbatasan-keterbatasan keterbatasan-keterbatasan di dalam lingkungan tempat hidup (As-syakur (A s-syakur dkk., dkk. , 2010). Interak Interaksi si antara dimensi ruang dan waktu wak tu dengan dimensi biofisik dan manusia mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan (Veldkamp and Verburg, 2004). Perubahan iklim, peningkatan jumlah penduduk, dan proses urbanisasi merupakan penyebab umum yang dianggap sebagai faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya perubahan penggunaan lahan (Wu et al., 2008), akan tetapi kenyataannya perubahan penggunaan lahan tidak terjadi karena adanya faktor tunggal (Verburg and Veldkamp, 2001). Kompleksitas antara faktor-faktor fisik, biologi, sosial, politik, dan ekonomi yang terajadi dalam dimensi ruang dan waktu pada saat yang bersamaan merupakan penyebab utama proses perubahan penggunaan lahan (Wu et al., 2008). Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Martin, 1993 dalam Wahyunto dkk., 2001). Perubahan penggunaan lahan memiliki dampak potensial besar terhadap lingkungan fisik dan sosial. Perubahan penggunaan lahan dapat mempengaruhi sistem ekologi setempat diantaranya pencemaran air, polusi udara, perubahan iklim lokal (Mahmood, et al., 2010; Coskun, et al., 2008; Hu, et al., 2008; Wu et al., 2008; Kalnay and Cai, 2003), berkurangnya keanekaragama n hayati (Sandin, 2009), serta terjadinya fluktuasi pelepasan dan penyerapan CO 2 (Canadell, 2002). Identifikasi perubahan penggunaan lahan pada suatu wilayah merupakan suatu proses mengindentifikasi perbedaan keberadaan suatu objek atau fenomena yang diamati pada waktu yang berbeda (As-syakur dkk., 2010). Indentifikasi perubahan penggunaan lahan memerlukan suatu data spasial temporal. Data-data spasial tersebut bersumber dari hasil interpretasi citra satelit maupun dari instansi-instansi pemerintah dan dianalisis dengan menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi). Pemanfaatan SIG dan data satelit merupakan suatu tekhnologi yang baik dalam mengelola data spasial-temporal perubahan penggunaan lahan. Mengetahui perubahan pengggunaan lahan tidak hanya berguna untuk pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, tetapi juga dapat dijadikan suatu informasi dalam merencanakan tata ruang di masa yang akan datang. Pertambahan jumlah penduduk dan tingkat perekonominan masyarakat dari tahun ke tahun semakin menambah kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan rumah. Pemanfaatan lahan - lahan laha n produktif dan lahan kosong kos ong sangat dibutuhkan dibutu hkan pengembang (developer) (de veloper) dalam mengembangkan me ngembangkan permukiman. permuk iman. Hal ini dilakukan karena kar ena lahan di tengah kota sudah tidak ada tempat yang ideal dari sisi ekonomi. Untuk itu diperlukan data dasar mengenai luas lahan yang telah berubah peruntukannya menjadi permukiman sehingga didapatkan perencanaan yang berkesinambungan. Data dasar yang digunakan pada penelitian ini berupa data spatial dan data tabular.
Data spasial berupa gambar citra berperan penting dalam analisis kawasan perkotaan dan permukiman pada masa sekarang karena melaui citra yang dihasilkan oleh teknologi penginderaan jauh, karena kemajuan teknologi mendukung diperolehnya data yang mempunyai tingkat kedetailan yang tinggi. Peningkatan penggunaannya dikarenakan citra dapat menggambarkan obyek, daerah, dan gejala di permukaan bumi. Bentuk dan letak obyek relative lengkap, dapat meliput daerah luas, dan bersifat permanen. Sehingga citra merupakan alat yang baik sekali untuk pembuatan peta, baik sebagai sumber data maupun sebagai kerangka letak. Citra dapat pula berfungsi sebagai model medan. Berbeda dengan peta yang merupakan model simbolik dan formula matematik yang merupakan model analog, citra (terutama foto udara) merupakan model ikonik karena ujud gambarnya mirip dengan obyek yang sebenarnya. Citra penginderaan jauh (satelit) mempunyai resolusi spasial dan resolusi temporal yang tinggi, sangat tepat digunakan untuk kajian kawasan permukiman yang mengalami perkembangan sangat cepat, dan perkembangan permukiman. Untuk menganalisis tata guna fungsi lahan untuk pemukiman ataupun yang lainnya diperlukan metode interpretasi, langkahlangkah interpretasi dan juga konci-kunci interpretasi visual. 1.
C.
Kajian Penggunaan Lahan
1. 1. Pengertian Lahan menurut FAO (1977) adalah suatu daerah permukaan bumi yang ciri-cirinya (chracteristics) mencakup semua pengenal (atributes) yang bersifat cukup mantap atau yang dapat diduga bersifat mendaur dari biosfer, atmosfer, tanah, geologi, hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan, serta hasil kegiatan manusia pada masa lampau dan masa kini, sepanjang pengenal-pengenal tadi berpengaruh murad (significant ) atas penggunaan lahan pada waktu sekarang dan pada waktu mendatang.
Lahan merupakan persatuan sejumlah komponen yang berpotensi sumberdaya. Potensi lahan ditentukan oleh potensi sumberdaya masing-masing yang menjadi komponennya, baik potensi bawaan maupun potensi yang berkembang dari nasabah salingtindak (interactive relationship) dan nasabah kompensatif (compensatory relationship) antar sumberdaya.
Lahan bermatra (dimension) ruang karena merupakan bentangan muka bumi dan ciri-cirinya mengubah (vary) dari tapak (site) ke tapak. Lahan juga bermatra waktu karena ciri-cirinya mengubah menuruti proses interaktif dan kompensatif antar komponen-komponennya dank arena sifat mendaur pengenal beberapa komponennya. Maka lahan dapat disebut suatu system ruang.
Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta segenap karakteristikkarakteristik yang ada padanya dan penting bagi perikehidupan manusia (Christian dan Stewart, 1968). Secara lebih rinci, istilah lahan atau land dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat
siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, te rmasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang; yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang (Brinkman dan Smyth, 1973; dan FAO, 1976). Lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas komponen struktural yang sering disebut karakteristik lahan, dan komponen fungsional yang sering disebut kualitas lahan. Kualitas lahan ini pada hakekatnya merupakan sekelompok unsur-unsur lahan (complex attributes) yang menentukan tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO, 1976). Lahan sebagai suatu “sistem” mempunyai komponen- komponen yang terorganisir secara spesifik dan perilakunya menuju kepada sasaran-sasaran tertentu. Komponen-komponen lahan ini dapat dipandang sebagai sumberdaya dalam hubung- annya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Penggunaan lahan (land use) adalah modifikasi yang dilakukan oleh manusia terhadap lingkungan hidup menjadi lingkungan terbangun seperti lapangan, pertanian, dan permukiman. Penggunaan lahan didefinisikan sebagai “jumlah dari pengaturan, aktivitas, dan input yang dilakukan manusia pada tanah tertentu” (FAO, 1997a; FAO/UNEP, 1999). Penggunaan lahan memiliki efek samping yang buruk seperti pembabatan hutan, erosi, degradasi tanah, pembentukan gurun, dan meningkatnya kadar garam pada tanah. 1.
Klasifikasi Lahan A. Lahan Potensial
Lahan potensial adalah lahan yang nilai ekonomi tinggi, dalam arti sempit. Lahan potensial selalu dikaitkan dengan produksi pertanian, yaitu lahan yang dapat memberikan hasil pertanian yang tinggi walaupun dengan biaya pengelolaan yang rendah.
Tapi dalam arti luas, lahan potensial dikaitkan dengan fungsinya bagi kehidupan manusia, yaitu lahan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga potensial tidaknya suatu lahan diukur sampai sejauh mana lahan tersebut memberikan manfaat secara optimal bagi kehidupan manusia. Sebagai contoh suatu lahan tidak potensial untuk lahan pertanian tetapi potensial untuk pemukiman, pariwisata, atau kegiatan lainnya. 1. b.
Lahan Kritis
Menurut Wahono (2002 : 3), lahan kritis adalah lahan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai pengatur media pengatur tata air, unsur produksi pertanian, maupun unsur perlindungan alam dan lingkungannya.
Lahan kritis merupakan suatu lahan yang kondisi tanahnya telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia atau biologi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi di sekitar daerah pengaruhnya (Ade Iwan Setiawan, 1996 : 19).
Pengklasifikasian suatu lahan merupakan pengelompokkan lahan yang memiliki faktor-faktor pembatas permanen yang sama. Dalam pengklasifikasian, lahan dikelompokkan menjadi delapan kelas kemampuan lahan. Garis besar dari pengklasifikasian tersebut adalah : a) Kelas I , merupakan lahan untuk segala jenis penggunaan tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang spesifik. Tanah pada kelas i ni tidak memiliki penghambat atau ancaman kerusakan, sehingga dapat ditanam dengan tanaman semusim dengan aman. Tindakan pemupukkan dan pemeliharaan sangat diperlukan untuk mempertahankan kesuburan dan produktivitasnya. Lahan ini dicirikan dengan lereng yang datar, bahaya erosi yang sangat kecil, solum tanah dalam, drainase baik, mudah untuk diolah, dapat menahan air dengan baik, responsif terhadap pemupukkan, tidak terancam banjir, iklim mikro yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman. b) Kelas II , merupakan lahan yang sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan sedikit hambatan dan ancaman kerusakan. Jika digarap untuk tanaman semusim, maka perlu diadakan tindakan konservasi seperti strip cropping, crop rotation dengan penutup tanah, guludan (galengan), dan pemupukkan. Ciri-ciri dari lahan kelas ini adalah lereng landai, kepekaan erosi sedang, tekstur tanah halus, solum tanah agak dalam, struktur tanah kurang baik, salinitas ringan sampai sedang, kadang terjadi banjir, drainase sedang, iklim mikro agak kurang untuk tanaman. c) Kelas III, merupakan lahan yang dapat digunakan untuk berbagai jenis usaha pertanian dengan hambatan dan ancaman yang lebih besar dari pada lahan kelas II. Penggunaan lahan kelas ini memerlukan usaha-usaha pengawetan seperti perbaikan drainase, strip cropping, crop rotation, terrasering, pemupukkan, dll. Ciri-ciri lahan kelas ini adalah lereng bergelombang atau miring, drainase buruk, solum tanah sedang, permeabilitas tanah bagian bawah lambat, peka terhadap erosi, kapasitas menahan air rendah, kesuburan tanah rendah, sering terjadi banjir, lapisan cadas dangkal, salinitas sedang, hambatan iklim agak besar. d) Kelas IV, merupakan lahan yang memiliki faktor penghambat lebih besar dibandingkan dengan lahan kelas III. Faktor penghambat pada lahan kelas ini adalah lereng yang miring atau berbukit (15%-30%), kepekaan erosi besar, solum tanah dangkal, kapasitas menahan air rendah, drainase jelek, salinitas tinggi, iklim kurang menguntungkan.bila lahan in i akan digunakan untuk tanaman semusim, maka perlu dibuatkan teras-teras, saluran drainase, crop rotation dengan penutup tanah. e) Kelas V, merupakan lahan yang tidak sesuai untuk tanaman semusim. Ciri-ciri lahan ini adalah lereng datar atau cekung, sering tergenang dan banjir, berbatu-batu, pada sistem perakaran tumbuhan sering ditemui catclay, berawa-rawa. Lahan ini cocoknya untuk hutan produksi, hutan lindung, padang penggembalaan, atau suaka alam. f) Kelas VI, merupakan lahan yang tidak sesuai untuk pertanian. Penggunaannya terbatas untuk padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, atau cagar alam. Ciri -ciri lahan kelas ini adalah lereng agak curam (30%-45%), ancaman erosi berat, solum tanah sangat dangkal, berbatu-batu, iklim tidak sesuai. Pengelolaan lahan ini dapat dapat diusahakan dengan cara pembuatan teras bangku, strip cropping, penutupan tanah dengan rumput perlu selalu diusahakan. g) Kelas VII, merupakan lahan yang tidak sesuai untuk pertanian. Jika ingin dipaksakan harus digunakan teras bangku yang ditunjang dengan cara-cara vegetatif untuk konservasi. Ciri-ciri lahan kelas ini adalah lereng curam (45%-65%), tererosi berat, solum tanah sangat dangkal, dan berbatu-batu.
h) Kelas VII, merupakan lahan yang sangat tidak cocok untuk pertanian. Lahan ini harus senantiasa didiamkan dalam keadaann alami. Lahan kelas ini sangat berguna untuk hutan lindung, cagar alam, atau tempat rekreasi. Ciri-ciri lahan kelas ini adalah lereng yang sangat curam (>65%), berbatu-batu, kapasitas menahan air sangat rendah, solum tanah sangat dangkal, sering terlihat adanya singkapan batuan, kadang-kadang seperti padang pasir berbatu ( Jamulya dan Sunarto, 1991). Kemiringan lereng, panjang lereng, dan bentuk lereng semuanya akan mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan. Kemiringan lereng dapat dilihat dari peta topografi dan peta tanah. Kemiringan suatu lereng dikelompokkan sebagai berikut :
Datar 0 – 3%
Landai atau berombak 3% – 8%
Agak miring atau bergelombang 8% – 15% Miring atau berbukit 15% – 30% Agak curam 30% – 45%
Curam 45% – 65%
Sangat curam lebih dari 65%
1. Interpretasi Objek Penggunaan Lahan Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta segenap karakteristikkarakteristik yang ada padanya dan penting bagi perikehidupan manusia (Christian dan Stewart, 1968). Secara lebih rinci, istilah lahan atau land dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang; yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang (Brinkman dan Smyth, 1973; dan FAO, 1976). Lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas (i) komponen struktural yang sering disebut karakteristik lahan, dan (ii) komponen fungsional yang sering disebut kualitas lahan. Kualitas lahan ini pada hakekatnya merupakan sekelompok unsur-unsur lahan (complex attribute) yang menentukan tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO, 1976). Pola pengggunaan lahan di daerah pantai Jawa Barat terutama dipengaruhi oleh keadaan tanah, persediaan air dataran rendah dan letak ketinggian dari permukaan laut. Berdasarkan pengaruh keadaan tanah dan air tersebut daerah pantai Jawa Barat di bagi dalam 9 (sembilan) macam pola penggunaan lahan utama yaitu: a) Sawah Dua Musim Penggunaan lahan sawah dua kali setahun merupakan lahan yang dapat ditanami padi dua kali setahun, kelompok pengguna lahan ini dapat dijumpai pada daerah datar sepanjang pantai Jawa Barat. Pada umumnya sawah yang berada di dataran rendah belakang pantai tersebut
dapat ditanami sepanjang tahun tanpa tergantung curah hujan, karena didukung sumber air dari sistem pengairan teknis dengan suplai yang cukup dan teratur dari beberapa sungai utama, diantaranya pengairan Tarum Timur dari S. Citarum, S. Cimanuk dan beberapa sungai lainnya yang debitnya cukup. Pola penggunaan sawah dua kali setahun ini pada umumnya telah diusahakan secara intensif dengan teknologi maju, seperti teknologi penggunaan paket A, B, C, dan D pada program “Supra Insus” dengan pola tanam, padi-padi, palawija/bera selain tanaman padi utama. Pada beberapa tempat pola penggunaan ini menjalani pergiliran dengan tebu, dan kadang-kadang setelah tanaman padi ditanami dengan sayuran seperti bawang merah, cabe, ketimun dan sebagainya. b) Sawah Satu Musim Pola pengggunaan sawah satu kali setahun ini dijumpai pada daerah datar, berombak, bergelombang bahkan sampai pada wilayah berbukit dengan adanya sistem terasering dan pengairan yang teratur. Kelompok penggunaan lahan ini terdapat di daerah sebelah atas/hulu dengan pola penggunaan sawah dua musim atau pada wilayah-wilayah perbukitan yang penyebarannya terpencar-pencar, tergantung adanya sumber air. Disamping itu sumber air pola sawah satu kali setahun ini juga tergantung pada curah hujan. Pola tanam adalah padi, palawija/sayuran atau bera. Tanaman padi pada umumnya ditanam pada musim penghujan setelah itu lahan diberakan atau ditanam palawija/sayuran seperti jagung, ketela pohon, kedelai, ketela rambat, cabe, kol, seledri dan lain sebagainya. Umumnya tindakan pemupukan pada semua jenis tanaman ini sudah dilakukan c) Tegalan Tegalan disini adalah usahatani lahan kering dengan tanaman semusim. Pada umumnya pola penggunaan tegalan dimasukkan pada daerah-daerah yang tidak mendapat pengairan secara teratur atau sumber air tergantung pada curah hujan. Kelompok pengguna ini terpencar-pencar di daerah berombak sampai daerah berbukit, baik pada lahan hak milik yang terpencar-pencar maupun pada lahan kawasan hutan yang pengelolaannya mendapat izin dari PT. Perhutani. Pola penggunaan tegalan ini pada umumnya telah diusahakan secara intensif menggunakan pupuk, pemberantasan hama dan tumpang sari, dengan pola tanam, palawija-palawija/sayuran-bera dengan tanaman utama jagung, ketela rambat, ketela pohon, cabe, dan lain sebagainya. d) Kebun Campuran Tipe penggunaan ini umumnya dicirikan oleh adanya tanaman keras seperti kelapa, bambu dan lainnya sebagainya, atau berupa tanaman buah-buahan seperti mangga, durian, nangka, pisang, melinjo, pepaya dan lain-lain. Tanaman ini ditanam secara bersama-sama dengan pola pertanaman yang kurang teratur. Penyebarannya cukup merata di seluruh daerah pantai utara Jawa Barat, umumnya menempati daerah sepanjang jaringan jalan -jalan desa atau berkelompok pada daerah-daerah dekat pemukiman/pekarangan pendudukan setempat. e) Rumput/Semak
Tipe penggunaan lahan ini terdapat di daerah-daerah yang kurang produktif lagi bagi lahan pertanian dan dicirikan dengan banyaknya tumbuhan perdu dan rumput-rumputan seperti keliara, alang-alang atau tanaman kayu-kayuan yang berdiameter kurang dari 5 cm. f) Belukar Belukar merupakan pertumbuhan tahap pertama kearah pembentukan hutan kembali. Pada umumnya belukar dicirikan oleh vegetasi yang rapat, yang terdiri dari kayu-kayuan muda berdiameter 5-30 cm, sedikit bercampur dengan semak dan rumput-rumputan. Semakin lama kayu-kayuan tersebut menjadi dominan, sedangkan vegetasi semak dan rumput-rumputan menjadi kurang. Kelompok pengguna ini dijumpai pada wilayah bekas perladangan atau tegalan yang ditinggalkan, yang dijumpai hampir disemua tempat secara terpencar-pencar dengan luasan yang relativesempit. Kelompok vegetasi yang terdapat pada belukar ini antara lain terdiri dari kaliara, puspa, jeunjing, herendong, paku-pakuan dan sebagainya. g) Tambak Hampir disepanjang pantai di Jawa Barat terdapat tambak yang dibangun dikawasan bekas hutan mangrove. Tambak-tambak yang ada sebagian besar tambak tradisional dan beberapa merupakan tambak semi-intensif/intensif yang umumnya dimiliki oleh perusahaan. Tambaktambak intensif umumnya merupakan modifikasi dari tambak-tambak tradisional sebelumnya. Seiring dengan pesatnya pembangunan tambak maka semakin banyak juga lahan hutanmangrove yang dikonversi menjadi tambak. Saat ini diperkirakan luas green belt kurang dari 5 % dari yang seharusnya. Akibat intensifnya pembukaan lahan untuk tambak, dampak negatif-pun justru dirasakan oleh usaha tambak itu sendiri. Sejak tahun 1990-an produksi udang justru mengalami penurunan. Jenis ikan yang diusahakan antara lain : bandeng dan udang yang merupakan sumber devisa. Penggunaan lahan ini meyebar hampir di seluruh pantai di Jawa Barat. h) Rawa dan Kolam Tipe penggunaan lahan ini terpencar-pencar menempati daerah pantai utara dengan luasan yang sempit-sempit. Kelompok vegetasi umumnya umumya tumbuh dalam lingkungan yang selalu tergenang air antara lain : purun, mendong (walini). Walaupun lahan ini tidak diusahakan secara intensif tetapi dapat memberikan hasil tambahan bagi penduduk sekitarnya disamping usaha pertanian, yaitu dengan memanfaatkan ikan-ikan rawa seperti gabus dan lain-lain. Pola penggunaan rawa di daerah rawa seperti gabus dan lain-lain. Tipe penggunaan yang lebih intensif usaha perikanan yang dilakukan oleh penduduk setempat, terutama pada daerah datar yang sumber air tawarnya cukup banyak. Usaha ini sebagian besar ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan sebagian untuk dijual dan dapat memberikan hasil tambahan yang cukup berarti disamping usaha pertanian lainnya. Bentuk muka bumi atau relief daratan dapat diamati secara langsung di lapa ngan, namun dapat juga dengan melihat peta. Dari sebuah peta kita dapat mengetahui bentuk relief dari suatu tempat/wilayah. Maka dari itu dibutuhkan sebuah interpretasi citra untuk membuat sebuah peta.
Menurut Este dan Simonett interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Adapun unsur-unsur interpretasi pada citra atau foto udara terdiri atas sembilan macam, yaitu rona, tekstur, bentuk, ukuran, pola, situs, bayangan, asosiasi, dan konvergen bukti. Dengan kesembilan umsur interpretasi citra tersebut kita dapat melakukan suatu perencanaan untuk membuat suatu kawasan permukiman di perkotaan. Dalam melakukan interpretasi citra tersebut diperlukan tahapan-tahapan kegiatan, yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis. Adapun manfaat dari penginderaan jauh antara lain ,
1. Memprediksi Data Kependudukan Data pengindearaan jauh yang dapat digunakan adalah yang memiliki resolusi spasial yang tinggi. Foto udara skala besar atau citra Ikonos misalnya, yang mempunyai resolusi spasial sebesar 1 meter. Resolusi ini berarti bahwa benda di permukaan Bumi dengan ukuran lebih dari 1 meter atau minimal 1 meter masih tampak pada citra. Alasan mengapa harus digunakan data foto skala besar atau Ikonos karena kelebihannya dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menghitung tipe perumahan secara individual. Jika perumahan secara individu bisa terdeteksi, maka dipadukan dengan data jumlah orang yang biasa menghuni setiap unit perumahan diperoleh informasi kepadatan penduduk. Formula yang digunakan sebagai berikut.
Meskipun terlihat mudah, tetapi pemanfaatan seperti ini memerlukan kecermatan dalam identifikasi dan menghitung unit rumah. Bisa jadi k esulitan timbul karena sering kali atap rum ah tertutup oleh vegetasi, kesulitan dalam membedakan sebuah bangunan sebagai rumah atau mempunyai penggunaan yang lain, perkantoran misalnya. 2. Mengestimasi Wilayah Rawan Banjir Pengenalan wilayah rawan bencana dapat dilakukan dengan mengidentifikasi ada tidaknya faktor penyebab bencana tersebut di suatu wilayah. Begitu juga dengan estimasi wilayah rawan banjir melalui citra, dilakukan dengan mengenali faktor penyebab banjir melalui citra. Kejadian banjir pada umumnya terjadi di wilayah datar, berdekatan dengan sungai besar, drainase jelek yang dipengaruhi oleh kemiringan lereng yang tinggi dan tekstur tanah yang tidak mendukung. Proses estimasi ini bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan geomorfologi yang dilakukan dengan memperhatikan pola dan rona atau warna. Hal yang d iidentifikasi paling awal adalah bentang alam. Bentang alam inilah kemudian bisa digunakan sebagai satuan pemetaan yang dideteksi lebih jauh lagi karakteristik parameter penyebab banjir yang ada padanya, ditambah dengan informasi yang tidak bisa diperoleh dari citra seperti kondisi curah hujan. 3. Mendeteksi Kondisi Tanaman Pertanian Di suatu lahan pertanian, seperti kawasan perkebunan banyak menggunakan foto udara untuk mendeteksi kondisi tanaman. Jenis foto udara yang digunakan, yaitu foto udara inframerah. Variasi pantulan tanaman menandakan kondisi klorofil dengan berbagai gejala. Kondisi tanaman yang stres (berpenyakit) menunjukkan pantulan yang berbeda dengan tanaman yang sehat. 4. Pemetaan Penggunaan Lahan Memang mendeteksi penggunaan lahan bisa dilakukan lebih teliti dengan menggunakan foto udara. Hal ini tidak menutup kemungkinan penggunaan citra dalam hal yang sama. Bahkan menggunakan citra dapat dilihat hubungan antara bentang lahan dan penggunaan lahan secara langsung. 5. Menentukan Budi Daya Laut
Potensi laut di Indonesia sangat besar. Sayangnya kekayaan ini tidak disadari oleh banyak masyarakat bahkan yang tinggal di wilayah pesisir. Akibatnya, masyarakat kurang mengetahui bahwa teknologi penginderaan jauh pun bisa dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan budi daya laut. Beberapa parameter biofisik perairan yang diperlukan dalam budi daya laut dan bersifat dinamis bisa dideteksi dari citra Landsat menggunakan algoritma atau rumusan tertentu yang sudah dikalibrasi dengan data lapangan. Ekstraksi parameter dilakukan dengan dua citra yang mewakili kondisi dua musim di Indonesia. Tingkatan kesesuaian perairan laut diperoleh dengan melakukan overlay (tumpang susun) seluruh parameter untuk semua musim. Selanjutnya, dipadukan dengan tingkat kesesuaian musim yang berbeda sehingga diperoleh kesesuaian perairan yang mewakili dua musim. Parameter yang dinamis diperoleh dengan menggunakan data satelit multitemporal. Selain itu, analisis potensi juga mempertimbangkan faktor pembatas seperti keterlindungan, daerah konservasi, serta faktor penimbang seperti aksesibilitas dan pencemaran udara. Pemanfaatan foto udara/citra hasil penginderaan untuk kegiatan pemetaan merupakan kegiatan yang umum dilakukan pada saat sekarang. Kegiatan pemetaan menggunakan foto udara lebih mudah dilakukan daripada pemetaan secara manual. Beberapa keunggulan pemetaan menggunakan teknologi inderaja antara lain :
Hasil inderaja dapat digunakan untuk memetakan daerah yang sangat luas dengan cepat, pemetaan manual biasanya hanya digunakan untuk memetakan daerah yang sangat sempit. Berbiaya lebih murah. Dapat memetakan bermacam-macam peta tematik sekaligus Proses pembuatan lebih cepat Salah satu contoh pemanfaatan teknologi inderaja untuk kegiatan di bidang pemetaan misalnya untuk pemetaan daerah rawan genangan air di wilayah Jakarta. Untuk membuat peta ini diperlukan lebih dahulu foto udara wilayah Jakarta untuk di interpretasi lebih lanjut. Tahapan dalam pemetaan menggunakan hasil inderaja ini dengan membuat pola dengan menggunakan data inderaja yang di awali dengan penggabungan foto udara dalam bentuk mozaik guna membatasi wilayah yang akan dipetakan. Dari foto udara wilayah Jakarta misalnya di interpretasi pada tempat-tempat yang : Memiliki ketinggian lebih rendah/sama dari permukaan air laut. Berbentuk cekungan/basin. Terletak di bantaran/pinggiran sungai. Permukiman padat Tidak memiliki lahan terbuka. Tidak memiliki daerah resapan air Wilayah yang diinterpretasi tersebut kemudian dideliniasi untuk m embedakan dengan wilayah yang tidak rawan tergenang. Hasil deliniasi kemudian dapat dibuat dan diproses lebih lanjut menjadi peta daerah rawan genangan air. Tujuan utama dari penginderaan jauh adalah untuk mengumpulkan data sumber daya alam dan lingkungan. Penginderaan jauh makin banyak dimanfaatkan karena berbagai macam alasan sebagai berikut :
Citra dapat dibuat secara cepat meskipun pada daerah yang sulit ditempuh melalui daratan, contohnya hutan, rawa dan pegunungan. Citra menggambarkan obyek dipermukaan bumi dengan wujud dan letak objek mirip dengan sebenarnya, gambar relatif lengkap, liputan daerah yang luas dan sifat gambar yang permanen
Citra tertentu dapat memberikan gambar tiga dimensi jika dilihat dengan menggunakan stereoskop. Gambar tiga dimensi itu sangat menguntungkan karena menyajikan model obyek yang jelas, relief lebih jelas, memungkinkan pengukuran beda tinggi, pengukuran lereng dan pengukuran volume. Citra dapat menggambarkan benda yang tidak tampak sehingga dimungkinkan pengenalan obyeknya. Sebagai contoh adalah terjadinya kebocoran pipa bawah tanah. Citra sebagai satu-satunya cara untuk pemetaan daerah bencana. Inderaja memiliki peran yang sangat besar dalam sistem informasi data dan pengelolaannya. Pera n tersebut antara lain untuk mendeteksi perubahan data dan pengembangan model di berbagai kepentingan. Pengeinderaan jauh menghasilkan data yang ringkas tentang lingkungan yan berkenaan dengan bumi. Salah satu aplikasi yang nyata dari pemanfaatan hasil pengeinderaan jauh dalam bidang kependudukan adalah untuk memetakan distribusi spasial penduduk. Selain pemetaan distribusi spasial kependudukan, data inderaja juga dapat dimanfaatkan untuk meneliti dampak keberadaan manusia dalam lingkungan hidup. Oleh karena ukuran penduduk terlalu kecil, pola distribusinya hanya dapat diinterpretasi secara tidak langsung, yaitu berdasarkan pola permukiman penduduk atau bukti lain yang tampak. Pola permukiman penduduk itu sendiri dapat diketahui dengan menginterpretasikan bentuk lahan dan penggunaanya. b