TUGAS MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PERDATA
“PERBANDINGAN HUKUM WARIS MENURUT HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM”
SASCHA ADE VANIA CATALINA 1410111012
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS 2017/2018
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata). Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masingmasing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan. Pembagian harta waris dalam islam telah begitu jelas diatur dalam al qur an, yaitu pada surat An Nisa. Allah dengan segala rahmat-Nya, telah memberikan pedoman dalam mengarahkan manusia dalam hal pembagian harta warisan. Pembagian harta ini pun bertujuan agar di antara manusia yang ditinggalkan tidak terjadi perselisihan dalam membagikan harta waris.
B. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun untuk mengetahui tentang perbedaan hukum waris perdata (BW) dengan hokum waris islam.
BAB II PEMBAHASAN
A. Kewarisan Menurut Hukum Islam
Hukum Kewarisan menuuut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal ini lebih jauh ditegaskan oleh rasulull ah Saw. Yang artinya: “Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan
ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya (HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”.
Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka ilmu kewarisan menururt Islam adalah sangat penting, apalagi bagi para penegak hukum Islam adalah mutlak adanya, sehingga bisa memenuhi harapan yang tersurat dalam hadits rasulullah di atas. Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini, yaitu: 1. hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. 2. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli awaris dan harta peninggalan. 3. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris. 4. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.
5. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. 6. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. 7.
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
8. Baitul Maal adalah balai harta keagamaan. Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan pasal 175 KHI adalah: 1. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai. 2. Menyelesaikan
baik
hutang-hutang
berupa
pengobatan,
perawatan
termasuk
kewajiban pewaris maupun menagih piutang. 3. Menyelesaiakan wasiat pewaris. 4. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak. Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu,
maka yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI). Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepenti ngan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI). Bagi pewaris yang beristeri dari seorang,
maka masing-masing isteri berhak
mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190 KHI). Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179 KHI). Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian (Pasal 180 KHI). Masalah waris malwaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: 1. Perkawinan. 2. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. 3. Wakaf dan sedekah. Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga wanita (anakanak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja). Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan. Ahli waris dari pihak laki-laki ialah: a.
Anak laki-laki (al ibn).
b.
Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn) .
c.
Bapak (al ab).
d.
Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).
e.
Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).
f.
Saudara laki-laki sebapak (al akh liab).
g.
Saudara laki-laki seibu (al akh lium).
h.
Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).
i.
Keponakan laki-laki sebapak (ibnul akh liab).
j.
Paman seibu sebapak.
k.
Paman sebapak (al ammu liab).
l.
Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).
m.
Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy liab).
n.
Suami (az zauj).
o.
Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang memerdekakan seorang hamba apabila sihamba tidak mempunyai ahli waris. Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:
a.
Anak perempuan (al bint).
b.
Cucu perempuan (bintul ibn).
c.
Ibu (al um).
d.
Nenek, yaitu ibunya ibu ( al jaddatun).
e.
Nenek dari pihak bapak (al jaddah minal ab).
f.
Saudara perempuan seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).
g.
Saudara perempuan sebapak (al ukhtu liab).
h.
Saudara perempuan seibu (al ukhtu lium).
i.
Isteri (az zaujah).
j.
Perempuan yang memerdekakan (al mu’tiqah). Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian apabila
sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila sipewaris mempunyai anak atau cucu, dan isteri tidak pernah terhijab dari ahli waris. Adapun yang menjadi dasar hukum bagian isteri adalah firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 12, yang artinya: “Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak
mempunyai anak, dan jika kamu mempunyai anak, maka isteri-isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat atau setelah dibayar hutang-hutangmu”. Suami mendapat ½ bagian apabila pewaris tidak mempunyai anak dan mendapat ¼ bagian apabila pewaris mempunyai anak, berdasarkan firman Allah surat an Nisa’ ayat 12, yang artinya: “Dan bagimu (suami -suami) seperdua bagian dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika tidak mempunyai anak, dan jika ada anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar hutang-hutangnya”. Sedangkan bagian anak perempuan adalah: 1. Seorang anak perempauan mendapat ½ bagian, apabila pewaris mempunyai anak laki – laki. 2. Dua anak perempauan atau lebih, mendapat 2/3 bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. 3. Seorang anak perempuan atau lebih, apabila bersama dengan anak laki-laki, maka pembagiannya dua berbanding satu (anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian), hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat An Nisa’ Ayat 11 yang artinya: “Jika anakmu, yaitu bagian seorang anak laki -laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.
Bagian anak laki-laki adalah: a.
Apabila hanya seorang anak laki-laki saja, maka dia mengambil semua warisan sebagai ashabah, jika tidak ada ahli waris dzawil furudz, namun jika ada ahli waris
dzawil furudz maka ia hanya memperoleh ashabah (sisa) setelah dibagikan kepada ahli waris dzwil furudz tersebut (ashabah bin nafsih). b.
Apabila anak laki-laki dua orang atau lebih, dan tidak ada anak perempauan, serta ahli waris dzwil furudz yang lain, maka ia membagi rata harta warisan itu, namun jika ada anak perempuan, maka dibagi dua banding satu (ashabah bil ghair), berdasarkan surat Anisa’ ayat 11 dan 12 tersebut.
Ibu dalam menerima pusaka/bagian harta waris adalah sebagai berikut: 1.
Ibu mendapat seperenam, apabila pewaris meninggalkan anak.
2.
Ibu mendapat sepertiga bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak. Dan diantara ahli waris yang ada, apabila ada ibu maka yang dihijab ibu adalah
nenek dari pihak ibu, yaitu ibu dari ibu dan seterusnya keatas. Nenek dari pihak bapak yaitu ibu dari bapak dan seterusnya keatas. Hal ini berdasarkan surat An Nisa ’ ayat 11 yang artinya:”Dan untuk dua orang ibu bapak, baginya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika pewaris itu mempunyai anak”. Bagian Bapak adalah: a. Apabila sipewaris mempunyai anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki, maka bapak mendapat 1/6 dari harta peninggalan dan sisanya jatuh kepada anak laki-laki. b. Apabila pewaris hanya meninggalkan bapak saja, maka bapak mengambil semua harta peninggalan dengan jalan ashabah. c. Apabila pewaris meninggalkan ibu dan bapak, maka ibu mendapat 1/3 dan bapak mengambil 2/3 bagian. Sedangkan bagian nenek adalah: a. Apabila seorang pewaris meninggalkan seorang nenek saja, dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat bagian 1/6. b. Apabila seorang pewaris meninggalkan nenek lebih dari seorang dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat 1/6 dibagi rata diantara nenek tersebut. Menurut hukum waris Islam, oarng yang tidak berhak mewaris adalah: a. Pembunuh pewaris, berdasrkan hadtis yang diriwayatkan oleh At tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Daud dan An Nasa’i. b. Orang murtad, yaitu keluar dari agama Islam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bardah. c. Orang yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang yang tidak menganut agama Islam atau kafir.
d. Anak zina, yaitu anak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi (Hazairin, 1964: 57). Perlu diketahui bahwa jika pewaris meninggalkan ibu, maka semua nenek terhalang, baik nenek dari pihak ibu sendiri maupun nenek dari pihak ayah (mahjub hirman). Dan jika semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan adalah hanya anak (baik lakilaki maupun perempuan), ayah, ibu, dan janda atau duda sedangkan ahli waris yang lain terhalang (mahjub) (Pasal 174 Ayat (2) KHI).
B.
Sistem Hukum kewarisan menurut KUH Perdata (BW).
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu: 1.
Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
2.
Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament). Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang ata u “ab intestato”
dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”. Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95). Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undangundang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut: a. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing – masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW). b. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di dtas, maka yang kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurangkurangnya mendapat seperempat dari warisan (pasal 854 BW). c. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW). Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus yaitu jika seorang meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli warisnya, maka
harta warisan itu dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang demikian itu maka Balai Harta peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah menuggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus memberitahukan kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah suatu harta warisan dapat dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini akan diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan tentang keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan penyegelan barang-barang, dan selanjutnya membereskan segala sangkutan sipewaris berupa hutang-hutang dan lainlain. Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI, suratsurat kabar dan lain-lain cara yang dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang ahli waris yang tampil atau melaporkan diri, maka weeskamer akan melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada negara, dan selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara. Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya tidak berhak mewaris ialah: a.
Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
b.
Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
c.
Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiatnya.
d.
Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.
C.
Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan sistem KUH
Perdata (BW).
Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak lakilaki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak. Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata menganut system keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah
mapun ibunya, artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam. Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima para ahli waris masing-masing, yang menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain. Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orangorang barat adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).
Tabel Perbandingan sistem pewarisaan Hukum BW, Adat dan Islam
Sistem Pewarisaan Hukum BW · Sistem kewarisan dalam KUHPdt (BW) berlatar belakang pada bentuk kehidupan masyarakat Barat yang parental dan mandiri. Namun dalam KUHPdt sendiri, sistem keturunan yang dianut adalah sistem parental atau bilateral terbatas, dimana setiap anggota keluarga menghubungkan dirinya pada keturunan ayah dan ibunya. Kemudian system kewarisan yangdianut KUHPdt adalah sisitem individual, artinya setiap ahli waris berhak menuntut pembagian harta warisan dan memperoleh bagian yang menjadi haknya, baik harta warisan dan ibunya maupun harta dari ayahnya.
1.
Sistem Pewarisaan Hukum Adat
Sistem Pewarisaan Hukum Islam
1. Sistem Keturunan
1. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah
· Sistem Patrilinial (kelompok garis kebapakan)
2. Ashhabul furudh yang berhak Mendapat Seperempat
· Sistem Matrilinial (kelompok garis keibuan)
3. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan
· Sistem Parental atau Bilateral (kelompok garis ibu-bapak)
4. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga
2. Sistem Pewarisan Individual
5. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian SepertigaMasalah 'Umariyyatan
3. Sistem Pewarisan Kolektif 4. Sistem Pewarisan Mayorat
6. Asbhabul Furudh yangMendapat Bagian Separoe
Analisa Sistem Perbandingan
Sistem Pewarisaan Hukum BW
Sistem kewarisaan dalam KUHPdt menganut pada Hukum BW, dimana Hukum BW menganut hukum barat yang bersifat parental dan mandiri. Dimana harta warisan jika pewaris wafat harus selekas mungkin diadakan pembagian yang merupakan ahli waris dalam hukum BW dapat digolongkan menjadi 2 bagian: o Ahli waris menurut Undang Undang
o Ahli Waris menurut Testament (Wasiat) Dalam KUHPPdt sistem keturunaan yang dianut merupakan adalah sistem parental atau bilateral terbatas, dimana setiap anggota keluarga menghubungkan dirinya pada keturunan ayah dan ibunya. Kemudian system kewarisan yang dianut KUHPdt adalah sisitem individual, artinyasetiap ahli waris berhak menuntut pembagian harta warisan dan memperoleh bagian yang menjadi haknya, baik harta warisan dan ibunya maupun harta dari ayahnya.
Pembagian ahli waris menurut BW terdapat 5 golongan: 1. Golongan I, Merupakan ahli waris dalam garis lurus ke bawah dari pewaris, yaitu anak, suami / duda, istri / janda dari si pewaris. Ahli waris golongan pertama mendapatkan hak mewaris menyampingkan ahli waris golongan kedu, maksudnya, sepanjang ahli waris golongan pertama masih ada, maka, ahli waris golongan kedua tidak bisa tampil. (Pasal 852 BW) 2. Golongan II Merupakan, ahli waris dalam garis lurus ke atas dari pewaris, yaitu, bapak, ibu dan saudara – saudara si pewaris. Ahli waris ini baru tampil mewaris jika ahli waris golongan pertama tidak ada sama sekali dengan menyampingkan ahli waris golongan ketiga dan keempat. (Pasal 854 BW) 3.
Golongan III
Merupakan, keluarga sedarah si bapak atau ibu pewaris, yaitu kakek, nenek baik pancer bapak atau ibu dari si pewaris. Dalam hal ini, ahli waris golongan ketiga baru mempunyai hak mewaris, jika ahli waris golongan pertama dan kedua tidak ada sama sekali dengan menyampingkan ahli waris golongan keempat.( Pasal 853:858 BW) 4.
Golongan IV
Merupakan, sanak keluarga dalamgaris ke samping dari si pewaris, yaitu paman, bibi. (Pasal 858 ayat 2 BW) 5. Ahli Waris berdasarkan (Plaatsvervulling / representatie)
Penggantian
Tempat
/ Ahli
Waris
Pengganti
Dalam sistem waris BW tertuju pada pewarisnya itu sendiri, dimana pewarisnya meninggal maka keturunannya berhak untuk mendapat bagiaan ahli waris dari harta yang ditinggalkan pewaris tersebut.
Sistem Pewarisaan Hukum Adat
Yang membedakan dengan pewarisaan BW dengan sistem pewarisaan adat dengan terbaginya sistem pewarisaan hukum adat menjadi 4 bagiaan dengan terdiri dari 1.SistemKeturunan Dilhat dari segi garis keturunan maka perbedaan lingkungan hukum adat itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: a. Sistem Patrilinial (kelompok garis kebapakan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewaris an. Suku-suku yang bergaris keturunan kebapakan antara lain adalah Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa tenggara, Irian b. Sistem Matrilinial (kelompok garis keibuan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewaris an. Suku-suku yang bergaris keturunan ini adalah minangkabau, enggano. c. Sistem Parental atau Bilateral (kelompok garis ibu-bapak)
Sistem yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. Adapun suku yang bergaris keturunan ini adalah Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu
2. Sistem Pewarisan Individual Sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan dan dinikmati.
3.SistemPewarisanKolektif Pengalihan kepemilikan harta peninggalan dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Sedangkan cara pemakaiannya diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan kepala kerabat.
4.Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem pewarisan mayorat sesungguhnya adalah juga merupakan sistem kewarisan kolektif, hanya saja pengalihan harta yang tidak terbagi itu dilimpaahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga. Sistem mayorat ini ada dua macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan yang dianut. Pertama mayoret lelaki yaitu kepemimpinan yang dipegang oleh anak laki-laki tertua seperti berlaku dilingkungan masyarakat adat Lampung. Sedangkan mayorat perempuan yaitu anak tertua perempuan sebagai penunggu harta orang tua seperti berlaku dilingkungan masyarakat adat Semendo Sumatra Selatan.
Sistem Pewarisaan Hukum Islam
Berbeda dengan sistem pewarisaan hukum BW, sistem pewarisaan hukum adat menganut sistem dengan garis keturunaan dimana terdapat patrilitial, matrilitial, parental dan bilateral yang menjadi garis utama dalam pewarisaan dalam sistem pewarisaan hukum adat, didalam BW sistem diatur setelah ahli waris meninggal dengan mendapat harta warisaan mulai dari istri yang ditinggalkan sampai anak, sedangkan dalam sistem pewarisaan hukum adat, pewarisan menganut garis keturunaan setiap suku yang berbeda beda disetiap wil ayah.
Dalam pewarisaan hukum islam, terdapat 6 golongan pembagiaan pewarisaan setiap pewarisaan tersebut terdapat tingkatan yang berbeda-beda dengan perbandingan hukum waris BW dan perbandingan hukum waris adat, dimana dalam hukum waris islam, anak laki-laki mendapat bagiaan yang lebih besar dari anak perempuaan yang sudah diatur didalam Alqur’an, sebagaimana terdapat 6 cir i sistem pembagiaan dalam hukum waris islam yang terdiri dari : 1)
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak lakilaki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah 2)
Ashhabul furudh yang berhak Mendapat Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri
3)
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan
Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain 4)
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga
Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita: 1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih. 2. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih. 3. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih. 4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih. 5) Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga Masalah 'Umariyyatan Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat: ·
Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
· Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu
6)
Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Separoe
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuaan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu. Perbedaan dengan hukum waris BW dan Adat, hukum waris islam membagi harta warisannya dengan apa yang sudah ada didalam Al’qur’an yang mana bagiaan laki laki mendapat bagiaan yang lebih besar dari bagiaan perempuaan.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan adanya aturan-aturan yang telah di nukilkan di dalam KUH-Perdata mengenai hal waris, maka kita dapat menjadikannya sebagai acuan untuk menyelesaikan segala bentuk sengketa waris yang terjadi. Namun bila KUH-Perdata tidak dapat menyelesaikan sengketa waris tersebut, maka dapat di gunakan alternative lain yaitu dengan menggunakan referensi Hukum Agama Islam.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan para pembaca dapat mengetahui perbedaan hukum waris BW denganhukum waris islam. Dan dapat memilih hukum mana yang tepat untuk menentukan pembagian waris anda.
DAFTAR PUSTAKA
http://solafussholeh.blogspot.com/2013/11/pembagian-harta-waris-dalam-islam.html http://jatimmurah.wordpress.com/2012/11/14/sistem-pembagian-waris-menurut-hukumislam-dan-bw-hukum-perdata/ Lihat R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1977, h. 79. Ibid., h. 88. Legitime portie, yaitu: suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Lihat, R. Subekti, Op. Cit., h. 93. R. Subekti,
Op.
Cit.,
h.
94.
Akibat
terpenting
dari
menerima
warisan
secara beneficiaire adalah bahwa kewajiban si waris untuk melunasi hutanghutangnya dan beban-beban lainnya dibatasi sedemikian rupa bahwa pelunasan itu hanyalah dilakukan menurut kekuatan warisan, sehingga si waris itu tidak usah menanggung
pembayaran
hutang-hutang
sendiri. Lihat R. Subekti, Op. Cit ., h. 85-86. [10]
R. Subekti, Op. Cit ., h. 88.
itu
dengan
kekayaan