SEJARAH CSR Sejarah merupakan torehan kejadian masa lampau yang mengungkapkan fenomena realitas sosial yang bisa menjadi kajian menarik dan bermanfaat di masa kini dan mendatang. Dengan memahami sejarah tentang obyek kajian akan bermakna bagi pengungkapan realitas sosial yang lebih obyektif. Corporate Social Responsibility (CSR) Responsibility (CSR) telah ada sejak Abad 17 dan mengalami perkembangan kajian yang mencerminkan dinamika implementatif yang terus mengalami perubahan. Berikut disajikan sejarah singkat CSR dari masa ke masa.
Sejarah CSR Di Tingkat Internasional Tahun 1700-an SM Tanggung Jawab Sosial Korporasi (Corporate Social Responsibility) telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan dalam Kode Hammurabi (1700an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada orangorang yang menyalahgunakan ijin penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain. Perhatian para pembuat kebijakan tentang CSR menunjukkan telah adanya kesadaran bahwa terdapat potensi timbulnya dampak buruk dari kegiatan usaha. Dampak buruk tersebut tentunya harus direduksi sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kemaslahatan masyarakat sekaligus tetap ramah terhadap iklim usaha.
Tahun 1940-an: Pengembangan Masyarakat (Community Development) Development) Secara resmi istilah Comdev dipergunakan di Inggris 1948, untuk mengganti istilah mass education (pendidikan massa). Menurut Hodge, akar munculnya model pengembangan masyarakat (Community ( Community Development) Development) terkait dengan disiplin ilmu pendidikan (education (education). ). Di Amerika Serikat pengembangan masyarakat juga berakar dari disiplin pendidikan di tingkat pedesaan (rural (rural extension program), program), sedangkan di perkotaan mereka mengembangkan organisasi komunitas (community ( community organization) organization) yang bersumber dari ilmu kesejahteraan Sosial yang diawali pada tahun 1873 (http://www.create.or.id/?module=articles&action ). Pengembangan masyarakat merupakan pembangunan alternatif yang komprehensif dan berbasis komunitas yang dapat melibatkan baik oleh Pemerintah, Swasta, ataupun oleh lembagalembaga non pemerintah. Dari segi tujuan bisa bersifat spesifik, tidak selalu multi-tujuan. Beberapa alternatif pendekatan yang pernah terjadi di Amerika Serikat terkait dengan pengembangan masyarakat ini, antara lain: (1) pendekatan komunitas, (2) pendekatan pemecahan masalah, (3) pendekatan eksperimental, (4)
pendekatan konflik kekuatan, (5) pengelolaan sumberdaya alam, dan (6) perbaikan lingkungan komunitas masyarakat perkotaan. Pendekatan komunitas merupakan pendekatan yang paling sering dipergunakan dalam pengembangan masyarakat. Pendekatan ini mempunyai tiga ciri utama (1) basis partisipasi masyarakat yang luas, (2) fokus pada kebutuhan sebagian besar warga komunitas, dan (3) bersifat holistik. Pendekatan ini menaruh perhatian pada kepentingan hampir semua warga. Keunggulan pendekatan ini adalah adanya partisipasi yang tinggi dari warga dan pihak terkait dalam pengambilan keputusan (perencanaan) dan pelaksanaan, serta dalam evaluasi dan menikmati hasil kegiatan bersama warga komunitas. Comdev semakin menjadi kebutuhan tidak saja bagi masyarakat, tetapi juga Comdev semakin perusahaan. Perusahaan bukan lagi merupakan kesatuan yang independen dan terisolasi, sehingga manajer tidak hanya bertanggung jawab kepada pemilik tetapi juga kepada kepentingan yang lebih luas yang membentuk dan mendukungnya dari lingkungan sekitarnya. Dalam mengejar tujuan ekonomisnya, perusahaan menimbulkan berbagai konsekuensi sosial lainnya, baik kemanfaatan (keamanan, kenyamanan, dan kemakmuran kemakmuran bagi masyarakat) maupun biaya sosial (degradasi potensi sumberdaya lingkungan, limbah dan pencemaran). Perkembangan lebih lanjut, konsep Comdev ini mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap CSR.
Tahun 1950-an: CSR MODERN Literatur-literatur awal yang membahas CSR pada tahun 1950-an menyebut CSR sebagai Social Responsibility (SR Responsibility (SR bukan CSR). Tidak disebutkannya kata corporate dalam istilah tersebut kemungkinan besar disebabkan pengaruh dan dominasi korporasi modern belum terjadi atau belum disadari. Menurut Howard R. Bowen dalam bukunya: “Social “Social Responsibility of The Businessman” Businessman” dapat dianggap sebagai tonggak bagi CSR modern. Dalam buku itu Bowen (1953:6) memberikan definisi awal dari CSR sebagai: “… obligation of businessman to pursue those policies, to make those decision or to follow those line of action wich are desirable in term of the objectives and values of our society.” Walaupun judul dan isi buku Bowen bias gender (hanya menyebutkan businessman tanpa mencantumkan businesswoman), sejak penerbitan buku tersebut definisi CSR yang diberikan Bowen memberikan pengaruh besar kepada literatur-literatur CSR yang terbit setelahnya. Sumbangsih besar pada peletakan fondasi CSR tersebut membuat Bowen pantas disebut sebagai Bapak CSR.
Tahun 1960-an Pada tahun 1960-an banyak usaha dilakukan untuk memberikan formalisasi definisi CSR. Salah satu akademisi CSR yang terkenal pada masa itu adalah Keith Davis. Davis dikenal karena berhasil memberikan pandangan yang mendalam atas hubungan antara CSR dengan kekuatan bisnis. Davis mengutarakan “Iron “ Iron Law of Responsibility ” yang menyatakan bahwa tanggung jawab sosial pengusaha sama dengan kedudukan sosial yang mereka miliki (social ( social responsibilities of businessmen need to be commensurate
with their social power ). Sehingga, dalam jangka panjang, pengusaha yang tidak menggunakan kekuasaan dengan bertanggungjawab sesuai dengan anggapan masyarakat akan kehilangan kekuasaan yang mereka miliki sekarang. Kata corporate mulai dicantumkan pada masa ini. Hal ini bisa jadi dikarenakan sumbangsih Davis yang telah menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tanggung jawab sosial dengan korporasi. Tahun 1962, Rachel Carlson menulis buku yang berjudul “Silent Spring”. Buku tersebut dianggap memberikan pengaruh besar pada aktivitas pelestarian alam. Buku tersebut berisi efek buruk penggunaan DDT sebagai pestisida terhadap kelestarian alam, khususnya burung. DDT menyebabkan cangkang telur menjadi tipis dan menyebabkan gangguan reproduksi dan kematian pada burung. Silent Spring juga menjadi pendorong dari pelarangan penggunaan DDT pada tahun 1972. Selain penghargaan Silent Spring juga menuai banyak kritik dan dinobatkan sebagai salah satu ”buku paling berbahaya abad ke-19 dan ke-20” versi majalah Human Events. Tahun 1963, Joseph W. McGuire (1963:144) memperkenalkan istilah Corporate Citizenship. McGuire menyatakan bahwa: “The idea of social responsibilities supposes that the corporation has not only economic and legal obligations but also certain responsibilities to society which extend beyond these obligations”. McGuire kemudian menjelaskan lebih lanjut kata “beyond” dengan menyatakan bahwa korporasi harus memperhatikan masalah politik, kesejahteraan masyarakat, pendidikan, “kebahagiaan” karyawan dan seluruh permasalahan sosial kemasyarakatan lainnya. Oleh karena itu korporasi harus bertindak “baik,” sebagai mana warga negara (citizen) yang baik.
Tahun 1970-an Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED) menerbitkan Social Responsibilities of Business Corporations. Penerbitan yang dapat dianggap sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa kegiatan usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat. CED merumuskan CSR dengan menggambarkannya dalam lingkaran konsentris. Lingkaran dalam merupakan tanggungjawab dasar dari korporasi untuk penerapan kebijakan yang efektif atas pertimbangan ekonomi (profit dan pertumbuhan); Lingkaran tengah menggambarkan tanggung jawab korporasi untuk lebih sensitif terhadap nilai-nilai dan prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan kebijakan mana yang akan diambil; Lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab yang mungkin akan muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalam menjaga lingkungan dan masyarakat. Tahun 1970-an juga ditandai dengan pengembangan definisi CSR. Dalam artikel yang berjudul “Dimensions of Corporate Social Performance”, S. Prakash Sethi memberikan penjelasan atas perilaku korporasi yang dikenal dengan social obligation, social responsibility , dan social responsiveness. Menurut Sethi, social obligation adalah
perilaku korporasi yang didorong oleh kepentingan pasar dan pertimbanganpertimbangan hukum. Dalam hal ini social obligatioan hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja. Social responsibility merupakan perilaku korporasi yang tidak hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja tetapi menyelaraskan social obligation dengan norma, nilai dan harapan kinerja yang dimiliki oleh lingkungan sosial. Social responsivenes merupakan perilaku korporasi yang secara responsif dapat mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat. Social responsiveness merupakan tindakan antisipasi dan preventif. Dari pemaparan Sethi dapat disimpulkan bahwa social obligation bersifat wajib, social responsibility bersifat anjuran dan social responsivenes bersifat preventif. Dimensidimensi kinerja sosial (social performance) yang dipaparkan Sethi juga mirip dengan konsep lingkaran konsentris yang dipaparkan oleh CED.
Tahun 1980-an Era ini ditandai dengan usaha-usaha yang lebih terarah untuk lebih mengartikulasikan secara tepat apa sebenarnya corporate responsibility . Walaupun telah menyinggung masalah CSR pada 1954 , Empu teori manajemen Peter F. Drucker baru mulai membahas secara serius bidang CSR pada tahun 1984 , Drucker (1984:62) berpendapat: ”But the proper ‘social responsibility’ of business is to tame the dragon, that is to turn a social problem into economic opportunity and economic benefit, into productive capacity, into human competence, into well-paid jobs, and into wealth”. Dalam hal ini, Drucker telah melangkah lebih lanjut dengan memberikan ide baru agar korporasi dapat mengelola aktivitas CSR yang dilakukannya dengan sedemikian rupa sehingga tetap akan menjadi peluang bisnis yang menguntungkan. Tahun 1987, Persatuan Bangsa-Bangsa melalui World Commission on Environment and Development (WECD) menerbitkan laporan yang berjudul “Our Common Future” – juga dikenal sebagai Brundtland Report untuk menghormati Gro Harlem Brundtland yang menjadi ketua WECD waktu itu. Laporan tersebut menjadikan isu-isu lingkungan sebagai agenda politik yang pada akhirnya bertujuan mendorong pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih sensitif pada isu-isu lingkungan. Laporan ini menjadi dasar kerjasama multilateral dalam rangka melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Tahun 1990-an Earth Summit dilaksanakan di Rio de Janeiro pada 1992. Dihadiri oleh 172 negara dengan tema utama Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan. Menghasilkan Agenda 21, Deklarasi Rio dan beberapa kesepakatan lainnya. Hasil akhir dari pertemuan tersebut secara garis besar menekankan pentingnya eco-efficiency dijadikan sebagai prinsip utama berbisnis dan menjalankan pemerintahan.
CSR di Indonesia
Di antara negara-negara di Asia, penetrasi aktivitas CSR di Indonesia masih tergolong rendah. Pada tahun 2005 baru ada 27 perusahaan yang memberikan laporan mengenai aktivitas CSR yang dilaksanakannya. Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen sejak tahun 2005 mengadakan Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA). Secara umum ISRA bertujuan untuk mempromosikan voluntary reporting CSR kepada perusahaan di Indonesia dengan memberikan penghargaan kepada perusahaan yang membuat laporan terbaik mengenai aktivitas CSR. Kategori penghargaan yang diberikan adalah Best Social and Environmental Report Award, Best Social Reporting Award, Best Environmental Reporting Award , dan Best Website. Pada Tahun 2006 kategori penghargaan ditambah menjadi Best Sustainability Reports Award, Best Social and Environmental Report Award, Best Social Reporting Award, Best Website, Impressive Sustainability Report Award, Progressive Social Responsibility Award , dan Impressive Website Award . Pada Tahun 2007 kategori diubah dengan menghilangkan kategori impressive dan progressive dan menambah penghargaan khusus berupa Commendation for Sustainability Reporting: First Time Sutainability Report. Sampai dengan ISRA 2007 perusahaan tambang, otomotif dan BUMN mendominasi keikutsertaan dalam ISRA. Perkembangan program CSR di Indonesia dimulai dari sejarah perkembangan PKBL. Pembinaan usaha kecil oleh BUMN dilaksanakan sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang tata cara pembinaan dan pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Pada saat itu, biaya pembinaan usaha kecil dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dengan terbitnya keputusan Menteri Keuangan No.:1232/KMK.013/1989 tanggal 11 Nopember 1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha Milik Negara, dana pembinaan disediakan dari penyisihan sebagian laba sebesar 1%-5% dari laba setelah pajak. Nama program saat itu lebih dikenal dengan Program Pegelkop. Pada Tahun 1994, nama program diubah menjadi Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (Program PUKK) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.:316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Keciln dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara. Memperhatikan perkembangann ekonomi dan kebutuhan masyarakat, pedoman pembinaan usaha kecil tersebut beberapa kali mengalami penyesuaian, yaitu melalui Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembina BUMN No.: Kep-216/MPBUMN/1999 tanggal 28 September 1999 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN, Keputusan Menteri BUMN No.: Kep-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, dan terakhir melalui Peraturan Menteri Negara BUMN No.: Per05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Pembinaan usaha kecil yang dilakukan BUMN ini tidak terlepas dari beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu sebagai berikut.
a. Peraturan Pemerintah Nomor Pengembangan Usaha Kecil.
32
Tahun
1998
tentang
Pembinaan
dan
Penjelasan Pasal 16; Lembaga pembiayaan menyediakan dukungan modal untuk pembinaan dan pengembangan usaha kecil antara lain meliputi skim modal awal, modal bergulir, kredit usaha kecil, kredit program dan kredit modal kerja usaha kecil, kredit kemitraan, modal ventura, dana dari bagian laba Badan Usaha Milik Negara, anjak piutang dan kredit lainnya b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Pasal 2: Salah satu tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Pasal 88 ayat (1): BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (lihat uraian di bawah).
Pengaturan dan Pelaksanaan CSR di Indonesia 1. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Ketentuan UU ini yang berkaitan dengan CSR adalah sebagai berikut: o
o
o
o
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan (Pasal 6:1). Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 6:2). Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan (Pasal 16:1). Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (Pasal 17:1).
2. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-undang ini banyak mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab perusahaan terhadap konsumennya. Perlindungan konsumen ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran corporate tentang pentingnya kejujuran dan tanggung jawab dalam perilaku berusaha. Hal-hal lain yang diatur di sini adalah larangan-larangan pelaku usaha, pencantuman klausula baku dan tanggung jawab pelaku usaha.
3. UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Beberapa ketentuan UU ini yang berkaitan dengan CSR adalah sebagai berikut. o
Setiap penanam modal berkewajiban (Pasal 15):
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
o
menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal;
Yang dimaksud dengan "tanggung jawab sosial perusahaan" adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat (penjelasan pasal 15 Huruf b).
Setiap penanam modal bertanggung jawab (Pasal 16)
menjaga kelestarian lingkungan hidup;
menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; … Pasal 34: (1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pengaturan-pengaturan di atas, kewajiban dan tanggung jawab perusahaan bukan hanya kepada pemilik modal saja, melainkan juga kepada karyawan dan keluarganya, konsumen dan masyarakat sekitar, serta lingkungan hidup.
4. UU NO. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas Undang-undang ini diundangkan secara resmi pada tanggal 16 Agustus 2007. Ketentuan dalam Pasal 74 ayat (1): Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. o
o
o
Bagi BUMN yang sudah melakukan alokasi biaya untuk bina wilayah atau yang sejenis sebelum diterbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT), maka dalam pelaksanaannya agar dilakukan sesuai dengan mekanisme korporasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Bagi BUMN yang sumber dana program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL)-nya berasal dari penyisishan laba, maka tetap melaksanakan PKBL sesuai dengan alakosi dana yang disetujui RUPS. Bagi BUMN yang sumber dana program kemitraan dan/atau bina lingkungan (PKBL)nya dibebankan/menjadi biaya perusahaan sebagai pelaksanaan Pasal 74 UUPT, maka dalam pelaksanaannya agar tetap berpedoman pada peraturan menteri Negara BUMN No: Per-05/MBU/2007, sampai adanya penetapan lebih lanjut dari menteri Negara BUMN.
Selengkapnya tentang Pasal 74 UU No. 40 tahun 2007 tersebut adalah sebagai berikut: Bab V – Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pasal 74: (1)
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan L ingkungan.
(2)
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebag ai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhitungkan kepatutan dan kewajaran.
(3)
Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Bunyi Pasal 21 UU No. 20 Tahun 2008:…..Badan Usaha Milik Negara dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya. PKBL merupakan Program Pembinaan Usaha Kecil dan pemberdayaan kondisi lingkungan oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Jumlah penyisihan laba untuk pendanaan program maksimal sebesar 2% (dua persen) dari laba bersih untuk Program Kemitraan dan maksimal 2% (dua persen) dari laba bersih untuk Program Bina Lingkungan (CSR). Ketentuan UU inilah yang dijadikan dasar bagi penataan tentang pemanfaatan CSR di Indonesia.
6. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 15 April 2009 Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya 15 April 2009 menolak gugatan uji material oleh Kadin terhadap pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) mengenai kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) bagi perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam. Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, maka lebih baik kita melihat dari sisi positifnya, yaitu sinergi antara pasal PJSL dengan UU Pajak Penghasilan 36/2008 (UU PPh) pasal 6 ayat 1 huruf a yang sekarang memberlakukan beberapa jenis sumbangan sosil sebagai biaya, yaitu. •
•
•
•
•
•
Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan; Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; Biaya pembangunan infrasrtuktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah:dan Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan komitmen perusahaan untuk membangun kualitas kehidupan yang lebih baik bersama dengan para pihak yang terkait, utamanya masyarakat di sekelilingnya dan lingkungan sosial dimana perusahaan tersebut berada, yang dilakukan terpadu dengan kegiatan usahanya secara berkelanjutan. Sayangnya, masih ada perusahaan yang mempersepsi CSR sebagai bagian dari biaya atau tindakan reaktif untuk mengantisipasi penolakan masyarakat dan lingkungan. Beberapa perusahaan memang mampu mengangkat status CSR ke tingkat yang lebih tinggi dengan menjadikannya sebagai bagian dari upaya brand building dan peningkatan corporate image. Namun upaya-upaya CSR tersebut masih jarang yang dijadikan sebagai bagian dari perencanaan strategis perusahaan. Masyarakat kini telah semakin well informed , dan kritis serta mampu melakukan filterisasi terhadap dunia usaha yangg tengah berkembang. Hal ini menuntut para pengusaha untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggung-jawab. Pengusaha tidak hanya dituntut untuk memperoleh capital gain atau profit dari kegiatan usahanya, melainkan mereka juga diminta utk memberikan kontribusi baik materiil maupun spirituil kepada masyarakat dan pemerintah sejalan dengan aturan yang berlaku.
CSR di Jawa Timur Pelaksanaan CSR di Propinsi Jawa Timur telah berkembang dengan baik, dan telah memberikan kontribusi nyata bagi pelaksanaan pembangunan di wilayah Jawa Timur. Sejauh ini penyelenggaraan CSR di Jawa Timur belum teridentifikasi dengan baik, baru tahun 2009 Bappeprov Jatim mulai melakukan penelitian tentang program kemitraan (PK) dan Bina Lingkungan (BL) atau PKBL. Bina lingkung (BL) dimaknai oleh BUMN sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk atau motif penyelenggaraan kegiatan CSR atau bina lingkungan yang dilakukan perusahaan sangat beragam, antara lain sebagai berikut. o
Kepedulian terhadap pelanggan
o
Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui pendidikan formal dan informal
o
Mengembangkan Green Environment
o
Peningkatan kesadaran Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
o
o
Memberikan dukungan dalam pengembangan komunitas dan lingkungan sosial ekonomi Bentuk-bentuk kegiatan strategis lainnya yang sesuai dengan pengembangan perusahaan.
Namun demikian, dengan tidak mengurangi sisi positif dari kegiatan CSR yang telah berjalan, seringkali pelaksanaan di lapangan masih tumpang tindih (overlapping), kurang tepat sasaran, dan tidak berkelanjutan. Bahkan banyak kita lihat belum adanya konvergensi perencanaan dan pelaksanaan antara program pemerintah dengan agenda kegiatan CSR perusahaan. Oleh karenanya, perlu dirumuskan suatu kebijakan
efektivitas pemanfaatan CSR yang akan dijadikan acuan penyelenggaraan CSR di Jawa Timur. Hal ini mempertimbangkan prioritas program pembangunan di Jawa Timur dalam pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, dan pengembangan UMK yang memerlukan adanya kebijakan pendukung dalam upaya efektivitas pemanfaatan CSR di Jawa Timur. Beberapa perkembangan penting tentang pelaksanaan CSR di Jawa Timur adalah sebagai berikut.
1. Pembentukan Bidang Pembiayaan Pembangunan Di Bappeda Provinsi Jawa Timur per Januari 2009 Pembentukan Bidang Pembiayaan Pembangunan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasikan berbagai peluang pendanaan di luar APBD Provinsi. Bidang pembiayaan pembangunan ini mempunyai Tupoksi untuk mencari terobosan sumber dana di luar APBD untuk pembiayaan pembangunan di Jawa Timur. Sumber pembiayaan di maksud dapat berupa kerjasama dengan luar negeri, berasal dari corporate, NGO, perorangan, dompet amal, dan sejenisnya.
2. Penyelenggaraan Riset tentang PKBL/CSR melalui Kerjasama Pemprov Jatim dengan Perguruan Tinggi dan NGO yang dilakukan sejak Tahun 2009 Riset yang telah dilakukan Bappeda Provinsi Jawa Timur tahun 2009 tersebut di antaranya telah melibatkan Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang dengan judul-judul sebagai berikut. o
o
Penelitian Pertama: “Survey Partisipasi Dunia Usaha Dalam Rangka Menunjang Pembiayaan Pembangunan Daerah”. Penelitian Kedua: “Penyusunan Strategi Kebijakan Efektivitas Pemanfaatan Corporate Social Responsibiliti (CSR) Untuk Kinerja Pembangunan Daerah.
3. Pembentukan Sekretariat Tetap (Sektap) PKBL/CSR Jawa Timur per April 2009 Sekretariat Tetap yang telah dilaksanakan per April 2009, terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: (1) Dinas (SKPD) yang terkait, (2) Perguruan Tinggi, (3) NGO, dan (4) Corporate. Sekretariat Tetap ini sebagai Tim Teknis yang berfungsi untuk mengelola sistem informasi PKBL/CSR di Provinsi Jawa Timur. Sektap ini bertugas menggali, menampung, memproses data dalam sistem informasi yang akan memperlancar proses penyelenggaraan PKBL/CSR di Jawa Timur. Pemberian informasi ini ditujukan pada semua pihak utamanya pelaku penyelenggara PBKL/CSR dan masyarakat sasaran pemanfaat PKBL/CSR.
4. Pembentukan Forum PKBL/CSR per 18 Januari 2010 Forum PKBL/CSR ini dibentuk oleh Bappeda untuk melakukan koordinasi, sharing informasi dan sinkronisasi dalam upaya pengintegrasian program agar lebih konvergen antara program pemerintah dengan corporate penyelenggara PKBL/CSR. Forum yang telah terbentuk ini telah menjembatani terselenggaranya penandatanganan atau MoU antara Gubernur dengan corporate tentang penyelenggaraan PKBL/CSR di Jawa Timur. Penandatanganan ini kesepakatan ini telah dilaksanakan di Ngawi yang disaksikan oleh Presiden RI Bapak D. Soesilo
Bambang Yudoyono. Adapun penyelenggara PKBL/CSR yang terlibat dalam penandatangan MoU dengan Gubernur Jatim ini sebanyak 14 Corporate.
HASIL RISET (KERJASAMA BAPPEDA PROVINSI JATIM DENGAN LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS NEGERI MALANG) PENELITIAN PERTAMA: “Survey Partisipasi Dunia Usaha Dalam Rangka Menunjang Pembiayaan Pembangunan Daerah”, menemukan bukti-bukti yang dapat disimpulkan sebagai berikut. a. Bidang dan Jenis Usaha Korporasi dan UMK Bidang usaha korporasi dan UMK yang melakukan kerjasama kemitraan umumnya sesuai dengan arah kebijakan pengembangan program jangka panjang Jawa Timur sebagai pusat agribisnisnis terkemuka, berdaya saing dan berkelanjutan. Bentuk badan usaha korporasi umumnya berpentuk PT dan Perorangan/UD, sedangkan UMK sebagian besar berbentuk Perorangan, sebagian lain tidak berbadan hukum. b. Mekanisme Pelaksanaan Kerjasama Kemitraan dengan UMK Mekanisme kerjasama kemitraan berawal dari identifikasi mitra, seleksi UMK mitra, pembuatan MoU, pembinaan UMK, technical assistance, pendampingan dan Monev. Namun pihak UMK umumnya memandang MoU sebagai hal yang tidak terlalu penting. Pembinaan UMK, technical assistance, pendampingan dan Monev dilakukan oleh pihak korporasi sebagai upaya untuk menjamin bahwa proses produksi yang dilakukan oleh UMK akan menghasilkan produk yang sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan oleh korporasi. Hal ini memberikan manfaat: Pertama, merupakan pembinaan terhadap peningkatan kemampuan UMK dalam kegiatan usahanya; Kedua, memberikan jaminan bagi pihak korporasi terhadap keberlangsungan usahanya (safety play ). c. Bidang dan Pola-pola Kerjasama Kemitraan dengan UMK Sebagian besar korporasi dan UMK melakukan kerjasama kemitraan dengan UMK dalam bidang produksi, dengan pola kemitraan intiplasma yang dilakukan melalui kemitraan antara dan kemitraan awal. Kondisi ini menggambarkan bahwa UMK belum didukung sumberdaya yang memadai. d. Kapasitas Kegiatan: Cakupan dan Besaran Nilai Kontrak Kerjasama Kemitraan dengan UMK Jumlah korporasi sampel yang telah melakukan kerjasama kemitraan dengan UMK di Jawa Timur sebanyak 148 korporasi. Secara kumulatif jumlah mitranya sebesar 67.050 UMK, yang meliputiyang meliputi bidang pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan, food and baverage, perdagangan, manufaktur, pertambangan, industri kimia, tekstil, produk tekstil dan kerajinan. Nilai kerjasama kemitraan (kontrak dan non kontrak) sebesar Rp 3.430.187.479.650,. UMK yang melakukan kontrak, mengalami peningkatan nilai kontrak dari tahun ke tahun. e. Kapabilitas: Aspek Output Produksi, Pemasaran, Keuangan/laba, dan Manajeme n SDM Dari aspek output produksi, sebagian besar korporasi yang melakukan kerjasama kemitraan bermanfaat terhadap peningkatan output dan efisiensi biaya produksi; Dari aspek pemasara, relatif dapat meningkatkan luasan segmen pasar dan pangsa pasar; Dari aspek keuangan dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi, daya saing dan peningkatan laba korporasi; Dari aspek SDM dapat meningkatkan efisiensi manajemen SDM, dan mengurangi konflik SDM Bagi UMK, dari aspek output kerjasama kemitraan dengan korporasi dapat meningkatkan output produksi; Dari aspek pemasaran dapat meningkatkan omset dan asset; Dari aspek keuangan
dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi dan laba; Dari aspek SDM dapat meningkatkan kualitas SDM dan ketrampilan manajerial. f.
Strategi Pelaksanaan Kerjasama Kemitraan dengan UMK
Strategi korporasi dalam melaksanakan kerjasama dengan UMK umumnya dilakukan secara tersentralisasi, sebagian kecil secara desentralisasi, dan sebagian lagi kombinasi keduanya. Hal ini menunjukkan korporasi lebih menekankan pada kemudahan pengendalian dan efisiensi manajemen. Strategi UMK dalam menjalin kemitraan dilakukan melalui pengajuan proposal dan atau menjaga mutu dan kuantitas produk. Hanya sebagian kecil yang melakukannya melalui pameran produk. Hal ini menunjukkan bahwa UMK dituntut untuk proaktif mencari peluang dan mampu menjaga pencitraan melalui kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkannya. g. Keberlanjutan Kerjasama Kemitraan Keberlanjutan kerjasama korporasi dengan UMK sebagian besar didasarkan pertimbangan frekuensi kerjasama, dan sebagian kecil lainnya karena pengaruh jangka waktu kontrak yang disepakati. Sebagian besar kerjasama bersifat kooperatif (tidak saling menggantungkan), sebagian kecil lainnya lebih bersifat obligat (adanya saling ketergantungan). Kondisi ini menggambarkan bahwa kerjasama kemitraan yang terjalin selama ini sebagian besar belum memberikan jaminan keberlanjutan di masa mendatang. h. Permasalahan yang Dihadapi Korporasi atas Kemitraan dengan UMK Sebagian besar korporasi maupun UMK menyatakan hambatan yang dihadapi dalam kemitraan relatif sangat kecil dan bisa diatasi. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing pihak mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama. i.
Kebutuhan dan Harapan Keberlanjutan Kerjasama Kemitraan
Hampir keseluruhan korporasi dan UMK sepakat untuk melanjutkan kerjasama kemitraan dengan syarat kondisi daya serap pasar, kontinyuitas pasokan produk, serta kualitas produk yang dihasilkan UMK. Adapun syarat yang diajukan UMK adalah kelancaran pembayaran, dan transfer tehnologi secara berkelanjutan dari korporasi.
Rekomendasi Hasil penelitian Berdasarkan temuan potensi, permasalahan dan harapan pelaku kerjasama Pemprov Jawa Timur perlu menciptakan iklim kondusif melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak pada penumbuhkembangan kerjasama kemitraan dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Membentuk Forum Kemitraan Usaha (FKU) Jatim yang berperan sebagai mediator, fasilitator, motivator, akselerator, dan sumber informasi bagi pelaku kerjasama kemitraan. FKU ini merupakan forum independen yang difasilitasi oleh Pemprov yang terdiri dari unsur-unsur birokrat, pelaku usaha (praktisi), akademisi, dan NGO. Forum ini juga perlu dibentuk di tingkat daerah oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang fungsinya sebagai ’kepanjangan tangan’ FKU Propinsi Jatim. 2. FKU Jatim bekerjasama dengan FKU Kota/Kabupaten melakukan mapping potensi dan permasalahan usaha mikro-kecil dan usaha menengah-besar yang melaksanakan kerjasama kemitraan secara menyeluruh di Jawa Timur. Mensosialisasikan hasil mapping kepada korporasi menengah-besar (termasuk BUMN) dalam upaya penggalian sumber dana lunak dari berbagai sumber 3. FKU melibatkan multi stake holders di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, yang terdiri atas unsur birokrat, pelaku usaha (praktisi), akademisi, dan NGO, menyusun platform sistem agribisnis. Sistem yang dibangun ini akan menjadi acuan stake holders untuk mengambil peran pada subsistem sesuai dengan Tupoksinya. 4. Pemprov Jatim menciptakan suasana kondusif yang memungkinkan usaha mikro-kecil (UMK) dapat mengoptimalkan potensinya, sehingga kerjasama kemitraan yang terjalin dengan usaha
menengah-besar (korporasi) terlaksana secara berkesinam-bungan dengan mengedepankan nuansa kesetaraan dan saling membesarkan. Untuk itu diharapkan agar penciptaan suasana kondusif tersebut lebih difokuskan pada 4 hal pokok, yaitu: a) Aspek permodalan, yang bisa dilakukan dalam bentuk pembenahan sistem jaminan kredit diluar ketentuan bank teknis, meningkatkan penyelenggaraan kredit dana bergulir dengan syarat lunak (6%) dan peningkatan baik jumlah maupun layanannya. Hal ini dapat dilaksanakan melalui koordinasi yang padu dengan BUMN yang mempunyai dana bergulir (PKBL); b) Aspek pemasaran, yang bisa dilakukan dalam bentuk penggalakan pameran produk UMK, baik dalam maupun luar negeri. Pameran luar negeri diperuntukkan bagi UMK yang mempunyai prospek yang baik di bidang ekspor. Selain itu Pemprov diharapkan memfasilitasi pembentukan dan pengembangan jaringan usaha pada skala komoditas yang sama atau terkait; c) Aspek SDM, yang dapat dilakukan dengan meningkatkan upaya pendampingan berupa pemberian bimbingan teknis (Bintek) kewirausahaan. d) Aspek Informasi dan komunikasi, yang dapat dilakukan dengan membangun sistem informasi agribisnis yang berbasis ICT. 5. Pemberian penghargaan terhadap pelaku kerjasama kemitraan yang mempunyai kinerja baik, spesifik, dan mempunyai nilai kemanfaatan yang tinggi bagi pelaku kerjasama kemitraan. Penghargaan ini menjadi bagian penting dalam upaya menumbuh-kembangkan kemitraan di kalangan usaha menengah-besar dengan mikro-kecil di Jawa Timur.
PENELITIAN KEDUA: “Penyusunan Strategi Kebijakan Efektivitas Pemanfaatan Corporate Social Responsibiliti (CSR) Untuk Kinerja Pembangunan Daerah”. Temuan penelitian kedua ini adalah sebagai berikut. 1. Bidang, Jenis, dan Lingkup Korporasi Penyelenggara CSR di Jawa Timur a. Bidang Usaha Jenis bidang usaha korporasi penyelenggara CSR cukup bervariasi yaitu terdiri atas 13 bidang usaha. Urutan berdasarkan besarnya persentase, ke-13 bidang usaha tersebut antara lain manufaktur (22.22%), perkebunan (16.67%), tekstil dan produk tekstil (13.89%), perikanan (9.72%), food and beverage (8,33%), pertambangan (8.33%), perdagangan (6.94%), industri kimia (4,17%), peternakan, pertanian, dan kunstruksi/real estate masing-masing 2.78%, dan otomotif (1.39%). Dilihat dari besarnya nilai CSR yang telah dilaksanakan oleh korporasi terhadap kelompok sasaran, bidang usaha agribisnis sebesar Rp. 369,171,264,500,-Jika dikaitkan dengan bidang perdagangan nilainya sebesar Rp. 372,638,961,373,- atau sebesar 89.09%. Berdasarkan temuan ini dapat dikemukakan bahwa strategi menempatkan agribisnis sebagai fokus pengembangan ekonomi di Jawa Timur merupakan satu pilihan yang sangat tepat dan perlu didukung oleh semua pihak.
b. Jenis Badan Usaha Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa sebagian besar bentuk badan usaha dari pelaku kerjasama kemitraan adalah PT (korporasi 47.1%), dan dalam bentuk CV 24.3%. Selebihnya perseorangan (21.4%) dan koperasi (7.1%). Badan usaha PT yang menyelenggarakan CSR merupakan badan usaha dari korporasi sampel penyelenggara CSR yang terbanyak jumlahnya. PT biasanya dipilih karena pertimbangan kemudahan memperoleh dana, dan resiko usaha yang sebatas modal
yang disertakan. Bentuk badan usaha Firma tidak ditemui pada jenis badan usaha yang menyelenggarakan CSR. Berdasarkan ketentuan UU No 40 Tahun 2007 Pasal 74 ayat (1) : Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Realisasi Undang-Undang ini belum sepenuhnya dilaksanakan secara proposional oleh korporasi yang usahanya mengeksploitasi sumber daya alam. Untuk itu, perlu penjabaran lebih lanjut tentang kebijakan dan peraturan yang lebih operasional berkaitan dengan masalah penyelenggaraan CSR.
c. Lingkup Operasional Berdasarkan lingkup operasional korporasi penyelenggara CSR sampel, diperoleh data bahwa sebagian besar (46,67%) korporasi yang bergerak pada lingkup domestik. Sebanyak 25,33% merupakan korporasi multinasional, dan 22,67% adalah korporasi internasional. Sedang sisanya sebanyak 5.33% merupakan korporasi global/transnasional. Berdasarkan data tersebut, korporasi penyelenggara CSR sebagian besar (53,37%) pada dasarnya adalah korporasi yang bergerak di bidang ekspor. Melalui CSR dapat dilakukan penciptaan kondisi yang kondusif guna menjaga core competences-nya. Jika sustainable of supply dapat dilakukan dengan baik, maka perusahaan yang bergerak dalam kegiatan ekspor akan survive dalam pasar, dan hal ini akan menjadi kunci penting dalam memenangkan persaingan.
2. Strategi dan Latar Belakang Penyelenggaraan CSR a. Strategi Penyelenggaraan CSR Strategi penyelenggaraan CSR umumnya (85.90%) adalah dilaksanakan sendiri oleh korporasi. Sedangkan sebanyak 11.54% diserahkan pada agen swasta, dan sisanya 2.56% diserahkan pada agen pemerintah. Korporasi umumnya menyelenggarakan sendiri kegiatan CSR dengan pertimbangan kepentingan dan pengkondisian lingkungan sasaran yang lebih baik, terencana, terkoordinasi, dan memudahkan pelaksanaan Monev dan tindak lanjut program CSR. Dengan melaksanakan sendiri, diharapkan terjalinnya hubungan yang semakin baik antara korporasi dengan masyarakat lingkungan yang menjadi sasasaran CSR.
b. Latar Belakang Penyelenggaraan CSR Penyelenggaraan CSR dilatarbelakangi oleh beberapa hal, di antaranya: 1) Tanggung jawab sosial perusahaan, mayoritas (98.6%) korporasi yang menyelenggarakan CSR menyatakan dilatarbelakangi oleh rasa tanggung jawab sosial terhadap lingkungannya; 2) Peraturan perundang-undangan, diperoleh bukti bahwa 38.6% korporasi yang menyelengarakan CSR dilatarbelakangi atau dimotivasi oleh adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan 18.5% penyelenggaraan CSR dilatarbelakangi di luar ketentuan Undang-Undang. Sisanya sebesar 48.6% menyatakan tidak menentukan sikap. 3) Tanggung jawab moral korporasi, secara umum ( 87.1%) korporasi yang menyelenggarakan CSR dimotivasi oleh rasa tanggung jawab moral, sebagai wujud implementasi bisnis yang beretika. Penerapan CSR mencakup tata kelola perusahaan beretika, seyogyanya bisa dimulai sejak bisnis pada skala UMK, sehingga saat berkembang besar tinggal meneruskan atmosfir praktek bisnis berorientasi CSR. 4) Kegiatan promosi & image building, secara umum (82.9%) korporasi menyatakan bahwa penyelenggaraan CSR oleh korporasi sekaligus dimaksudkan sebagai kegiatan promosi atau membangun pencitraan publik. 5) Pengamanan asset, sebagian besar (57.2%) menyatakan bahwa penyelenggaraan CSR dimaksudkan untuk mengamankan asset atau kekayaan korporasi dari gangguan atau berbagai hal yang muncul dari lingkungan tempat korporasi berada.
3. Mekanisme Penyelenggaraan CSR Mekanisme penyelenggaraan CSR sebagian besar dilakukan melalui tahapan identifikasi seleksi sasaran CSR (dilakukan oleh 84.29% korporasi sampling). Perencanaan kegiatan CSR juga dilakukan oleh sebagian (41.43%) korporasi sampling. Selain itu, korporasi yang mengimplementasikan kegiatan CSR sebanyak 62.86% korporasi sampling. Kegiatan technical
assistance dilakukan oleh sebanyak 24.29% korporasi sampling. Kegiatan monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan CSR masing-masing dilaksanakan oleh 42.86% dan 32.86% korporasi sampling. Sebesar 21.43% korporasi mempunyai rencana tindak lanjut dari mekanisme penyelenggaraan CSR.
4. Bidang dan Pola Penyelenggaraan CSR a. Bidang Pembinaan yang Dilaksanaan Korporasi Bidang pembinaan yang dilaksanaan korporasi mencakup dua hal pokok yaitu pembinaan UEP dan pembinaan sosial kemasyarakatan. Bidang pembinaan UEP sebagian besar dalam bidang keuangan yaitu sebesar 32.56%. Urutan kedua adalah bidang produksi sebesar 26.74% kemudian bidang tenaga kerja sebesar 10.47%, bidang pemasaran sebesar 16.28% dan disusul bidang manajemen se besar 6.98%. Pembinaan bidang sosial kemasyarakatan meliputi bidang pendidikan, kesehatan, keagamaan, seni budaya, kepemudaan dan oleh raga. Bidang pembinaan sosial kemasyarakatan yang mempunyai porsi paling banyak (37,40%) yaitu bidang keagamaan, dan sebesar 22,70% dalam bidang pendidikan. Bidang kepemudaan dan olah raga sebesar 16.76%, bidang kesehatan sebesar 14.59% dan bidang seni budaya sebesar 8.65%. Sisanya sebanyak 16.76% korporasi sampling melakukan pembinaan sosial kemasyarakatan dalam bidang lainnya. Keberadaan bidang keagamaan ini semakin menguatkan bahwa nuansa charity selama ini lebih dominan dibandingkan pemberdayaan. Hal ini akan membawa akibat bahwa CSR tidak akan berdampak signifikan terhadap kegiatan UEP.
b. Pola Penyelenggaraan CSR Pola penyelenggaraan CSR umumnya (70%) berbentuk charity , selebihnya pola penyelenggaraan CSR yang bernuansa pemberdayaan sebesar 30%. Pola penyelenggaraan berbentuk charity ini akan berdampak pada perilaku dan pemanfaatan dana CSR oleh kelompok sasaran penerima CSR.
5. Kapasitas Penyelenggaraan CSR Jumlah korporasi sampel yang menyelenggarakan CSR di Jawa Timur sebanyak 70 korporasi. Nilai CSR yang telah dilaksanakan oleh korporasi terhadap kelompok sasaran sebesar 418,291,214,191. Nilai penyelenggaraan CSR yang terbesar diselenggarakan oleh korporasi yang bergerak di bidang usaha perkebunan sebesar Rp 368.077.664.500,- (88%). Terbesar kedua adalah bidang usaha manufaktur sebesar Rp 36.048.978.000,- (8.62%), dan industri kimia sebesar Rp 8.544.086.500,00 (2,04%), dan Sisanya bidang kerajinan (lainnya) sebanyak 11.608.925.318,00 (2,78%). Perkebunan mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap kegiatan CSR. Korporasi di bidang perkebunan ini umumnya membutuhkan lingkungan yang aman, melibatkan tenaga kerja yang cukup besar, sehingga mempunyai kontribusi yang terbesar dalam hal nilai CSR yang dikucurkannya.
6. Kapabilitas Pelaksana CSR a.
b. c. d.
Kapabilitas Pelaksana CSR meliputi empat aspek, yaitu. Sebagian besar (70%) korporasi penyelenggara CSR mampu mencapai tujuan program CSR secara akurat sesuai dengan keinginan korporasi. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kesungguhan dari korporasi untuk melaksanakan CSR. Pelaksanaan program CSR yang telah dilaksanakan korporasi sebagian besar (71.4%) dapat dipertanggung-jawabkan atau akuntabel. Pelaksanaan program CSR umumnya (77.1%) terselenggara secara transparan, hanya sebagian kecil (5.7%) pelaksanaan program CSR oleh korporasi dinilai kurang transparan. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan CSR umumnya (82.9%) tergolong tinggi. Apresiasi masyarakat biasanya diwujudkan dalam bentuk dukungan terhadap program CSR yang dirasakan
mempunyai benefiditas yang tinggi. Jika masyarakat sasaran CSR telah merasakan manfaat tersebut, biasanya diikuti oleh peningkatan partisipasi masyarakat.
7. Keberlanjutan Program CSR a. Tingkat Kesesuaian Program CSR Tingkat kesesuaian program CSR meliputi: 1) Kesesuaian program CSR dengan program pemerintah, secara umum (70%) tergolong memiliki tingkat kesesuaian yang sangat tinggi. Dalam praktiknya CSR lebih diorientasikan pada aspek sosial. Di masa mendatang program pemerintah tentang CSR sebaiknya lebih diorientasikan pada recovery sumber daya alam yang telah dieksp lorasi oleh korporasi. 2) Secara umum (92.8%) korporasi menyatakan bahwa terdapat kesesuaian yang sangat tinggi antara program CSR dengan nilai/norma di masyarakat. Kesesuaian program CSR dengan nilai/norma masyarakat sangatlah tinggi dan dipersepsi sama oleh sebagian besar korporasi. 3) Sebagian besar (92.9%) korporasi menyatakan bahwa penyelenggaraan program CSR dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. CSR sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan juga dibutuhkan oleh korporasi. Kedua belah pihak saling membutuhkan untuk kepentingan yang berbeda. b. Tingkat Kemanfaatan Program CSR Tingkat kemanfaatan program CSR bisa dilihat dari tiga sisi berikut. 1) Bagi korporasi, umumnya (85.7%) menyatakan bahwa penyelenggaraan program CSR memiliki tingkat manfaat yang sangat tinggi bagi korporasi, hanya 1.4% korporasi yang menyatakan program CSR tidak bermanfaat bagi korporasi. Hal ini mengisaratkan bahwa korporasi akan selalu berupaya meningkatkan penyelenggaraan CSR di masa mendatang. 2) Bagi pemerintah, umumnya (81.4%) korporasi menyatakan bahwa penyelenggaraan program CSR sangat bermanfaat bagi pemerintah dan hanya sebagian kecil (4.3%) korporasi yang menyatakan penyelenggaraan program CSR tidak bermanfaat bagi pemerintah. 3) Bagi masyarakat, umumnya (98.6%) korporasi menyatakan bahwa penyelenggaraan program CSR sangat bermanfaat bagi masyarakat. Meskipun dalam praktiknya masih ditemui beberapa permasalahan dan kendala. c. Tingkat Kerumitan Program CSR Berdasarkan data di Bab IV, mayoritas korporasi (47.1%) menyatakan bahwa tingkat kerumitan program CSR rendah dengan kata lain bahwa penyelenggaraan program CSR mudah, namun sebesar 20% korporasi menyatakan tingkat kerumitan program CSR tinggi. Korporasi yang mempersepsi kemuritan CSR tinggi, bisa jadi karena belum matangnya perencanaan yang dibuat oleh korporasi yang bersangkutan. Masalah yang sering muncul yang di hadapi korporasi antara lain. 1) Terdapat kesenjangan antara kemampuan pengelolaan administrasi masyarakat dengan tuntutan korporasi penyelenggara CSR. Masih rendahnya kemampuan masyarakat dalam mengelola bantuan CSR khususnya manajemen adminstratif yang menjadi persyaratan perusahaan sebagai salah satu wujud pertanggungjawaban masyarakat penerima bantuan CSR 2) Belum adanya data-based sebagai buah dari tehnologi informatika tepat guna yang mendukung kegiatan sasaran CSR, sehingga sering terjadi overlap dalam pelaksanaan penyelenggaraan CSR.
d. Tingkat Keberhasilan Program CSR Jika dilihat dari tingkat keberhasilan pelaksanaan program CSR, mayoritas korporasi (78.6%) menyatakan tingkat keberhasilan program CSR sangat tinggi, bahkan hanya 1.4% saja korporasi yang menyatakan tingkat keberhasilan program CSR adalah tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa program CSR juga dibutuhkan oleh korporasi maupun masyarakat. Akan tetapi dalam
pelaksanaan masih dijumpai beberapa permasalahan yang menghambat pelaksanaan program CSR, di antaranya. o o
o
o
Mental masyarakat yang suka menganggap CSR sebagai charity yang dikeluarkan oleh korporasi. Kurangnya pemahaman aparat, masyarakat, dan korporasi tentang peraturan perundangundangan sekitar CSR dan filosofi konsep CSR. Pimpinan korporasi yang menganggap CSR adalah kewenangan sepenuhnya korporasi, dan tidak menghendaki campur tangan pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan CSR. Kemauan masyarakat sasaran penerima CSR dalam mengembangkan potensi diri sendiri dipersepsi rendah oleh korporasi.
Rekomendasi Hasil Penelitian 1. Dasar Pertimbangan a. Potensi CSR sebagai sumber pembiayaan pembangunan 1) Kebijakan CSR masih relatif baru, disosialisasikan th. 2007. Berdasarkan ketentuan UU No 40 Tahun 2007 Pasal 74 ayat (1) : Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Realisasi Undang-Undang ini belum sepenuhnya dilaksanakan secara proposional oleh korporasi yang dalam kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam. Berdasarkan survey, terdapat 8 korporasi (11,43%) yang bergerak di bidang eksplorasi sumberdaya alam dengan nilai CSR Rp 4.909.571.873,00 (atau 1,17% dari total CSR Rp 418.291.214.191,00). Berdasar data ini diketahui bahwa pada umumnya yang melakukan kegiatan CSR justru dari korporasi yang mempunyai bidang usaha di luar eksplorasi sumberdaya alam. 2) Beberapa perusahaan masih belum mampu melaksanakan CSR tahun 2008, karena masih melakukan pembenahan manajemen sebagai akibat dari adanya krisis ekonomi. Dari hasil survey banyak perusahaan yang merencanakan melaksanakan CSR tahun 2009. 3) Pelaksana CSR dari hasil survey tidak hanya oleh perusahaan dalam bentuk PT, tetapi juga CV, koperasi dan perorangan. Hal ini menunjukkan bahwa tanggungjawab sosial perusahaan bukan semata-mata karena kewajiban sebagai akibat perundangan UU PT, namun juga merupakan bagian dari strategi bisnis (pengamanan core competences, promosi dan building image) 4) Pelaksanaan CSR ada yang dilakukan sendiri oleh perusahaan, diserahkan kepihak ke dua (agen pelaksana), yang menarik ada yang diserahkan ke pihak pemerintah untuk melaksanakannya. 5) Kegiatan CSR banyak dilakukan di bidang pendidikan, keagamaan, kesehatan, kepemudaan, seni budaya, dan kegiatan fisik, serta peringatan hari-hari besar. 6) Sebagian besar pelaksanaan CSR dalam bentuk Charity , dan sebagian kecil dalam bentuk pemberdayaan. 7) Operasional CSR dilakukan dengan transparan, akuntabel, serta melibatkan partisipasi masyarakat untuk akurasi pencapaian tujuan CSR. 8) Kegiatan CSR yang dilakukan korporasi telah sesuai dengan program pemerintah, sejalan dengan norma/nilai-nilai yang berkembang di masyarakat serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 9) Korporasi dan masyarakat sasaran merasakan bahwa program CSR sangat bermanfaat. 10) Untuk pelaksanaan kegiatan CSR tahun 2008 secara umum hasilnya sesuai dengan harapan korporasi pelaksana CSR, meskipun masih perlu diopti malkan. 11) Hasil survey di delapan kabupaten/kota terhadap 70 korporasi menunjukkan bahwa total dana CSR tahun pada tahun 2008 mencapai Rp 418.291.214.191,-. dengan jumlah sasaran mencapai 22.617 yang terdiri dari perorangan, kelompok masyarakat, organisasi, Desa/Kelurahan dan atau Kecamatan. 12) Dilihat dari besarnya nilai CSR yang telah dilaksanakan, bidang usaha agribisnis sebesar Rp. 369,171,264,500,-Jika dikaitkan dengan bidang perdagangan nilainya sebesar Rp. 372,638,961,373,- atau sebesar 89.09%.
b. Permasalahan dan Kendala Pelaksanaan CSR 1) Perijinan pelaksanaan kegiatan CSR di instansi terkait relatif lambat. Hal ini seringkali menjadi penghambat pelaksanaan kegiatan CSR di lapangan; 2) Sebagian masyarakat beranggapan bahwa CSR identik dengan "upeti" atau bantuan ”uang tunai” perusahaan kepada masyarakat, sehingga peruntukannya tidak perlu dikembangkan dan dipertanggungjawabkan karena sifatnya hadiah. 3) Persepsi korporasi bahwa tugas memberdayakan masyarakat adalah kewajiban pemerintah dan posisi perusahaan sebagai pendukung. Oleh karena itu korporasi menyikapi bahwa kegiatankegiatan yang melibatkan instansi pemerintah tidak boleh dialokasikan biaya. 4) Kemauan masyarakat sasaran penerima CSR dalam mengembangkan potensi diri sendiri dipersepsi rendah oleh korporasi. Kondisi ini mencerminkan rendahnya motivasi masyarakat sasaran CSR untuk berkembang. 5) Dirasakannya terdapat kesenjangan antara kemampuan pengelolaan administrasi masyarakat dengan tuntutan korporasi penyelenggara CSR. Masih rendahnya kemampuan masyarakat dalam mengelola bantuan CSR khususnya manajemen adminstratif yang menjadi persyaratan perusahaan sebagai salah satu wujud pertanggungjawaban masyarakat pene rima bantuan CSR. 6) Belum terjalinnya komunikasi yang harmonis antara stakeholders dengan masyarakat sasaran CSR, sehingga seringkali terjadi konflik yang kontra produktif, dan tidak seharusnya terjadi. 7) Belum adanya data-based kegiatan sasaran CSR, sehingga sering terjadi overlap dalam pelaksanaan penyelenggaraan CSR. Kondisi ini merupakan pemborosan pembiayaan pembangunan. 8) Belum banyaknya korporasi yang sadar akan pentingnya melakukan CSR, dan di sisi lain masyarakat belum memahami benar fungsi CSR. Hal ini menimbulkan beberapa permasalahan yang justru merugikan kedua belah pihak. 9) Adanya pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mencari uang dan keuntungan sendiri dengan berdalih kepentingan sosial madyarakat, dengan membuat proposal fiktif, meminta dengan sedikit memaksa. 10) Masyarakat membutuhkan bantuan dari pihak perusahaan untuk kegiatan sosial, baik pendidikan maupun kegiatan sosial keagamaan lainnya. Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa CSR merupakan sumbangan biasa yang memang selayaknya dilakukan perusahaan sebagai wujud kepedulian terhadap masyarakat sekitar. Mereka umumnya memahami bahwa CSR hanya diperuntukkan kegiatan sosial di lingkungan perusahaan. Persepsi yang sama seringkali juga dilakukan oleh korporasi dengan dalih pengamanan core competences dari perusahaan yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa hakikat penyelenggaraan CSR belum sepenuhnya dipahami secara substansial oleh kedua belah pihak. 11) Program CSR dibaurkan dengan kegiatan kemitraan, sehingga tidak jelas besaran dan wujudnya. Hal ini dilakukan oleh perusahaan dengan dalih keterpaduan dan pengoptimalan kemanfaatan CSR bagi pengembangan usaha mikro-kecil yang ada di bawah binaan korporasi. CSR dikaburkan oleh korporasi agar dipersepsi ”kemudahan” atau ”pelatihan gratis” oleh masyarakat sasaran yang juga binaan korporasi. Pada praktik semacam ini menjadikan masyarakat sasaran yang menjadi obyek CSR mempersepsi korporasi sebagai perusahaan yang mempunyai brand image yang baik. 12) Birokrasi pemerintah dikesani mempersulit dan menambah cost tanpa menambah manfaat dari penyelenggaraan CSR, sehingga kegiatan CSR dilaksanakan sendiri oleh perusahaan tanpa perlu memberitahu dan berkoordinasi dengan instansi pemerintah yang terkait. 13) Pelaksanaan CSR sering tidak terprogram dan tidak berkesinambungan, sehingga selain overlap juga daya manfaat yang diterima masyarakat kurang optimal. Beberapa korporasi lebih memperlakukan CSR dalam bentuk charity. 14) CSR disamakan dengan istilah Community Development yang memiliki kemiripan makna dengan CSR, dimana perusahaan mengeluarkan pembiayaan untuk community development dalam bentuk fisik maupun nonfisik. 15) Dinas yang terkait dengan CSR (misal, Pertanian) tidak memiliki data konkret tentang kemitraan dan CSR yang telah dilaksanakan oleh korporasi, dan tidak mempunyai kemauan untuk melaksanakan pendataan. Hal ini menyulitkan Dinas terkait dalam melakukan koordinasi
16) 17) 18) 19)
tentang pelaksanaan CSR. Ini terjadi karena belum dipahaminya peraturan perundangan yang berlaku bagi koporasi sehingga wajib menyelenggarakan CSR. Mental masyarakat yang suka menganggap CSR sebagai charity yang dikeluarkan oleh korporasi. Masyarakat kurang akuntabel dalam menyikapi CSR. Kurangnya pemahaman aparat, masyarakat, dan korporasi tentang peraturan perundangundangan sekitar CSR dan filosofi konsep CSR. Pimpinan korporasi yang menganggap CSR adalah kewenangan sepenuhnya korporasi, dan tidak menghendaki campur tangan pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan CSR. Kondisi perekonomian yang labil dan kecenderungan menurunnya kinerja korporasi yang menyebabkan turunnya kontribusi korporasi dalam kegiatan CSR.
c. Kebutuhan dan Harapan Masyarakat terhadap CSR Harapan yang diinginkan berbagai pihak, khususnya masyarakat terhadap program CSR ini adalah seabagai berikut. 1) Membantu memperlancar kegiatan usaha masyarakat melalui pemberian bimbingan dan pelatihan keahlian tertentu untuk membuka atau mengembangkan usaha baru yang mengarah kepada kemandirian ekonomi masyarakat. 2) Membantu meringankan beban masyarakat baik bidang pendidikan, ekonomi dan kesehatan, meskipun Pemerintah telah memulai dengan program pendidikan dan layanan kesehatan gratis, tetapi faktanya masih banyak berbagai hal yang menjadi pengeluaran masyarakat. 3) Masyakat dan perusahaan terjalin komunikasi dan sinergi positif yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Adanya pengakuan bahwa masyarakat di lingkungan korporasi sebagai mitra perusahaan. Hubungan timbal balik ini memerlukan fasilitasi pemerintah guna terbangunnya situasi yang kondusif dan masing-masing mampu berkembang sesuai dengan perannya. 4) Masyarakat menginginkan agar korporasi dapat menciptakan lingkungan sehat, dan bebas pencemaran polusi. Untuk menjaga kondisi ini, pemerintah hendaknya berbuat lebih proaktif, memberikan jalan keluar masalah yang terbaik dan menguntungkan semuanya. Penerapan aturan hendaknya dibarengi dengan pembudayaan aturan itu melalui berbagai kegiatan sosialisasi baik bagi masyarakat maupun dunia usaha. 5) Perusahaan membutuhkan ketenangan, lingkungan yang nyaman dan korporasi bersedia mengutamakan penerimaan tenaga kerja dari lingkungan perusahaan. Guna memenuhi kebutuhan dan harapan tersebut, pemerintah diharapkan bisa memberikan fasilitas pelatihan sesuai dengan kebutuhan tenaga oleh perusahaan. 6) Perlu adanya recovary sumberdaya yang menopang keberlanjutan kegiatan korporasi (misal, terganggunya siklus hidrologi), atau adanya masukan energi sebagai akibat dari proses produksi yang mengakibatkan penurunan fungsi lingkungan (misal, rusaknya kawasan sungai dan pantai karena limbah industri, pencemaran tanah karena penggunaan pupuk yang berlebihan).
2. Rekomendasi Pengembangan CSR ke depan a. Pemerintah perlu memberikan penjabaran terhadap dasar hukum CSR ke dalam aturan-aturan yang lebih operasional, untuk penyamaan persepsi tentang urgensi dan permasalahan dalam opersionalisasi kegiatan CSR. b. Aturan yang disusun hendaknya mengacu pada filosofi CSR, yaitu tanggung jawab terhadap pelestarian sumberdaya alam sebagai penompang keberlanjutan kehidupan, namun demikian aturan tersebut tetap memberikan peluang pada korporasi untuk menuangkan aspirasinya terkait dengan kepentingan perlindungan terhadap core competences, promosi, serta pencitraan publik. c. Pentingnya pemerintah memfasilitasi pelaksanaan CSR oleh korporasi, dengan tanpa membatasi kepentingan perusahaan terkait dengan CSR (misal, aspek promosi, perlindungan aset, dll). Bentuk fasilitasi pemerintah dapat berupa fasilitasi perijinan pelaksanaan CSR, penyediaan data, sosialisasi tentang CSR kepada masyarakat, dan shari ng program. d. Pemerintah perlu melaksanakan koordinasi dengan korporasi dalam rangka memparalelkan (sebagai tahap awal untuk mengarah pada keterpaduan program) program CSR korporasi dengan program pemerintah sehingga tidak terjadi overlaping program.
e. Perlu adanya pengurangan CSR yang bentuknya cherity , sebagai langkah awal untuk mengarahkan CSR dalam bentuk pemberdayaan. Cherity dapat menumbuhkan ketergantungan masyarakat dan rendahnya rasa tanggungjawab terhadap penggunaan dana CSR. f. Pemerintah perlu memberikan penghargaan terhadap perusahaan yang dengan suka rela melaksanakan CSR karena tanggungjawab sosial dan moral. Bentuk penghargaan bisa berupa dukungan kebijakan kepada korporasi, dan fasilitasi pemerintah terhadap korporasi yang melaksanakan CSR. g. Perlunya dibangun komunikasi yang lebih intensif antara pemerintah dan dunia usaha terhadap pelaksanaan CSR. Akan lebih efektif jika komunikasi tersebut diwadahi dalam suatu forum ( forum CSR) di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, dalam rangka koordinasi dan pemaduan program. h. Perlu dikembangkan ide kreatif untuk memadukan program CSR dengan program kemitraan yang saat ini tengah dilaksanakan oleh dunia usaha, dengan mempertimbangkan prioritas programprogram pembangunan di Jawa Timur. Secara umum program pengembangan CSR di Jawa Timur digambarkan dalam skema berikut.
Pemetaan SDA terkait kegiatan korporasi
Pemetaan profil masyarakat sasaran CSR
Visi Jawa Timur Tahun 2025
Peta potensi SDA Provinsi Jawa Timur
Program Kerjasama Kemitraan
Recovary kritis
Peta Agribisnis Provinsi Jatim
Program pembangunan Program CSR Jatim
agribisnis Provinsi Jatim
Kegiatan CSR
Pelaksanaan pembangunan agribisnis
SDA
Pemberdayaa n masyarakat
Rekaveri SDA kritis
Pemberdayaan masyarakat dibidang agribisnis
Gambar 1. Skema pengembangan program CSR, yang dipadukan dengan program pembangunan bidang ekonomi dan Program Kerjasama Kemitraan korporasi di Jawa Timur.