BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama merupakan bagian dari realitas kehidupan manusia sebagai kholifah di muka bumi ini yang berbangsa dan bernegara. Agama yang menjadikan manusia bisa terintegrasi karenanya dan begitu pula sebaliknya, yaitu dengan agama pula manusia berada dalam pertikaian atau karena agama maka kemudian terjadi ketegangan yang kemudia berujung dengan konflik antar pemeluk agama yang tak jarang pula kemudian berujung dengan peperangan atau pembunuhan. Hal ini menujukan kepada kita bahwa agama selain mempunyai peran atau fungsi sebagai integrator agama juga menjadikan disentegrasi sosial masyarakat. Setiap agama yang ada di seluruh negara dan bangsa di dunia ini pasti dan sudah dapat dipastikan bahwa semuanya mengajarkan pada kebaikan kepada pemeluk agama itu sendiri, yang tentunya untuk kebaikan dunia dan tak kalah pentingnya juga untuk kebaikan akhirat. Untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat tentunya setiap pemeluk agama harus patut dan tunduk pada ajarannya masingmasing. Orang yang beragama islam tentunya harus patuh dan tunduk kepada setiap ajaran allah yang terkandung dalam al-qur’an dan sunnah nabi yang terdapat dalam hadist-hadistnya, begitu pula dengan pemeluk agama-agama yang lain kristen, katolik, hindu dan sebagainya. Jalan menuju kebaikan tersebut tidaklah mudah sebagai mana membolakkan telapak tangan kita, karena untuk mencapai ketarap kebaikan dunia dan akhirat itu perlu dan butuh perjuangan dan juga pengurbanan yang dalam hal ini tidak sedikit dari kita atau saudara-saudara kita yang kemudian tidak mampu mengikuti setiap rambu-rambu yang ditetapkan dalam agama. Sehingga mereka melanggar rambu-rambu tersebut dan kemudian sangat jauh sekali dari ajaran agamanya sendiri. Agama dan negara merupakan dua institusi yang berbeda yang sama-sama kuatnya. Agama mempengaruhi eksistensi negara juga mempengaruhi keberlangsungan umat beragama. Dalam suatu negera tertentu agama kemudian menjadi dasar bernegaranya dalam artian agama yang mengatur mekanisme suatu negara tersebut termasuk hukum-hukum yang diberlakukan di dalamnya. Tetapi pada negara yang lain cenderung untuk memisahkan agama dengan negaranya, agama baginya adalah urusan keyakinan dan hal itu adalah urusan individu sehingga negara tidak berhak untuk mengurus wargaya untuk memeluk agama tertentu. Lagi pula agama merupakan urusan akhirat sedangkan negara adalah urusan dunia. Jadi bagi negara-negara yang sekuler seperti ini mereka tidak mau mencampur adukkan antara agama yang ukhrawi dan negara yang bersifat duniawi. Tidak bisa dinafikan bahwa hubungan antara agama dan negara menjadi perbincangan yang selalu hangat. Hal ini disebabkan karena kedua lembaga ini sama-sama kuatnya dalam memberikan pengaruh terhadap kehidupan manusia. Dengan agama mereka rela berkorban dan syahid karenanya atau atas nama
negara mereka berani mengorbankan jiwa dan raganya sehingga menjadi pahlawan bangsa disebabkannya. Dalam konteks penulis ingin mencoba mengungkapkan bagaimana hubungan agama dan negara di indonesia ? bagaimana pengaruh agama terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dan bagaimana pengaruh negara terhadap keberlangsungan kehidupan beragama ? BAB II PEMBAHASAN A.
Definisi Negara
Negara berasal dari kata state(Inggris), staat(Belanda), dan etat(Prancis) yang sama-sama asalnya dari bahasa latin status atau statum yang berarti keadaan atau sesuatu yang bersifat yang tegak dan tetap. Berikut pendapat para tokoh mengenai definisi negara: 1. Menurut John Locke(1632-1704) dan Rousseau(1712-1778), negara adalah suatu badan atau organisasi hasil dari pada perjanjian masyarakat 2. Menurut Max Weber, negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. 3. Menurut Mac Iver, suatu negara harus mempunyai tiga unsur pokok, yaitu wilayah, rakyat dan pemerintahan. 4. Menurut Roger F. Soleau, negara merupakan alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama yang diatas namakan masyarakat. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu badan atau organisasi tertinggi yang mempunyai wewenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan untuk kepentingan orang banyak serta mempunyai kewajiban-kewajiban untuk melindungi, mensejahterakan masyarakatnya dan sebagainya. Dapat dikatakan menjadi suatu negara bila terdapat wilayah, rakyat dan pemerintahan. Unsur pelengkap suatu negara ialah diakui kedaulatannya oleh negara lain.[1]
B.
Definisi Agama
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, agama yang berarti "tradisi"[2]. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Emile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain. Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu: o menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan o menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama. Lebih luasnya lagi, Agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup. Yakni bahwa seluruh aktifitas lahir dan batin pemeluknya itu diatur oleh agama yang dianutnya. Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul, bagaimana kita beribadah, dan sebagainya ditentukan oleh aturan/tata cara agama.
C.
Hubungan Agama dan Negara
Dikalangan kaum muslimin, terdapat kesepakatan bahwa eksistensi negara adalah suatu keniscayaan bagi berlangsungnya kehidupan bermasyarakat. Artinya, menurut Hussein Muhammad (2000:88), negara diperlukan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan masyarakat manusia secara bersama-sama. Negara dengan otoritasnya mengatur hubungan yang diperlukan oleh masyarakat. Sedangkan agama mempunyai otoritas untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Hubungan antara agama dan negara menimbulkan perdebatan yang terus berkelanjutan dikalangan para ahli. Pada hakekatnya, negara merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar dari negara. Sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah pendiri negara itu sendiri (Kaelani,1999:91-93). Perlu disadari bahwa manusia sebagai warga negara,adalah juga makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kebebasan untuk memenuhi dan memanifestasikan kodrat kemanusiaannya. Namun, sebagai makhluk Tuhan, manusia mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada agama atau keyakinan yang dianutnya. Hal-hal yang berkaitan dengan negara adalah hasil manifestasi dari kesepakatan manusia. Sedangkan hubungan dengan Tuhan yang
tertuang dalam ajaran agama adalah wahyu dari Tuhan. Oleh karena itu ada benang emas yang menghubungkan antara agama dan negara. Konsep hubungan antara agama dan negara sangat ditentukan oleh dasar ontologis manusia masing-masing. Keyakinan manusia sangat mempengaruhi konsep hubungan agama dan negara dalam kehidupan manusia.[3] D. Konsep hubungan agama dan negara Menurut Beberapa Paham/Aliran : Dalam memahami hubungan agama dan negara, ada beberapa konsep hubungan agama dan negara menurut beberapa aliran/ paham, antara lain : 1.
Hubungan Agama dan Negara menurut Paham teokrasi.
Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala tata kehidupan dan masyarakat, bangsa dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Urusan kenegaraan atau politik diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan. Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintah diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung. Adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan. Dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula. Sedangkan menurut paham teokrasi tidak langsung, yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan raja atau kepala negara yang memiliki otoritas (kekuasaan) atas nama Tuhan.[4] 2.
Hubungan Agama dan Negara menurut Paham sekuler.
Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara. Dalam paham ini, tidak ada hubungan antara sistim kenegaraan dengan agama. Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini menurut paham sekuler tidak dapat disatukan. Dalam negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, seperti paham teokrasi, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Sekalipun paham ini memisahkan antara agama dan negara, akan tetapi pada lazimnya negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini dan negara tidak intervensi dalam urusan agama. 3.
Hubungan Agama dan Negara menurut Paham komunis.
Menurut paham komunis, agama dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri. Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara. Agama dipandang sebagai realisasi fantastis (perwujud nyataan angan-angan) makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu agama
harus ditekan, bahkan dilarang. Nilai yang tertinggi dalam negara adalah materi. Karena manusia sendiri pada hakikatnya adalah materi.[5] 4.
Hubungan Agama dan Negara menurut Islam
Dalam Islam, hubungan agama menjadi perdebatan yang cukup hangat dan berlanjut hingga kini di antara para ahli. Bahkan, menurut Azyumardi Azra (1996:1), perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. Menurut Azyumardi, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama dan negara. Dalam bahasa lain, hubungan antara agama dan politik di kalangan umat Islam, terlebih-lebih di kalangan Sunni yang banyak diatur oleh masyarakat Indonesia, pada dasarnya bersifat ambigous atau ambivalen. Hal demikian itu, karena ulama Sunni sering mengatakan bahwa pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Sementara terdapat pula ketegangan pada tataran konseptual maupun tataran praktis dalam politik, sebab seperti yang dilihat terdapat ketegangan dan tarik ulur dalam hubungan agama dan politik. Sumber dari hubungan yang canggung di atas, kitab, berkaitan dengan kenyataan bahwa din dalam pengertian terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan bidangbidang ilahiah, yang bersifat sakral dan suci. Sedangkan politik kenegaraan pada umumnya merupakan bidang prafon atau keduniaan. Selain hal-hal yang disebutkan di atas, kitab suci Alquran dan hadis tampaknya juga merupakan inspirasi yang dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda. Kitab suci sendiri menyebutkan dunya yang berarti dunia dan din yang berarti agama. Ini juga menimbulkan kesan dikotomis antara urusan dunia dan akhirat, atau agama dan negara yang bisa diperdebatkan oleh kalangan para ahli.[6] Banyak para ulama tradisional yang berargumentasi bahwa Islam merupakan sistem kepercayaan dimana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang ini, maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Akhirnya ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan negara. Antara lain : 1.
Paradigma integralistik.
Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Ini memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara). Paradigma integralistik ini dianut oleh kelompok Islam Syi’ah. 1.
Paradigma Simbiotik.
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai
instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas. 2.
Paradigma sekularistik.
Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan (disparitas) antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Mengenai hubungan Islam dan negara di Indonesia secara umum dapat digolongkan ke dalam dua bagian yakni : 1. Hubungan yang bersifat antagonistik. Hubungan antagonistik merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara negara dengan Islam sebagai sebuah agama. 2. Hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungan akomodatif lebih dipahami sebagai sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling mengisi, bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik. Eksistensi Islam politik pada masa kemerdekaan dan sampai pada pasca revolusi pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Persepsi tersebut, membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi (penjinakan) terhadap gerak ideologis politik Islam. Akar organisme hubungan politik antara Islam dan negara di Indonesia tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Setelah pemerintahan orde baru memantapkan kekuasaannya, terjadi kontrol yang berlebihan terhadap kekuatan politik Islam, terutama pada kelompok radikal yang dikhawatirkan semakin militan dan menandingi eksistensi negara. Realitas empirik inilah yang kemudian menjelaskan bahwa hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, dimana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan yang potensial dalam menandingi wujud/ keberadaan negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan. Akhirnya, ketegangan hubungan antara Islam dan negara mulai terlihat menurun pada pertengahan tahun 1980-an. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya peluang umat Islam dalam mengembangkan wacana politiknya serta munculnya kebijakan-kebijakan yang dianggap positif bagi umat Islam. Pemerintah menyadari bahwa umat Islam merupakan kekuatan politik yang potensial, yang oleh karenanya negara lebih memilih akomodasi terhadap Islam. Karena jika negara menempatkan Islam sebagai outsider (orang luar) negara, maka konflik akan sulit dihindari yang pada akhirnya akan membawa imbas terhadap proses pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Munculnya sikap akomodatif negara terhadap Islam lebih disebabkan oleh adanya kecenderungan bahwa umat Islam Indonesia dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal Pancasila. Ada beberapa alasan mengapa negara melakukan akomodasi terhadap Islam yaitu dari kacamata pemerintah, Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan yang pada akhirnya, kalau diletakkan pada posisi pinggiran akan menimbulkan masalah politik yang cukup rumit. Sebagai kemungkinan konflik dapat diredam lebih dini. Kemudian di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobi (takut) terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya seperti B.J. Habibie, Akbar Tanjung, Emil Salim dan lain-lain. Dan juga adanya perubahan persepsi, sikap dan orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri. Alasan lain yang mendasari negara melakukan akomodasi terhadap Islam yaitu selama dua puluh lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi sosial-ekonomi-politik yang berarti. Hal ini disebabkan oleh pembangunan ekonomi dan meluasnya akses ke pendidikan tinggi modern. Mereka tertransformasikan ke dalam entitas level menengah secara sosial ekonomi maupun politik. Dan juga adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam. Umat Islam telah mengalami transformasi intelektual dan aktivisme yang semula bersifat legalistik formalistik menjadi lebih substansialistik. (Bahtiar Effendy, 2001:39-40).[7]
E.
Kebijakan Politik Tentang Agama
Di masa pemerintahan Orde Lama, Presiden Soekarno ingin memisahkan agama dan negara. Agama harus berdiri sendiri, dan negara tidak usah dikaitkan dengan negara. Pendapat Soekarno itu diilhami oleh pengalaman Mustofa Kamal Ataturk di Turki dengan ajaran sekulerisasinya. Meskipun demikian, pemerintahan Soekarno, seperti yang dilihat, bagaimanapun tetap mengurus soal-soal yang berkaitan dengan agama. Menurut Faisal Ismail (1999 : 35-36) Soekarno tidak ingin memisahkan secara radikal antara negara dan agama, karena agama dalam pandangan politiknya tetap mempunyai peran dalam negara. Di masa Orde Lama terjadi perdebatan yang amat tajam antara Soekarno, yang manamakan dirinya sebagai kelompok nasionalis, dan kelompok M. Natsir, yang menyebut dirinya sebagai modernis. Kelompok Natsir berpendapat, bahwa nilai-nilai agama harus dijalankan dalam bernegara. Negara harus menjalankan nilai-nilai agama. Negara dapat berbentuk apa saja, tapi nilai-nilai agama harus dijalankan di dalamnya. Di masa pemerintahan Orde Baru, hubungan agama dan negara mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan yang cukup signifikan. Pada mulanya pemerintah menaruh kecurigaan-kecurigaan terhadap Islam. Ini timbul, menurut Masykuri Abdillah (1999: 43-44), karena pemerintah Orde Baru mengkhawatirkan politisasi Islam dan kemampuannya menggerakkan massa, yang dalam waktu singkat dapat melawan mereka. Ini juga disebabkan karena kelompok militer yang mendukung pemerintahan Orde Baru banyak berasal dari kelompok
abangan dan priyayi (aristokrat dan birokrat Jawa). Pola semacam ini, menurut Abdul Aziz Thaba (1996: 240-243) disebut hubungan bersifat antagonistik. Sebagai rangkuman dari apa yang dipaparkan di atas, gambaran Syafi'i Anwar (1995: ix-xi) berikut ini dapat membantu kita memahami lebih sistematis tentang hubungan agama negara. Format hubungan Islam dan birokrasi Orde Baru dalam kurun waktu 1966-1993 mengalami tiga periodisasi. Periode pertama, periode awal Orde Baru hingga 1970-an, yang mencerminkan hubungan hegemonik antara Islam dan pemerintah Orde Baru. Periode kedua, masih menurut Syafi'i Anwar, adalah periode 1980-an, di mana hubungan antara Islam dan birokrasi bersifat resiprokal, yaitu suatu hubungan yang mengarah pada tumbuhnya saling pengertian timbal balik serta pemahaman di antara kedua belah pihak. Soal politik, misalnya diselesaikan bersama dan diharapkan dapat mempertemukan kepentingan masing-masing. Periode ketiga adalah dekade 1990-an, berkat artikulasi dan peranan cendikiawan muslim, hubungan antara Islam dan Orde Baru berkembang menjadi saling akomodatif. Hal ini ditandai dengan semakin responsifnya kalangan birokrasi terhadap, yang antara lain ditandai dengan lahirnya sejumlah kebijakan yang mengakomodasi aspirasi umat islam. Tarmidzi Taher (1998:32), mantan Menteri Agama di masa orde baru, menyimpulkan bahwa partisipasi pemimpin agama sangat besar dalam pembangunan nasional, khususnya dalam lapangan pendidikan agama, ekonomi, lingkungan hidup, hak asasi manusia, kesehatan, keluarga berencana, dan sebagainya. Di era ini menurut Bahtiar Effendi (1998:332-334) ada hubungan yang integratif antara islam dan negara. Setelah periode ketiga itu, lahirlah periode reformasi, dimana hubungan antara agama dan negara masih sulit ditebak dan masih terus berkembang.[8]
PENUTUP A.
Kesimpulan
Agama adalah bersumber pada wahyu Tuhan yang sifatnya mutlak, sedangkan Negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara. Sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dalam memahami hubungan agama dan negara, ada beberapa konsep hubungan agama dan negara menurut beberapa aliran/ paham, antara lain :
1. Paham teokrasi. Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. 2. Paham sekuler. Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara. Dalam paham ini, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. 3. Paham komunis. Menurut paham komunis, agama dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri. Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara. agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu agama harus ditekan, bahkan dilarang. Banyak para ulama tradisional yang berargumentasi bahwa Islam merupakan sistem kepercayaan, dimana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang ini, maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Akhirnya ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan negara. Antara lain : o Paradigma integralistik. konsep hubungan agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. o Paradigma Simbiotik. hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya. o Paradigma sekularistik. ada pemisahan (disparitas) antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi (campur tangan). DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna : Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta : tiara Wacana,1999. Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam : Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post Modernisme, Jakarta : Paramadina, 1996. Al-Mawardi Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, Beirut : Dar el-Fikr, Tanpa Tahun.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Negara, weus.com
[2] Menurut kamus Sanskerta-Inggris Monier-Williams (cetakan PERTAMA years 1899) FUNDS Entri Āgama: sebuah doktrin tradisional atau ajaran, koleksi doktrin tersebut, pekerjaan kudus [...], apa pun diturunkan dan ditetapkan oleh tradisi (seperti pembacaan teks atau catatan, akta judul, & c.) [3] IAIN Syarif Hidayatullah, “pendidikan kewargaan, demokrasi, Ham & masyarakat madani” jakarta, 2000, [4] Ibid, hal. 125 [5] Ibid, hal. 126,127 [6] Ibid, hal. 127,128,129 [7] Ibid, hal. 128,129 [8] Ibid,hal. 129,130,131,132
HUBUNGAN ANTAR NEGARA DAN AGAMA
BAB I PENDAHULUAN Seperti diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini). Pola hubungan ronde pertama dan kedua sudah lewat. Bahwa masih ada sisa sisa masa lalu, dalam urusan apapun termasuk hubungan negara agama, bisa
terjadi. Tapi, sekurang kurangnya secara teori, kini kita telah merasa cocok di ronde ketiga, ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi, negara untuk urusan publik. Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara merupakan opsi yang terbaik.Dalam pola hubungan ini,agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa. Tapi apakah persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan sekularistik pada mulanya merupakan "wisdom" yang didapat oleh masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya. "Kebaikan bukan soal Barat atau di Timur, melainkan soal ketakwaan" (Q: Al Baqarah/176). Tapi memang, sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang menolak umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat. Tanpa mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama berabad-abad dalam menata hubungan agama negara, mereka mencurigai sekularisme sebagai gagasan untuk memarjinalkan Islam dari kehidupan nyata. Sementara itu, kelompok yang menerima berargumen bahwa seperti umumnya agama, Islam pun terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang publik (negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat. Sekularisme adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama dalam kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di wilayah privat, negara untuk wilayah publik. BAB II PEMBAHASAN Negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discourse) yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari Negara atau Negara merupakan bagian dari dogma agama. Dalam memahami hubungan agama dan Negara ini, akan dijelaskan beberapa konsep hubungan agama dan Negara menurut beberapa aliran, antara lain paham teokrasi, paham sekuler dan paham komunis. Paham teokrasi Paham sekuler Paham komunis
: : :
Negara menyatu dengan agama, karena pemerintah menurut paham ini dijalankan berdasarkan firmanfirman Tuhan. Segala tata kehidupan dalam masyarakat-bangsa, dan Negara dilakukan atas titah Tuhan.
Norma hukum ditentukan atas kesepatakan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas. 1. Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Teokrasi Dalam perkembangan, paham teokrasi terbagi kedalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintah diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya Negara didunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut sistem pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala yang memiliki otoritas atas nama Tuhan, kepala Negara atau raja diyakini memerintah atas kehendak Tuhan. 2. Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Sekuler Selain paham teokrasi, terdapat pula paham sekuler dalam praktik pemerintahan dalam kaitan hubungan agama dan Negara. Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama hubungan agama dan Negara. Dalam negera sekuler, tidak ada hubungan antar system kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini menurut paham sekuler tidak dapat disatukan. Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Sekalipun paham ini memisahkan antara agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini dan Negara intervensif dalam urusan agama. 3. Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Komunisme Paham komunisme memandang hakikat hubungan Negara dan agama berdasarkan pada filosofi materialisme – dialektis dan materialisme – historis. Paham ini menimbulkan paham atheis. Paham yang dipeolopori oleh Karl Marx ini, memandang agama sebagai candu masyarakat. Menurutnya, manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Sementara agama, dalam menemukan dirinya sendiri.
Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu, agama merupakan keluhan makhluk tertindas dalam Negara adalah materi, karena manusia sendiri pada hakekatnya adalah materi. A. Agama 1. Pengertian agama Secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologi) dan sudut istilah (terminology). Pengertian agama dari segi bahasa dapat kita ikuti antara lain uraian yang diberikan harun nasutian. Menurutnya, dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa. Menurutnya, agama berasal dari kata Sanskrit. Menurut satu pendapat, demikian harun nasution mengatakan, kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi secara turun-temurun dari satu generasi kegenerasi lainnya selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci, dan agama-agama memang mempunyai ktiab-kitab suci. Pengertian ini tampak menggambarkan salah satu fungsi agama sebagai turunan bagi kehidupan manusia. Selanjutnya di dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. Pengertian ini juga sejalan dengan kandungan agama yang didalamnya terdapat peraturan-peraturan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi penganut agama yang bersangkutan. Selanjutnya agama juga menjalankan ajaran-ajaran agama. Agama lebih lanjut membawa utang yang harus dibayar oleh para penganutnya. Paham kewajiban dan kepatuhan ini selanjutnya membaca kepada timbulnya paham balasan. Orang iuyang menjalankan kewajiban dan patuh kepada perintah agama akan mendapat yang baik dari Tuhan. Sedangkan orang yang tidak menjalankan kewajiban dan ingkar terhadap perintah Tuhan akan mendapat penjelasan yang menyedihkan. Adapun kata religi berasal dari bahasa Latin. Menurut satu pendapat, demikian Harun Nasution mengatakan, bahwa asal kata Negara yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Pengertian kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain, kata itu berasal dari kata religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Dalam agama selanjutnya terdapat pula ikatan roh manusia dengan Tuhan, dan agama lebih lanjut lagi memang mengikat manusia dengan Tuhan. Dari beberapa definisi tersebut, akhirnya Harun Nasution menyimpulkan bahwa intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas ialah ikatan. Agama memang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.
Adapun pengertian agama dari segi istilah dapat dikemukakan sebagai berikut. Elizabet K. Nittingham dalam bukunya Agama dan masyarakat berpendapat bahwa agama adalah gejala yang begitu sering terdapat dimana-mana sehingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah. Lebih lanjut Nottingham mengatakan bahwa agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama telah menimbulkan khayalnya yang paling luas dan juga digunakan untuk membinasakan kekejaman orang yang luar biasa terhadap orang lain. Pengertian agama yang dikutip diatas sudah pasti tidak akan mendapatkan kesepatakan dan hal ini sudah dapat diduga sebelumnya karena sebagaimana dikatakan di atas, bahwa kita sulit sekali bahkan mustahil dapat dijumpai definisi agama yang dapat diterima semua pihak. B. Negara 1. Pengertian Negara Secara literal istilah Negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), state (Bahasa Belanda dan Jerman) dan etat (Bahasa Prancis), kata staat, state, etat itu diambil dari kata bahasa Latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Secara terminologi Negara diartikan dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai pemerintahan yang berdaulat. 2. Tujuan Negara a. Memperluas kekuasaan b. Menyelenggarakan ketertiban hukum c. Mencapai kesejahteraan umum Menurut plato, memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan (individu) dan sebagai makhluk sosial. Menurut Koger H. Soltau, Memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin. 3. Unsur-unsur Negara - Rakyat (masyarakat/warga Negara) Sangat penting dalam sebuah Negara, karena secara kongkret rakyatlah yang memiliki kepentingan agar Negara itu dapat berjalan dengan baik. - Wilayah Wilayah dalam sebuah Negara merupakan unsur yang harus ada, karena tidak mungkin ada Negara tanpa ada batas: teritorial yang jelas.
- Pemerintah Pemerintah adalah alat kelengkapan Negara yang bertugas memimpin organisasi Negara untuk mencapai tujuan Negara. 4. Bentuk-bentuk Negara - Negara kesatuan Bentuk suatu Negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Dalam pelaksanaannya, Negara kesatuan ini terbagi dalam 2 (dua) macam, yaitu: a. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, yakni sistem pemerintahan yang seluruh persoalan yang berkaitan dengan Negara langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, sementara daerah-daerah tinggal melaksanakannya. b. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, yakni kepala daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri atau dikenal dari otonomi daerah atau swatantra. - Negara serikat (Federasi) Kekuasaan asli dalam Negara federasi merupakan tugas Negara bagian karena ia berhubungan langsung dengan rakyatnya. Sementara Negara Federasi bertugas untuk menjalankan hubungan luar negeri, pertahanan Negara, keuangan, dan urusan pos.
PENUTUP A. Kesimpulan Hubungan antara agama & Negara dalah tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintah dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan Negara dilakukan atas titah Tuhan. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Kehidupan manusia, dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas Agama, secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologi) dan sudut istilah (terminology) menurutnya dalam masyarakat indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa. Menurutnya, agama berasal dari kata Sanskrit. Pengertian agama yang dikutip sudah pasti tidak akan mendapatkan kesepakatan dan hal ini sudah
dapat diduga sebelumnya karena sebagaimana dikatakan, bahwa kita sulit sekali atau mustahil menjumpai definisi yang dapat diterima semua pihak Negara, secara literal istilah Negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni kata staat, state, etat itu diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Secara terminology, Negara diartikan dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
DAFTAR PUSTAKA Azra, Azyumardi Prof Dr, 2003, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah; Jakarta. Nata, H Abuddin Prof Dr, 1998, Metodologi Stusi Islam, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta. Soelaeman, M Munandar IR, 1987, Ilmu Sosial Dasar, PT. Eresco; Bandung. http://makalah85.blogspot.com/2008/11/hubungan-antara-negara-dan-agama.html 3 Desember 2012.
Resensi Buku “Relasi Agama dan Negara” karya Gamal Al Banna
Salah satu masalah besar dalam dunia politik Islam adalah apakah mungkin memberlakukan syariat Islam tanpa Negara Islam? Bukankah penerapan syariat Islam dengan sendirinya merupakan pembuka jalan masuk (akses) menuju Negara Islam? Persoalan ini telah menyulut perdebatan di kalangan pemikir politik Muslim sepanjang masa, meski di kalangan politik Muslim modern hampir tidak dijumpai kesepakatan bulat tentang apa sesungguhnya yang terkandung dalam konsep Negara Islam. Jawaban atas pertanyaan ini telah menimbulkan dua paham antara pendukung konsep Negara Islam dengan penolak tidak ada konsep tentang Negara Islam. Sejarah politik Islam bergulat dalam tarik-menarik dua paham ini. Berkaitan dengan ada atau tidak adanya konsep negara Islam, Gamal al-Banna menggambarkan jejakjejak sejarah lahirnya apa yang masyhur dengan istilah negara. Sejarah yang bukan hanya diwarnai dengan hubungan yang haromis antara kekuasaan dan ideologi,
tetapi juga diliputi oleh banyak konflik dan prasangka antara ideologi (agama) dan kekuasaan (negara). Dalam kenyataan, sangat mudah terlihat dengan begitu beragamnya sistem negara dan pemerintahan di dunia ini yang mengklaim dirinya sebagai Negara Islam. Namun begitu, secara teoritis, dewasa ini sudah ada berbagai upaya untuk mencoba merumuskan sebuah konsep formal mengenai apa yang dimaksud Negara Islam. Paling tidak telah ada kesepakatan minimal bahwa suatu negara disebut sebagai Negara Islam jika memberlakukan hukum Islam. Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam merupakan prasyarat formal dan utama bagi eksistensinya Negara Islam. Sejarah telah mencatat bahwa abad ke-15 hingga 20 merupakan fase ketika Eropa berdiaspora dan menyebar ke dunia Timur dalam rangka imperialisasi dan kolonialisasi. Secara tidak langsung, ekspansi Eropa ini telah memberikan andil terhadap kebangkitan Islam, yaitu membidani lahirnya sederetan tokoh-tokoh pembaharu Islam seperti Rasyid Ridha, al-Maududi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Ayatullah Khomeini. Fokus pergerakan mereka tidak hanya menumpaskan penjajahan, tetapi juga mendirikan kerangka atau konsep dasar tentang negara yang dilandasi oleh agama. Rasyid Ridha, seorang ulama terkemuka di awal abad ke-20, yang dianggap paling bertanggung jawab dalam merumuskan konsep Negara Islam modern, menyatakan bahwa premis pokok dari konsep Negara Islam adalah bahwa syariat merupakan sumber hukum tertinggi. Dalam pandangannya, syariat mesti membutuhkan bantuan kekuasaan untuk tujuan implementasinya, dan adalah mustahil untuk menerapkan hukum Islam tanpa kehadiran Negara Islam. Dengan demikian, dapat dikatakan penerapan hukum Islam merupakan satu-satunya kriteria utama yang amat menentukan untuk membedakan antara suatu negara Islam dengan negara non-Islam. Sama halnya dengan pandangan al-Maududi yang dianggap sebagai pendiri sistem teodemokrasi menyatakan bahwa Islam sebagai ideologi holistis itu wajib diimplementasikan dalam kehidupan bernegara. Salah satu caranya ialah menggantikan ideologi Barat dengan ideologi Islam. Bagi al-Maududi, pentingnya Islam sebagai ideologi negara karena Islam adalah agama yang menyeluruh dan universal, karena itu Islam adalah sebuah negara Tuhan. Keadaan ini bukanlah hal baru, sebab sudah sejak awal pergulatan ideologi antara agama dan negara berkecamuk pada masa setelah Rasulullah dan masa kekhalifahan. Pertentangan antara dinasti Muawiyah dan Abbasyiah merupakan bagian penting dalam sejarah yang menghendaki umat Islam dalam satu kesatuan di bawah sistem monarki. Begitu juga yang terjadi sampai berakhirnya masa kekhalifahan Turki 1924 M. Pertanyaan adalah, apakah dinasti-dinasti Islam dalam sejarah itu merupakan representasi dari bentuk Negara Islam? Relasi Agama dan Negara Buku Gamal al-Banna ini dapat dikategorikan sebagai buku sejarah yang “menyibak” hubungan antara agama dan negara, yang melihat terutama segi
politis, karena itu berbagai kepentingan sosial-politik sangat mewarnai penggambaran konflik kepentingan antara yang menghendaki agama (Islam) sebagai dasar negara dengan kalangan politik Muslim modern yang menolaknya. Dalam buku ini, Gamal al-Banna menegaskan tesisnya dengan menyatakan bahwa tidak ada satu pun contoh negara Islam yang ideal selain pada masa Madinah alMunawarah, yang berlangsung hanya dalam waktu 25 tahun. Sepuluh tahun pada masa kenabian, sementara lima belas tahun setelahnya adalah di bawah komando Abu Bakar dan Umar. Setelah itu, yang ada tidak lebih dari bentuk pemerintahan yang ekspansif dan rakus, sampai berakhirnya masa kekhalifahan Turki, termasuk pada masa khalifah Utsman dan Ali karena keduanya tidak mengikuti cara kedua khalifah pendahulunya. Menurut Gamal al-Banna, tidak ada negara yang disebut-sebut sebagai negara Islam yang patut diteladani selain Negara Madinah dengan segala spesifikasinya yang selama ini belum pernah ditiru oleh negara manapun. Sayangnya, keberadaan Negara Madinah tidak dapat diulangi lagi. Hasan al-Banna juga mencatat problem terpenting dalam setiap kegagalan negara yang bereksperimen mendirikan Negara Islam adalah terletak dalam pelaksanaan, bahkan kebanyak mekanisme politik yang dijalankan tersebut terbilang lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara yang ada di Eropa dan Amerika. Buku yang terdiri dari enam belas bab ini berisi uraian yang sangat rinci tentang relasi agama dan negara mulai dari sejarah Negara Islam pada masa Rasulullah yang masyhur disebut Negara Madinah, pengertian kekuasaan, perdebatan Negara Islam pada masa kini antara wacana dan kenyataan, pembahasan mengenai eksperimen pendirian negara Islam masa kini yang dilakukan oleh kebanyakan negara-negara Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Iran, al-Jazair, Sudan dan Turki, dan ditutup dengan penggambaran dakwah para nabi sebagai suatu cara untuk mencapai kemajuan umat. Buku Hasan al-Banna yang dipengantari oleh Prof. Dr. Said Agil Siradj MA memberikan warna baru di tingkat wacana politik Islam, dan terasa mewakili hasrat untuk membaca ulang munculnya radikalisme agama berikut pandangan tentang negara atau pemerintahan Islam. Buku ini juga menawarkan rumusan-rumusan baru bentuk negara (Islam) yang paling ideal bagi masyarakat Muslim. Dalam pencariannya itu, Gamal al-Banna tak segan-segan menoleh pada pemerintahan di negeri-negeri Barat, seperti negara-negara Eropa dan Amerika, yang telah berhasil mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya dengan menciptakan negara kemakmuran (welfare state). (Miftahul Arief, Mahasiswa Universitas Paramadina, Jakarta) Judul buku : Relasi Agama dan Negara Prnulis : Gamal al-Banna Penerjemah : Tim MataAir Publishing Penerbit : MataAir Publishing, Jakarta Tebal Buku : 389 halaman Cetakan : I, Desember 2006
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban /kebiadaban umat manusia. Hubungan antara keduanya telah melahirkan kemajuan besar dan menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama pra abad pertengahan, ketika negara di bawah agama di abad pertengahan atau ketika negara terpisah dari agama setelah abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini. Ketika negara diatas agama pra abad pertengahan dan ketika negara di dibawah agama sudah lewat. Bahwa masih ada sisa sisa masa lalu, dalam urusan apa pun termasuk hubungan negara agama, bisa terjadi. Akan tetapi, sekurang kurangnya secara teori, kini kita telah merasa cocok ketika negara terpisah dari agama pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini. Dalam ronde ini bisebut dengan ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi, negara untuk urusan publik. Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara merupakan opsi yang terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa. Akan tetapi persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan sekularistik pada mulanya merupakan “wisdom” yang didapat oleh masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya. 1.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian negara dari berbagai sudut pandang?
2. Bagaimana hubungan antara negara dengan agama? 3. Bagaimana Konsep Negara dengan agama ? 1. Tujuan Setelah kita mengkaji negara dan agama dari berbagai aspek, maka kita akan dapat mengetahui bagaimana hubungan antara negara dan agama, dimanakah letah titik temu antara negara dan agama.
Dalam hal ini perlu diperhatikan tentang pengertian negara dan agama terlebih dahulu. Agar kita dapat menyimpulkan hubungan antara keduanya. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Negara Istilah Negara merupakan terjemahan dari kata asing, yakni state(bahasa Inggris), staat (bahasa Belanda dan Jerman), dan etat (bahasa Prancis). Kata state,staat, etat diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Secara terminology, Negara adalah organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintah yang berdaulat. Dengan demikian unsur dalam sebuah Negara terdiri dari masyarakat(rakyat), adanya wilayah(daerah), dan adanya pemerintah yang berdaulat. Menurut Roger H. Soltao, Negara adalah alat (agency) atau wewenang yang mengatur persoalan bersama atas nama masyarakat. Sedangkan menurut islam, dalam Al-Qur’an dan Al- Sunnah pengertian Negara tidak dijelaskan secara eksplinsit, hanya trdapat prinsip-prinsp dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan mengembangkan paradigma tentang teori khifalah dan imamah. Tujuan Negara ada bermacam-macam diantaranyalah adalah : a) Memperluas kekuasaan. b) Menyelenggarakan ketertiban hukum. c) Mencapai kesejahteraan hukum. Unsur-unsur negara Terdiri dari : rakyat, wilayah dan pemerintah. Teori tentang terbentuknya negara a) Teori Kontrak Sosial(Social Contract), dibentuk berdasarkan perjanjian – perjanjian masyarakat. b) Teori Ketuhanan, dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin-pemimpin negara ditunjuk oleh Tuhan c) Teori Kekuatan. dibentuk dengan penaklukan dan pendudukan. d) Teori Organis Negara disamakan dengan makhluk hidup, manusia atau binatang individu yang merupakan komponen-komponen negara dianggap sebagai sel-sel dari makhluk hidup itu. e) Teori Historis Lembaga-lembaga social tidak dibuat, tetapi tumbuh secara revolusioner sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia. Bentuk-bentuk Negara a) Negara Kesatuan Negara kesatuan merupakan bentuk suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Dengan satu pemerintah yang mengatur seluruh daerah.
b) Negara serikat Kekuasaan asli dalam negara federasi merupakan tugas Negara bagian, karena ia berhubungan dengan rakyatntya, sementara Negara federasi bertugas untuk menjalankan hubungan luar Negeri. Pertahanan Negara. Keuangan dan urusan pos. selain kedua bentuk Negara tersebut. Bentuk Negara kedalam tiga kelompok yaitu: monarki, olgarki, dan demokrasi. B. Negara dan Agama Negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discoverese) yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. 1. Hubungan agama dan Negara menurut paham teokrasi Negara menyatu dengan agama. Karena pemerintahan menurut paham ini di jalankan berdasarkan firman-firman tuhan segala kata kehidupan dalam masyarakat bangsa, Negara di lakukan atas titah Tuhan. 2. Hubungan Agama dan Negara menurut paham sukuler Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan. Meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. 3. Hubungan Agama dengan Kehidupan Manusia Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan Agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, agama merupakan keluhan makhluk tertindas. C. Konsep Relasi Negara dan Agama Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara ini di ilhami oleh hubungan yang agak canggung antara islam. Sebagai agama(din) dan Negara (dawlah), agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. 1) Paradigma integralistik Agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu dan dinyatakan bahwa negara merupakan suatu lembaga. 2) Paradigma Simbiotik Antara agama dan Negara merupakan dua identitas yang berbeda. Tetapi saling membutuhkan oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama (syari’at) 3) Paradigma Sekularistik Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki dan satu sama lain memiliki garapannya bidangnya masing-masing. Sehingga keberadaannya harus di pisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini. Maka hokum positif yang berlaku adalah hokum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia.
Berbicara mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka hubungan agam dan negara dapat digolongkan menjadi 2 : Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik . Maksud hubungan antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antar negara dengan islam sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah Pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik islam. Hail itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan islam dan nasionalis. Gerakan nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar yang bersekolah di Belanda. Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat dan merasa terkesan dengan kemajuan teknis di Barat. Pada waktu itu pengetahuan agama sangat dangkal sehingga mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan. Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis mengambil jalan tengah dengan mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran agama dalam wilayah kepercayaan dan agama individu. Akibatnya, aktivispolitik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider.” Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka. Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yangmemungkinkan antara Islam dan negara terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru ( kurang lebih pada 1967-1987). Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, di mana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik( M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga Negara mengakomodasi islam. Jika islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik akan sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI. Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada yang bersifat: 1. Struktural , yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis Islam untuk terintegrasikan ke dalam Negara. 2. Legislatif , misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif terhadap kepentingan Islam. 3. Infrastructural, yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam menjalankan “tugas-tugas” keagamaan. 4. Kultural, misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap islam yaitu menggunakan idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis maupun politik negara. Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam politik mengalami dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun, harus diakui Pak Harto dan kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak hubungan negara dan Islam politik di Indonesia. Alasan Negara berakomodasi dengan islam pertama, karena Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan jikaa hal ini dilakukan akan menumbulkan masalah politik yang cukup rumit. Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri. Sedangkan alas an yang dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua puluh lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-ekonomipolitik yang berarti dan ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam. Hubungan islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam Indonesia ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi Pancasila. Sesungguhnya sintesa yang memungkinkan antara Islam dan negara dapat diciptakan. Artikulasi pemikiran dan praktik politik Islam yang legalistik dan
formalistik telah menyebabkan ketegangan antara Islam dan negara. Sementara itu, wacana intelektualisme dan aktivisme politik Islam yang substansialistik, sebagaimana dikembangkan oleh generasi baru Islam, merupakan modal dasar untuk membangun sebuah sintesa antara Islam dan negara. BAB III PENUTUP Kesimpulan Jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi akomodatif dan sikap akomodatif muncul ketika umat Islam Indonesia dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi pancasila. Oleh karena itu sintesa dimungkinkan dapat terjadi. Artikulasi pemikiran dan praktik politik Islam yang legalistik dan formalistik sebagai penyebab ketegangan antara Islam dan negara. Sedangkan wacana intelektualisme dan aktivisme politik Islam yang substansialistik merupakan modal dasar. DAFTAR PUSTAKA • Azra, Azyumardi.2003.Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. Jakaarta : ICCE UIN • http://petuahmoenir.blogspot.com/2008/10/gamal-al-banna-relasi-agama-dannegara.html • http://hubungan islam dan Negara di Indonesia.