“EKOSISTEM PANTAI BERLUMPUR”
Disusun oleh : Kelompok 3 Sanjaya Arya Bima Arieswan (165080600111032) M. Ramdan Yusfa (165080600111034) Fikri Hardiansyah (165080600111036) Irham Maulana (165080600111038) (165080600111038) Salsabila Efany Putri (165080600111040) Intan Lupita Sari (165080601111002) (165080601111002)
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2017
1. Deskripsi
Menurut Nybakken (1992) Pantai berlumpur merupakan pantai yang memiliki substrat yang sangat halus dengan diameter kurang dari 0,002 mm. Terbentuk dari pertemuan antara endapan lumpur sungai dan laut yang berada di muara sungai dan sekitarnya. Pantai berlumpur juga merupakan tempat dimana beberapa organisme berlindung, bertelur dan membesarkan anak. Pantai berlumpur banyak terdapat di kawasan yang landai dan sering berasosiasi pada hutan manggrove dan lamun. Ekosistem pantai lumpur yang terdapat di muara disebut Monsun estuaria. Menurut
Davey
komponen organik yang fauna yang juga
(1998),
Pantai
mengandung
mengalami
merupakan sedimen butiran halus
berlumpur
lebih
perubahan yang tidak
adalah
karakteristik
sepanjang stabil dan
suatu
flora
gradien. terus bergerak
dan Juga di
sekitar dan tidak ada tempat bagi organisme untuk melakukan penangkapan serta mempunyai banyak liang. Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa intertidal berlumpur adalah suatu komponen substrat organik yang sangat halus yang terus mengalami perubahan dan mempunyai flora dan fauna yang juga mengalami perubahan serta mempuyai banyak daerah liang. 2. Komponen biotik
Pantai berlumpur; terdapat di sepanjang garis pantai yang berbatasan dengan lautan dangkal pada beting Sunda dan beting Sahul, terlindungdari serangan gelombang besar dan karenanya didominasi oleh pasut dan sungai, kondisi pantai (foreshore) sangat landai dan datar dan terdapat delta-delta di beberapa kawasan pantai. Jenis ekosistem ini terbentuk dari pertemuan endapan lumupur- lumpur sungai.Ekosistem ini membentuk habitat dengan tumbuhan recemia, skeratia, dan juga rumput laut (enhalus acoroides).Dihuni oleh berbagai macam jenis binatang yang memiliki nilai ekosomis tinggi apabila dijual.Mempunyai muara. Muara yang ada di ekosistem pantai lumpur ini berada di muara yang biasa disebut dengan monsun estuaria.Dihuni berbagai biota, seperti ikan gelodok.Terdapat di pantai- pantai yang memiliki pulau- pulau yang besar. Hal ini karena pulau yang besar juga mempunyai sungi yang besar, maka dari itulah terciptalah ekosistem pantai lumpur ini (IlmuGeografi, 2017). Menurut Yusung (1999), Jenis hewan yang biasa berada di daerah pantai berlumpur ialah ikan gelodok, cacing, bivalvia, gastropoda, udang-udangan dan
kepiting (terutama kepiting rebab, kepiting pertapa dan kepiting sepatu kuda). Kebanyakan pemakan makanan deposit, tetapi beberapa sebagai pengumpan suspensi seperti tiram. Sementara tumbuhan yang hidup disini seperti Tricemia, Skeratia dan rumput lautOrganisme yang hidup disini harus mampu untuk mentolerir kondisi anaerobik. Karena kebanyakan organisme tidak dapat bertahan dalam kondisi anaerob biasanya telah membuat adaptasi di pantai berlumpur. Tricemia, Skeratia, dan Enhalus acoroides. Menurut Bengen (2003), Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon (seperti Avicennia,Sonneratia,
Rhizophora,
Bruguiera,
Ceriops,
Lumnitzera,
Exoecaria,Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa) yang mampu tumbuh dan
berkembang
pada
daerah
pasang
surut
pantai
berlumpur
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang kaya dan menjadi salah satu sumberdaya yang produktif.Hutan mangrove sebagai salah satu sumberdaya kelautan mempunyai peranan yang cukup panting. Secara ekologis berbagai jenis hewan laut hidup di daerah mangrove.Vegetasi Hutan Mangrove memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis yang tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun tidak semua jenis mangrove dapat ditemukan pada ekosistem mangrove, paling tidak didalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati yang
dominan
pada
hutan
mangrove,
sepeti
famili
Rhizophoraceae,
Sonneratiaceae, Avicenniaceae, Meliaceae. 3. Komponen abiotik
Menurut Hasil penelitian Lebala (2001), tentang pangambilan oksigen, sulfida dan nutrien oleh kerang Anodontia edentula pada daerah mangrove berlumpur menunjukan bahwa pada percobaan yang menggunakan kerang Anodontia edentula, menunjukkan bahwa konsentrasi sulfida berkurang secara drastis dibandingkan dengan yang tidak menggunakan kerang tersebut. Spesies tersebut hidupnya pada kondisi anoxic dengan sulfida dari sedimen rereduksi. Menurut Prahastianto (2010), hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang - surut pantai berlumpur.
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem utama penyusun wilayah pesisir tropis selain pelagis estuaria, padang lamun dan terumbu karang. Hutan mangrove memiliki manfaat yang penting bagi sumberdaya ikan, mangrove sebagai tempat untuk memijah (spawning), peremajaan (nursery) dan mencari makan (feeding) bagi beberapa jenis sumberdaya ikan. Sehingga keberadaan dan kelestarian hutan mangrove perlu dijaga agar manfaat yang diberikan dapat dioptimalkan dan terhindar dari kerusakan yang l ebih besar. Komponen abiotik yang terdapat pada ekositem pantai berlumpur terdiri dari faktor fisika, kimia, dan biologi. Faktor fisika yang terdapat pada ekosistem pantai berlumpur yaitu seperti kondisi kualitas air, subtrat yang berlumpur, kondisi lingkungan anoxic, dan juga sedimen yang tereduksi. Sedangkan faktor kimianya berupa kandungan oksigen, sulfida, dan nutrient. Faktor yang terakhir adalah faktor biologi, yaitu pohon mangrove yang merupakan
salah satu
ekosistem utama penyusun wilayah pesisir tropis dan daerah pasang - surut pantai berlumpur. Pohon mangrove juga berperan sebagai tempat untuk memijah (spawning), peremajaan (nursery) dan mencari makan (feeding). 4. Interaksi antara komponen biotik & abiotik
Pertumbuhan phytoplankton di wilayah pantai berlumpur diatur dengan suatu interaksi antara matahari, hujan, bahan gizi, dan gerakan massa air, serta convergensi yang di akibatkan oleh arus laut. Sampai jumlah tertentu produksi phytoplankton tergantung pada cuaca, dengan pencampuran dan stratifikasi kolom air yang mengendalikan produktivitas utama. Percampuran massa air vertikal yang kuat mempunyai suatu efek negatif terhadap produktivitas, dengan mengurangi perkembangan phytoplankton maka terjadi penambahan energi itu sendiri dan penting bagi fotosintesis. Bagaimanapun, pencampuran vertikal adalah juga diuntungkan karena proses penambahan energi, yang membawa bahan gizi (nutrient ) dari air menuju ke permukaan di mana mereka dapat digunakan oleh phytoplankton. Menurut Zedler (1980), 85 sampai 92 % zooplankton di teluk adalah calanoid copepods. Secara teknis, istilah zooplankton mengacu pada format hewan plankton, yang tinggal di kolom air dan pergerakan utama semata-mata dikendalikan oleh keadaan insitu lingkungan (current movement ). Bagaimanapun, yang mereka lakukan akan mempunyai kemampuan untuk berpindah tempat vertikal terhadap kolom air dan boleh juga berpindah tempat secara horisontal dari pantai ke laut lepas sepanjang yaitu musim semi dan musim panas dalam
untuk mencari lokasi yang cocok untuk pertumbuhan mereka. Migrasi vertikal menciptakan sonik lapisan menyebar ketika zooplankton bergerak ke permukaan pada malam hari
dan tempat yag terdalam pada siang hari.
Pada daerah
berlumpur dengan olakan gelombang besar, migrasi vertical zooplankton akan terhalang. Sedangkan, migrasi horisontal musiman mengakibatkan zooplankton akan mengalami blooming (pengkayaan). Menurut Thom (1996), pembatasan CO2 pada spesies-spesies lamun dan kebun kelp setelah dievaluasi dilaboratorium akan mengalami pengkayaan CO 2 apabila ada pegaruh dari air laut dan proses fotosintesis di pantai berlumpur khususnya dari spesies Zoostera marina (lamun) dan Nereocytis lutkeana (kebun kelp). 5. Rantai makanan
Rantai makanan adalah perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jenjang makan (tumbuhanherbivora-carnivora). Pada setiap tahap pemindahan energi, 80% – 90% energi potensial hilang sebagai panas, karena itu langkah-langkah dalam rantai makanan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan perkataan lain, semakin pendek rantai makanan semakin besar pula energi yang tersedia. Rantai makanan adalah peristiwa makan dan dimakan antara makhluk hidup dengan urutan tertentu. Dalam rantai makanan ada makhluk hidup yang berperan sebagai produsen, konsumen, dan dekomposer (jatengprov,2017). Ada dua tipe dasar rantai makanan: a.
Rantai makanan rerumputan (grazing food chain). Misalnya: tumbuhanherbivora-carnivora.
b. Rantai makanan sisa (detritus food chain). Bahan mati mikroorganisme (detrivora = organisme pemakan sisa) predator. Suatu rantai adalah suatu pola yang kompleks saling terhubung, rantai makanan di dalam suatu komunitas yang kompleks antar komunitas, selain daripada itu, suatu rantai makanan adalah suatu kelompok organisma yang melibatkan perpindahan energi dari sumber utamanya (yaitu., cahaya matahari, phytoplankton, zooplankton, larval ikan, kecil ikan, ikan besar, binatang menyusui).
Jenis dan variasi rantai makanan adalah sama banyak seperti
jenis/spesies di antara mereka dan tempat kediaman yang mendukung mereka. Selanjutnya, rantai makanan dianalisa didasarkan pada pemahaman bagaimana rantai makanan tersebut memperbaiki mekanisme pembentukannya (gambar 4).
Ini dapat lebih lanjut
dianalisa sebab bagaimanapun
jenis tunggal boleh
menduduki lebih dari satu tingkatan trophic di dalam suatu rantai makanan ( Krebs 1972 in Johannessen et al, 2005). Dalam bagian ini, diuraikan tiga bagian terbesar dalam rantai makanan (Johannessen et al, 2005) yaitu: phytoplankton, zooplankton, dan infauna benthic. Sebab phytoplankton dan zooplankton adalah komponen rantai makanan utama dan penting, dimana bagian ini berisi informasi yang mendukung keberadaan organisme tersebut. Sedangkan, infauna benthic adalah proses yang melengkapi pentingnya rantai makanan di dalam ekosistem pantai berlumpur. Selanjutnya, pembahasan ini penekananya pada bagaimana mata rantai antara rantai makanan dan tempat berlundungnya (tidal flat; pantai berlumpur) (Johannessen et al ., 2005). 6.
Kesimpulan
Ekosistem pantai berlumpur adalah ekosistem pantai yang memiliki substrat yang sangat halus dengan diameter kurang dari 0,002 mm. Dimana pada ekosistem ini terdapat kompunen biotic dan abiotik yangsalingberimteraksi satu sama lain dan membentuk rantai makanan.
Komponen
biotic
pada
pantai
berlumpur
merupakan
habitat
dengan
tumbuhan recemia, skeratia, dan juga rumput laut (enhalus acoroides) yang dihuni oleh berbagai macam jenis binatang yang memiliki nilai ekosomis tinggi apabila dijual.Mempunyai muara.
Komponen abiotik yang terdapat pada ekositem pantai berlumpur terdiri dari factor fisika, kimia, dan biologi. Faktor fisika yang terdapat pada ekosistem pantai berlumpur yaitu seperti kondisi kualitas air, subtrat yang berlumpur, kondisilingkungan anoxic, dan jugasedimen yang tereduksi. Sedangkan factor kimianya berupa kandungan oksigen, sullfida, dan nutrient. Faktor yang terakhir adalah factor biologi, yaitu pohon mangrove yang merupakan salah satu ekosistem utama penyusun wilayah pesisir tropis dan daerah pasang – surut pantai berlumpur.
Interaksi komponen biotik dan abiotik adalah interaksi yang terjadi antara kompunen biotik dengan abiotik. Contohnya pertumbuhan phytoplankton di
wilayah pantai berlumpur diatur dengan suatu interaksi antara matahari, hujan, bahan gizi, dan gerakan massa air, serta convergensi yang di akibatkan oleh arus laut
Rantai makanan adalah perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jenjang makan (tumbuhan-herbivoracarnivora), dalam perpindahan ini energy tidak dapat tersalurkan seluruhhnya namun hanya sekitar 80-90%.
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, DG, 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaanya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Davey, K. 1998. A Photographic Guide to Seashore Life of Australia. p.8, New Holland, Sydney. Ilmugeografi.2017. http://ilmugeografi.com/ilmu-bumi/laut/ekosistem-pantai Diakses tanggal 01Juni 2017 pukul 13:55 Johannessen, J.W., MacLennan, A., and McBride, A, 2005. Inventory and Assessment of Current and Historic Beach Feeding Sources/Erosion and Accretion Areas for the Marine Shorelines of Water Resource Inventory Areas 8 & 9, Prepared by Coastal Geologic Services. Prepared for King County Department of Natural Resources and Parks, Seattle, WA. Lebata, M.J.H.L. 2001 . Oxygen, sulphide and nutrient uptake of the mangrove mud clam Anodontia edentula (Family:Lucinidae). Marine Pollution Bulletin. 11(42), 11331138. Elsevier Science Ltd. Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT.Gramedia, Jakarta. Hal 205- 268. Prahastianto, Fajar, Edi. 2010. Keberadaan Mangrove Dan Produksi Ikan Di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Skripsi. IPB. Bogor. Provjateng. 2017. http://jatengprov.go.id Diakses pada 1 Juni 2017 pukul 15.15 Thom, R.M. 1996. CO2-enrichment effects on eelgrass (Zostera marina L.) and Bull kelp (Nereocystis Luetkeana (Mert.) P. & R.). Water, Air, and Soil Pollution 88:383
391.
Yusung, E.G. 1999. The Ecology of Natural Disturbance and Patch Dinamics. Academic Press Inc, Florida p 3-4. Zedler, J. B. 1980. Algal mat productivity: comparisons in a salt marsh. Estuaries and Coasts, 3(2): 122-131.