BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan imunologi yang begitu cepat tidak terlepas dari dorongan perkembangan cabang ilmu lain serta metode pemeriksaan laboratorium yang ditunjang dengan peralatan yang semakin canggih. Analisis, baik kualitatif maupun kuantitatif, terhadap berbagai gambaran tanggapan kekebalan menyebabkan semakin bertambahnya pemahaman terhadap pathogenesis berbagai penyakit. Dalam bidang kesehatan, pemahaman semacam ini, ditambah penguasaan prosedur laboratorium, semakin membuka kemungkinan penerapan imunologi upaya diagnostik berbagai penyakit. Teknik imunodiagnostik cukup luas dan bervariasi, semuanya berdasarkan reaksi sistim kekebalan dalam tubuh manusia yang diaplikasikan secara in vitro. Imunoassay merupakan salah satu teknik imunodiagnostik paling banyak digunakan. Teknik ini berdasarkan reaksi kimia antara dua jenis analit (antigen dan anti bodi) yang dapat rnemberi hasil bervariasi bergantung indikatornya. Sebagai indikator biasanya digunakan bahan radioaktif biasanya yodium 125 (radioimmunoassay/ RIA), sistim enzim-substrat tertentu seperti peroksidasekloronaftol, fosfatase-bromo-kloro-indolinfosfat, zat golongan fuorokrom atau fluoresen dan lain-lain. Pada pengembangan immunoassay banyak pilihan teknik yang dapat digunakan sebagai acuan untuk mendapatkan hasil yang optimal, tetapi tidak sedikit yang terbentur pada tingkat sensitivitasnya. Berdasarkan “Label” atau substansi yang terkonjugasi ke antigen atau antibodi untuk menggambarkan reaksi Ag-Ab, maka teknik immunoassay dibagi menjadi EIA (Enzyme ImmunoAssay), ELISA (Enzyme Linked-Immunosorbent Assay), RIA (Radio ImmunoAssay), IFA (ImmunoFluorescence Assay), dan LIA (Luminescence ImmunoAssay). ELISA adalah salah satu metode yang sensitif untuk mendeteksi antibodi, antigen, hormon maupun bahan toksik. Metode ini merupakan pengembangan
1
dari sistem deteksi dengan imunofluorescence atau radioaktif. Dalam teknik ini beberapa enzim dapat dikonjugasi pada antigen dan antibodi. Dalam praktiknya, enzim yang dipilih menunjukkan kinetika sederhana, dan dapat diuji dengan prosedur sederhana. Pertimbangan lain dalam penggunaan teknik ini adalah murah, ketersediaan dan kestabilan substrat. Pembahasan lebih lanjut mengenai teknik ELISA (Enzyme Linked-Immunosorbent Assay) akan dipaparkan dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana prinsip dalam immunoassay ? 2. Apa klasifikasi dari immunoassay ? 3. Bagaimana prinsip dan klasifikasi dari immunoassay model ELISA ? 4. Bagaimana penggunaan aplikasi dari immunoassay ELISA ? 5. Bagaimana perkembangan dari immunoassay ELISA ?
C. Tujuan Untuk mengenal, mengetahui, memahami, serta mampu mengaplikasikan metode immunoassay terutama metode ELISA.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengenalan Immunoassay Reaksi antigen dan antibodi bersifat spesifik. Antigen akan bereaksi hanya dengan antibodi yang khas untuk antigen tersebut. Oleh karena spesifitas yang tinggi ini, reaksi antara antigen dan antibodi dapat digunakan untuk mengidentifikasi salah satu menggunakan satu lainnya. Spesifitas ini merupakan dasar reaksi serologis. Reaksi silang yang mungkin terjadi antara antigen yang berhubungan dapat membatasi spesifitas tes. Reaksi antigen-antibodi digunakan untuk mengidentifikasi komponen spesifik dalam gabungan dari salah satu tersebut. Mikroorganisme dan sel yang lain mempunyai antigen beragam, oleh karena itu dapat bereaksi dengan banyak antibodi yang berbeda. Antibodi monoklonal merupakan sarana yang sangat baik untuk identifikasi antigen karena mempunyai spesifitas tunggal yang diketahui dan homogen. Antiserum yang dihasilkan sebagai bagian dari respon imun mengandung kompleks campuran antibodi, oleh karena itu heterogen. Ini mengakibatkan antiserum tersebut kurang bermanfaat untuk tes spesifik. Imunoassay merupakan salah satu teknik imunodiagnostik paling banyak digunakan. Teknik ini berdasarkan reaksi kimia antara dua jenis analit (antigen dan antibodi) yang dapat rnemberi hasil bervariasi bergantung indikatornya.
B. Klasifikasi Immunoassay Berdasarkan mekanisme reaksinya, sistim imunoassay dapat dikategorikan menjadi assay kompetitif dan non kompetitif, sistim terakhir ini prinsip dasarnya sama dengan prinsip peran substrat-inhibitor dalam reaksi enzimatis. Gabungan dari sistim di atas menghasilkan produk-produk imunodiagnostik komersial dengan enam model reaksi dasar. Keenarn model tersebut ialah : 1. Assay kornhetitif menggunakan antigen terlabel bertujuan mendeteksi antigen dengan konsentrasi antibodi yang terbatas dan mengunakan
3
antigen serupa yang dilabel sebagai kompetitornya. Nilai yang diukur biasanya kompleks Ag-Ab. Karena sifatnya kompetitif maka antibodi yang sudah mengikat antigen alami tidak mampu lagi mengikat antigen terlabel. Dengan menggunakan antibodi yang spesifisitasnya tinggi, assay ini dapat mendeteksi 21 Dua macam antibodi yang digunakan dalam ELISA, antibodi pertama (primary antibody) mengikat pada antigen dan antibodi kedua (secondary antibody) atau antibodi antiglobin mengikat pada antibodi pertama. Antiglobin ini yang dilabel dengan enzim seperti horseradish peroxidase, alkalin phospatase yang mempermudah untuk monitor dengan perubahan warna. Adanya reaksi dari enzim ini secara kuantitatif antibodi pertama dapat dianalisis. 2. Assay kompetitif menggunakan antibodi berlabel dengan tujuan sama seperti point 1 di atas. Assay ini biasanya digunakan jika sifat antigen dapat mempengaruhi label yang digunakan 3. Assay kompleks Ag-Ab bertujuan mendeteksi antigen atau antibodi; cara ini paling banyak digunakan di bidang diagnostik atau biomedis. Secara teknis relatif sederhana dan murah. Prosedur seperti reaksi aglutinasi, imunodifusi ganda dan presipitasi berazaskan model ini. Biasanya dalam model ini tidak menggunakan label dan kepekaannya terbatas, meskipun demikian reaksi imunodifusi dapat mendeteksi 0,005 µg protein/ml suspens 4. Sandwich assay merupakan metode yang lebih modern dan luas penggunaannya. Prinsipnya hampir sama dengan model 3, tapi antigen yang digunakan biasanya dapat berikatan dengan dua atau lebih antibodi yang berbeda
spesifisitasnya. Salah satu reaktan (biasanya antibodi)
terikat (immobilized) pada matrix tertentu seperti polistirene dan pada antibodi lainnya diberi label. Sandwich assay inipun bermacam-macam prinsipnya. Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA) termasuk dalam model ini. Model ini lebih peka dari model 1, dapat mendeteksi 10 antigen.
4
5. Assay non kompetitif dengan tujuan mendeteksi antibodi dalam serum (berbeda dengan model sebelumnya). Antigen yang digunakan biasanya berlebih dan terikat pada matrix tertentu, serum yang akan dideteksi jenis antibodinya (antibodi primer) direaksikan dengan antigen tersebut. Reaksi ini memerlukan suatu anti-antibodi (antibodi sekunder) terhadap antibodi yang akan dideteksi tadi. Antibodi sekunder inilah yang biasanya dilabel dan dapat bereaksi
dengan bagian Fc dari molekul antibodi primer,
sehingga kandungan antibodi dalam serum dapat ditentukan. 6. Assay bebas pemisahan pada reaksi (sistim homogen) dengan tujuan sama seperti model 1, 2, dan 3, tapi pembacaan hasil reaksi ditentukan oleh sifat label yang memang berbeda sebelum dan sesudah reaksi; oleh sebab itu sistim ini tidak memerlukan pemisahan pasca reaksi .Teknik ini banyak digunakan dalam laboratorium klinik dan forensik seperti kasus penyalahgunaan obat. Assay ini biasanya kurang peka jika dibandingkan dengan yang sistim
C. Metode ELISA Uji ELISA merupakan salah satu bentuk perkembangan sisitem uji imun yang telah dikembangkan sebagai alternatif penggunaan radioisotop. Sebagai gantinya digunakan enzim. Semula ELISA diperkenalkan dalam upaya meningkatkan kepekaan, tetapai karena sistem ini sangat bergantung pada aviditas antibodi, maka upaya ini tidak berhasil. Dibanding dengan teknik yang menggunakan radioisotope, di sini tidak perlu. Di samping itu, konjugat enzim bersifat lebih stabil dibandingkan dengan protein bertanda iodium radioaktif. Satu hambatan ELISA adalah diperlukannya spektrofotometer yang sesuai untuk mengukur volume sampel yang sedikit. Untuk pemeriksaan sampel dalam jumlah besar lebih bermanfaat jika tersedia suatu alat automatis yang memang dirancang untuk ELISA. Dalam teknik ini beberapa enzim dapat dikonjugasi pada antigen dan antibodi. Dalam praktiknya, enzim dipilih yang menunjukkan kinetika
5
sederhana, dan dapat diuji dengan prosedur sederhana. Pertimbangan lain dalam penggunaan teknik ini adalah murah, ketersediaan dan kestabilan substrat. Berdasarkan alas an-alasan ini, enzim yang paling umum digunakan adalah fisfatase alkali, β-D galaktosidase, dan perioksidase lobak. Dua macam antibodi yang digunakan dalam ELISA, antibodi pertama (primary antibody) mengikat pada antigen dan antibodi kedua (secondary antibody) atau antibodi antiglobin mengikat pada antibodi pertama. Antiglobin ini yang dilabel dengan enzim seperti horseradish peroxidase, alkalin phospatase yang mempermudah untuk monitor dengan perubahan warna. Adanya reaksi dari enzim ini secara kuantitatif antibodi pertama dapat dianalisis. Metode ELISA pertama kali diperkenalkan oleh Engvall dan Perlmann (1971) dengan cara mengkonjugasikan enzim dalam immunoassay. Karena tingkat sensitivitasnya tinggi terutama untuk tes serologis pada awal infeksi, maka semenjak itu banyak peneliti menggunakan metode ini yang diikuti dengan produksi enzim besar-besaran terutama yang banyak dikomersilkan adalah Horseradish Peroxidase (HRP), Fospatase Alkali (AP), urease beta galaktose dan glukose oksidasi. Pemilihan enzim tentu saja berdasarkan atas antara lain homogen, murah, spesifik dan stabil. Didasari dari pesatnya perkembangan teknik diagnostik dan penelitian, maka model ELISA berkembang antara lain direct ELISA, indirect ELISA, sandwich ELISA, Iosliche ELISA, Fangan ELISA dan sel ELISA. Sedang model aplikasinya dapat dipergunakan untuk mendeteksi infeksi dini melalui deteksi antigen maupun antibodi dari infeksi virus, bakteri, parasit, dan juga deteksi hormon maupun bahan-bahan toksik. Dalam bidang bioteknologi sering digunakan untuk skrining produksi antibody monoklonal hasil hibridisasi. ELISA adalah salah satu system immunoassay yang terbagi menjadi dua sistem, yaitu sistem homogen dan system heterogen. Sistem homogen dipengaruhi oleh aktivitas enzim dan tidak diperlukan pencucian dan reaksi
6
bertahap. Kerugian tes ini adalah tidak sensitif sehingga tidak digunakan untuk skrining. Sistem heterogen adalah sistem uji yang tidak dipengaruhi oleh aktivitas enzim, jadi konjugat tidak mempengaruhi reaksi antigen-antibodi. Tetapi pencucian dan reaksi dilakukan bertahap merupakan keharusan dan diperlukan reagen partner. Sistem heterogen terdapat dua model yaitu kompetitif ELISA dan non kompetitif ELISA. Kompetitif ELISA kebanyakan digunakan untuk pengukuran antigen melalui kompetitif antara antigen yang tidak dilabel dan antigen yang yang dilabel pada antibodi yang dilapiskan pada mikroplate polystirol atau polyvinyl. Sedang non kompetitif ELISA adalah sistem yang paling banyak digunakan dan dikembangkan karena lebih sensitif dibanding model sistem lainnya. Contoh dari sistem ini adalah direct ELISA (antibodi pertama dilabel), indirect ELISA (antibodi kedua yang dilabel), jembatan antibodi (antibodi ketiga yang dilabel, seperti Peroxidase Anti Peroxidase/PAP). Model ELISA dikembangkan kebanyakan berdasarkan pada kegunaan praktis di setiap laboratorium yang disesuaikan dengan kebutuhan, misalnya untuk mendeteksi antigen, antibodi, hormon, antibiotik, toksin interleukin dan lain-lain. 1. Direct ELISA Direct ELISA adalah salah satu model ELISA yang langsung diikatkan antara antigen dan antibodi, dimana antibodi harus ddilabel dahulu baru divisualisasi dengan cara menambahkan substrat. Kelemahan model ini adalah diperlukan keahlian dalam melakukan konjugasi atau melabel antibodi dengan enzim, sehingga tahap ini memerlukan tahapan purifikasi antibodi dan setelah itu dilanjutkan dengan pelabelan. Keuntungannya dari segi ekonomis sedikit lebih murah.
7
Antibodi-enzim-konjugat
Antibodi dilapiskan pada mikroplate
2. Indirect ELISA Model ini banyak digunakan di berbagai tingkatan laboratorium, karena bahan yang digunakan untuk uji ini sudah banyak dipasarkan dan mudah dibeli di pasaran. Model ini tidak memerlukan keahlian khusus untuk konjugasi hanya saja dari segi biaya sedikit lebih besar. Hal ini disebabkan
karena
model
ini
memerlukan
konjugat
fragmen
immunoglobulin anti immunoglobulin yang akan dideteksi. Misalnya yang akan dideteksi adalah IgG maka diperlukan konjugat fragmen imunoglobin anti IgG. Hasil dari uji ini lebih spesifik dibandingkan dengan direct ELISA. Model ini sering digunakan secara rutin untuk diagnosis antigen maupun antibodi. Model lain yang lebih spesifik lagi adalah indirect ELISA model Fang antibodi. Model ini dilakukan dengan cara melapiskan antibodi pada dasar mikroplate selanjutnya ditambahkan dengan antigen dan diinkubasi dalam waktu 45 menit pada temperature 37oC baru ditambahkan antibody monoclonal dan akhirnya ditambahkan substrat yang dilabel dengan enzim alkalin fosfatase atau peroksidase.
8
Indirect ELISA melalui pelapisan antigen
Antibodi sekunder terlabel enzim
Antibodi primer
Antigen
Fang antibodi
Antibodi sekunder terlabel enzim
Antibodi monoklonal Antigen Antibodi primer
3. Sandwich ELISA Sandwich ELISA adalah model tes ELISA yang menggunakan perangkat tiga macam antibodi. Antibodi pertama biasanya menggunakan antibody monoclonal yang dilapiskan pada mikroplate dan selanjutnya direaksikan
dengan
antigen.
Setelah
dilakukan
pencucian
baru
ditambahkan antibodi kedua atau sampel serum yang akan dideteksi dan selanjutnya
direaksikan
dengan
antibodi
ketiga
yaitu
fragmen
immunoglobulin anti immunoglobulin yang akan dideteksi. Model ini sering digunakan untuk mendeteksi antigen selain pada serum, plasma, juga antigen maupun antibodi pada cairan serebrospinal (cerebrospinal
9
fluid), cairan ludah, sekresi air mata. Model ini karena mempunyai tingkat spesifitas dan sensitifitas lebih tinggi dibandingkan dengan kedua model sebelumnya, maka sering digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi yang mempunyai konsentrasi lebih rendah dibandingkan dengan kedua model sebelumnya.
Antibodi sekunder terlabel enzim
Antibodi primer Antigen Antibodi monoklonal
4. Capture ELISA Capture ELISA adalah model yang dikembangkan untuk deteksi IgM karena untuk deteksi IgM sering terjadi faktor negatif yaitu adanya faktor rheumatoid, sehingga sering terjadi positif palsu. Untuk menghindari hal tersebut maka yang dilapiskan (coating) adalah immunoglobulin M anti human. Dengan demikian faktor negatif dapat dihindari karena ikatan spesifik terjadi antara serum yang dideteksi imunoglobulinnya dengan anti-IgM.
10
5. Sel ELISA Sel ELISA dikembangkan untuk mendeteksi antigen atau agen yang terdapat dalam sel. Sehingga pada model ini tidak diperlukan pelapisan antigen pada mikroplate tetapi dengan cara fiksasi sel yang diinokulasikan sampel yang dideteksi agennya, kemudian direaksikan dengan antibodi poliklonal atau monoclonal dan akhirnya direaksikan dengan konjugat fragmen immunoglobulin anti immunoglobulin yang digunakan untuk mendeteksi antigen. Antibodi yang sering digunakan untuk mendeteksi agen dalam sel adalah antibodi monoclonal, karena agen yang terdeteksi di dalam sel belum tentu merupakan antigen yang lengkap, tetapi merupakan bagian tertentu yang dapat menstimulasi antibodi. Hal inilah yang membuat metode ini cukup sensitif.
D. Aplikasi ELISA 1. ELISA untuk Deteksi Virus Aplikasi ELISA untuk mendeteksi infeksi virus dapat dilakukan dengan dua cara, yang pertama adalah mendeteksi reaksi imun (interferon, sitokin, antibodi) dan yang kedua adalah mendeteksi antigennya. Model ELISA direct maupun indirect dan sandwich ELISA baik dengan sistem peroksidase maupun alkali fospatase dapat digunakan.
11
a. Deteksi Antigen Sampel yang dapat digunakan untuk deteksi antigen antara lain jaringan, sekresi dan eksresi, walaupun ada factor pembatas. Jika kadar antigen tidak cukup banyak maka harus dilakukan pembiakan pada sel kultur. Tetapi bila antigen dalam sampel cukup maka dapat langsung dilakukan ELISA. Misalnya sampel untuk virus golongan flavivirus plasma atau serum
adalah merupakan sampel
yang banyak
mengandung virus. Jika sampel rusak dan tidak mungkin dilakukan multiplikasi pada media pertumbuhan virus, maka yang paling baik dan banyak diterima adalah dengan menggunakan antibodi monoklonal karena lebih spesifik pada epitop tertentu dibandingkan dengan antibodi poliklonal. Bahan lain yang cukup representative untuk pemeriksaan antigen adalah berasal dari tinja. Model pengumpulan sampel dari tinja ini kebanyakan digunakan untuk mendeteksi virus yang menyerang pada saluran pencernaan seperti
rotavirus,
coronavirus, parvovirus.
Sementara itu untuk mendeteksi virus yang menyerang saluran pernapasan sampel yang dapat dideteksi antigennya adalah nasofarinks dan trakea, seperti virus IBRV (infectious bovine rhinotracheitis virus), ND virus, IB, ILT dan sebagainya. b. Deteksi Antibodi Sampel yang sering digunakan untuk memantau respon imun khususnya deteksi antibodi adalah serum dan plasma, walaupun ada model lain yang dapat digunakan untuk deteksi antibody seperti sekresi dan ekskresi, cairan cerebrospinal, air susu. 1) Teknik Pengumpulan Antibodi Antibodi dari darah dapat dikumpulkan melalui beberapa cara: sentrifugasi, pembekuan, penyerapan pada kertas, swab, antibody dari susu.
12
2) Sentrifugasi Metode
ini
sering
digunakan
biasanya
para
peneliti
menginginkan dua hal pemeriksaan secara sekaligus yaitu deteksi virus, kultivasi virus dan deteksi dini infeksi mikroorganisme. 3) Pembekuan Teknik ini sering digunakan untuk selain deteksi antibodi juga sering digunakan untuk deteksi antigen tetapi tidak untuk kultivasi virus. 4) Penyerapan pada Kertas Saring Teknik yang tergolong praktis dan efisien ini sering digunakan untuk deteksi antibodi terutama dari pengambilan sampel yang jauh sehingga tidak menyulitkan untuk membawanya. Selain itu juga mudah diamankan dan disimpan. 5) Swab Teknik ini juga sering digunakan terutama untuk pengambilan sampel darah jarak jauh. Jika langsung digunakan untuk tes maka harus dilakukan elusi dan kalau tidak dapat disimpan pada -70oC sampai digunakan. 6) Antibodi pada Air Susu Air susu merupakan sumber antibody yang potensial, sehingga jika kesulitan untuk mengambil sampel dari darah maka dapat digunakan alternatif ini. Tetapi kelemahan cara ini adalah kandungan antibodinya rendah dibanding dangan serum. Selain itu juga lemak susu dapat mengikat antibody, sehingga dapat mengganggu kerja ELISA. Sampel dari air susu sering digunakan untuk
mendeteksi
infeksi
virus
seperti
rotavirus,
EBLV,
IBR/IPVV. 2. ELISA untuk Deteksi Antigen dan Antibodi pada Infeksi Bakteri Bakteri mempunyai struktur yang cukup komplek, sehingga untuk mendeteksi antigen dari infeksi bakteri dengan ELISA terkadang mendapat kesulitan karena mempunyai struktur yang homogen seperti
13
kuman golongan gram negatif. Berdasar kompleksitas tersebut membuat terjadinya reaksi silang satu sama lain. Sebagai contoh brucellosis dan tuberculosis. Untuk menghindari reaksi yang tidak dikehendaki maka diperlukan material yang mempunyai spesifitas yang tinggi dengan cara menyediakan antibodi monoklonal yang dihasilkan dari epitop yang berbeda satu sama lain. Hal ini karena kebanyakan antigen dari antigen terdapat pada permukaan sebagai contoh fimbria yang terletak pada permukaan yang berfungsi untuk penempelan, enzyme ekstra sel untuk penetrasi dan invasi, kapsul untuk perlindungan, eksotoksin, dan lain-lain. Dalam mengembangkan ELISA pada diagnostik infeksi bakteri yang perlu dipertimbangkan adalah menyediakan antigen spesifik. Untuk itu antigen harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti antigen harus imunogenik dan menginduksi respon antibodi pada inangnya, respon antibodi harus sedemikian rupa sehingga infeksi dapat diketahui, dengan kata lain metode uji harus sensitif, antigen harus unik agar mempunyai spesitifitas yang tinggi. Secara umum ada beberapa macam antigen dari bakteri. a. Bakteri utuh. b. Bakteri utuh yang dirusak secara mekanis, fisik atau kimiawi seperti penggerusan, pengocokan dengan manik-manik kaca, sonikasi, vorteks homogenizer, pemanasan dengan suhu tinggi, pendidihan, autoklaf, surfaktan non-ion, anion atau kation. c. Ekstrak kasar bakteri yang dirusak dengan cara pemusingan seperti dengan fraksinasi dengan garam dan kromatografi. d. Senyawa kimia murni atau setengah murni. Target antigen yang dapat digunakan untuk ELISA antara lain dinding
sel
Gram
positif,
membran
sel
Gram
negative,
lipopolisakarida, glikolipid, peptidoglikan, asam teikoat, flagella, fimbria (pili), polisakarida, toksin ekstrasel, ribosom, protein membran luar.
14
a. Antigen Dinding Sel Bakteri Antigen ini sifatnya kasar jadi untuk mendapatkannya dengan menggunakan French pressure cell atau manik-manik gelas. Sisa dari pecahan dapat dipisahkan dengn fenol panas 45% w/v pada 90oC atau dengan deterjen dodesil sulfat 2% w/v pada 100oC. sedang sisa fenol dan deterjen dihilangkan dengan sentrifugasi kecepatan tinggi. b. Antigen Membran Bakteri Pemisahan antigen ini sama seperti pada dinding sel hanya saja perlu ditambahkan RNAse dan DNAse pada suhu 10oC-15oC. Sedang
untuk
dihilangkan
menghilangkan
dengan
kontaminasi
penambahan
lisozim
peptidoglikan
dan
selanjutnya
disentrifugasi dengan sukrose. Membrane luar akan membentuk pita 1,22 sedang membrane dalam mempunyai lipid lebih tinggi dan membentuk pita 1,14-1,16 dan akhirnya dicuci dengan PBS. c. Antigen Lipopolisakarida Antigen ini terdapat dua macam halus dan kasar seperti Neiseria gonorrhoeae, N. meningitides dan Haemophilis influenza. Preparat antigen yang kasar pada bakteri ini dapat dipisahkan dengan
cara
autoklaf
atau
menambahkan
EDTA
untuk
menghancurkan struktur membrane luar dan untuk memisahkan kontaminan dilakukan sentrifugasi, contoh kontaminan asam nukleat, polisakarida dan protein yang larut karena pemanasan. Untuk pemisahan lipopolisakarida kasar dapat dilakukan dengan penambahan larutan fenol setelah itu diendapkan dengan metanol dingin yang dijenuhkan dengan natrium asetat. Model pemisahan ini sering dilakukan untuk bakteri Brucella abortus. Metode lainnya yaitu dilakukan autoklaf dengan 0,25 M NaOH pada 56oC selama 1 jam dan selanjutnya diekstraksi dengan fenol dan diendapkan dengan metanol. Hasil ini tidak merubah struktur rantai O, sehingga masih bersifat antigenik.
15
Pada bakteri Pasteurella multocida pemisahan bahan antigen dengan cara 5 g bakteri dicampur dengan 20 ml campuran fenol 9:1=fenol+air, kloroform dan eter petroleum 2:5:8. Setelah itu dihomogenkan selama 2 menit pada suhu antara 5oC-20oC dan selanjutnya dipisahkan dengan ultrasentrifus. d. Glikolipid Glikolipid merupakan bagian dari lipopolisakarida yang imunogenik dari acid fast Myobacterium sp. gram positif. Untuk ekstraksi glikolipid adalah dengan dua kali ekstraksi 40 ml/g kloroform/metanol (2:1) pada 50oC diikuti dengan 20 ml/g kloroform/metanol (1:1) pada suhu yang sama dan akhirnya disentrifuge. Glikolipid diperoleh setelah dilakukan evaporasi. e. Flagella Komposisinya asam amino dan letaknya di permukaan sehingga protein ini mempunyai sifat immunogenik yang tinggi. Antigen flagela ini dimiliki antara lain oleh Salmonella sp. Sedang jenis antigennya dikenal dengan H antigen. Untuk mendapatkan flagella dilakukan dengan cara pemotongan dalam suspense garam, dengan pengadukan selama 30 menit pada suhu kamar, pH 2,0. Kontaminan
dihilangkan
dengan
sentrifuge
sedang
untuk
mendapatkan flagella yang murni didapatkan dengan cara ultrasentrifugasi. Untuk memisahkan kontaminan polimer pH disesuaikan menjadi 7,2 dengan NaOH supernatant dijenuhkan pada suhu 66oC dengan (NH4)2SO4 dan dibiarkan semalam pada suhu 4oC. Flagela yang mengendap diambil dengan larutan akuades sebelum didialisis dan dikeringkan. f. Fimbria Antigen ini sering digunakan untuk membedakan bakteri secara serotipe. Antigen ini
berfungsi
sebagai
penempelan pada
permukaan mukosa yang memegang peranan penting pada virulensinya. Cara isolasi fimbria dapat dilakukan antara lain
16
dengan cara mekanis kemudian diendapkan dengan (NH4)2SO4 sampai 50% jenuh, dipanen dengan sentrifuge dan didialisis menggunakan 10 mM, Tris-HCl, pH 7,5 yang mengandung 0,5% natrium dioksikolat. Selanjutnya supernatant ditambahkan ke dalam sukrose dengan gradient konsentrasinya dari 10-60% dan akhirnya akan terbentuk pita 1,10-1,15. Untuk mengkonsentrasikan selanjutnya dilakukan dialysis dengan buffer dioksikolat. Setelah itu ditambahkan urease sampai 6M dan dilakukan kromatografi. g. Protein ekstraseluler (toksin) Protein ini adalah sangat imunogenik tetapi protein ini larut dalam air. Pemisahan protein ini dengan cara SDS-PAGE 8% yang tidak menimbulkan denaturasi. h. Antigen non-polisakarida Beberapa bakteri tidak memiliki polisakarida seperti kuman Bacillus antraksis yang mempunyai kapsul yang mengandung asam poligamma-D-glutamat
dan
Aeromonas
salmonicida
yang
mempunyai protein superficial dikenal dengan protein A. Untuk mendapatkan kapsul dilakukan autoklaf sel utuh 45 menit pada 115oC dan bahan ini lebih sering digunakan untuk vaksin. pH suspense dibuat menjadi 2,0 dengan HCl kemudian ditambahkan etanol dan disentrifuge, selanjutnya supernatant diatur pH-nya menjadi 8,5 dengan NaOH dan disentrifuge lagi. Setelah dilakukan resuspensi dalam air dan pengaturan pH menjadi 7,5 AgNO3 ditambahkan berlebihan agar menghasilkan endapan yang flokulen berwarna kuning yang dipisahkan dengan filtrasi dan dicuci bersih dengan air. Garam yang terbentuk diubah menjadi garam natrium dengan menambahkan NaCl berlebih dan pH dibuat 9,0 dan akhirnya didialisis dengan akuades dan dileofilisasi. i. Antigen polisakarida Polisakarida merupakan bahan imunogenik yang terletak ekstraseluler pada kuman Gram positif dan Gram negatif. Bahan ini
17
akan memberikan atau menentukan tipe virus seperti tipe lancefield (Streptococcus dan E. coli). Karena polisakarida ada dua macam, maka harus dibedakan polisakarida yang melekat pada kapsul atau diluar kapsul (lender). Untuk mendapatkan hasil yang bagus, bakteri perlu ditumbuhkan di media padat. Polisakarida tak berkapsul diperoleh dengan ultrasentrifuge untuk membersihkan sel bakteri dan LPS
yang tercuci kemudian supernatant
diperlakukan dengan aseton dingin -20oC 2-3 kali volumenya dan polisakarida kasar diperoleh dengan memutar batang gelas. Protein dipisahkan dengan larutan polisakarida encer 50 mM natrium asetat pH 4,8 dan menambahkan 0,2 volume kloroform dan 0,04 volume butanol. Akhirnya dilakukan ekstraksi dan dimurnikan dengan cara dialisis. Penggunaan ELISA untuk deteksi antibody dari bakteri dapat digunakan secara luas selain untuk deteksi dini juga dapat untuk monitor hasil vaksinasi. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan mengapa menggunakan ELISA. a. Sensitive, walaupun kadar antigen atau antibodinya rendah. b. Secara serologis dapat digunakan untuk mendeteksi di mana sulit ditemukannya bakteri. c. Pengumpulan sampel cukup mudah dengan mengambil darah dari vena atau dengan kertas filter. d. Beberapa spesies bakteri yang sulit dibiakkan, sehingga uji serologis sangat diperlukan. Kelemahan uji serologis untuk bakteri a. Hasil titer antibodi tinggi, tidak mencerminkan adanya infeksi, misalnya Brucella ovis menunjukkan anttibodi tetapi tidak pernah ditemukan kuman. b. Beberapa penyakit ada yang tidak menimbulkan respon antibody seperti infeksi terjadi pada tempat yang jauh, beberapa jenis bakteri
18
menimbulkan
imunosupresi
contoh
Mycoplasma
sp.
dan
Pasteurella haemolytica. c. Dapat bereaksi silang dengan antibody akibat responimun oleh penyakit lain. Adapun keuntungan menggunakan ELISA untuk infeksi bakteri adalah dapat menentukan infeksi dini terutama dengan melihat kadar IgM dibandingkan IgG spesifik. Selain hal tersebut juga dapat digunakan
subtyping
Brrucellosis.
misalnya
ELISA
IgG2
mempunyai
spesifik
kepekaan
akibat
infeksi
10-10.000
kali
dibandingkan dengan uji serologis lainnya. Reagennya (konjugat) dapat disimpan bertahun-tahun. 3. ELISA untuk infeksi parasit Dalam pengembangan teknologi ELISA untuk parasit sedikit lebih rumit
dibandingkan
dengan
mikroorganisme
lainnya,
karena
mempunyai sifat yang sangat berbeda dan komplek satu sama lain. Setiap parasit mempunyai siklus hidup yang beda sehingga model pengekspresian pathogenesis
antigen pada
juga
infeksi
berebeda,
parasit
sehingga
sangat
siklus
menentukan
dan dalam
pengembangan teknologi ELISA. Hal yang harus dipersiapkan dalam mengembangkan ELISA pada imunoparasitologi adalah perangkat antigen, antibodi sedang antiglobin yang dilabel dengan enzim sudah banyak dikomersilkan dan mudah didapatkan. a. Perangkat antigen Antigen parasit untuk ELISA dapat dikoleksi dari beberapa bagian dari parait terutama protein yang mempunyai sifat imunogenik dan bersifat unik sehingga dapat digunakan untuk membedakan terhadap infeksi parassit lainnya dan menghindari adanya reaksi silang. Sebagai contoh infeksi trypanosome sangat sulit dibedakan kapan terinfeksi dan jenis mana yang menginfeksi karena parasit ini mempunyai sifat antigenic shift yang tinggi dan mempunyai variasi genetik yang tinggi, sehingga protein spesifik
19
untuk ELISA sulit didapatkan. Variasi genetik terjadi karena adanya perubahan komposisi selubung permukaan yang tebalnya 12-15 nm. Selubung tersebut berupa matrik yang terdiri dari 107 molekul Variation Surface Glycoprotein (VSG) yang identik. Molekul tersebut adalah rantai polipeptida yang terdiri dari asam amino kurang lebih 450-500. Adanya variasi ini disebabkan oleh perbedaan urutan kurang lebih 350 asam amino. Adanya cross reaction deteminan membuat ikatan lemah pada molekul VSG utuh yang mempunyai daerah glikolipid. Antigen parasit intraseluler dapat dijumpai pada saat invasi dan banyak ditemukan pada permukaan sel yang terinfeksi. Adanya invasi ini biasanya sel menjadi lisis. Sedang antigen ekstraseluler biasanya terletak di permukaan dari parasit. Antigen parasit cacing dapat ditemukan pada beberapa bagian seperti pada permukaan, antigen internal yang dilepas pada saat pemasangan, ekspresi dan ganti kulit. Selain itu ditemukan juga antigen somatic. Dari berbagai macam antigen ini sangat berkaitan dengan respon imun akibat adanya stimulasi dari antigen tersebut. Dengan demikian untuk identifikasi tipe atau strain dari parasit harus mempunyai perangkat
antigen
yang
spesifik
terhadap
antibodi
yang
ditimbulkan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka isolasi dan karakterisasi protein sangat diperlukan untuk mendapatkan protein yang murni. Metode yang sering digunakan adalah elektroforesis, immune blotting. Jenis antigen lainnya yang cukup komplek dimiliki oleh skistosoma. Skistosoma mempunyai banyak antigen antara lain karbohidrat yang mempunyai berat molekul 200 kDa yang dapat bereaksi silang dengan permukaan 38 kDa, 85 kDa antigen polipeptida yang dapat diklon, 32 kDa antigen yang spesifik spesies terdapat dalam organisme dewasa. Antigen ini juga tersusun oleh polipeptida. Antigen 25 kDa spesifik antigen
20
permukaan dewasa. Antigen 20 kDa spesifik pada cacing dewasa dan antigen 16 kDa spesifik stadium dan spesies. Dengan kompleknya antigen parasit maka ada beberapa masalah dalam mengembangkan ELISA yaitu: 1) Sulitnya produksi antigen 2) Keterbatasan kemampuan untuk kultur parasit 3) Keterbatasan hewan coba b. Perangkat antibodi Dalam pengembangan imunodiagnostik selain perangkat antigen yang harus dipenuhi juga perangkat antibodi. Untuk menyediakan antibody dapat dikoleksi dari serum hewan yang mempunyai titer tinggi. Produksi serum dapat dilakukan dengan cara membuat infeksi buatan, misalnya menyuntikan antigen dari sel
parasit
utuh
yang
diinaktifkan,
protein
yang
sudah
dikarakterisasi atau protein hasil rekombinan melalui intraperitonial pada mencit. Selain model produksi antibodi yang banyak dikomersilkan adalah hasil hibridoma yang menghasilkan antibodi monoklonal yang sangat spesifik terhadap antigen di masingmasing parasit. 4. ELISA untuk diagnostik hormon Aplikasi ELISA untuk diagnostik hormon adalah merupakan pengembangan teknologi diagnostik Radio Immunoassay (RIA). Selain aman tingkat sensitivitasnya 7 kali lebih sensitive dibandingkan dengan RIA. Berkembangnya metode ini sangat mendukung para ilmuwan reproduksi dalam mengendalikan antara lain siklus estrus dengan menggunakan prostaglandin dan progesterone, pengukuran hormon progesterone untuk diagnostik dini kehamilan (20-26 hari), penggunaan
kortikosteroid
untuk
merangsang
kelahiran.
Pada
pengukuran hormon terutama progesterone sampel yang dapat digunakan untuk ELISA adalah berasal dari darah dan dari air susu. Hal ini sudah dapat menggambarkan fungsi luteal yang mempunyai
21
presisi tinggi. Di samping itu ELISA sering digunakan untuk mengukur Thyroid Stimulating Hormon dan Human Chorionic Gonadotropin. Selain deteksi estrus, ELISA sering digunakan untuk melacak kelainan pada ovarium apakah terjadi kista ovarium atau kista folikular, sehingga dapat dilakukan tindakan sedini mungkin. Model ELISA untuk hormone secara umum atau yang sering digunakan pada laboratorium pemeriksaan adalah kompetitif ELISA dan sandwich ELISA. Pada model kompetitif analog dengan RIA yaitu antigen fase padat kemudian direaksikan dengan sampel antigen dan kemudian antigen enzim dan akhirnya direaksikan dengan substrat sehingga dapat menunjukkan tingkat reaksi dengan indikator adanya perubahan warna. Model ini terjadi persaingan di antara kedua antigen yang berlabel dengan antigen yang tidak berlabel. Model ini sering digunakan untuk pengukuran kadar progesteron, estradiol dan kortisol. Perangkat antibodi hormon Pada umunya hormon mempunyai berat molekul yang kecil sehingga jika menginginkan untuk produksi antibody maka harus dilekatkan pada molekul yang lebih besar agar dapat menstimulasi antibody yang diharapkan. Berdasarkan penelitian jika protein yang akan digunakan untuk produksi serum monoklonal mempunyai berat molekul lebih kecil dari 1000 Da (Dalton) sulit untuk mendapatkan serum monoklonal yang tinggi titernya. Bahan yang dapat digunakan antara lain Bovine Serum Albumin (BSA) ataupun protein yang mempunyai kesamaan konfigurasi, sehingga dapat menghasilkan antibodi yang optimal. 5. ELISA untuk aplikasi klinik Kegunaan ELISA diklinik biasanya sering digunakan untuk memonitor respon imun terutama untuk diagnostik dini. Sebagai contoh pendeteksian interferon pada infeksi dini kadang tidak atau belum ditemukan antibodi seperti igM karena interferon hanya diproduksi secara local bukan sistemik. Kelemahan diagnostic awal
22
pada interferon kurang bisa menggambarkan secara umum karena interferon hanya dapat diproduksi pada sel tertentu saja, sedang immunoglobulin secara sistemik. Model lain yang dikembangkan pada diagnostic klinik adalah sitokin atau pada bahan komersil lebih banayk yang sudah terspesifikasi seperti interleukin (IL). Interleukin sekarang memegang peranan penting pada infeksi dini maupun sebagai barier terutama infeksi yang menyebabkan peradangan seperti interleukin 10 (IL-10).
E. Perkembangan Metode ELISA Dalam diagnostik penyakit, bahan spesifik antibiotic, toksin dan lain-lain tidak semuanya ELISA dapat digunakan dan dapat memberikan hasil yang optimal. Karena ELISA tergantung dari tersedianya bahan komersil seperti konjugat, sifat enzim yang dipakai melabel, sifat molekulnya, perangkat antigen dan antibodi yang tersedia. Pada perkembangan ELISA saat ini ada beberapa macam model ELISA yang dikembangkan melalui produk PCR dan selanjutnya direaksikan dengan probe (antibody anti DNA/RNA) dan akhirnya divisualisasikan dengan penambahan substrat. Beberapa contoh ELISA saat ini dan dimasa depan yang dikenal adalah Ligase Chain Reaction (LCR), Nucleo Acid Sequece-Based Amplification (NASBA).
23
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Imunoassay merupakan salah satu teknik imunodiagnostik paling banyak digunakan, berdasarkan reaksi kimia antara dua jenis analit (antigen dan antibodi) yang dapat rnemberi hasil bervariasi bergantung indikatornya. 2. Imunoasay diklasifikasikan berdasarkan produk-produk imunodiagnostik komersial dengan enam model reaksi dasar, yaitu assay kornhetitif menggunakan antigen terlabel, assay kompetitif menggunakan antibodi berlabel, assay kompleks Ag-Ab, Sandwich assay, Assay non kompetitif, Assay bebas pemisahan pada reaksi (sistim homogen). 3. Metode ELISA dibedakan menjadi direct ELISA, indirect ELISA, sandwich ELISA, capture ELISA, dan sel ELISA. 4. ELISA diaplikasikan untuk deteksi virus, deteksi infeksi bakteri, deteksi infeksi parasit, diagnostik hormon, dan aplikasi klinik. 5. Beberapa macam model ELISA dikembangkan melalui produk PCR dan selanjutnya direaksikan dengan probe (antibody anti DNA/RNA) dan akhirnya divisualisasikan dengan penambahan substrat.
B. Saran Diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca dapat mengetahui, mengenal, dan memahami tentang imunoasay terutama metode ELISA.
24
DAFTAR PUSTAKA
Brooks, G.F., dkk., 2005, Mikrobiologi Kedokteran, Salemba Medika; Jakarta Rantam, F.A., 2003, Metode Imunologi, Airlangga University Press; Surabaya Sofro, A.S.M, 1994, Imuno Kimia, Penerbit Andi Offset; Yogyakarta Utama, I.H. dan I Nym Suarsana, 2001, Teknik lmunodiagnostik dalam Masyarakat, (Online), (http://www.kalbe.co.id, diakses 6 Januari 2010)
25
IMMUNOASSAY (ELISA)
DISUSUN OLEH: Aida Sativa Ayu Puspa Sari Devy A. Arianto Indah Setyaningsih Irma Yani Rabiah Risky Larasati Satria Hadi Pranata Tan Angelina Cristanti Tri Maryanti Wiwit Indriana
UP. FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2009 26
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nyalah, maka Makalah ini dapat diselesaikan sesuai kemampuan dan tanpa mengalami suatu hambatan yang berarti. Adapun tujuan dari pembuatan Makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Analisis Klinik. Dengan tersusunnya Makalah ini, penyusun menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan bimbingan, baik secara materi maupun secara motivasi, sehingga penulisan Makalah ini dapat terselesaikan. Penyusun menyadari bahwa Makalah ini jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun, penyusun sangat harapkan demi sempurnanya penulisan Makalah ke depannya.
Samarinda, Januari 2010
Penyusun
ii 27
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.................................................................................................i KATA PENGANTAR.............................................................................................ii DAFTAR ISI...........................................................................................................iii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang....................................................................................1 B. Rumusan Masalah...............................................................................2 C. Tujuan…………….............................................................................2
BAB II ISI A. Pengenalan Immunoassay……………………………………….......3 B. Klasifikasi Immunoassay…………………………………………....3 C. Metode ELISA……………………………………………………...5 D. Aplikasi ELISA…………………………………………………….11 E. Perkembangan Metode ELISA…………………………………….23 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan.......................................................................................24 B. Saran.................................................................................................24 DAFTAR PUSTAKA
iii 28