FENOMENA QUR’ANIC HEALING1 Ilmu Allah itu sangat luas, tak terbatas, bersumber dari berbagai hal dan diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Saking luasnya ilmu Allah itu, manusia terkadang mencarinya melalui berbagai cara dan kepada siapa saja. Dalam hal ini, penyembuhan (healing)—yang merupakan setetes dari ilmu Allah itu---ada di manamana. Sering kita mendengar seseorang mengidap penyakit akut hingga harus opname berminggu-minggu hingga berbulan-bulan di rumah sakit dan mendapatkan perawatan khusus di ruang ICU (Intensive Care Unit). Berbagai macam resep obat dari dokter sudah dicoba. Tapi penyakit tak kunjung sembuh. Namun, uniknya begitu dibacakan kata-kata ataus ayat-ayat tertentu dari al-Qur’an, penyakit tersebut sembuh. Kasus-kasus seperti ini mungkin sudah lazim kita dengar, bukan? Dari sini, saya hanya ingin mengatakan bahwa ilmu (penyembuhan atau healing) Allah itu bisa datang dari mana saja. Tidak hanya dari satu arah saja. Melainkan di arah yang terkadang orang tidak menyangkanya (min haisu la yahtasib). Oleh karena itu, akhir-akhir ini mungkin sering kita dengar sebagian warga masyarakat Indonesia, khususnya yang terkena penyakit sering berobat ke pengobatan-pengobatan alternatif. Konon pengobatan ini juga tidak banyak menghabiskan biaya dan terkadang masa kesembuhannya lebih cepat dari pada yang diprediksi sebelumnya. Dan uniknya, metode-metode pengobatan alternatif itu tidak lepas dari bacaan-bacaan Qur’ani. Pembacaan-pembacaan bagian atau penggalan ayat-ayat tertetu dari alQur’an biasanya dilakukan oleh tabib atau si penderita atau bahkan orang lain yang fadilah atau efek bacaan itu diniatkan untuk diberikan kepada si penderita. Pembacaan itu bisa dilakukan dengan kemasan dzikir maupun dibaca secara biasa. Tentu hal ini sudah jamak di Indonesia. Model pengobatan inilah yang sering kali disebut dengan metode Qur’anic Healing atau sebagian pakar juga menyebutnya Sufi Healing. Tentu saja fenomena Qur’anic Healing ini sering kita jumpai di daerah-daerah di Indonesia. Sebagai sebuah fenomena, Qur’anic Healing tidak sepenuhnya diterima oleh semua masyarakat alias cukup kontroversial. Sebagian berdalih bahwa jenis pengobatan ini terlalu dibuat-buat. Sebagian lagi beralasan bahwa al-Qur’an itu diturunkan untuk petunjuk hidup (way of life), bukan untuk mengobati penyakit. Penyakit itu diobati dengan obat-obat medis. Dan berbagai alasan yang lain. Bagi saya, dalam sejarah peradaban Islam, Qur’anic Healing itu memiliki presedennya. Kalau kita baca abab an-nuzul surat al-Mu’awizatain (an-Nas dan alFalaq), akan dijumpai riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi Muhammad saw. menolak sihir dengan membacakan surat tersebut. Dalam riwayat yang lain, juga disebutkan bahwa Nabi Muhammad juga pernah menyembuhkan penyakit dengan ruqyah lewat surat al-Fatihah. Penyembuhan dengan al-Qur’an (Qur’anic Healing) pada dasarnya bukanlah hal yang baru. Bahkan dalam lintasan sejarah Islam Qur’anic Healing mendapatkan legitimasinya. Al-Qur’an sendiri sebagai sumber otoritas pertama dalam Islam sering kali menyebut dirinya sebagai syifa’ (penyembuh), sebagaimana Q.S.Bani Isra’il (17): 82, “Wa nunazzilu minal qur’ani ma huwa syifa’un wa rahmatul lil Artikel yang dimuat di Tabloid Khalifah Edisi 18/Th IV|14-27 Februari 2008 merupakan tulisan saya. Namun, karena berbagai alasan teknis, tulisan ini diatasnamakan Miftah K Nurwati— yang kemudian menjadi istri saya sekarang. 1
mu’minin…(Dan Kami turunkan dari al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman). Dari sinilah kiranya pemikiran untuk mengacuhkan Qur’anic Healing harus ditinjau ulang. Menurut hemat saya, Qur’anic Healing—kalau tidak boleh disebut sebagai jenis ‘tafsir’—merupakan salah satu usaha manusia untuk mengapresiasi, meresepsi dan menghidupkan al-Qur’an. Dan—kalau boleh dikatakan sebagai jenis ‘tafsir’—Qur’anic Healing merupakan sebuah jenis tafsir yang memperlakukan alQur’an di luar kapasitasnya sebagai teks. Sebab secara semantis, surat al-Fatihah misalnya, tidak memiliki kaitan dengan penyakit tapi digunakan untuk fungsi di luar fungsi semantisnya. Inilah yang oleh sebagian sarjana dikategorikan sebagai tafsir ‘anagogik’. Namun dalam khasanah tafsir, terutama di Indonesia, fenomena itu belum mendapat perhatian khusus, bahkan cenderung tidak dianggap sebagai tafsir. Menurut Muhammad Zuhri--tokoh sufi modern yang memiliki yayasan Barzakh dan menawarkan metode penyembuhan ini—‘penyembuhan’ bagi kalangan sufi merupakan salah satu pengejawantahan diri dalam rangka melaksanakan ‘rahmatan lil ‘alamin’. Dalam menyalurkan daya penyembuhan, mereka tidak terikat oleh sistem atau metodologi yang sama. Sebab masalah teknis tersebut mereka dapatkan melalui pengalaman unik mereka masing-masing di dalam proses penemuan diri. Bahkan sering terjadi di luar rencana dan kesengajaan mereka.2 Menurut para Sufi, demikian juga kebanyakan orang beriman, dayapenyembuhan itu milik Allah. Ia (healing) diturunkan ke dunia melalui lorong sebab (kausalitas) yang bermacam-macam. Diantaranya adalah Kausalitas Supranatural yang dikaruniakan Tuhan bagi kaum Sufi. Jelasnya, kausalitas ada dua, yaitu: Kausalitas Supranatural dan Kausalitas Natural. Kausalitas Natural juga terdiri dari dua macam, yaitu: Kausalitas Magis dan Kausalitas Logis. Dan Kausalitas Logis terdiri dari dua macam pula, yaitu: Kausalitas Horisontal dan Kausalitas Vertikal. Jika Kausalitas Supranatural difasilitaskan buat para Sufi, Kausalitas Natural diamanatkan buat para ahli yang lain. Misalnya Kausalitas Magis bagi para penyihir, paranormal, dukun, dan sebagainya. Kausalitas Logis Horisontal diamanatkan kepada para dokter, apoteker, akupunktur, dan tabib-tabib tradisional. Sedangkan Kausalitas Logis Vertikal dipercayakan kepada para psikiater atau dokter jiwa. Namun, masih menurut Muhammad Zuhri, tidak sebagaimana diduga oleh kebanyakan orang bahwa penguasaan Kausalitas Supranatural bisa dilatih lewat seperangkat riadloh (exercise) seperti penguasaan Kausalitas Magis, atau dengan sebuah teori lewat eksperimen-eksperimen pada objek natur seperti penguasaan Kausalitas Logis, karena fasilitas tersebut merupakan karunia Ilahi kepada hambaNya yang telah jauh menempuh proses pengabdian dengan segala resiko eksistensialnya. Proses pengabdian kepada Yang Maha Sempurna memiliki nilai ganda ke luar maupun ke dalam, yang mengisyaratkan telah berlangsungnya transformasi kesadaran lewat momen-momen transendensi dan imanensi selama dalam proses. Dari sini tampaknya, bisa disimpulkan bahwa metode-metode Qur’anic Healing atau Sufi healing memang benar adanya. Sebab ada kausalitas yang dibangun di dalamnya. Dan inilah yang terkadang belum bisa diterima oleh khalayak. 2
Muhammad Zuhri “Sufi Healing,” Makalah yang diseminarkan pada "Penyembuhan Spiritual Dan Kedokteran Modern" di Hotel Mandarin Jakarta pada tanggal 30 Juli 1999. Makalah ini bisa diakses melalui http://www.pakmuh.com/pakmuh/tulisan/sufi-healing.htm
Walhasil, saya pernah membaca sebuah artikel di Arab News 3 October 2003, sejenis koran yang terbit di Jeddah. Artikel tersebut mengkisahkan Syekh Muhammad Abdullah al-Ayed, seorang tabib (healer) di Saudi Arabia, yang menjelaskan tentang kekuatan healing al-Qur’an. Yang menarik dari artikel itu adalah kutipan pernyataan al-Ayed yang menyatakan bahwa kekuatan healing alQur’an tidak hanya bereaksi atau bekerja kepada orang-orang Islam (muslim) tetapi juga non-muslim. Sebab beliau pernah mengobati seorang Amerika yang telah divonis mengidap kanker dengan ayat-ayat sementara orang Amerika ini tidak paham kata-kata al-Qur’an, namun dia hanya mengikuti tuntunan bacaan Syekh alAyed saja. Setelah itu, orang Amerika sembuh. Kemudian al-Ayed mengatakan: “Inilah bukti bahwa al-Qur’an bisa menyembuhkan muslim dan non-muslim sekaligus. Dan saya ingin menegaskan bahwa penyembuhan melalui al-Qur’an (Qur’anic Healing) bukan lagi sebuah alternatif dalam ranah pengobatan modern (modern medicine).” Jadi, Qur’anic Healing itu sudah setara dengan pengobatan-pengobatan di rumah sakit. Ada teoriteorinya, ada rumusnya dan bisa dirasionalkan, meskipun tidak semua orang bisa melakukannya. Dalam konteks inilah, apa yang menjadi brand Khalifah—yakni mengajak umat Islam membaca al-Qur’an dengan bertujuan, salah satu, untuk penyembuhan— layak mendapatkan apresiasi, sebagai salah satu sumbahan atau kontribusi dalam kancah pengobatan modern. Wallahu’alam.