BAB IV HUBUNGAN NEGARA DAN WARGA NEGARA
Pembicaraan hubungan negara dan warga negara sebenarnya merupakan pembicaraan yang amat tua. Thomas Hobbes, tokoh yang mencetuskan istilah terkenal
Homo homini lupus
(manusia pemangsa sesamanya), mengatakan bahwa fungsi negara adalah menertibkan kekacauan atau
chaos
dalam masyarakat. Walaupun negara adalah bentukan masyarakat, namun kedudukan negara adalah penyelenggara ketertiban dalam masyarakat agar tidak terjadi konflik, pencurian dan lain-lain. (Wibowo, 2000: 8). Persoalan yang paling mendasar hubungan antara negara dan warga negara adalah masalah hak dan kewajiban. Negara demikian pula warga negara sama-sama memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Sesungguhnya dua hal ini saling terkait, karena berbicara hak negara itu berarti berbicara tentang kewajiban warga negara, demikian pula sebaliknya berbicara kewajiban negara adalah berbicara tentang hak warga negara. Kesadaran akan hak dan kewajiban sangatlah penting, seseorang yang semestinya memiliki hak namun ia tidak menyadarinya, maka akan membuka peluang bagi pihak lain untuk menyimpangkannya. Demikian pula ketidaksadaran seseorang akan kewajibannya akan membuat hak yang semestinya didapatkan orang lain menjadi dilanggar atau diabaikan. Pada bab ini akan dibahas pengertian hak dan kewajiban, hak dan kewajiban negara dan warga negara menurut UUD 1945, serta pelaksanaan hak dan kewajiban negara dan warga negara di negara Pancasila
A.PENGERTIAN HAK DAN KEWAJIBAN
Banyak literatur yang mendefinisikan hak asasi sebagai hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Definisi itu kurang tepat sebab muncul pertanyaan penting. Apakah sebelum lahir, janin yang ada di dalam perut tidak memiliki hak asasi? Pemahaman yang kurang tepat seperti itu bisa memunculkan fenomena
seperti di Belanda terkait dengan kode etik dokter kandungan. Manakala ada pasien yang secara medis dinyatakan hamil, maka dokter harus memastikan dengan bertanya sampai tiga kali apakah ibu yang mengandung tersebut bahagia dengan kehamilan itu. Kalau memang ibu tidak bahagia atau tidak menghendaki kehamilan tersebut, dokter dapat melakukan aborsi terhadap janin tersebut. Aborsi adalah tindakan yang dilegalkan oleh pemerintah Belanda. Alasan diperbolehkan aborsi adalah bahwa setiap ibu punya hak untuk hamil atau tidak hamil. Tidak dipikirkan tentang hak janin untuk hidup. Inilah problem mendasar ketika hak asasi manusia dipandang hanya melekat pada manusia sejak lahir. Akan lebih tepat dikatakan bahwa hak asasi melekat pada diri manusia sejak proses terjadinya manusia. Janin punya hak hidup meskipun belum dapat berbicara apalagi menuntut hak. Aborsi tidak dapat dibenarkan hanya karena orang tua tidak menginginkan kehamilan, namun tentu bisa dibenarkan manakala ada alasan-alasan khusus misal secara medis kehamilan tersebut membahayakan sang ibu. Oleh karena itu tepat kiranya mengacu pada pengertian hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 yang menyebutkan: "Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia." Adapun kewajiban asasi adalah kewajiban dasar yang harus dijalankan oleh seseorang dalam kaitannya dengan kepentingan dirinya sendiri, alam semesta, masyarakat, bangsa, negara maupun kedudukannya sebagai makhluk Tuhan. Ini adalah kewajiban dalam arti yang luas, yang tentu tidak akan dibahas semua dalam bab ini. Kewajiban terhadap diri banyak dibicarakan dalam ilmu ilmu terkait dengan kepribadian dan kesehatan, kewajiban terhadap alam dibicarakan dalam etika lingkungan, kewajiban sebagai makhluk Tuhan dibicarakan dalam agama, sedangkan
dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan berbicara masalah kewajiban terkait dengan hubungan antar warganegara maupun antara warga negara dengan negara. Antara hak dan kewajiban harus dipenuhi manusia secara seimbang. Pada masyarakat Barat hak asasi lebih menjadi wacana yang dominan daripada kewajiban asasi. Hal ini bisa dipahami dari pandangan hidup masyarakat Barat yang individualis. Pada masyarakat individualis segala sesuatu dimulai dari diriku (aku). Meskipun mereka tidak melupakan hak orang lain, karena pada masyarakat yang individualismenya sudah matang justru kesadaran akan hakku didasari pula oleh pemahaman bahwa setiap orang juga ingin dihargai haknya. Sehingga yang terjadi masing-masing individu saling menghargai individu yang lain. Berangkat dari hakku inilah kemudian lahir kewajiban-kewajiban agar hak-hak individu tersebut dapat terpenuhi. Berbeda dengan masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat Timur. Karakter masyarakat Timur lebih menekankan hak orang lain daripada hak dirinya sendiri. Hak diri seringkali dileburkan dalam hak kolektif/sosial. Seseorang jarang ingin menonjol secara pribadi namun cenderung lebih menonjolkan sisi kolektifnya. Hal ini banyak dilihat dari karya-karya sebenarnya karya individu namun tidak diketahui identitas penciptanya, seperti banyak lagu-lagu daerah yang tidak dikenal siapa penciptnya. Sang pencipta seringkali menyembunyikan diri dalam kolektifitas sehingga karya tersebut dikenal sebagai karya bersama. Misal lagu Gundul-gundul Pacul dari Jawa, lagu O Ina Ni Keke dari Sulawesi Utara, tanpa kita mengetahui siapa pengarang sesungguhnya. Dalam kondisi masyarakat demikian kewajiban lebih menonjol daripada hak, karena orang lebih cenderung berbuat untuk orang lain daripada diri sendiri. Ketika seseorang berbuat untuk orang lain yang itu dipahami sebagai kewajibannya, maka otomatis orang lain akan mendapatkan haknya, demikian pula ketika orang lain menjalankan kewajibannya maka kita juga mendapatkan hak kita. Perdebatan hak dulu atau kewajiban dulu bisa didekati
dengan pendekatan yang lebih sosio-kultural dari masyarakatnya, sehingga kita lebih bijaksana dalam melihat persoalan hak dan kewajiban ini. Kartasaputra (1986: 246) memberikan gambaran cakupan hak asasi manusia dengan skema sebagai berikut:
1. HAK ASASI PRIBADI -
Kebebasan berpendapat -
Kebebasan beragama -
Kebebasan bergerak -
dll 2. HAK ASASI EKONOMI -
Hak memiliki -
Hak manfaat -
Hak membeli -
Hak menjual -
dll 3. HAK ASASI SOSIAL DAN KEBUDAYAAN -
Mendapatkan pendidikan -
Mengembangkan Kebudayaan -
dll 4. HAK ASASI PROSEDURAL -
Mendapatkan Keadilan, peradilan, perlindungan, dll 4. HAK ASASI POLITIK -
Memilih -
Dipilih -
Brorganisasi -
dll 6. HAK ASASI DALAM PERLAKUKAN YANG SAMA -
Hukum -
Pemerintahan -
dll
Pandangan Kartasaputra ini menunjukkan keluasan persoalan hak asasi manusia yang akan terus berkembang seiring dengan perkembangan pemikiran dan kebudayaan manusia. Hal yang penting dalam persoalan hak asasi ini adalah apa yang menjadi titik tolak dari hak asasi tersebut, berpusat pada manusia atau pada Tuhan. Hak asasi yang berpusat pada manusia akan mengkonstruksi hak asasi tersebut beranjak dari kebebasan manusia. Oleh karena manusia mempunyai kecenderungan memiliki kebebasan tanpa batas, maka mereka menuntut formalisasi hak asasi atas kebebasan itu, misalnya tuntutan legalisasi perkawinan sesama jenis, pornografi dan lain-lain. Hak asasi yang berpusat pada manusia akan mengesampingkan nilai-nilai ketuhanan. Sedangkan hak asasi yang berpusat pada Tuhan akan menjadikan nilai dan kaidah ketuhanan sebagai dasar perumusan hak asasi. Kebabasan manusia selalu ditempatkan pada kerangka kaidah ketuhanan.
B.HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA MENURUT UUD 1945
Manusia oleh Tuhan Yang Maha Kuasa diberi kemampuan akal, perasaan dan indera agar bisa membedakan benar dan salah, baik dan buruk, indah dan jelek. Kemampuan-kemampuan tersebut akan mengarahkan dan memimbing manusia dalam kehidupannya. Kemampuan tersebut juga menjadikan manusia menjadi makhluk yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan tindakannya. Oleh karena kebebasan yang dimiliki oleh manusia itulah maka muncul konsep tentang tanggung jawab. Kebebasan yang bertanggung jawab itu juga merupakan bagian dari hak asasi manusia yang secara kodrati merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Pengingkaran akan kebebasan berarti pengingkaran pada martabat manusia. Oleh karena itu, semua orang termasuk negara, pemerintah dan organisasi wajib kiranya mengakui hak asasi manusia. Hak asasi bisa menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Bakry, 2009: 228).
53
Sebelum berbicara tentang hak dan kewajiban negara dan warga negara menurut UUD 1945 perlu kiranya meninjau sedikit perkembangan hak asasi manusia di Indonesia. Bagir Manan (2001) banyak dikutip juga oleh Bakry (2009) membagi perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode yaitu periode sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang). Periode sebelum kemerdedaan dijumpai dalam organisasi pergerakan seperti Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia, Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, Pendidikan Nasional Indonesia dan Perdebatan dalam BPUPKI. Adapun periode setelah kemerdekaan dibagi dalam periode 1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1998, 1998-sekarang. Pada periode sebelum kemerdekaan (1908-1945), terlihat pada kesadaran beserikat dan mengeluarkan pendapat yang digelorakan oleh Boedi Oetomo melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial Belanda. Perhimpunan Indonesia menitik beratkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (
the right of self determination
), Sarekat Islam menekankan pada usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi, Partai Komunis Indonesia menekankan pada hak sosial dan menyentuh isu-isu terkait dengan alat-alat produksi, Indische Partij pada hak mendapatkan kemerdekaan serta perlakukan yang sama, Partai Nasional Indonesia pada hak politik, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri, mengeluarkan pendapat, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan dalam hukum dan hak turut dalam penyelengaraan negara (Bakry, 2009: 243-244). Dalam sidang BPUPKI juga terdapat perdebatan hak asasi manusia antara Soekarno, Soepomo, Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin terkait dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, pekerjaan dan penghidupan yang layak, memeluk agama dan kepercayaan, berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. (Bakry, 2009: 245). Dengan demikian, dinamika perkembangan hak asasi manusia memiliki akar sejarah yang kuat di Indonesia karena berhimpitan dengan realitas
konkrit yang dialami bangsa Indonesia dalam menghadapi kolonialisme dan imperialisme. Adapun setelah kemerdekaan, pada periode awal kemerdekaan (1945-1950) hak asasi manusia sudah mendapatkan legitimasi yuridis dalam UUD 1945 meskipun pelaksanaannya masih belum optimal. Atas dasar hak berserikat dan berkumpul memberikan keleluasaan bagi pendirian partai- partai politik sebagaimana termuat dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Akan tetapi terjadi perubahan mendasar terhadap sistem pemerintahan Indonesia dari Presidensial menjadi parlementer berdasarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 (Bakry, 2009: 245). Pada periode 1950-1959 dalam situasi demokrasi parlementer dan semangat demokrasi liberal, semakin tumbuh partai politik dengan beragam ideologi, kebebasan pers, pemilihan umum yang bebas, adil dan demokratis. Pemikiran tentang HAM juga memiliki ruang yang lebar hingga muncul dalam perdebatan di Konstituante usulan bahwa keberadaan HAM mendahului bab-bab UUD. Pada periode 1959-1966, atas dasar penolakan Soekarno terhadap demokrasi parlementer, sistem pemerintahan berubah menjadi sistem demokrasi terpimpin. Pada era ini terjadi pemasungan hak asasi sipil dan politik seperti hak untuk beserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan (Bakry, 2009: 247). Periode 1966-1998 muncul gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Gagasan tersebut muncul dalam berbagai seminar tentang HAM yang dilaksanakan tahun 1967. Pada awal 1970-an sampai akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, terjadi penolakan terhadap HAM karena dianggap berasal dari Barat dan bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Menjelang tahun 1990 muncul sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM yaitu dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES No 50 tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993 (Bakry, 2009: 249).
Periode 1998-sekarang, setelah jatuhnya rezim Orde Baru terjadi perkembangan luar biasa pada HAM. Pada periode ini dilakukan pengkajian terhadap kebijakan pemerintah Orba yang berlawanan dengan kemajuan dan perlindungan HAM. Penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM berupa Amandemen UUD 1945, peninjauan TAP MPR, UU dan ketentuan perundang-undangan yang lain. MPR telah melakukan amandemen UUD 1945 yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002, pasal-pasal yang terkait dengan HAM juga berkembang pada tiap-tiap amandemennya. Berikut akan disampaikan tabel berkenaan dengan hak dan kewajiban negara, dan hak dan kewajiban warga negara.
Hak negara Kewajiban negara
Melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia (Pembukaan UUD 1945, alinea IV)
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (Pasal 28I, ayat 4).
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu (Pasal 29, ayat 2)
Untuk pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung (Pasal 30, ayat 2)
Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara (Pasal 30, ayat 3).
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum (Pasal 30, ayat 4).
membiayai pendidikan dasar (Pasal 31, ayat 2)
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Pasal 31, ayat 3)
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional (Pasal 31, ayat 4).
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia (Pasal 31, ayat 5)
memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya (Pasal 32, ayat 1).
menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional (Pasal 32, ayat 2).
mempergunakan bumi dan air dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33, ayat 3).
memelihara fakir miskin dan anak-anak yang terlantar (Pasal 34, ayat 1)
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (Pasal 34, ayat 2)
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (Pasal 34, ayat 3)
Hak warga negara
Pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2)
Berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (Pasal 28)
Membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (Pasal 28B ayat 1)
hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminsasi (Pasal 28 B ayat 2)
mengembangkan diri melelui pemenuhan kebutuhan dasarnya, mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari IPTEK, seni dan budaya (Pasal 28C ayat 1)
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarkat, bangsa dan negaranya (Pasal 28C ayat 2)
pengakuan, jaminan, pelindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (Pasal 28D ayat 1)
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28D ayat 2)
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28D ayat 3)
status kewarganegaraan (Pasal 28D ayat 3)
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali (Pasal 28E ayat 1)
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E ayat 2)
kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28E ayat 3)
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 28F)
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. (Pasal 28G, ayat 1)
bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. (Pasal 28G, ayat 2)
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H, ayat 1).
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28H, ayat 2)
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (Pasal 28H, ayat 3).
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun (Pasal 28H, ayat 4).
hidup, tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan hati nurani, beragama, tidak diperbudak, diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (Pasal 28I, ayat 1).
bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (Pasal 28I, ayat 2)
identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban (Pasal 28I, ayat 3).
ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara (Pasal 30, ayat 1)
mendapat pendidikan (Pasal 31, ayat 1)
Kewajiban warga negara
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat 1)
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Pasal 28J, ayat 1).
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (Pasal 28J, ayat 2)
ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara (Pasal 30, ayat 1).
Untuk pertahanan dan keamanan negara melaksanakan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Pasal 30, ayat 2).
mengikuti pendidikan dasar (Pasal 31, ayat 2)
Tabel di atas mencoba memilahkan hak dan kewajiban negara serta hak dan kewajiban warganegara dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD
tahun 1945. Dari tabel di atas diketahui bahwa tidak ada pasal yang berbicara khusus tentang hak negara, kewajiban negara berjumlah 16 ayat, hak warga negara 25 ayat, dan kewajiban warga negara 6 ayat. Tabel di atas tidak menunjukkan sisi yang implisit dari hak dan kewajiban, namun apa yang tertulis secara eksplisit hak dan kewajiban dalam UUD 1945. Di dalam UUD 1945 tidak menyebutkan hak negara, namun apakah dalam kenyataannya memang demikian? Tentu saja tidak. Meminjam teori keadilan Aristoteles, maka ada keadilan yang distilahkannya sebagai keadilan legalis, yaitu keharusan warga negara untuk taat kepada negara. Keharusan taat itulah yang menjadi hak negara. Dalam kehidupan sehari-hari keadilan legalis ini selalu mengiringi setiap langkah wara negara, mulai dari kewajiban membayar IMB, Listrik, PBB, memiliki SIM, Pajak Kendaraan bermotor, mentaati aturan lalu lintas, dan lain-lain. Marilah kita mencoba menganalisis tabel tersebut menggunakan pandangan para pemikir tentang hubungan negara dan warga negara yang digolongkan menjadi tiga yaitu Pluralis, Marxis, dan Sintesis dari keduanya. Negara dan warga negara sebenarnya merupakan satu keping mata uang bersisi dua. Negara tidak mungkin ada tanpa warga negara, demikian pula tidak ada warga negara tanpa negara. Namun, persoalannya tidak sekedar masalah ontologis keberadaan keduanya, namun hubungan yang lebih relasional, misalnya apakah negara yang melayani warga negara atau sebaliknya warga negara yang melayani negara. Hal ini terlihat ketika pejabat akan mengunjungi suatu daerah, maka warga sibuk menyiapkan berbagai macam untuk melayaninya. Pertanyaan lain, apakah negara mengontrol warga negara atau warga negara mengontrol negara?
1.Pluralis
Kaum pluralis berpandangan bahwa negara itu bagaikan sebuah arena tempat berbagai golongan dalam masyarakat berlaga. Masyarakat berfungsi memberi arah pada kebijakan yang diambil negara. Pandangan pluralis persis sebagaimana dikatakan Hobbes dan John Locke bahwa masyarakat itu mendahului negara. Mayarakat yang menciptakan negara dan bukan sebaliknya, sehingga secara normatif negara harus tunduk kepada masyarakat (Wibowo, 2000: 11-12).
2.Marxis
Teori Marxis berpendapat bahwa negara adalah serangkaian institusi yang dipakai kaum borjuis untuk menjalankan kekuasaannya. Dari pandangan ini, sangat jelas perbedaannya dengan teori pluralis. Kalau teori pluralis melihat dominasi kekuasan pada warga negara, sedangkan teori Marxis pada negara. Seorang tokoh Marxis dari Italia, Antonio Gramsci, yang memperkenalkan istilah 'hegemoni' untuk menjelaskan bagaimana negara menjalankan penindasan tetapi tanpa menyebabkan perasaan tertindas, bahkan negara dapat melakukan kontrol kepada masyarakat (Wibowo, 2000: 15).
3.Sintesis
Pandangan yang menyatukan dua pandangan tersebut adalah teori strukturasi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens. Ia melihat ada kata kunci untuk dua teori di atas yaitu struktur untuk teori Marxis dan agensi untuk Pluralis. Giddens berhasil mempertemukan dua kata kunci tersebut. Ia berpandangan bahwa antara struktur dan agensi harus dipandang sebagai dualitas (duality) yang selalu berdialektik, saling mempengaruhi dan berlangsung terus menerus. (Wibowo, 2000: 21). Untuk menyederhanakan pandangan Giddens ini saya mencoba mengganti istilah struktur sebagai negara dan agensi sebagai warga negara. Negara mempengaruhi warga negara dalam dua arti, yaitu memampukan ( enabling ) dan menghambat (constraining ). Bahasa digunakan oleh Giddens sebagai contoh. Bahasa harus dipelajari dengan susah payah dari aspek kosakata maupun gramatikanya. Keduanya merupakan
rules
yang benar-benar menghambat. Tetapi dengan menguasai bahasa ia dapat berkomunikasi kepada lawan bicara tanpa batas apapun. Contoh yang lebih konkrit adalah ketika kita mengurus KTP. Harus menyediakan waktu khusus untuk menemui negara (RT, RW, Dukuh, Lurah dan Camat) ini sangat menghambat, namun setelah mendapatkan KTP kita dapat melamar pekerjaan, memiliki SIM bahkan Paspor untuk pergi ke luar negeri (Wibowo, 2000, 21-22) Namun sebaliknya, agensi (warga negara) juga dapat mempengaruhi struktur, misalnya melalui demonstrasi, boikot, atau mengabaikan aturan. Istilah yang digunakan Giddens adalah
dialectic control.
Oleh karena itu dalam teori strukturasi yang menjadi pusat perhatian bukan struktur, bukan pula agensi, melainkan
social practice
(Wibowo, 2000: 22). Tiga teori ini kalau digunakan untuk melihat hubungan negara dan warga negara dalam konteks hak dan kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945, maka lebih dekat dengan teori strukturasi. Meskipun dalam UUD 1945 tidak secara eksplisit menyebutkan hak negara, namun secara implisit terdapat dalam pasal-pasal tentang kewajiban warga negara. Negara memiliki hak untuk ditaati peraturannya dan hal itu terlihat dalam
social practice-
nya. Negara dan warga negara masing-masing memiliki hak dan kewajiban sesuai porsinya. Negara memiliki kewenangan untuk mengatur warga negaranya, namun warga negara juga memiliki fungsi kontrol terhadap negara. Contoh yang bisa menggambarkan situasi tersebut adalah kebijakan pemerintah untuk menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM). Beberapa kali pemerintah menaikkan BBM karena alasan pertimbangan menyelamatkan APBN, namun pada kesempatan lain atas desakan kuat dari masyarakat akhirnya kenaikan BBM dibatalkan.
C.PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA DAN WARGA NEGARA DI NEGARA PANCASILA
Dalam pelaksaannya hak asasi manusia di Indonesia mengalami pasang surut. Wacana hak asasi manusia terus berkembang seiring dengan berkembangnya pelanggaran-pelanggaran HAM yang semakin meningkat intensitas maupun ragamnya. Pelanggaran itu dilakukan oleh negara maupun warga negara, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Suatu hal tidak dapat dilaksanakan sebelum mengetahui benar apa yang hendak dilaksanakan, untuk melaksanakannya diperlukan pedoman, dan agar pelaksanaan bisa berjalan sesuai dengan harapan maka perlu ada institusi yang mengawal pelaksanaan tersebut. Dengan demikian ada tiga hal penting dalam pelaksanaan hak dan kewajiban ini.
Pertama,
Pancasila perlu dimengerti secara tepat dan benar baik dari pengertian, sejarah, konsep, prinsip dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Tanpa mengerti hal-hal yang mendasar ini amat sulit Pancasila untuk diamalkan. Selain daripada itu, Pancasila akan cepat memudar dan dilupakan kembali. Kekuatan akar pemahaman ini amat penting untuk menopang batang, ranting, daun dan buah yang akan tumbuh di atasnya. Banyak hal yang terjadi ketika semangat untuk mengamalkan Pancasila sangat tinggi namun tidak didasari oleh pemahaman konsep dasar yang kuat, bukan hanya mudah memudar, namun juga akan kehilangan arah, seakan-akan sudah melaksanakan Pancasila padahal yang dilaksanakan bukan Pancasila, bahkan bertentangan dengan Pancasila. Hal ini amat mudah dilihat dalam praktek perekonomian dan perpolitikan Indonesia saat ini yang tanpa sadar sudah mengekor pada sistem kapitalis-neoliberalis dan perpolitikan yang bernapaskan individualis bukan kolektifis.
Kedua,
pedoman pelaksanaan. Semestinya kita tidak perlu malu mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru yang berusaha membuat Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4). Pedoman ini sangat diperlukan agar negara dan warganegara mengerti apa yang musti dilakukan, apa tujuannya dan bagaimana strategi mencapai tujuan tersebut. Manakala tidak ada pedoman pelaksanaan, maka setiap orang berusaha membuat pedoman sendiri-sendiri sehingga terjadi
absurditas
(kebingungan). Banyaknya kelemahan yang terjadi pada pelaksanaan P4 perlu dievaluasi untuk diperbaiki. Contoh kelemahan utama dalam pelaksanaan P4 adalah bahwa pedoman tersebut bersifat kaku, tertutup dan doktriner, hanya pemerintah yang berhak menerjemahkan dan menafsirkan Pancasila, sehingga tidak ada ruang yang cukup untuk diskusi dan terbukanya konsep-konsep baru. Kelemahan tersebut harus diperbaiki tidak kemudian dibuang sama sekali.
Ketiga,
perlunya lembaga yang bertugas mengawal pelaksanaan Pancasila. Lembaga ini bertugas antara lain memfasilitasi aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk mensosialisasikan Pancasila. Membuka ruang-ruang dialog agar tumbuh kesadaran ber-Pancasila baik di kalangan elit politik, pers, anggota legislatif, eksekutif, yudikatif, dan masyarakat luas. Yang tak kalah penting adalah ikut memberi masukan kepada lembaga-lembaga negara dalam melaksanakan tugas dan membuat kebijakan serta ikut mengevaluasi setiap kebijakan yang dilakukan agar terjamin tidak bertentangan dengan Pancasila. Dalam konteks pelaksanaan hak dan kewajiban, maka tiga hal penting sebagaimana disebut di atas juga perlu ada, yaitu perlu mengerti prinsip- prinsip dasar hak dan kewajiban negara dan warga negara, terdapat pedoman pelaksanaannya dan ada lembaga yang mengawalnya. Tiga hal ini tentu tidak berdiri sendiri khusus terkait dengan hak dan kewajiban negara dan warga negara, namun merupakan kesatuan gerak besar revitalisasi Pancasila dalam semua bidang kehidupan. Pelaksanaan hak dan kewajiban negara dan warga negara dalam negara Pancasila adalah sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 seperti tergambar dalam klasifikasi di atas. Namun demikian, selain melihat klasifikasi tersebut perlu juga memahami konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam pelaksanaan hak asasi manusia. Penjelasan di bawah ini akan memberikan gambaran tentang konsep, prinsip dan nilai Pancasila yang dikutip dari Pedoman Umum Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Bernegara yang ditulis oleh Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (2005: 93-94):
66
a.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang Maha Esa, berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan serasi dalam keimanan dan ketakwaan. Dalam mengelola alam, manusia berkewajiban dan bertanggung jawab menjamin kelestarian eksistensi, harkat dan martabat, memuliakan serta menjaga keharmonisannya b.
Pancasila memandang bahwa hak asasi dan kewajiban asasi manusia bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, nilai budaya bangsa serta pengamalan kehidupan politik nasional. c.
Hak asasi manusia meliputi hak hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan yang tidak boleh dirampas atau diabaikan oleh siapapun. d.
Perumusan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dilandaskan oleh pemahaman bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan lingkungannya. e.
Bangsa Indonesia menyadari, mengakui, menghormati dan menjamin hak asasi orang lain sebagai suatu kewajiban. Hak dan kewajiban asasi terpadu dan melekat pada diri manusia sebagai pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, anggota suatu bangsa, dan anggota masyarakat bangsa-bangsa. f.
Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai hak asasi yang harus dihormati dan ditaati oleh setiap orang/warga negara. g.
Bangsa dan negara Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa- bangsa mempuyai tanggung jawab dan kewajiban menghormati ketentuan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 dengan semua instrumen yang terkait, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila.
67