Terhadap krisis lingkungan hidup saat ini, umat beriman kristiani yang menyadari menyadari alam sebagai rahmat Allah mengusahakan mengusahakan dan merawat lingkungan sekitar dengan penuh tanggung jawab sebagai upaya untuk memelihara perdamaian dunia.
A. Pengantar
Situasi krisis lingkungan hidup saat ini mendorong umat beriman Kristen untuk merefleksikan perannya di antara ciptaan lain. Iman Kristen menegaskan bahwa alam ciptaan merupakan rahmat dari Allah supaya manusia mengusahakan dan merawatnya dengan penuh tanggung jawab. Paus Benediktus XVI merefleksikan tindakan mengusahakan dan merawat ini sebagai upaya untuk memelihara perdamaian dunia. Untuk menjelaskan tesis ini, saya membaginya ke dalam empat bagian berikut ini:
Krisis lingkungan hidup saat ini Alam adalah rahmat yang diberikan Allah kepada manusia Umat beriman kristiani bertanggung jawab untuk mengusahakan dan merawat alam Tindakan mengusahakan dan merawat alam merupakan tindakan untuk menjaga perdamaian dunia
B. Krisis Lingkungan Hidup Saat Ini
Lingkungan hidup manusia sedang mengalami kemunduran. Semenjak tahun 1960-an, terjadi eksploitasi alam yang masif sehingga menimbulkan krisis ekologis di dunia. Eksploitasi itu bertujuan untuk membangun bangsanya. Sayangnya, pembangunan itu berdampak pada pengerukan kekayaan alam tanpa memperhitungkan dampaknya bagi lingkungan hidup. Dampak negatif pembangunan itu antara lain pencemaran udara, air, tanah, penggundulan hutan tanpa reboisasi, dan perusakan ekosistem. Dampak lainnya juga adalah kepunahan dari makhluk-makhluk yang hidup di sekitar lokasi tambang. Setelah pembangunan itu memberikan kemajuan bagi suatu negara, konflik antar negara pun masih bisa timbul. Misalnya, ketegangan yang terjadi di semenanjung Korea. Uji coba rudal dan dugaan pengembangan nuklir Korea Utara membuat resah negara lain.1 Ketika masalah nuklir yang bisa merusak alam dan hidup manusia ini belum selesai, masalah lain masih menunggu penyelesaiannya juga, yaitu kerusakan lingkungan. Masalah kerusakan lingkungan hidup ini lebih rumit dari pada masalah nuklir karena subtil dan bertahap. Kerusakan lingkungan itu berproses pelan-pelan setiap hari, tampaknya tidak berbahaya, dan melibatkan aktivitas semua orang di bumi. Sementara ancaman nuklir lebih jelas karena kalau tidak diledakkan tidak akan menimbulkan kerusakan alam.2 Indonesia pun menghadapi persoalan lingkungan. Timbunan sampah semakin mejadi beban lingkungan lingkungan bagi Indonesia. “ Sampah merupakan masalah serius sekali. Karena manusia satu-satunya makhluk hidup penghasil sampah, kita harus bertanggung jawab merawat bumi”, 1
Reuters/AFP/LUK, “Semenanjung Korea Panas” dalam Kompas, Sabtu, 22 April 2017, hlm. 1 Sallie McFague, The Body of God (Minneapolis: Fortress Press, 1993) hlm. 2
2
1
ungkap Sarwono Kusumaatmadja, Menteri Lingkungan Hidup 1993-1998 pada Jumat (21/4) dalam peringatan hari Bumi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia memprediksi volume sampah berbagai jenis, baik dari rumah tangga maupun kawasan mencapai 67, 1 juta ton pada tahun 2019. Dari jumlah itu, 70 persen dibuang begitu saja di tempat pembuangan akhir (TPA) dan hanya 7 persen dikelola atau didaur ulang.3 Masih masifnya pemberian beban kepada TPA mengakibatkan tragedi di Indonesia. Pada 21 Februari 2005, lebih dari 200 jiwa melayang karena terkubur tumpukan sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat.4 Cuaca yang tidak stabil juga dirasakan sebagai pengaruh kerusakan lingkungan di Indonesia. Misalnya, periode pancaroba di Indonesia saat ini termasuk ekstrem. Selain kerap terjadi hujan dengan intensitas tinggi tapi berdurasi singkat, hujan es, dan angin kencang melanda sejumlah daerah. Hal itu menandai adanya pengumpulan awan secara masif akibat pemanasan permukaan. Misalnya, di Bandung hujan lebat dan angin kencang serta hujan es berulang kali terjadi pada tahun ini. Menurut Siswanto, peneliti cuaca dan iklim ekstrem BMKG, pembangunan kota Bandung telah mengubah permukaan tanah menjadi beton atau aspal sehingga mempercepat pemanasan permukaan. Ini disebut urban heat land (pemanasan permukaan kota).5 Bandung juga seringkali terkena banjir. Menurut Irfan Sudono, Kepala Balai Hidrologi dan Tata Air di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, curah hujan ekstrem bukan penyebab utama banjir di Bandung dan sekitarnya, tetapi alih fungsi lahan untuk pemukiman dan pembangunan lain yang memicu banjir.6 Meskipun kerusakan lingkungan hidup ini merupakan persoalan yang rumit, kita tetap perlu mengatasinya. Pembangunan yang dilaksanakan demi kemajuan manusia ini melupakan pemilik sesungguhnya dari bumi ini. Allah adalah pemiliknya dan manusia adalah pihak yang dipasrahi untuk mengupayakan dan merawatnya (Im. 25:23). Selama ini manusia merasa diri sebagai Allah, pemilik bumi ini. C. Alam adalah rahmat yang diberikan Allah kepada manusia
Sejarah keselamatan dimulai dengan halaman-halaman Kitab Kejadian. Pada awalnya, tindakan kasih dan kebijaksanaan pertama Allah memuncak dalam penciptaan laki-laki dan perempuan menurut citra dan keserupaan-Nya (Kej. 1:26). Citra dan keserupaan menurut kasih ilahi itu sejak semula telah dinyatakan sebagai daya cipta. Laki-laki dan perempuan pun diundang untuk menggunakan kreativitas manusiawinya supaya mengakui sesama manusia dalam kasih dan membuat bumi layak dihuni. Citra dan keserupaan ini juga ada dalam kebutuhan akan istirahat, yang merayakan kasih yang menjelma dalam keindahan ciptaan. Ciptaan adalah anugerah pertama yang diberikan kepada manusia untuk mengusahakan dan memeliharanya (Kej. 2:15). Ciptaan diberikan kepada manusia sebagai sumber penghidupannya dan sarana pengembangan hidup yang bermartabat, di mana semua anggota keluarga manusia harus berbagi.7
3
ICH, “Sampah Kian Membebani” dalam Kompas, Sabtu, 22 April 2017, hlm. 14 ICH, “Sampah Kian Membebani” dalam Kompas, Sabtu, 22 April 2017, hlm. 14 5 AIK, “Pemanasan Picu Pengumpulan Awan” dalam Kompas, Kamis, 4 Mei 2017, hlm. 14 6 BKY/TAM, “Bandung Mudah Banjir: Alih Fungsi Lahan Menjadi Pemicu” dalam Kompas, Jumat, 5 Mei 2017, hlm. 15 7 Pontifical Council for Migrants, Guidelines for the Pastoral Care of Tourism (29 June 2001) no. 15 4
2
Dalam kisah bangsa Israel, hak atas tanah perlu dilindungi dengan pelbagai cara. Kitab Ulangan mengingatkan bangsa Israel untuk tidak mengingini rumah sesamanya, atau ladangnya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya, atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamanya (Ul. 5:21). Di balik ayat tersebut, kita bisa melihat bahwa orang Israel sungguh bebas dan merasa diri sebagai warga Israel sepenuhnya, hanya bila ia memiliki sebidang tanahnya sendiri karena tidak boleh menginginkan milik orang lain. Namun Perjanjian Lama menekankan bahwa bumi adalah milik Allah dan Allah telah menyerahkannya kepada semua putra Israel. Maka bumi harus dibagi di antara semua suku bangsa, marga, dan keluarga. Dari situ, kita dapat menyimpulkan bahwa manusia bukanlah penguasa sejati tanahnya, melainkan pengurusnya. Penguasa sebenarnya adalah Allah. Dalam Kitab Imamat dikatakan “tanah jangan dijual mutlak karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku” (Im. 25:23). Di Mesir tanah milik Firaun dan para petani adalah hamba dan miliknya. Di Babilonia berlaku struktur feodal. Di sana raja memberi tanah demi kesetian dan pengabdian. Hal demikian tidak berlaku di Israel. Bagi mereka, bumi adalah milik Allah dan Ia menganugerahkannya kepada semua anak-anaknya.8 Dari iman bangsa Israel di atas, manusia harus mempertimbangkan terutama bahwa asal-usul alam dari Allah. Kosmos membawa jejak kebaikan-Nya. Dunia yang indah ini mendorong kita untuk mengagumi dan menikmatinya, tetapi juga untuk mengusahakan dan mengembangkannya.9 Ciptaan sebagai anugerah pertama mengajak manusia untuk tidak pernah lupa bahwa seluruh ciptaan adalah anugerah yang senantiasa berbicara tentang kebaikan Allah dan Pencipta. Ingatan akan anugerah pertama selalu meliputi dimensi ganda, yaitu kekaguman dan syukur di satu pihak dan penerimaan tanggung jawab di pihak lain. Dalam arti tertentu, itu adalah dimensi liturgis dan karitatif yang harus memberi makna kepada hidup Kristiani. Mengagumi, memuji dan bersyukur kepada Allah dalam ciptaan perlu diterjemahkan ke dalam komitmen untuk melestarikannya supaya bisa berbagi dan tetap melayani orang lain.10
D. Kaum beriman kristiani bertanggung jawab untuk mengusahakan dan merawat alam
Kehancuran alam lingkungan adalah juga kehancuran lingkungan manusia. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh umat beriman Kristiani? Sebelum melangkah ke tindakan, kita perlu memahami siapa itu umat beriman Kristiani karena di situ terdapat identitas kita sebagai pengikut Kristus. Menurut KHK 204 $1, kaum beriman kristiani ialah mereka yang karena melalui baptis diinkorporasi pada Kristus, dibentuk menjadi umat Allah dan karena itu dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas imami, kenabian, dan rajawi Kristus, dan sesuai dengan kedudukan masing-masing, dipanggil untuk menjalankan perutusan yang dipercayakan Allah kepada Gereja untuk dilaksanakan di dunia. Umat beriman Kristiani dipersatukan dengan Kristus melalui sakramen-sakramen. Misalnya, dengan sakramen baptis umat beriman katolik
8
PC for Justice & Peace, Towards a better Distribution of the Land (23 November 1997), no. 24 Yohanes Paulus II, Surat Apostolik Dies Domini (31 Mei 1998), no. 10 10 R.P. Piet Go O.Carm, Lingkungan Hidup (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014) hlm. 97 9
3
menjadi serupa dengan Kristus (1 Kor. 12:13). Dalam pemecahan roti ekaristi umat beriman Kristiani secara nyata ikut serta dalam Tubuh Tuhan, disatukan dengan Dia dan antar sesama umat beriman kristiani. Kemudian umat beriman dalam Kristus menjadi satu tubuh (1 Kor 12:12,17,27). Umat beriman Kristiani pun menjadi Tubuh Kristus yang dikepalai oleh Kristus sendiri (LG 7). Kristus selalu membagikan karunia-karunia pelayanan dalam tubuh-Nya, yakni Gereja. Maka Gereja adalah kesatuan orang beriman Kristiani. Dasar perutusan Gereja adalah Yesus Kristus. Kristus telah memilih para rasul untuk melanjutkan tugas perutusan Kristus (LG 17), yaitu mewartakan Injil. Gereja pun mewartakan Injil serta menyalurkan kekayaan rahmat kepada semua orang (GS 89). Maka umat beriman Kristiani memiliki perutusan untuk mewartakan Injil, kabar gembira kepada semua orang, termasuk lewat tindakan-tindakan yang membantu memelihara lingkungan hidup (Kej 2:15). Pemeliharaan lingkungan hidup menjadi wujud iman Kristiani. Upaya untuk mewujudkan iman Kristiani terhadap lingkungan perlu didasari dengan pemahaman-pemahaman yang benar. Pertama, kita perlu memahami makna karya Allah. “Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (Kej 1:25). Ayat itu mengungkapkan makna dari karya Allah. Kepada manusia, mahkota dari seluruh proses penciptaan, Allah Pencipta mempercayakan pemeliharaan atas bumi (Kej. 2:15). Kepercayaan ini membawa kewajiban khusus di bidang ekologi bagi semua orang. Pemenuhan kewajiban ini mengandaikan keterbukaan pada sudut pandang rohani dan etis untuk mengatasi sikap-sikap egois dan gaya hidup yang membawa pada penipisan sumber daya alam. Di bidang ini pula, tindakan umat beriman menjadi lebih penting dari pada sebelumnya. Semua orang yang mempunyai kehendak baik harus berjuang untuk menjamin perlindungan lingkungan yang efektif, yang dipahami sebagai pemberian atau rahmat dari Allah.11 Kedua, perintah ketujuh juga menuntut agar keutuhan ciptaan diperhatikan. Binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk tak bernyawa, dari kodratnya ditentukan untuk kesejahteraan bersama umat manusia yang kemarin, hari ini, dan esok (Kej 1:28-31). Kekayaan alam, tumbuh-tumbuhan, dan hewan dunia ini, tidak boleh dimanfaatkan tanpa memperhatikan tuntutan moral. Kekuasaan manusia atas dunia yang hidup dan tidak hidup, yang Pencipta anugerahkan kepada manusia, tidak absolut sifatnya. Kekuasaan itu diukur menurut usaha mempertahankan kualitas hidup sesama, termasuk pula kualitas hidup generasi mendatang.12 Ketiga, Allah tidak hanya memberikan bumi ini sebagai rahmat kepada manusia, tetapi manusia itu sendiri adalah rahmat Allah untuk manusia lain. Maka manusia perlu menghormati manusia lain dengan menghilangkan struktur sosial yang menindas mereka. Manusia menerima dari Allah martabatnya dan kapasitasnya untuk mentransformasi tatanan sosial supaya bergerak ke arah kebenaran dan kebaikan. Menghancurkan struktur yang menindas dan menggantinya dengan bentuk komunitas yang hidup merupakan tugas yang menuntut keberanian dan kesabaran.13 Struktur yang menindas itu meliputi pula struktur yang memonopoli pemanfaatan alam sehingga bukan demi kepentingan semua orang. Dalam situasi seperti itu, kelompok marginal perlu didukung untuk menegakkan martabatnya sebagai manusia. Penegakan
11
Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Pasca Sinodal , Ecclesia In America (22 Januari 1999), no. 25 KGK 2415 13 Yohanes Paulus II, Centesimus Annus (1 Mei 1991) no. 38 12
4
martabat manusia berkaitan dengan hak untuk memperolah lingkungan yang sehat karena hak ini menunjukkan dinamika relasi antara individu dengan masyarakat. Dengan demikian, adalah tugas umat Kristiani dan siapa saja yang memandang Allah sebagai Sang Pencipta, untuk melindungi lingkungan dengan memulihkan cita rasa hormat terhadap keseluruhan penciptaan Allah. Sang Pencipta juga menghendaki agar manusia memperlakukan alam tidak hanya sebagai penghisap yang tak kenal pengendalian diri, tetapi sebagai bendahari yang arif bijaksana dan bertanggung jawab.14 Masa kini dan masa depan dunia bergantung pada pemeliharaan ciptaan karena ketergantungan terus menerus antara manusia dan lingkungannya. Menempatkan umat manusia di pusat perhatian terhadap lingkungan sesungguhnya merupakan cara paling pasti untuk memelihara ciptaan. Hal ini faktanya merangsang tanggung jawab individual untuk menghargai sumber daya alam dan pemakaian yang bijaksana.15 E. Tindakan mengusahakan dan merawat alam merupakan tindakan untuk menjaga perdamaian dunia
Krisis lingkungan hidup telah menjadi perhatian dari Gereja. Hal ini tampak dari upaya para Paus dalam menyampaikan perhatiannya pada persolaan lingkungan hidup. Misalnya, Paus Paulus VI yang merefleksikan hal ini dalam Octogesima Adveniens (no. 21) dan surat apostolik tahun 1971 tentang ulang tahun ke-80 Rerum Novarum. Paus Yohanes Paulus II dalam surat Inter Sanctos, menyatakan St. Fransiskus Asisi sebagai pelindung bagi mereka yang mendukung ekologi. Perhatian Paus Yohanes Paulus II terhadap ekologi juga ada dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (no. 26, 34), ensiklik Centesimus Annus (no. 37-40). Di situ, beliau menghubungkan lingkungan dengan ekologi manusia yang struktur pokok dan pertamanya adalah keluarga yang diikat dalam pernikahan (no. 39). Namun, Paus Benediktus XVI yang paling terkenal untuk mempromosikan ekologi. Beliau pun dijuluki sebagai “the green pope,” karena telah memasang panel tenaga surya di atas bangunan Vatikan sebagai upaya Vatikan untuk menjadi bangsa yang bebas karbon. Lebih dari pada itu, Paus Benediktus XVI memberikan ajarannya tentang lingkungan hidup dalam ensiklik Caritas in Veritate (no. 48-52) dan dalam pesannya pada hari Perdamaian Dunia tahun 2010. Bagi Paus Benediktus XVI, perhatian dan komitmen terhadap lingkungan harus ditempatkan dalam kerangka tantangan yang lebih luas. Jika kita ingin membangun perdamaian sejati, bagaimana bisa kita memisahkan atau bahkan mengabaikan perlindungan lingkungan hidup dan perlindungan hidup manusia, termasuk hidup dari bayi yang belum lahir? Tanggung jawab manusia terhadap ciptaan terletak dalam penghormatannya terhadap dirinya sendiri. Dasar visi teologi Paus Benediktus XVI adalah gagasan alam sebagai ungkapan cinta dan kebenaran. Perdamaian mendapat ancaman dengan adanya perang, konflik regional maupun internasional, terorisme dan pelanggaran hak asasi manusia. Ancaman lain juga muncul dari pengabaian terhadap bumi dan alam yang merupakan anugerah Tuhan. Paus Benediktus XVI
14
Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Pasca Sinodal , Ecclesia In Asia (6 November 1999), no. 41
15
Yohanes Paulus II, Pesan untuk Perayaan Hari Perdamaian Dunia (1 Januari 1999) no. 10
5
menegaskan hormat kepada ciptaan karena ciptaan adalah awal dan dasar dari semua karya Allah (KGK 198). Paus Benediktus XVI pun mengingatkan bahwa bumi sebagai rumah bagi keluarga perlu dijaga dengan mengendalikan sifat egois manusia yang menggunakan alam bagi dirinya sendiri. Keluarga membutuhkan rumah, lingkungan yang nyaman untuk mengembangkan relasi yang pantas. Bagi keluarga manusia, bumi adalah rumahnya, lingkungan yang diciptakan oleh Allah Pencipta untuk didiami secara kreatif dan bertanggung jawab. Kita perlu memelihara lingkungan ini: lingkungan telah dipercayakan kepada manusia untuk diolah dan dipelihara dengan kebebasan yang bertanggung jawab, dengan kebaikan semua orang sebagai kriterianya. Umat manusia jelas merupakan ciptaan yang paling tinggi di antara ciptaan lainya. Menghargai lingkungan tidak berarti memandang material atau kodrat binatang lebih tinggi dari pada manusia. Namun, hal ini tidak berarti menganggap alam secara egois untuk kepentingan diri kita sendiri karena generasi masa depan juga memiliki hak untuk memperoleh keuntungan dari alam dan untuk menunjukkan kepada alam kebebasan bertanggung jawab yang sama dengan yang menjadi tugas kita.16
Lingkungan harus dilihat sebagai rahmat Allah bagi semua orang dan penggunaan atasnya mensyaratkan tanggung jawab kepada semua manusia, terutama orang miskin dan generasi mendatang. Paus Benediktus XVI mengamati bahwa ketika alam dan manusia secara khusus hanya dilihat sebagai hasil dari suatu kebetulan atau suatu evolusi determinis, rasa tanggung jawab kita akan berkurang.17 Padahal umat Kristiani mengimani alam sebagai ciptaan Allah sehingga manusia mempunyai tugas untuk menjalankan pekerjaan mengurus alam secara bertanggung jawab, memelihara dan mengolahnya.18 Konsili ekuminis Vatikan II mengingatkan kita bahwa “Allah memaksudkan bumi dan segala isinya untuk semua orang dan bangsa”.19 Manusia dalam tindakannya adalah kolaborator Allah. Bila manusia lupa dirinya sebagai kolaborator Allah, ia dapat melakukan kekerasan terhadap ciptaan dan menyebabkan kerusakan yang selalu membawa konsekuensi negatif, juga bagi umat manusia seperti yang sudah kita lihat dalam berbagai peristiwa. Maka saat ini penghormatan terhadap lingkungan adalah penghormatan terhadap pribadi manusia. Penghargaan terhadap manusia dan penghormatan terhadap alam adalah satu dan sama, tetapi keduanya dapat berkembang dan mencapai kepenuhannya jika kita menghargai Pencipta dan ciptaan-Nya dalam diri manusia dan alam.20 Untuk menghadapi krisis lingkungan hidup, Paus Bendiktus XVI menawarkan model pengembangan yang didasarkan pada sentralitas pribadi manusia dalam penegakan dan pembagian kebaikan bersama, dalam bertanggung jawab, dalam upaya kita untuk mengubah gaya hidup, dan dalam kebijaksanaan yang membantu kita untuk memenuhi kebutuhan dengan
16
Pope Benedict XVI, “The Human Family, A Community Of Peace” dalam Message of His Holiness Pope Benedict XVI for The Celebration of The World Day of Peace (1 january 2008) no. 7 17 Caritas in Veritate no. 48 18 Caritas in Veritate no. 50 19 GS 69 20 Pope Benedict XVI, Address of His Holiness Benedict XVI to Students Participating in A Meeting Promoted by The "Sister Nature" Foundation Paul VI Hall Monday, 28 November 2011
6
tetap mengingat generasi mendatang (CV 49). Ingat akan orang lain, termasuk generasi mendatang dalam penggunaan sumber daya alam diungkapkan oleh Paus Benediktus dengan istilah solidaritas global. Solidaritas ini bertujuan untuk melindungi ciptaan demi kebaikan bersama. Solidaritas global yang saya sampaikan pada peringatan hari Perdamaian Sedunia tahun 2009 merupakan sikap yang esensial dalam mempertajam usaha kita untuk melindungi ciptaan lewat pengaturan sumber daya alam yang diatur secara internasional, terutama saat ini ketika semakin jelaslah hubungan antara perjuangan melawan degradasi lingkungan dan penegakan perkembangan manusia yang integral.21
Sekarang menjadi semakin jelas bahwa persoalan degradasi lingkungan menantang kita untuk merefleksikan gaya hidup kita dan bentuk-bentuk produksi serta konsumsi yang seringkali tidak seimbang dari sudut pandang sosial, lingkungan, dan ekonomi. Kita harus bisa bertindak dengan perubahan pandangan yang akan mempengaruhi gaya hidup konsumeris. Perubahan pandangan itu ada pada faktor-faktor yang menentukan pilihan konsumer, penghematan, dan investasi, yaitu pencarian kebenaran, keindahan, kebaikan, dan kesatuan dengan orang lain demi perkembangan bersama.22 Dengan demikian tindakan untuk mengupayakan perdamaian adalah tindakan untuk melindungi ciptaan. Dalam terang wahyu ilahi dan dalam kesetian pada Tradisi Gereja, umat Kristen memiliki sumbangan tersendiri untuk upaya ini. Mereka mengontemplasikan alam raya dan keagungannya dalam terang karya kreatif Bapa dan karya penebusan Kristus yang lewat kematian dan kebangkitan-Nya telah mendamaikan dengan Allah segala sesuatu, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga (Kol 1:20). Kristus, yang disalib dan dibangkitkan telah memberikan Roh Kudus kepada umat manusia untuk membimbing jalannya sejarah sebagai bentuk antisipasi terhadap hari kedatangan surga dan bumi yang baru bersama dengan kembalinya sang Penyelamat (2 Pet 3:13). Dalam kedatangan kembali Kristus, keadilan dan perdamaian akan tinggal di bumi selamanya. Maka melindungi lingkungan untuk membangun perdamaian menjadi tugas bagi semua orang. Hal ini menjadi tantangan yang mendesak yang harus dijalani dengan komitmen bersama. Hal ini juga menjadi kesempatan baik untuk mewariskan kepada generasi mendatang prospek masa depan yang lebih baik bagi semua. Paus Benediktus XVI menyampaikan pesan kepada para pemimpin dunia dan mereka yang mempunyai perhatian pada masa depan umat manusia bahwa perlindungan ciptaan dan usaha perdamaian saling terhubung secara mendalam. Oleh karena itu, Paus mengundang semua orang beriman untuk berdoa kepada Allah, Pencipta dan Bapa yang penuh belas kasih supaya semua pria dan wanita memasukkan ke dalam hati mereka seruan ini: “jika kamu i ngin mewujudkan perdamaian, lindungilah ciptaan”.23
21
Pope Benedict XVI, “Fighting Poverty to Build Peace” dalam Message of His Holiness Pope Benedict XVI for The Celebration of The World Day of Peace 1 january 2009 22 John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, no. 36 23 Pope Benedict XVI, “If You Want to Cultivate Peace, Protect Creation” dalam Message of His Holiness Pope Benedict XVI for The Celebration of The World Day of Peace (1 January 2010) no. 14
7
F. Kesimpulan
Krisis lingkungan hidup saat ini menjadi perhatian umat beriman Kristiani. Upaya umat Kristiani untuk terlibat pada pemeliharaan ciptaan bukan hanya didasarkan pada kesadaran ekologi saja, tetapi juga didasarkan pada iman Kristennya. Semangat umat beriman Kristen untuk terlibat dalam pemeliharaan lingkungan didasarkan pada imannya akan Kristus. Kristus, yang disalib dan dibangkitkan telah memberikan Roh Kudus kepada umat manusia untuk membimbing jalannya sejarah sebagai bentuk antisipasi terhadap hari kedatangan surga dan bumi yang baru bersama dengan kembalinya sang Penyelamat (2 Pet 3:13). Bagi umat Kristiani, ciptaan adalah anugerah pertama yang diberikan kepada manusia untuk mengusahakan dan memeliharanya (Kej. 2:15). Ciptaan diberikan kepada manusia sebagai sumber penghidupannya dan sarana pengembangan hidup yang bermartabat, di mana semua anggota keluarga manusia harus berbagi. Selain itu manusia adalah juga anuge rah bagi manusia lain. Maka penghormatan terhadap alam adalah juga penghormatan terhadap manusia karena perkembangan martabat manusia tidak bisa tanpa alam yang menjadi lingkungan hidupnya. Kesadaran di atas mendorong umat beriman Kristen untuk mengupayakan dan merawat lingkungan dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab ini merupakan keterlibatan dalam mengupayakan perdamaian dunia. Struktur masyarakat yang memonopoli kekayaan alam demi kepentingan kelompok, selain merusak alam juga menciptakan ketidakadilan, penindasan kepada sesama manusia, terutama mereka yang miskin dan tersingkir. Maka dengan menjaga lingkungan hidup secara bijaksana dan demi kepentingan semua orang, umat beriman Kristen turut memelihara perdamaian dunia. Paus Fransiskus mengistilahkan tindakan kurang bijaksana dalam menggunakan sumber daya alam ini sebagai budaya boros. Dalam hal ini, Paus Fransiskus merefleksikan Kejadian 2:15 tentang mengusahakan dan memelihara alam. Kata mengusahakan mengingatkan Paus Fransiskus akan para petani yang mengolah sawahnya supaya produktif dan produk ini akan dibagikan kepada orang lain. Mengusahakan dan memelihara alam merupakan perintah Tuhan sejak awal sejarah supaya manusia mendiami bumi ini dengan bertanggung jawab. Akan tetapi tindakan mengusahakan dan memelihara ini bukan hanya menuntut hubungan antara manusia dan alam, tetapi juga antar manusia. Kerusakan lingkungan membuat hidup manusia dalam bahaya. Bagi Paus Fransikus, krisis lingkungan hidup ini bukan masalah ekonomi, tetapi persoalan etika dan antropologi. Sayangnya, banyak manusia dikalahkan oleh keinginan akan keuntungan dan konsumsi atau yang disebut oleh Paus Fransiskus sebagai “budaya boros”, culture of waste.24 Paus Fransiskus mengamati bahwa penghargaan terhadap manusia itu telah dikalahkan oleh kebutuhan akan uang, keuntungan. Bahkan kematian anak di belahan dunia karena kelaparan tidak menjadi berita, tetapi sesuatu yang normal. Sebaliknya, ketika pasar turun 10 poin di beberapa kota, hal itu menjadi tragedi. Seseorang yang meninggal bukan berita, tetapi
24
Pope Francis, General audience di Saint Peter's Square pada Rabu, 5 Juni 2013 dalam http://w2.vatican.va/content/francesco/en/audiences/2013/documents/papa-francesco_20130605_udienzagenerale.html (diunduh tanggal 5 Mei 2017)
8
pendapatan yang berkurang 10 poin adalah tragedi. Dalam cara inilah orang diacuhkan seperti sampah.25 Lebih lanjut Paus Fransiskus mengatakan: Budaya boros ini cenderung menjadi mentalitas umum yang menjangkiti semua orang. Hidup manusia, pribadinya, tidak lagi dipandang sebagai nilai utama untuk dihargai dan dilindungi, terutama mereka yang miskin dan cacat. Budaya boros juga membuat kita kurang peka sehingga membuang atau memboroskan makanan yang lebih, apalagi di belahan dunia yang lain banyak orang dan keluarga yang menderita kelaparan dan kurang gizi. Ada saat di mana kakek nenek kita sangat hati-hati untuk tidak membuang makanan sisa. Konsumerisme telah mempengaruhi kita untuk terbiasa hidup berlebihan dan boros makanan yang nilainya melebihi ukuran finansial, kita tidak mampu lagi menilai secara tepat.26
Maka salah satu penerapan yang bisa kita lakukan saat ini adalah dengan mencoba hidup tidak boros, secukupnya, tantum quantum . Dengan tidak menyia-nyiakan makanan, kita ikut menghemat kekayaan alam, solider dengan mereka yang masih berkekurangan. Kita perlu menyadari kehadiran orang lain yang menderita atau kekurangan, sadar bahwa masih ada generasi mendatang sehingga kita tidak berlaku boros. Oleh karena itu sebagai umat beriman Kristen, rasa syukur kita atas anugrah alam perlu kita wujudkan dalam upaya pemeliharaan lingkungan secara bertanggung jawab demi kebaikan dan perdamaian dunia.
Daftar Pustaka
Go, R.P. Piet (Penerj.), Lingkungan Hidup, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2014. Susanto, Harry (Penrj.) Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2013. Hardawiryana, R. (Penrj.), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 2013. Rubiyatmoko, Robertus (edt.), Kitab Hukum Kanonik, Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia, 2016. McFague, Sallie, The Body of God, Minneapolis: Fortress Press, 1993. PC for Justice & Peace, Towards a better Distribution of the Land (23 November 1997) Pontifical Council for Migrants, Guidelines for the Pastoral Care of Tourism (29 Juni 2001) Yohanes Paulus II, Surat Apostolik Dies Domini (31 Mei 1998) Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Pasca Sinodal , Ecclesia In Asia (6 November 1999) 25
Pope Francis, General audience di Saint Peter's Square pada Rabu, 5 Juni 2013 dalam http://w2.vatican.va/content/francesco/en/audiences/2013/documents/papa-francesco_20130605_udienzagenerale.html (diunduh tanggal 5 Mei 2017) 26 Pope Francis, General audience di Saint Peter's Square pada Rabu, 5 Juni 2013 dalam http://w2.vatican.va/content/francesco/en/audiences/2013/documents/papa-francesco_20130605_udienzagenerale.html (diunduh tanggal 5 Mei 2017)
9
Yohanes Paulus II, Centesimus Annus (1 Mei 1991) Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Pasca Sinodal , Ecclesia In America (22 Januari 1999), Yohanes Paulus II, Pesan untuk Perayaan Hari Perdamaian Dunia (1 Januari 1999) Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate (29 Juni 2009) Benediktus XVI, “The Human Family, A Community Of Peace” dalam Message of His Holiness Pope Benedict XVI for The Celebration of The World Day of Peace (1 january 2008) Benediktus XVI, Address of His Holiness Benedict XVI to Students Participating in A Meeting Promoted by The "Sister Nature" Foundation Paul VI Hall Monday, 28 November 2011 Benediktus XVI, “Fighting Poverty to Build Peace” dalam Message of His Holiness Pope Benedict XVI for The Celebration of The World Day of Peace 1 Januari 2009 Benediktus XVI, “If You Want to Cultivate Peace, Protect Creation” dalam Message of His Holiness Pope Benedict XVI for The Celebration of The World Day of Peace (1 January 2010) Fransiskus, General audience di Saint Peter's Square pada Rabu, 5 Juni 2013 dalam http://w2.vatican.va/content/francesco/en/audiences/2013/documents/papafrancesco_20130605_udienza-generale.html (diunduh tanggal 5 Mei 2017) ICH, “Sampah Kian Membebani” dalam Kompas, Sabtu, 22 April 2017 AIK, “Pemanasan Picu Pengumpulan Awan” dalam Kompas, Kamis, 4 Mei 2017 BKY/TAM, “Bandung Mudah Banjir: Alih Fungsi Lahan Menjadi Pemic u” dalam Kompas, Jumat, 5 Mei 2017
10