EKOSISTEM PANTAI BERPASIR INTERTIDAL
Pantai berpasir adalah bentuk pantai yang landai atau datar dengan dominasi pasirnya yang sangat banyak. Pada pantai berpasir memiliki gerakan ombak pengaruh yang menyertai: Ukuran Partikel, Pergerakan Substrat, & Kandungan Oksigen. Pada umumnya pantai berpasir lebih banyak dikenal oleh manusia dibanding dengan jenis pantai yang lain. Hal ini dikarenakan pantai berpasir memiliki manfaat yang sangat banyak dibanding dengan pantai jenis yang lainnya. Pantai berpasir adalah pantai dengan ukuran substrat 0.002-2 mm. Jenis pantai berpasir termasuk dalam jenis pantai dengan partikel yang halus. Sama halnya pada pantai berbatu, pada pantai berpasir juga dibagi dalam beberapa zonasi, yaitu: 1. Mean High Water of Spring Tides (MHWS) rata-rata air tinggi pada pasang purnama. Zona ini berada pada bagian paling atas. Pada daerah ini berbatasan langsung dengan daerah yang kering dan sering terekspose 2. Mean Tide Level (MLS) rata-rata level pasang surut. Zona ini merupakan daerah yang paling banyak mengalami fluktusi pasang surut. Pada daerah ini juga dapat ditemukan berbagai ekosistem salah satunya ekosistem padang lamun. 3. Mean Water Low of Spring Tides (MLWS) rata-rata air rendah pada pasang surut purnama. Zona ini merupakan zona yang paling bawah. Pada daerah ini fliktuasi pasang surut sangat sedikit yang berpengaruh karena daerah ini tidak terkena fluktuasi tersebut. Daerah ini juga bias ditemukan ekosistem terumbu karang Menurut Nybakken (1992) zonasi yang terbentuk pada pantai berpasir sangat dipengaruhi oleh faktor fisik perairan. Hal ini nampak dari hempasan gelombang dimana jika kecil maka ukuran partikelnya juga kecil, tetapi sebaliknya jika hempasan gelombang besar maka partikelnya juga akan besar. Pada pantai berpasir hempasan gelombangnya kecil menyebabkan butiran partikelnya kecil. Secara umum kita dapat membagi kawasan pantai berpasir sebagai kawasan pasang surut karena sangat dipengaruhi oleh pola naik dan surutnya air laut kedalam tiga zona yang merupakan pemilahan dari pola pergerakan pasang surut dan hempasan riak gelombang yang dinamis tersebut.
Zona pertama merupakan daerah diatas pasang tertinggi dari garis laut yang hanya mendapatkan siraman air laut dari hempasan riak gelombang dan ombak yang menerpa daerah tersebut (supratidal), Zona kedua merupakan batas antara surut terendah dan pasang tertinggi dari garis permukaan laut (intertidal) dan zona ketiga adalah batas bawah dari surut terendah garis permukaan laut (subtidal). Jika anda berjalan pada kawasan pantai yang sesekali dibasahi oleh hempasan riak kecil gelombang, dan pada batas tumbuhnya beberapa tanaman khas pantai seperti pohon kelapa, dan pohon lainnya, kawasan inilah yang di kenal dengan zona supratidal. Kawasan ini hanya sesekali mendapat percikan air pada pasang-pasang tertinggi dan sering terjadi proses pengeringan dengan kontak langsung oleh sinar matahari serta udara pantai, termasuk pengaruh daratan yang lebih dominan terutama oleh aktifitas manusia. Pada kawasan yang lebih rendah yang terus dibasahi oleh air laut saat pasang adalah zona intertidal yang lebih “nyaman” bagi beberapa hewan kecil yang bergerak lincah. Kawasan ini sesekali terendam oleh air saat pasang dan sesekali terjemur oleh teriknya matahari saat surut. Pada kawasan supratidal dan intertidal, banyak di dominasi oleh hewan-hewan yang bergerak cepat untuk mencari makan seperti beberapa jenis kepiting dan atau mengubur diri kedalam pasir seperti beberapa jenis kerang-kerangan (bivalve) dan cacing pantai (Annelida). Khusus pada zona intertidal, hewan-hewan yang membanamkan diri pada pasir (infauna) lebih banyak di jumpai di bandingkan dengan daerah subtidal yang di dominasi oleh hewanhewan kecil yang hidup di atas permukaan pasir (epifauna). Dibalik keindahan kawasan pantai berpasir yang terlukis oleh kuas alam, tidak jarang dari kita menganggapnya sebagai kawasan “tandus” yang hanya berisikan pasir atau benda mati lainnya. Kita mungkin tidak pernah menyangka kalau kawasan dinamis yang terus di terjang riak gelombang laut tersebut sebenarnya merupakan “rumah” bagi berjuta hewan kecil dan alga laut yang khas. Hewan-hewan tersebut hidup dengan pola unik yang harus menyesuaikan diri dengan dinamika pantai yang terus bergolak. Sebagian besar dari hewan-hewan ini adalah hewan yang bergerak aktif atau membenamkan diri dalam pasir (infauna) dan atau melekat pada beberapa substrat padat seperti batuan yang terdapat di sepanjang daerah tersebut. Kita jarang melihat adanya organisma pada kawasan supratidal atau intertidal saat berjalan santai diatasnya, karena hewan-hewan kecil pada kawasan ini sangat aktif dan mempunyai semacam alat pendeteksi untuk memastikan mereka aman dari gangguan hewan lain termasuk manusia. Saat mereka merasa terganggu, dengan sangat cepat mereka bergerak membenamkan diri kedalam pasir dan atau mencari kawasan yang lebih aman dari
jangkauan. Pada beberapa kawasan yang jauh dari kegiatan manusia, kita dapat menemukan begitu ramainya kehidupan pantai berpasir dari kegiatan “pencarian makanan” dan “bermain” di sela-sela hempasan riak gelombang oleh kepiting-kepiting kecil termasuk hermit crab, cacing-cacing pantai, kerang-kerangan kecil. Pada daerah yang sarat dengan kegiatan manusia (pantai wisata) kita mungkin masih dapat menyaksikan keunikan kehidupan tersebut saat malam hari. Kita sering melihat sepintas kecerdikan kepiting kecil yang hidup di tepi pantai sambil sesekali berlari mencari makan dan bersembunyi kedalam lubang yang merupakan “rumah kecil” ketika merasa terusik, atau secara tidak sengaja, saat menyandarkan telapak tangan kita keatas pasir yang sesekali terendam, kita sering merasakan gigitan-gigitan kecil dari cacing-cacing pantai yang bersembunyi di sela-sela pasir dan bahkan kita sering memungut kerang-kerangan kecil yang masih hidup terkubur di tepi pantai berpasir. Keseluruhan hewan-hewan tadi adalah penguhi tetap kawasan pantai berpasir yang saling terkait kedalam suatu ekosistem pesisir yang unik dan khas. Semua saling terkait walau masing-masing tinggal dan mencari makan pada zona yang berbeda. Keterkaitan yang khas ada pada pola pemanfaatan ruang dan makanan. Namun sayangnya, di beberapa kawasan pantai Indonesia, hampir kita tidak lagi dapat menemukan pola keseimbangan yang terjadi antara ketiga zona tersebut, karena umumnya seluruh daerah subtidal yang dekat dengan kegiatan manusia telah rusak dan hewan-hewan yang hidup di sana tersingkir kedaerahdaerah yang lebih jauh dan aman. Hingga sering kita menemukan banyak cangkang organisma laut di sepanjang garis pantai yang kita lalui dan itu merupakan rumah kecil dari beberapa hewan yang mendominasi kawasan subtidal. ADAPTASI ORGANISME INTERTIDAL Karena organisme intertidal umumnya berasal dari laut, maka adaptasi yang diteliti terutama harus menyangkut penghindaran atau pengurangan tekanan yang timbul karena keadaan yang terbuka setiap hari pada lingkungan daratan. Tekanan yang utama dari lingkungan laut adalah ombak. Daya tahan terhadap kehilangan air Mekanisme yang sedehana untuk menghindari kehilangan air terlihat pada hewanhewan yang bergerak, misalnya kepiting. Hewan ini dengan mudah berpindah dari daerah permukaan yang terbuka di intertidal ke dalam lubang-lubang, celah atau galian yang sangat basah sehingga kehilangan air dapat diatasi.
Pemeliharaan keseimbangan panas Walaupun kematian akibat kedinginan ditemukan juga pada beberapa organisme intertidal, namun suhu rendah yang ekstrem nampaknya tidak begitu menjadi masalah bagi organisme pantai dibandingkan suhu yang tinggi. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa organisme-organisme tersebut hidup lebih dekat dengan suhu letal atasnya daripada suhu letal bawahnya. Tekanan mekanik Gerakan ombak mencapai puncaknya di zona intertidal. Karena itu, setiap organisme yang hidup di daerah ini perlu beradaptasi untuk mempertahankan diri dari pengaruh pukulan ombak pada pantai berpasir, sehingga membutuhkan adaptasi yang berbeda pula. Untuk mempertahankan posisi menghadapi gerakan ombak, organisme intertidal telah membentuk beberapa adaptasi. Salah satu diantaranya yang ditemukan pada teritip, tiram, dan cacing polikaeta serpulida, adalah dengan melekat kuat pada substrat. Sedangkan alga di daerah intertidal menyatukan dirinya pada dasar perairan melalui sebuah alat pelekat. Pernapasan Karena hewan-hewan penghuni zona intertidal merupakan hewan laut, maka mereka mempunyai tonjolan organ pernapasan yang mampu mengambil oksigen dari air. Biasanya tonjolan itu tipis dan merupakan perluasan dari permukaan tubuh. Organ-organ pernapasan ini amat peka terhadap kekeringan di udara dan tidak akan berfungsi kecuali jika dicelupkan ke dalam air. Organ seperti ini tidak diperlukan di daerah intertidal. Cara Makan Pada waktu makan, seluruh hewan intertidal harus mengeluarkan bagian-bagian berdaging dari tubuhnya. Hal ini berarti bahwa bagian-bagian yang terbuka ini harus tahan terhadap kekeringan. Karena itu, seluruh hewan intertidal hanya aktif jika pasang naik dan tubuhnya terendam air. Hal ini berlaku bagi seluruh hewan baik pemakan tumbuhan, pemakan bahan-bahan tersaring, pemakan detritus, maupun predator. Tekanan salinitas Zona intertidal juga mendapat limpahan air tawar, yang dapat menimbulkan masalah tekanan osmotik bagi organisme intertidal yang hanya dapat menyesuaikan diri dengan air
laut. Karena hampir semua organisme intertidal tidak memperlihatkan adaptasi daya tahan terhadap perubahan salinitas, tidak seperti organisme estuaria. Kebanyakan tidak mempunyai mekanisme untuk mengontrol kadar garam cairan tubuhnya dan karena itu disebut osmokonformer. Reproduksi Kebanyakan organisme intertidal hidup menetap atau bahkan melekat, sehingga dalam penyebarannya mereka menghsailkan telur atau larva yang terapung bebas sebagai plankton. Adaptasi reproduksi kedua yang diakibatkan oleh posisi intertidal adalah bahwa hampir semua organisme mempunyai daur perkembangbiakan yang seirama dengan munculnya arus pasang surut tertentu, seperti misalnya pada waktu pasang purnama. Contohnya Mytilus edulis, gonad menjadi dewasa selama pasang purnama dan pemijahannya berlangsung ketika pasang perbani. Pada Littorina neritoides, telurnya diletakkan pada saat pasang purnama. Ikan-ikan intertidal Hampir semua ikan intertidal berukuran kecil, karena keadaan linhkungan yang bergolak. Bentuk tubuh biasanya pipih dan memanjang (Bleniidae, Pholidae) atau gepeng (Cottidae, Cobiesocidae), yang memungkinkan mereka tinggal di lubang, saluran, celah, atau lekukan untuk berlindung dari kekeringan dan gerakan ombak. Sebagian besar mempunyai gelembung renang dan sangat berasosiasi dengan substrat. Banyak dari ikan ini yang beradaptasi untuk menahan kisaran salinitas dan suhu yang besar dibandingkan dengan familinya yang berada di daerah subtidal. Beberapa dari mereka beradaptasi dengan cara berada di luar air untuk beberapa saat lamanya. Banyak ikan intertidal di zona beriklim sedang yang merupakan karnivora dan menunjukkan peranan yang potensial dalam organisasi komunitas intertidal.
Daftar pustaka http://www.scribd.com/doc/29302728/Org-Inter-Tidal-Kel-1
http://www.scribd.com/doc/9739611/EKOSISTEM-PERAIRAN
http://zonaikan.wordpress.com/2010/02/16/ekologi-intertidal/ Nybakken, James W.1992.Biologi laut suatu pendekatan ekologis.Gramedia Pustaka Utama:Jakarta
TUGAS EKOLOGI LAUT „EKOSISTEM PANTAI BERPASIR INTERTIDAL‟
Kelompok 2 : Iqbal Aditya Putra Anugrah cahyo yudia (K2E009031) Ulung jantama wisha(26020210130081) Wahyu aditya(26020210141005) Rifki kurnia(26020210130106) Dimas wahyu anggara(26020210130111) Pratiwi ramadhan(26020210141017) M hanif rasyda(26020210141001)
PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI JURUSAN ILMU KELUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELUTAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2011